Daftar Isi
Gimana rasanya kalau tiba-tiba kamu harus sendirian di tengah hutan, jauh dari hiruk-pikuk dunia luar? Gak ada yang kamu kenal, cuma alam dan kamu sendiri. Di cerpen ini, kita bakal ngikutin perjalanan Diara yang mutusin buat nyelametin dirinya di tempat yang paling jauh dari kenyamanan.
Tapi, jangan salah, di tengah hutan itu, dia malah nemuin kedamaian yang gak pernah dia duga sebelumnya. Siap-siap, karena ini bukan sekadar cerita petualangan biasa, tapi lebih ke perjalanan batin yang bikin kamu mikir: kadang, kita perlu jauh dari semuanya buat nemuin siapa diri kita yang sesungguhnya.
Petualangan di Hutan
Jejak yang Tertinggal di Hutan
Langit malam ini terasa berbeda. Setiap langkah yang diambil Diara seolah sudah direncanakan oleh hutan itu sendiri. Angin malam yang menyentuh kulitnya seperti pesan bisu, membawa aroma tanah yang lembap dan daun-daun basah. Sejak pertama kali memasuki hutan ini, dia merasakan ada yang aneh. Bukan hanya karena hutan yang gelap, melainkan karena hutan ini seperti hidup, memandangnya, mengamatinya dengan caranya sendiri.
Diara berjalan pelan di jalan setapak yang sempit, berpadu dengan suara gemericik air yang terdengar entah dari mana. Sesekali, daun kering yang sudah berguguran terinjak oleh sepatu botnya, mengeluarkan suara renyah yang terdengar jelas dalam heningnya malam.
“Apakah kamu yakin mau lanjut?” suara lembut itu tiba-tiba terdengar.
Diara berhenti sejenak, mendengarkan dengan seksama. Suara itu tidak datang dari manusia, itu suara hewan. Tanpa menoleh, dia tahu siapa yang berbicara. Sebuah suara halus milik rubah yang muncul entah dari mana. Rubah itu sudah menjadi teman tak terduga di perjalanan ini. Meskipun tidak berbicara dalam arti manusia, rubah itu bisa mengerti, bisa berbagi cerita.
“Aku tidak tahu, sebenarnya.” Diara menjawab, sedikit terengah. “Tapi aku merasa hutan ini akan memberikan jawabannya.”
Rubah itu berjalan di sampingnya, menatapnya dengan matanya yang tajam. “Kau merasa terhubung dengan tempat ini, bukan? Hutan ini, lebih dari sekedar tempat yang penuh misteri. Itu adalah dunia sendiri. Setiap inci tanahnya memiliki cerita.”
Diara mengangguk pelan, meskipun tidak terlihat. Sudah banyak yang diceritakan tentang hutan ini. Orang-orang yang mencoba untuk menaklukannya, dan beberapa dari mereka yang tidak pernah kembali. Namun ada satu hal yang membuat Diara tak bisa mundur. Cerita yang mengatakan bahwa hanya mereka yang benar-benar mengerti, yang akan mampu kembali dengan pengetahuan yang lebih dalam tentang dunia ini.
“Kadang, ada sesuatu yang lebih besar dari sekedar rasa takut, Rubah.” Dia berhenti sejenak dan memandang ke arah langit, mencoba menyesuaikan diri dengan gelapnya malam. “Aku rasa aku harus tahu lebih banyak.”
Rubah itu meringkuk di dekat kakinya, seolah setuju dengan keputusan itu. Mereka melanjutkan perjalanan, masuk lebih dalam ke hutan yang tak pernah tidur. Langit semakin gelap, hanya cahaya bulan yang remang-remang mampu menembus celah-celah dedaunan. Setiap langkah Diara semakin menyatu dengan dunia ini, dengan alam yang seolah berbicara dalam bahasa yang sulit dimengerti.
“Apakah kamu tahu kenapa aku bisa bicara?” tanya rubah itu tiba-tiba, memecah kesunyian.
Diara tersenyum tipis, tetap berjalan. “Karena kamu bagian dari hutan ini. Hutan ini memilih siapa yang bisa mendengarkan dan siapa yang bisa berbicara.”
Rubah itu tidak menjawab, namun ada getaran halus yang Diara rasakan. Sepertinya hewan ini tahu lebih banyak daripada yang Diara perkirakan. Bahkan lebih dari itu, rubah ini tampaknya sudah menjadi bagian dari hutan ini, seolah ia adalah penjaga yang tidak pernah tertidur.
Mereka berjalan lebih dalam, dan saat itu Diara bisa merasakan bahwa segala sesuatu di sekitar mereka mulai berubah. Suasana menjadi semakin hening. Bahkan suara angin pun hampir tak terdengar. Sesekali, ada kilatan mata yang terlihat dari balik semak-semak, binatang-binatang malam yang mengamatinya. Namun semuanya tetap diam, seakan menunggu.
“Rubah, apakah hutan ini pernah mengizinkan siapa pun keluar dengan selamat?” tanya Diara, suaranya terdengar lebih serius.
Rubah itu berhenti, memutar kepalanya ke arah Diara. “Tentu saja. Tapi hanya mereka yang tidak berusaha menaklukkan hutan ini yang bisa keluar dengan selamat.”
Diara terdiam, mencoba mencerna kata-kata rubah itu. Dia merasakan kebenaran di dalamnya, tetapi juga rasa penasaran yang semakin dalam. Hutan ini bukan untuk ditaklukkan, tapi untuk dipahami.
Mereka terus berjalan, menelusuri jalan setapak yang semakin sempit dan terhalang oleh akar-akar pohon yang keluar dari tanah. Setiap langkah terasa semakin berat, dan udara semakin dingin. Meski begitu, Diara merasa tenang, seakan dia diterima dengan tangan terbuka oleh hutan ini.
Akhirnya, mereka tiba di sebuah clearing, sebuah tempat terbuka yang dikelilingi oleh pepohonan tinggi. Di tengah clearing itu, ada sebuah batu besar yang datar, cukup luas untuk dijadikan tempat duduk atau berbaring.
Diara duduk di atas batu itu, melepaskan tas punggungnya dan meletakkannya di samping. Dia menatap langit yang dipenuhi bintang, setiap titik cahaya seakan menceritakan kisah-kisah lama yang hanya bisa dipahami oleh mereka yang benar-benar mau mendengarkan.
“Tempat ini… aku bisa merasakannya,” Diara berkata pelan, hampir berbisik. “Rubah, apakah kamu tahu kenapa aku merasa seperti ini? Seperti aku sudah pernah berada di sini sebelumnya.”
Rubah itu mendekat, duduk di dekat kaki Diara. “Ini adalah tempat di mana jiwa-jiwa yang tidak terlupakan beristirahat. Hutan ini tahu siapa yang datang dan siapa yang pergi. Dan mereka yang datang dengan niat murni akan menemukan sesuatu yang jauh lebih besar.”
Diara menghela napas panjang. Dia merasa seperti berada di persimpangan antara dua dunia. Di satu sisi, dunia luar yang penuh keramaian dan kebisingan. Di sisi lain, dunia ini—hutan yang damai, penuh dengan rahasia dan pengetahuan yang tersembunyi.
“Tidurlah di sini malam ini,” suara rubah itu terdengar lembut. “Hutan ini akan menjaga tidurmu.”
Diara menatap langit yang semakin gelap. Tanpa ragu, dia berbaring di atas batu besar itu, membiarkan angin malam menyentuh wajahnya. Di saat itu, dia tahu bahwa malam ini, dia tidak akan sendirian. Hutan ini akan membantunya menemukan jawabannya.
Di Bawah Cahaya Bintang yang Terlupakan
Malam semakin dalam, dan udara di sekitar Diara terasa lebih sejuk. Hanya suara lembut angin yang membelai dedaunan dan gelegar serangga malam yang mengisi ruang sunyi itu. Dia berbaring di batu besar itu, tubuhnya terasa rileks meskipun pikirannya tetap aktif. Bintang-bintang yang bertaburan di langit menjadi saksi bisu perjalanan batinnya. Mungkin hutan ini memang lebih tahu dari yang dia kira, lebih bijaksana daripada banyak orang yang pernah ditemuinya.
Rubah itu masih setia duduk di dekatnya, tampak lebih diam malam ini, seolah sedang mengamati setiap pergerakan hutan yang bergelora. Diara menatap rubah itu, ada kesan tenang yang selalu ada di sekitarnya, namun juga sebuah kekuatan yang tersembunyi. Tak hanya alam yang menarik, tetapi juga makhluk-makhluk kecil seperti rubah ini, yang tak terlihat seperti hewan biasa.
“Rubah,” suara Diara terpecah oleh sunyi. “Aku merasa seperti… semuanya di sini punya tujuan. Hutan ini, aku, kamu, bahkan setiap bintang di atas sana.”
Rubah itu menatapnya, lalu mengangguk pelan, seakan setuju. Namun, tidak ada jawaban langsung. Hanya angin yang membelai pipinya, dan di kejauhan, suara riuh beberapa makhluk malam yang tampaknya sedang beraktivitas.
“Tidurku berbeda, ya? Rasanya aku seolah mendalam ke dalam dunia yang jauh lebih luas. Lebih hidup.” Diara menghela napas, suara itu datang lebih lembut, seperti terlepas dari beban yang tak kasat mata. “Aku pernah membaca tentang ini. Tentang alam yang bisa berbicara jika kita mendengarkan dengan benar.”
Tiba-tiba, rubah itu berdiri, menggeliat, dan mulai berjalan ke arah semak-semak yang rimbun. Diara, yang masih terbaring, mengikuti gerakan rubah dengan matanya, penasaran apa yang akan terjadi selanjutnya.
Dengan gerakan gesit, rubah itu melompat ke sebuah batu besar yang tersembunyi di balik semak-semak. Dia menatap Diara dan melambaikan ekornya, seperti mengundang untuk mengikuti. Tanpa banyak berpikir, Diara bangkit, meraih tas di sampingnya, dan berjalan ke arah rubah.
Di sana, di balik semak-semak itu, Diara menemukan sesuatu yang tak pernah dia duga sebelumnya. Sebuah pohon besar dengan batang yang bercahaya samar, seolah-olah dipenuhi dengan ratusan titik cahaya kecil. Cahaya itu tidak menyilaukan, namun cukup untuk memberi penerangan pada ruang sekitar, seperti gemerlap bintang yang jatuh ke bumi.
“Ini… pohon apa ini, Rubah?” Diara bertanya dengan takjub. Setiap gerakan, setiap helai daun di pohon itu, tampak begitu berirama dengan alam. Seperti dunia ini bukan hanya hutan, tetapi sebuah tempat yang hidup dengan keseimbangan yang sangat hati-hati.
Rubah itu mendekat, berdiri di bawah pohon, dan menatap Diara dengan pandangan yang penuh arti. “Pohon ini adalah penjaga pengetahuan. Hanya mereka yang memilih untuk mendengarkan yang akan memahami.”
Diara menggelengkan kepala, sedikit bingung. “Penjaga pengetahuan? Apa maksudmu?”
Rubah itu mengangkat cakarnya sedikit, seakan mengundang Diara untuk mendekat. “Bukan hanya pohon ini, tetapi seluruh hutan ini. Setiap pohon, setiap batu, bahkan setiap akar yang menembus tanah menyimpan cerita-cerita lama. Cerita yang tak pernah diungkapkan. Dan kamu, Diara, kamu datang untuk mendengarnya.”
Mata Diara terbelalak, tak percaya. “Mendengarnya? Tapi aku hanya berjalan tanpa tujuan yang jelas… Aku hanya ingin tahu lebih banyak.”
“Dan itu adalah tujuanmu,” jawab rubah itu dengan suara yang lebih dalam dari sebelumnya. “Tanyakan pada pohon ini, dan ia akan menjawabmu.”
Dengan perasaan ragu tapi penasaran, Diara mendekati pohon bercahaya itu, merasakan udara dingin yang tiba-tiba mengelilinginya. Tangan kanannya terulur pelan, menyentuh kulit pohon yang tampaknya tidak biasa, namun terasa hidup di bawah telapak tangan. Sebuah getaran lembut menyapu seluruh tubuhnya, seperti dunia tiba-tiba mengungkapkan sesuatu yang sudah lama terkubur.
Tiba-tiba, suara bisikan datang, bukan dari mulut rubah atau makhluk lain, tetapi langsung dari pohon itu. “Diara… kamu mencari sesuatu yang lebih dari sekadar pengetahuan… kamu mencari pemahaman yang dalam.”
Diara menarik napas, merasa seperti terhubung dengan sesuatu yang jauh lebih besar. “Aku… aku merasa ada sesuatu yang hilang dalam diriku. Sesuatu yang aku tidak bisa temukan di dunia luar.”
“Yang hilang itu adalah keyakinanmu akan dirimu sendiri,” bisikan pohon itu melanjutkan, terdengar jelas, namun sangat lembut. “Kamu telah kehilangan dirimu dalam keramaian dunia yang kamu tinggali.”
Diara tertegun, rasa aneh menyelimutinya. Apa yang pohon itu katakan sangat benar, lebih dari yang dia perkirakan. Selama ini, dia merasa ada kekosongan dalam dirinya—sesuatu yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Dunia luar yang penuh kesibukan itu, perasaan kesendirian yang datang meskipun dikelilingi banyak orang. Semua itu terasa semakin kuat malam ini.
“Bagaimana aku bisa menemukan itu lagi?” tanyanya dengan suara rendah, hampir seperti bisikan.
Pohon itu seakan tersenyum dengan cara yang tidak bisa Diara lihat, namun bisa dia rasakan. “Cobalah tidur di bawah cahayaku. Biarkan alam berbicara. Jangan takut untuk mendengarkan.”
Dengan perasaan yang campur aduk, Diara mengangguk, merasa sudah tidak ada lagi jalan mundur. Meskipun hutan ini terasa asing, ada perasaan aneh yang membuatnya ingin tinggal lebih lama, untuk mendengar lebih banyak, untuk memahami lebih dalam.
Diara berbaring di tanah lembap di bawah pohon bercahaya, membiarkan cahaya itu menyelimuti tubuhnya. Angin berhembus pelan, dan suara alam mulai melantunkan nyanyian malam. Diara menutup matanya, dan untuk pertama kalinya, dia merasa seolah-olah dunia ini benar-benar mengizinkannya untuk tidur—untuk benar-benar beristirahat dalam pengetahuan yang selama ini hilang.
Ketika Alam Membuka Mata
Diara terbangun dengan rasa yang berbeda. Pagi itu datang tanpa suara gaduh, hanya cahaya lembut yang menyentuh wajahnya. Hutan di sekitar masih dalam kebisuan, seolah mengamati langkah pertama seseorang yang baru lahir. Perlahan, Diara membuka matanya, dan yang pertama dia rasakan adalah kedamaian yang tak pernah dia rasakan sebelumnya. Tidur semalam bukan hanya sekadar tidur; itu adalah proses penyembuhan yang luar biasa.
Rubah itu duduk tidak jauh dari tempat Diara berbaring, memandangnya dengan tatapan yang penuh arti. Tubuhnya tetap kecil dan gesit, tapi ada sesuatu yang berbeda pada pandangannya hari ini. Diara bisa merasakan bahwa rubah itu tahu lebih banyak tentang dirinya daripada yang dia duga.
“Bagaimana rasanya?” tanya rubah itu dengan suara yang terdengar lebih dalam dari sebelumnya, seolah setiap kata yang diucapkan membawa makna yang lebih dalam.
Diara duduk, merenggangkan tubuhnya yang kaku setelah semalam tidur di tanah yang keras, namun tidak terasa tak nyaman. “Aku… merasa lebih ringan. Seperti… sesuatu yang berat di dalam diriku mulai menghilang,” jawabnya pelan, suaranya penuh rasa takjub.
“Karena kamu sudah mulai mendengarkan,” rubah itu menjawab dengan bijaksana, seakan mengetahui persis apa yang Diara rasakan. “Kamu telah mendengarkan alam, mendengarkan dirimu sendiri.”
Diara melihat sekeliling, seperti baru pertama kali melihat dunia ini. Setiap daun yang berayun di pepohonan, setiap embusan angin yang berhembus, dan setiap langkah kaki yang diambilnya terasa lebih berarti. Alam yang dulu terlihat hanya sebagai latar belakang kehidupannya, kini menjadi bagian yang hidup. Sebuah kesatuan yang tak terpisahkan.
“Apakah ini yang aku cari? Mencari kedamaian dengan cara seperti ini?” tanya Diara, lebih pada dirinya sendiri, namun rubah itu tetap menjawab.
“Kadang, kita terlalu sibuk mencari jawaban di luar sana. Tapi jawabannya selalu ada di dalam diri kita, Diara. Alam hanya mengajarkan kita untuk mengingatnya.”
Diara terdiam. Kata-kata rubah itu menggema dalam hatinya. Tak ada yang salah dengan dunia luar, hanya saja, dia terlalu sering mengabaikan dirinya sendiri dalam keramaian. Sekarang, seolah alam ini mengingatkannya tentang sesuatu yang jauh lebih dalam, lebih tenang, lebih asli.
Dia mulai berjalan, mengikuti rubah yang kembali melompat ringan di depannya. Setiap langkahnya terasa lebih yakin. Diara merasa seolah dia sedang melangkah dalam dunia yang baru, dunia yang lebih mengerti siapa dia sebenarnya. Tidak ada tekanan, tidak ada ekspektasi, hanya perjalanan yang perlahan mengungkapkan bagian-bagian dirinya yang terlupakan.
“Ke mana kita akan pergi sekarang?” tanya Diara, mengikuti langkah rubah yang semakin cepat.
“Ke tempat di mana kamu akan menemukan lebih banyak hal untuk dipelajari,” jawab rubah itu tanpa menoleh. “Di tempat di mana alam dan hidup saling bersinergi. Di tempat itu, kamu akan lebih memahami tujuan perjalananmu.”
Diara menatap rubah itu, ada rasa ingin tahu yang semakin dalam. “Apa itu tempat yang kamu maksud?”
Rubah itu tidak langsung menjawab. Sebaliknya, ia berlari lebih cepat, dan Diara segera menyusulnya. Mereka melewati pohon-pohon besar yang menjulang, semak-semak lebat, dan sungai kecil yang mengalir jernih. Alam seakan hidup bersama mereka, memberikan jalan, membuka pintu-pintu yang dulu tidak terlihat.
Beberapa jam berlalu sebelum akhirnya mereka tiba di sebuah tempat yang tidak Diara duga. Sebuah lembah yang luas, dikelilingi oleh tebing-tebing tinggi yang ditutupi oleh tanaman hijau. Di tengah lembah itu, ada sebuah danau kecil dengan air yang sangat jernih, permukaannya begitu tenang, seolah menjadi kaca yang memantulkan langit biru tanpa awan.
Diara berdiri di tepi danau itu, mengamati permukaan air yang sangat jelas, seolah mengundangnya untuk melihat lebih jauh. “Apa yang ada di sini?” tanyanya, suara hati yang penasaran mengalir dalam setiap kata.
“Tempat ini adalah tempat untuk merenung,” jawab rubah, suaranya penuh dengan kesungguhan. “Di sini, kamu akan melihat lebih banyak daripada yang terlihat oleh mata. Ini adalah tempat di mana kamu bisa berhadapan dengan dirimu sendiri.”
Diara menunduk, merasa jantungnya berdebar kencang. Air danau itu begitu jernih, seolah-olah dia bisa melihat ke dalam dirinya sendiri. Dia merasakan ketenangan yang mendalam, namun juga ada rasa takut yang mengikutinya. Takut untuk melihat kebenaran yang mungkin ada di dalam dirinya.
Dia duduk di dekat tepi danau, memandang air itu dalam-dalam. Perlahan, bayangan dirinya mulai terbentuk di permukaan air. Namun, bayangan itu tidak hanya dirinya sekarang, melainkan bayangan dari segala perjalanan hidupnya. Diara melihat dirinya yang masih kecil, berlarian di padang rumput, lalu tumbuh menjadi remaja yang penuh keraguan, dan akhirnya menjadi dirinya yang sekarang—seorang wanita yang mencari makna dalam kehidupan yang lebih besar.
Diara memejamkan mata, mengambil napas dalam-dalam, mencoba menerima semua yang dia lihat. “Aku tak tahu harus bagaimana,” katanya, suaranya bergetar.
Rubah itu mendekat, duduk di sampingnya. “Tak ada yang perlu kamu takuti, Diara. Semua itu adalah bagian dari perjalananmu. Untuk menemukan siapa dirimu, kamu harus berani menerima semuanya, baik yang terlihat atau yang tersembunyi.”
Diara membuka matanya, menghadap bayangannya yang masih tercermin di danau. Dalam keheningan itu, dia mulai menyadari satu hal penting—bahwa perjalanan ini bukan hanya tentang mencari jawaban dari luar, tetapi tentang memeluk segala bagian dari dirinya sendiri, bahkan yang paling gelap sekalipun.
“Mungkin, aku sudah mulai menemukan sesuatu,” kata Diara, suaranya lebih mantap sekarang. “Bukan jawaban yang aku cari, tapi sebuah pemahaman. Tentang diriku. Tentang hidup.”
Rubah itu tersenyum kecil, seolah-olah berkata, “Kamu mulai mengerti.”
Kembali ke Alam
Diara duduk lama di tepi danau itu, sesekali merasakan angin sepoi-sepoi yang menggoyangkan dedaunan di sekelilingnya. Langit mulai berubah warna, menandakan bahwa sore sudah tiba, namun kedamaian yang dia rasakan tetap mengalir dalam dirinya. Seolah-olah alam ini, tempat yang sepi dan penuh misteri, telah membawanya pada sebuah titik di mana dia bisa berdamai dengan dirinya sendiri.
Rubah itu sudah tidak tampak lagi. Namun, Diara tidak merasa kesepian. Kehadiran alam yang melingkupi, suara gemerisik daun, dan bahkan desir angin yang berbisik lembut, semuanya memberi tahu bahwa dia tidak pernah sendirian.
Ia bangkit perlahan, tubuhnya terasa lebih ringan, meski perjalanan ini belum selesai. Ada hal yang masih perlu ia temui, masih banyak tempat yang belum ia pijak, banyak pertanyaan yang masih mengisi benaknya. Tapi sekarang, Diara tahu bahwa dia sudah tidak lagi mencari jawaban yang besar dan terperinci. Jawaban itu sudah mulai terungkap dalam dirinya, dalam keheningan dan dalam rasa yang hadir bersama setiap langkah yang ia ambil.
Dia berjalan menjauh dari danau, melalui padang rumput yang luas, menikmati aroma tanah yang segar dan udara yang menenangkan. Hutan kini terasa seperti rumah yang terbuka, penuh dengan kehidupan yang tak terlihat namun sangat nyata. Setiap langkahnya seolah berbicara, seolah menceritakan kisahnya sendiri.
Ketika matahari mulai tenggelam, Diara merasa tak terkejut lagi. Kali ini, dia tidak merasa terdesak atau terburu-buru untuk kembali. Semua terasa tepat pada waktunya. Alam, hutan, dan semua yang ada di sini tidak memaksakan apapun. Ia belajar untuk menerima waktu yang ada, untuk menikmati proses tanpa harus menantikan hasil yang pasti.
“Diara, sudah waktunya kamu pulang.”
Suara itu datang begitu pelan, namun jelas terdengar dalam benaknya. Diara berhenti sejenak, lalu menatap ke arah suara itu. Tapi rubah itu tidak ada di sana, hanya hutan yang mendalam dan tenang.
Namun, Diara tahu siapa yang berbicara. Itu adalah suara dari dalam dirinya, suara yang telah dia dengar sejak pertama kali melangkah ke hutan ini. Suara itu bukanlah suara yang menuntut atau memaksa, melainkan suara yang mengajak untuk kembali, untuk melanjutkan hidup yang telah tertunda.
“Terima kasih,” Diara berkata, meski tak ada yang menjawab. “Aku mengerti sekarang.”
Dia menarik napas panjang dan melangkah lebih jauh. Kaki-kakinya tidak lagi ragu, tidak lagi takut. Setiap jejak yang ia tinggalkan di tanah terasa lebih kokoh, lebih berarti. Hutan ini mungkin akan tetap ada, namun ia tahu, di mana pun dia berada setelah ini, hutan ini akan selalu menyertai perjalanan batinnya.
Sesampainya di pinggir hutan, Diara berhenti untuk terakhir kalinya. Dia menoleh sekali lagi ke dalam hutan, ke dalam alam yang telah mengajarkannya lebih banyak dari yang ia bayangkan. Alam yang selama ini hanya dia anggap sebagai latar belakang kehidupannya, kini menjadi bagian yang hidup, bagian dari dirinya sendiri.
“Ini baru permulaan,” pikir Diara, meskipun dia tahu, bahwa perjalanan ini tidak akan pernah berakhir. Hutan itu akan selalu ada, di dalam dirinya, dalam bentuk yang berbeda, dalam berbagai cara yang tidak terduga.
Dan dengan itu, Diara melangkah keluar dari hutan. Tapi yang dia bawa pulang bukan hanya tubuhnya. Dia membawa kedamaian, pemahaman, dan sebuah perjalanan yang telah mengubah cara pandangnya tentang kehidupan.
Perjalanan yang tidak hanya ditempuh dengan kaki, tetapi juga dengan hati.
Jadi, kadang kita nggak perlu lari jauh-jauh atau mencari jawaban di luar sana. Semua yang kita butuhin udah ada dalam diri kita, cuma kadang kita butuh waktu dan tempat yang tenang buat ngeh tentang itu. Hutan, dengan segala keheningan dan ketenangannya, ngasih Diara kesempatan buat mendengar suara hatinya sendiri.
Siapa tahu, kamu juga bisa nemuin kedamaian yang sama kalau kamu berani berhenti sejenak, duduk, dan mendengarkan dunia di sekitar kamu. Jangan takut buat mencari, karena kadang jawaban yang kita cari justru ada di tempat yang nggak pernah kita duga.