Daftar Isi
“Petualangan di Lembah Bandung: Kisah Study Tour yang Tak Terlupakan” mengajak Anda menyelami perjalanan emosional Lirien, Kaelith, dan Zoryn dalam study tour ke Bandung. Dengan narasi detail dan penuh makna, cerita ini menggabungkan rindu, persahabatan, dan harapan di tengah keindahan alam Bandung. Temukan ulasan mendalam yang akan membuat Anda terpikat dan terinspirasi!
Petualangan di Lembah Bandung
Keberangkatan di Bawah Langit Kelabu
Pagi itu, tepat pukul 06:30 WIB, Rabu, 11 Juni 2025, langit di atas kota kecilku, Sukabumi, tampak kelabu dengan awan tebal yang menggantung rendah, seolah memprediksi petualangan penuh emosi yang akan kulalui. Aku, Lirien Azarwyn, berdiri di depan rumah sederhana kami, memandangi tas ransel biru yang sudah kubungkus rapi dengan pakaian, buku catatan, dan kamera tua milik ayahku. Hari ini adalah hari keberangkatan study tour ke Bandung bersama teman-teman sekelas SMA, sebuah perjalanan yang seharusnya menyenangkan, tapi hatiku dipenuhi perasaan campur aduk. Dua bulan lalu, ayahku meninggal dunia karena serangan jantung mendadak, dan ibuku memaksaku ikut perjalanan ini agar aku bisa melupakan kesedihan sejenak.
“Lirien, cepat masuk mobil! Jangan lambat, nanti busnya berangkat tanpa kamu,” seru ibuku dari pintu, suaranya penuh kekhawatiran sambil memegang payung kecil karena gerimis mulai turun.
“Ibu, aku cuma mau pastikan semua bawa,” jawabku, memeriksa tas untuk ketiga kalinya. Aku tidak ingin meninggalkan apa pun, terutama kenangan ayahku yang tersimpan dalam kamera itu.
Setelah memeluk ibu erat—rasa takut kehilangan lagi membuatku ragu—aku naik ke mobil temenku, Kaelith Vornex, yang sudah menunggu dengan senyum lebar. Kaelith, gadis berambut pendek pirang dengan mata hijau yang selalu bersinar, adalah sahabatku sejak kelas satu. “Lirien, santai aja! Ini bakal seru. Kita bakal ke Tangkuban Perahu, kebun stroberi, dan Factory Outlet. Lupain sedihnya bentar, ya?” katanya, memasang lagu upbeat di radio mobilnya.
“Aku coba, Kael,” jawabku pelan, memandangi jendela yang mulai basah oleh hujan. “Tapi aku kangen Ayah. Ini pertama kalinya aku pergi jauh tanpa dia.”
Kaelith memandangku dengan empati, memegang tanganku. “Aku ngerti, Lir. Tapi Ayah pasti mau kamu seneng. Kita bikin kenangan bareng, trus foto pake kameranya. Gimana?”
Aku mengangguk, tersenyum tipis. “Deal. Tapi kamu yang pegang kameranya, aku takut jatuh.”
Kami sampai di sekolah tepat pukul 07:00 WIB, tempat bus kuning besar sudah menanti dengan siswa-siswi kelas dua IPA berkerumun di sekitarnya. Aroma bensin dan roti bakar dari warung sebelah bercampur dengan udara dingin pagi. Guru pendamping, Bu Rina, berdiri di depan dengan daftar absen, rambutnya yang ikal basah oleh gerimis. “Semua masuk bus sekarang! Periksa barang kalian, dan jangan lupa patuhi aturan!” serunya, suaranya tegas.
Aku dan Kaelith naik bus, duduk di baris ketiga di samping jendela. Di depan kami, ada Zoryn Thalindra, gadis pendiam dengan rambut hitam panjang yang selalu membawa buku tebal. “Lirien, kamu bawa apa buat jaga-jaga?” tanyanya, suaranya lembut sambil membuka bukunya.
“Eh, cuma kamera sama buku catatan Ayahku,” jawabku, menunjukkan tas kecilku. “Kamu bawa buku aja?”
Zoryn tersenyum kecil. “Iya, buat isi waktu. Tapi aku penasaran sama kameranya. Bisa aku lihat?”
Aku mengangguk, memberikan kamera tua itu. Zoryn memeriksanya dengan hati-hati, lalu mengembalikannya. “Bagus banget. Kita foto bareng di Bandung, ya?”
“Iya, asal Kael nggak ribet pegangnya,” kataku, tertawa pelan bersama mereka.
Bus berangkat pukul 07:30 WIB, melewati jalan berkelok-kelok menuju Bandung yang berjarak sekitar tiga jam. Hujan makin deras, membuat jendela berkabut, dan aku memandangi pemandangan hijau yang samar di luar. Kaelith mengobrol riang dengan temen lain, tapi pikiranku melayang ke ayahku. “Ayah, aku pergi jauh. Semoga kamu liat aku dari sana,” bisikku dalam hati, memegang liontin perak yang diberikannya sebelum meninggal.
Sepanjang perjalanan, aku mencoba menikmati cerita lucu Kaelith tentang guru yang pernah tersandung di kelas, tapi perasaan sedih tetap menggelitik. “Lir, coba tulis di buku Ayahmu,” saran Kaelith, menunjukkan buku catatan yang kubawa. “Ceritain perjalanan ini.”
“Aku nggak tahu harus nulis apa,” kataku, membukanya di halaman kosong.
“Mulai dari yang kamu rasain sekarang,” kata Zoryn, menutup bukunya. “Misalnya, hujan sama rindu ke Ayah.”
Aku mulai menulis, jari-jariku bergetar. “Hujan turun, membawa rindu, aku pergi jauh tanpa Ayah di sampingku.” Kaelith membaca, lalu memelukku. “Bagus, Lir. Ayah pasti bangga.”
Tiba di Bandung sekitar pukul 10:30 WIB, hujan sudah reda, digantikan oleh udara sejuk dan aroma kopi dari warung di sepanjang jalan. Bus berhenti di kawasan Lembang, dekat Tangkuban Perahu. Kami turun, dan aroma belerang dari kawah langsung menyengat hidung. Bu Rina membagi kelompok, dan aku, Kaelith, serta Zoryn jadi satu tim. “Jangan jauh-jauh, dan foto banyak ya!” pesan Bu Rina.
Kami berjalan menuju kawah, melewati jalan setapak berbatu dengan pemandangan hijau yang memukau. Kaelith memotret dengan kameraku, tertawa saat Zoryn berpose kaku. “Zoryn, santai dong! Kayak patung!” goda Kaelith, membuat kami tertawa. Tapi saat aku berdiri di tepi kawah, melihat asap mengepul, pikiranku kembali ke ayahku. Dia pernah bercerita tentang kunjungan ke sini bersama ibuku, dan aku merasa kosong tanpa kehadirannya.
“Lir, kamu baik-baik aja?” tanya Zoryn, mendekat saat melihat wajahku muram.
“Aku kangen Ayah,” kataku, air mata hampir jatuh. “Dia suka cerita tentang tempat ini.”
Kaelith memelukku dari samping. “Kita bikin kenangan bareng, ya? Foto di sini, trus kita tulis cerita buat Ayahmu.”
Aku mengangguk, dan kami berfoto bersama dengan latar kawah. Tapi saat Kaelith memotret, kameraku tergelincir dan hampir jatuh ke jurang kecil. Aku panik, berteriak, “Kael, hati-hati!” Untungnya, Zoryn cepat menangkapnya, tapi tangannya tergores batu tajam.
“Zoryn, kamu baik-baik aja?” tanyaku, khawatir.
“Iya, cuma lecet. Tapi kameranya aman,” jawabnya, tersenyum sambil menunjukkan luka kecil di tangannya.
“Maaf, aku yang ceroboh,” kata Kaelith, wajahnya penuh rasa bersalah.
“Gak apa-apa, yang penting kita bareng,” kataku, merasa bersyukur.
Kami melanjutkan perjalanan ke kebun stroberi, tapi hati aku masih bergetar. Di tengah tawa temen-teman yang memetik buah merah, aku duduk di bangku kayu, membuka buku catatan. “Ayah, aku di sini, tapi aku rindu kamu,” tulis aku, air mata menetes ke kertas. Kaelith dan Zoryn mendekat, membawakan stroberi.
“Lir, makan ini. Biar seneng,” kata Kaelith, menawarkan buah itu.
“Terima kasih, kalian berdua,” kataku, tersenyum tipis. Aku tahu perjalanan ini baru dimulai, dan emosi yang bercampur akan terus mengikuti. Di balik langit kelabu, aku berharap menemukan cahaya baru bersama teman-teman ini.
Jejak di Tengah Hujan
Pagi itu, sekitar pukul 10:15 WIB, Rabu, 11 Juni 2025, udara di Lembang, Bandung, terasa sejuk dengan aroma tanah basah setelah hujan ringan yang baru reda. Aku, Lirien Azarwyn, masih terdiam di bangku kayu kebun stroberi, memandangi buku catatan ayahku yang basah oleh tetesan air mataku. Study tour kami ke Bandung baru saja dimulai, tapi perasaan campur aduk—rindu pada ayahku dan kehangatan dari Kaelith Vornex serta Zoryn Thalindra—membuat hari ini terasa lebih berat dari yang kubayangkan. Cahaya matahari mulai menembus awan, menciptakan pantulan lembut di genangan air di sekitar kebun, sementara suara tawa teman-teman sekelas mengisi udara.
“Kael, Zoryn, ayo kita lanjut ke Factory Outlet! Bu Rina udah panggil,” seru salah satu temen, Ardi, dari kejauhan, membawa keranjang stroberi penuh. Kaelith mendekatiku, wajahnya penuh semangat, sementara Zoryn masih memegang kameraku dengan hati-hati, jarinya yang terluka dibalut kain sederhana.
“Lir, kamu baik-baik aja? Ayo, kita jalan bareng,” kata Kaelith, memegang tanganku dan menarikku berdiri. “Kamera ini aman sama Zoryn, aku janji nggak ceroboh lagi.”
“Aku coba seneng, Kael,” jawabku, tersenyum tipis. “Tapi tangan Zoryn gimana? Harus dibersihin dulu.”
Zoryn menggeleng pelan, menunjukkan lukanya. “Gak apa-apa, Lir. Cuma lecet kecil. Aku bawa obat, nanti aku oles di bus. Yang penting kita nikmatin perjalanan.”
Kami berjalan menuju bus, melewati deretan tanaman stroberi yang masih basah, dengan aroma manis buah itu bercampur dengan udara segar pegunungan. Bus berangkat pukul 11:00 WIB menuju kawasan Factory Outlet di Jalan Riau, Bandung. Perjalanan singkat ini diisi dengan canda tawa temen-teman yang berbagi stroberi, tapi pikiranku melayang ke ayahku. Dia pernah bercerita tentang belanja bersama ibuku di Bandung, dan aku merasa kosong tanpa kehadirannya.
Saat sampai di Factory Outlet sekitar pukul 11:30 WIB, kami disambut oleh deretan toko dengan papan nama warna-warni dan aroma kuliner dari pedagang kaki lima di sekitar. Bu Rina membagi waktu dua jam untuk berbelanja, dengan instruksi ketat untuk tidak lelet. “Jangan jauh dari kelompok, dan kumpul lagi di sini jam 13:30!” serunya, memegang pengeras suara.
Aku, Kaelith, dan Zoryn memutuskan masuk ke toko pertama, sebuah outlet sepatu dengan diskon besar. Kaelith langsung bersemangat, mencoba sepatu boots hitam, sementara Zoryn memeriksa rak dengan hati-hati. “Lir, coba ini! Cocok buat kamu,” kata Kaelith, menunjukkan sepatu cokelat dengan tali.
“Aku nggak yakin, Kael. Aku cuma mau liat-liat aja,” jawabku, masih memegang buku catatan. Tapi Zoryn mendekat, matanya penuh dorongan. “Coba deh, Lir. Bisa jadi kenangan dari trip ini. Ayahmu pasti seneng lihat kamu coba sesuatu yang baru.”
Aku ragu, tapi akhirnya mencoba sepatu itu. Saat bercermin, aku membayangkan ayahku tersenyum di sampingku, dan air mata hampir jatuh. “Bagus, ya?” kataku pelan.
“Cantik banget!” seru Kaelith, memotretku dengan kameraku. “Ini buat Ayahmu, ya?”
Aku mengangguk, tersenyum tipis. Kami melanjutkan berbelanja, membeli beberapa barang kecil, tapi hati aku masih terasa berat. Di tengah toko, hujan tiba-tiba turun deras, membuat kami buru-buru ke sudut toko untuk berteduh. “Hujan lagi,” keluh Kaelith, memandangi jendela yang dipenuhi tetesan air. “Semoga nggak banjir.”
Zoryn duduk di sampingku, membuka bukunya. “Lir, tulis tentang hujan ini. Bisa jadi bagian dari cerita kamu sama Ayah.”
Aku mengangguk, mulai menulis, “Hujan turun, membawa rindu, aku berdiri di tengah toko, mengingat suaramu.” Kaelith membaca, lalu memelukku. “Bagus, Lir. Ayah pasti denger.”
Setelah hujan reda sekitar pukul 12:30 WIB, kami melanjutkan ke kafe kecil di dalam outlet untuk makan siang. Aroma kopi dan roti hangat menyapa kami, dan kami memesan nasi goreng serta jus stroberi. “Lir, coba ini. Enak banget,” kata Kaelith, mendorong piringnya ke arahku.
“Terima kasih,” jawabku, mencicipi dengan hati-hati. Tapi saat mengunyah, pikiranku melayang ke ayahku lagi. Dia suka masak nasi goreng untukku, dan rasanya hari ini berbeda tanpa kehadirannya. “Kael, Zoryn, kalian pernah rindu seseorang sampe nggak bisa makan?” tanyaku, suaraku parau.
Kaelith menatapku, matanya lembut. “Pernah, Lir. Saat aku kehilangan kakekku. Tapi aku belajar nikmatin kenangan sama dia lewat makanan yang dia suka.”
Zoryn mengangguk. “Aku juga, pas ibuku sakit. Tapi aku tulis cerita buat dia, dan itu bantu aku.”
Aku tersenyum tipis, merasa sedikit terhibur. “Makasih, kalian. Aku coba tulis lebih banyak.”
Setelah makan, kami kembali ke bus tepat waktu. Perjalanan ke destinasi berikutnya, Observatorium Bosscha, dimulai pukul 14:00 WIB. Jalanan basah dan berkelok membuat bus bergerak pelan, dan aku memanfaatkan waktu untuk menulis lagi. “Hujan membasahi jalan, tapi harapanku tetap ada,” tulis aku, mengingat kata-kata ayahku tentang ketabahan.
Saat sampai di Observatorium Bosscha sekitar pukul 15:00 WIB, langit sudah cerah, menampilkan pemandangan hijau yang memukau. Kami turun, dan aroma rumput basah menyapa kami. Bu Rina memandu kami ke dalam gedung tua dengan teleskop besar, menjelaskan sejarah tempat itu. Tapi saat aku memotret langit bersama Kaelith, aku tersandung akar pohon dan jatuh, membuat kameraku terlepas dari tangan.
“Lir!” teriak Kaelith, berlari membantu. Zoryn cepat mengambil kamera, tapi lensa depannya retak. “Maaf, Lir. Ini salahku,” kata Zoryn, wajahnya penuh rasa bersalah.
Aku menatap kamera itu, air mata jatuh. “Ini milik Ayahku… aku nggak bisa ganti,” kataku, suaraku bergetar.
Kaelith memelukku. “Kita cari cara, Lir. Ini nggak sia-sia, kita punya fotonya di dalam.”
Zoryn mengangguk. “Aku bantu perbaiki. Aku janji.”
Malam itu, di penginapan sederhana, aku duduk di balkon, memandangi hujan yang turun lagi. “Ayah, maaf kameramu rusak,” bisikku, memegang buku catatan. Tapi di balik kesedihan, aku merasa ada kekuatan dari Kaelith dan Zoryn, yang membuatku yakin perjalanan ini akan membawa cahaya baru.
Cahaya di Tengah Badai
Pagi itu, sekitar pukul 07:15 WIB, Rabu, 11 Juni 2025, sinar matahari mulai menyelinap melalui celah-celah jendela penginapan sederhana di Lembang, Bandung, membawa harapan tipis setelah hujan semalam. Aku, Lirien Azarwyn, terbangun dengan perasaan berat di dada, pikiranku masih dipenuhi oleh gambar kamera tua ayahku yang lensa depannya retak akibat kejadian di Observatorium Bosscha. Udara pagi terasa sejuk dengan aroma rumput basah dan kopi dari dapur penginapan, sementara suara burung berkicau di luar menjadi satu-satunya kehangatan di tengah kesedihan yang kualami. Aku duduk di tepi ranjang, memandangi buku catatan ayahku yang terbuka di tangan, penuh dengan tulisan dan kenangan yang kini terasa semakin rapuh.
“Lirien, bangun! Sarapan udah siap, kita berangkat jam delapan,” panggil Kaelith Vornex dari luar pintu, suaranya ceria seperti biasa. Aku berjalan keluar, menemukan Kaelith dan Zoryn Thalindra duduk di meja kayu dengan piring nasi goreng dan teh hangat. Kaelith, dengan rambut pirangnya yang sedikit berantakan, tersenyum lebar, sementara Zoryn, dengan rambut hitam panjangnya yang rapi, masih memegang kamera rusak itu dengan ekspresi penuh rasa bersalah.
“Lir, maaf banget kemarin,” kata Zoryn, menyerahkan kamera itu kepadaku. “Aku udah coba bersihin, tapi lensa retaknya nggak bisa diperbaiki gitu aja.”
Aku mengambil kamera itu, menatap lensa yang retak dengan hati bergetar. “Gak apa-apa, Zory. Yang penting foto-fotonya masih ada. Aku cuma sedih karena ini milik Ayah,” jawabku, suaraku parau.
Kaelith memelukku dari samping. “Kita cari tukang servis di Bandung hari ini, ya? Pasti ada yang bisa bantu. Lagian, kita punya rencana ke Farm House dan kawah putih. Lupain sedihnya bentar, Lir.”
Aku mengangguk, mencoba tersenyum. “Terima kasih, kalian berdua. Aku coba ikut seneng.”
Setelah sarapan, kami berkumpul di lobi penginapan pukul 08:00 WIB. Bu Rina, dengan jaket hijau dan daftar absen di tangan, memandu kami menuju bus. “Hari ini kita ke Farm House Lembang dan Kawah Putih Ciwidey. Jaga barang kalian, dan jangan lelet!” serunya, suaranya tegas namun penuh semangat. Bus berangkat pukul 08:30 WIB, melewati jalan berkelok dengan pemandangan hijau yang memukau, ditemani aroma bunga dari kebun di sepanjang jalan.
Saat sampai di Farm House sekitar pukul 09:15 WIB, kami disambut oleh bangunan bergaya Eropa dengan atap merah dan taman bunga warna-warni. Aroma jerami dan susu segar dari kandang sapi membaur di udara sejuk. Kami turun, dan Bu Rina membagi kelompok lagi. Aku, Kaelith, dan Zoryn berjalan menuju taman bunga, tempat Kaelith langsung berpose di depan bunga matahari besar. “Lir, foto aku! Pake kameramu, meski retak,” katanya, tersenyum lebar.
Aku ragu, tapi Zoryn mendorongku. “Coba aja, Lir. Kita lihat hasilnya nanti.” Aku mengangguk, memotret dengan hati-hati. Hasilnya agak buram karena lensa retak, tapi senyum Kaelith tetap terlihat jelas. “Bagus, ya?” kataku, tersenyum tipis.
“Iya, ini kenangan kita,” jawab Kaelith, memelukku. Tapi saat kami berjalan ke kandang kelinci, aku tersandung lagi, kali ini jatuh ke genangan air kecil. Celana jeansku basah, dan aku merasa malu. “Lir, kamu baik-baik aja?” tanya Zoryn, membantu aku berdiri.
“Aku gak apa-apa, cuma malu,” kataku, tertawa kecil. Kaelith mengambil tisu dari tasnya, membersihkan tanganku. “Gak apa-apa, Lir. Kita ketawa bareng aja,” katanya, membuat kami tertawa bersama.
Kami melanjutkan ke Kawah Putih Ciwidey setelah makan siang sederhana di Farm House, berangkat pukul 12:30 WIB. Perjalanan satu jam diisi dengan canda tawa, tapi pikiranku tetap gelisah. Saat sampai sekitar pukul 13:30 WIB, kami disambut oleh pemandangan kawah dengan air hijau keabu-abuan dan aroma belerang yang menyengat. Hujan tiba-tiba turun lagi, membuat kami buru-buru mengenakan jas hujan yang disediakan panitia.
“Lir, hati-hati licin!” seru Kaelith, memegang tanganku saat kami berjalan di jalan setapak. Tapi di tengah jalan, aku tergelincir dan jatuh, membuat kameraku terlepas lagi. Kali ini, lensa retaknya memburuk, dan bagian dalamnya terlihat rusak. Aku menangis, memeluk kamera itu. “Ayah, maaf… aku nggak bisa jaga ini,” kataku, suaraku tersendat.
Zoryn dan Kaelith cepat mendekat, memelukku. “Lir, kita cari tukang servis sekarang. Kita nggak nyerah,” kata Zoryn, matanya penuh tekad. Kaelith mengangguk. “Iya, kita tanya Bu Rina. Pasti ada solusi.”
Kami melapor ke Bu Rina, yang langsung menghubungi panitia untuk mencari bengkel kamera di Ciwidey. Setelah menunggu di posko selama satu jam, seorang teknisi tua datang dengan kotak alat. “Ini bisa diperbaiki, tapi butuh waktu dan biaya,” katanya, memeriksa kameraku. Aku menatapnya, harap-harap cemas. “Berapa lama, Pak?” tanyaku.
“Besok pagi, kalau suku cadang ada,” jawabnya. Bu Rina setuju membiayai perbaikan dari dana study tour, dan kami menyerahkan kamera itu dengan berat hati. “Lir, kita tunggu besok. Sekarang nikmatin kawahnya,” kata Kaelith, mencoba menghibur.
Kami melanjutkan perjalanan ke tepi kawah, tapi hati aku masih terasa hampa. Di tengah pemandangan indah, aku duduk di batu besar, menulis di buku catatan. “Hujan turun, membawa duka, tapi temenku jadi cahaya,” tulis aku, air mata menetes. Zoryn mendekat, membacanya. “Bagus, Lir. Ayahmu pasti seneng lihat kamu kuat.”
Malam itu, di penginapan, aku tidak bisa tidur. Aku duduk di balkon, memandangi hujan yang turun lagi, memegang buku ayahku. “Ayah, maaf kameramu rusak. Tapi aku janji perbaiki,” bisikku, berharap keajaiban terjadi besok. Di balik badai emosi, aku merasa ada kekuatan dari Kaelith dan Zoryn, yang membuatku yakin perjalanan ini akan membawa penyelesaian.
Harapan di Ujung Perjalanan
Pagi itu, tepat pukul 07:45 WIB, Rabu, 11 Juni 2025, sinar matahari pagi menyelinap melalui celah-celah jendela penginapan sederhana di Lembang, Bandung, membawa nuansa hangat setelah hujan semalam yang membasahi jiwa. Aku, Lirien Azarwyn, terbangun dengan perasaan bercampur antara harap dan cemas, pikiranku dipenuhi oleh nasib kamera tua ayahku yang kini berada di tangan teknisi di Ciwidey. Udara pagi terasa segar dengan aroma rumput basah dan bunga liar yang terbawa angin sepoi-sepoi, sementara suara ayam berkokok di kejauhan menjadi pengingat bahwa hari ini adalah hari terakhir study tour kami. Aku duduk di tepi ranjang, memandangi buku catatan ayahku yang terbuka di meja samping, penuh dengan tulisan-tulisan yang menjadi saksi perjalanan emosiku.
“Lirien, bangun! Sarapan udah siap, kita ambil kamera jam sembilan,” panggil Kaelith Vornex dari luar pintu, suaranya penuh semangat seperti biasa. Aku bergegas ke luar, menemukan Kaelith dan Zoryn Thalindra duduk di meja kayu dengan piring nasi uduk dan teh hangat. Kaelith, dengan rambut pirangnya yang sedikit kusut, tersenyum lebar, sementara Zoryn, dengan rambut hitam panjangnya yang rapi, memegang peta sederhana yang ia gambar semalam.
“Lir, semoga kameramu baik-baik aja hari ini,” kata Zoryn, menatapku dengan mata penuh harap. “Aku udah tanya panitia, teknisinya bilang mungkin selesai pagi ini.”
“Terima kasih, Zory. Aku cuma takut nggak bisa perbaiki,” jawabku, suaraku sedikit gemetar. Kaelith memelukku dari samping, mencoba menghibur. “Santai, Lir. Kalau nggak selesai, kita cari cara lain. Yang penting kita bareng.”
Setelah sarapan, kami berkumpul di lobi penginapan pukul 08:30 WIB. Bu Rina, dengan jaket hijau dan daftar absen di tangan, mengumumkan rencana hari ini. “Kita ambil kamera di Ciwidey jam sembilan, terus ke Dago Pakar buat jalan-jalan terakhir sebelum pulang. Jaga barang kalian!” serunya, suaranya tegas namun penuh semangat. Bus berangkat tepat waktu, melewati jalan berkelok dengan pemandangan hijau yang semakin memikat di bawah langit cerah.
Saat sampai di bengkel kecil di Ciwidey sekitar pukul 09:10 WIB, hatiku berdetak kencang. Teknisi tua itu menyambut kami dengan senyum hangat, membawa kotak alat dan kamera ayahku yang dibungkus kain. “Ini selesai, Neng. Lensa baru udah dipasang, tapi mekanisme dalamnya masih agak lelet. Coba tes dulu,” katanya, menyerahkan kamera itu kepadaku.
Aku mengambilnya dengan tangan gemetar, menyalakannya dengan hati-hati. Layar menyala, dan aku mencoba memotret Kaelith yang berpose di depan bengkel. Hasilnya sedikit buram, tapi kamera itu hidup lagi. Air mata jatuh dari mataku. “Ayah, kamu kembali,” bisikku, memeluk kamera itu erat. Kaelith dan Zoryn memelukku, menangis bahagia bersama.
“Bagus banget, Lir! Kita punya kenangan lagi,” kata Kaelith, memotret kami bertiga dengan kameranya sendiri. Zoryn tersenyum. “Ini kemenangan kita. Ayahmu pasti seneng.”
Kami melanjutkan perjalanan ke Dago Pakar sekitar pukul 10:00 WIB, sebuah kawasan hijau dengan jalur hiking dan pemandangan kota Bandung dari ketinggian. Aroma pinus dan tanah basah menyapa kami saat turun dari bus. Bu Rina membagi waktu satu jam untuk menikmati pemandangan dan berfoto. Aku, Kaelith, dan Zoryn berjalan menuju titik pandang, melewati jalan setapak yang licin namun indah dengan bunga liar di sisi.
“Lir, foto kita di sini!” seru Kaelith, berdiri di depan panorama kota yang berkabut tipis. Aku mengangguk, memotret dengan kameraku yang baru diperbaiki. Hasilnya lebih baik dari yang kukira, dan aku tersenyum lebar untuk pertama kalinya. “Bagus, ya? Ayah pasti suka,” kataku, menunjukkan foto itu.
“Iya, ini kayak lukisan,” kata Zoryn, mengambil bukunya untuk mencatat pengalaman. Tapi saat kami berjalan lebih jauh, Kaelith tergelincir di lumpur dan jatuh, membuat celananya kotor. “Kael!” teriakku, membantu dia berdiri. Zoryn tertawa, “Kamu emang bencana berjalan, ya?”
Kaelith tertawa juga, membersihkan lumpur dari tangannya. “Gak apa-apa, ini bagian dari petualangan! Foto aku gini, Lir!” Aku memotretnya dengan ekspresi lucu, dan kami tertawa bersama, melupakan kesedihan sementara.
Saat kembali ke bus pukul 11:30 WIB, aku duduk di dekat jendela, memandangi pemandangan terakhir Bandung. Perjalanan pulang dimulai pukul 12:00 WIB, dan aku memanfaatkan waktu untuk menulis di buku catatan. “Hujan membawa duka, tapi temen dan kamera jadi cahaya, Ayah,” tulis aku, air mata bahagia menetes. Kaelith membaca, lalu memelukku. “Bagus, Lir. Ini cerita kita.”
Sepanjang perjalanan pulang, kami berbagi cerita dan tawa, tapi hatiku juga dipenuhi rasa syukur. Saat sampai di Sukabumi sekitar pukul 15:30 WIB, ibuku menjemputku dengan senyum hangat. “Lirien, kamu kelihatan bahagia,” katanya, memelukku.
“Iya, Bu. Aku nemuin cahaya di tengah badai,” jawabku, menunjukkan kamera dan buku catatan. Malam itu, di rumah, aku duduk di beranda, memandangi langit yang mulai gelap, memegang kamera ayahku. “Ayah, terima kasih udah kasih aku kekuatan lewat perjalanan ini,” bisikku, merasa damai. Petualangan di Bandung meninggalkan jejak tak terlupakan, sebuah kisah persahabatan dan harapan yang akan kukenang selamanya.
“Petualangan di Lembah Bandung” menyisakan pelajaran berharga tentang kekuatan persahabatan dan ketahanan di tengah cobaan, ditambah pesona alam Bandung yang memukau pada 2025 ini. Cerita ini tidak hanya menghibur, tetapi juga mengajak pembaca untuk menghargai setiap momen perjalanan, menjadikannya wajib dibaca bagi pencari inspirasi di era modern.
Terima kasih telah menikmati “Petualangan di Lembah Bandung” bersama kami. Semoga kisah ini membawa inspirasi dan kehangatan dalam hati Anda. Sampai jumpa di artikel menarik berikutnya, dan jangan lupa bagikan pengalaman ini dengan teman-teman Anda!