Petualangan Ajaib Zunzo: Brankas Terbuka, Permen Nyanyi, dan Penghapus Cokelat

Posted on

Hai, ada yang suka banget sama cerita-cerita aneh dan ajaib nggak? Gimana kalau kali ini kamu diajak buat ikut petualangan seru bareng Zunzo, anak yang selalu punya ide gilaa!

Mulai dari brankas misterius sampai permen nyanyi yang bikin sekolah jadi konser dadakan, siap-siap deh ketawa habis-habisan. Kalau kamu pikir itu udah gila, tunggu dulu, soalnya masih banyak keajaiban yang bakal datang!

 

Petualangan Ajaib Zunzo

Kapur Ajaib di Ruang Guru

Pagi itu, cuaca di Akademi Bintang Kecil tampak cerah, tapi di dalam kelas 3B, ada sesuatu yang sangat aneh. Zunzo, yang duduk di bangku paling belakang dengan tas yang tak pernah rapi, menatap papan tulis dengan penuh perhatian. Ia baru saja menemukan benda yang tak pernah ia duga—sebuah kapur putih yang tergeletak di lantai ruang guru setelah mereka selesai kelas musik.

“Zunzo, kapur itu buat apa?” tanya Riko, sahabat sekaligus teman sebangku Zunzo yang lebih suka membaca daripada berbicara. Matanya yang besar menatap kapur itu dengan penuh rasa ingin tahu, meski Zunzo sudah tahu apa yang sedang dipikirkan Riko—tentu saja, dia takkan bisa menahan godaan untuk mencoba.

Zunzo hanya menyeringai, memungut kapur itu dengan hati-hati. “Coba aja deh, lihat apa yang terjadi.” Ia tidak memberitahu Riko kalau kapur itu konon katanya bisa membuat tulisan di papan tulis menjadi kenyataan.

“Apa kamu gila? Kalau salah-salah, bisa bikin kelas kita berubah jadi kebun binatang,” jawab Riko setengah cemas, tapi ada rasa penasaran yang tak bisa ditahan. Tangan Riko sedikit gemetar saat ia memandangi kapur itu, namun Zunzo sudah tak sabar.

“Ayo, kamu mau lihat kan?” Zunzo meletakkan kapur di tangannya dan mulai menulis di papan tulis dengan penuh keyakinan, “Semua siswa di kelas jadi bisa terbang!” Kalimat itu tercetak dengan rapi di papan, seolah-olah tidak ada yang aneh. Namun, Zunzo merasa ada yang berbeda. Begitu ia selesai menulis, udara di kelas tiba-tiba terasa lebih ringan.

Beberapa detik kemudian, sesuatu yang sangat aneh terjadi. Riko pertama kali merasakannya. Tubuhnya mulai terangkat sedikit dari kursi. “Eh, apa yang—” Sebelum dia selesai berbicara, tubuhnya benar-benar melayang dari kursinya. Semua anak di kelas yang lain juga mulai mengapung, termasuk Zunzo yang tak sengaja menendang meja dan hampir jatuh ke atas langit-langit.

“Zunzo! Apa yang kamu lakukan?!” Riko menjerit, mencoba menggenggam kursinya, tapi kursi itu malah terbang ke langit-langit dengan ringan seperti balon udara.

Zunzo tertawa terbahak-bahak. “Aku bilang kan! Bisa terbang, lihat aja, seru kan?”

Namun, kegembiraan yang muncul seketika itu berubah menjadi kekacauan dalam sekejap. Anak-anak di kelas semakin tidak bisa mengendalikan arah terbang mereka. Ada yang melayang ke meja guru, ada yang hampir menabrak jendela, bahkan beberapa terjebak di sudut ruangan seperti benda terlempar. “Zunzo! Tolong turunkan aku!” teriak Dani, teman sekelas yang lebih sering merenung di pojokan.

Zunzo berusaha menahan tawanya. “Tunggu, aku coba menulis lagi, supaya kita bisa turun.” Ia menulis di papan tulis dengan terburu-buru, “Semua kembali ke tanah!” namun yang terjadi malah lebih parah.

Dengan suara gemuruh, seluruh kelas tiba-tiba jatuh dengan kecepatan yang membuat hati Zunzo berpacu lebih cepat. Semua murid menjerit, dan ketika mereka mendarat, suara dentuman keras terdengar. “Aduh! Kepala aku!” Dani terjepit meja, sementara Riko terjatuh dengan badan yang terlindung tas buku tebal.

“Ini salahmu, Zunzo!” teriak Riko sambil merapikan rambut yang berantakan. “Kita jatuh seperti bola pinball.”

“Aduh, aku nggak nyangka, cuma pengen lihat coba!” Zunzo berusaha menjelaskan dengan terburu-buru. Tapi ia sadar, akibat tulisan iseng itu, mereka malah harus berurusan dengan kekacauan yang lebih besar.

Baru saja mereka mencoba bangkit, tiba-tiba suara langkah kaki berat terdengar. Mereka menoleh dan melihat Pak Tomtom, guru olahraga yang terkenal dengan tindakannya yang keras, berjalan menuju kelas. Wajahnya merah padam, seolah-olah ia sudah tahu ada sesuatu yang tidak beres.

“Ada apa ini?” tanya Pak Tomtom dengan nada yang lebih keras daripada suara guntur. “Kalian kenapa pada jatuh kayak bola keranjang? Ada yang tahu apa yang terjadi di sini?”

Sebelum ada yang bisa menjawab, Zunzo merasa seperti terjebak dalam situasi yang semakin aneh. Sebuah senyuman jahil muncul di wajahnya. “Ada sedikit… eksperimen, Pak Tomtom,” katanya, mencoba menjelaskan meski semua situasi tampak berantakan.

Pak Tomtom memandang Zunzo dengan tatapan yang tak bisa dibaca. “Aku nggak tahu apa yang kalian lakukan, tapi kalau ini nggak selesai dengan cepat, aku akan melaporkan ini ke kepala sekolah.”

 

Terbang Tanpa Sayap

Kelas 3B masih gempar. Semua anak duduk di lantai dengan wajah-wajah cemas. Bahkan, Pak Tomtom yang biasanya selalu tenang, kini tampak lebih tegang dari sebelumnya. “Zunzo!” Suara Pak Tomtom menggema di kelas, menuntut penjelasan. “Kamu bisa jelasin ini nggak? Apa yang terjadi di sini?!”

Zunzo yang duduk di pojokan, menatap papan tulis dengan wajah polos. “Umm… ya gini, Pak. Aku cuma pengen lihat apa yang bisa terjadi kalau nulis sesuatu di papan dengan kapur ajaib ini.” Ia melambaikan kapur yang masih ada di tangannya, mencoba untuk tidak terlihat terlalu bersalah. “Tapi kayaknya aku salah hitung, Pak. Kelas jadi… terbang.”

Pak Tomtom menggelengkan kepala, menghela napas panjang. “Ini gila, Zunzo. Kamu harus bertanggung jawab! Kalau ada yang terluka, siapa yang bakal tanggung jawab?”

Di belakangnya, Riko yang sudah mulai memulihkan dirinya, mendekat dengan wajah cemas. “Pak Tomtom, mungkin kita harus panggil kepala sekolah. Ini udah bukan urusan kita lagi,” kata Riko. Namun, Zunzo hanya menggelengkan kepala dengan penuh keyakinan.

“Jangan, Riko. Aku masih bisa nyelesain ini kok.” Zunzo berdiri dengan percaya diri, meskipun hatinya sedikit gemetar. Sambil menatap kapur ajaib yang masih di tangannya, Zunzo mulai berpikir bagaimana cara mengembalikan semuanya ke keadaan semula. Dia tidak ingin semua orang tahu kalau dia sebenarnya hanya mencoba sesuatu tanpa berpikir panjang.

“Yaudah, kalau kamu bisa, cepatlah, Zunzo.” Pak Tomtom menatap Zunzo dengan ragu. “Kamu nggak mau kan semua orang di sekolah ini terbang terus, kayak burung yang nggak punya rumah?”

Zunzo mengangguk cepat, matanya berkilat penuh tekad. “Tenang aja, Pak. Aku udah punya rencana.” Dia mengangkat kapur itu dan menulis di papan lagi dengan hati-hati, kali ini lebih serius. “Semua bisa turun dengan aman, tanpa jatuh.” Zunzo menatap papan tulis itu, menunggu hasil dari tulisannya.

Seketika itu juga, anak-anak yang melayang di udara mulai merasakan tubuh mereka perlahan turun ke bawah, seperti balon yang perlahan mengempis. Tapi ada yang aneh. Mereka tidak langsung turun dengan mulus. Ada yang tersangkut di langit-langit, ada yang mendarat terlalu keras seperti bantalan udara yang bocor. “Ahh! Itu sakit!” teriak Dani yang jatuh terguling-guling.

Pak Tomtom, yang sudah mengira ini bakal menjadi bencana, buru-buru melompat untuk menangkap Dani yang hampir jatuh ke lantai dengan keras. “Hati-hati, Pak!” teriak Zunzo, yang melihat Pak Tomtom hampir tergelincir.

Sementara itu, Zunzo berusaha menulis lagi di papan. “Semua kembali dengan tenang dan baik-baik saja.” Kali ini, dia merasa lebih yakin. Tapi entah kenapa, bukannya membantu, malah semua siswa di kelas mulai terdorong satu sama lain, berputar-putar seperti baling-baling. “Bukan itu maksudku!” Zunzo berteriak.

“Aduh, Zunzo! Ini malah kayak di roller coaster!” teriak Riko yang sekarang terjerat di meja, mencoba menghindari agar tidak terbawa lagi.

Namun, seiring berjalannya waktu, rasa panik perlahan menghilang. Perlahan, anak-anak mulai mendarat dengan lebih lembut, meskipun dengan sedikit kehebohan. Mereka tersenyum lega, meski masih terasa sedikit pusing akibat putaran udara yang tak terkendali.

Pak Tomtom akhirnya menunduk, matanya sedikit terpejam, mencoba menenangkan diri. “Zunzo, kamu memang hebat… tapi kapan kamu akan berhenti bermain-main dengan kapur ajaib ini?” tanyanya dengan nada sedikit lebih lembut.

Zunzo hanya mengangguk, merasa sedikit bersalah. “Aku janji, Pak, aku nggak bakal nyoba lagi… kalau nggak ada yang gila-gila lagi.” Tapi di dalam hati, Zunzo tetap merasa penasaran. Ada banyak hal yang bisa ia coba dengan kapur ajaib itu. Lagipula, sekolah ini kan tempat yang penuh dengan kejutan.

Tapi saat Zunzo menoleh ke belakang, melihat teman-temannya yang masih kebingungan, dia tahu satu hal—kejutan-kejutan ini belum selesai. Bahkan, mungkin petualangan kali ini baru saja dimulai.

 

Permen Nyanyi dan Jatuh Bebas

Setelah kejadian heboh itu, Zunzo merasa sedikit lega. Kelas akhirnya bisa kembali ke keadaan semula—atau setidaknya, hampir. Beberapa murid masih terlihat sedikit pusing, tetapi semuanya kembali duduk dengan tenang. Pak Tomtom, meskipun tampak lebih sabar dari sebelumnya, tetap mengawasi Zunzo dengan sorot mata yang penuh peringatan.

Zunzo menyandarkan tubuhnya di kursi, matanya mengarah ke kapur ajaib yang masih ada di tangannya. “Aku benar-benar butuh sesuatu yang lebih… menyenangkan,” gumamnya pelan. Di dalam hatinya, Zunzo merasa gelisah. Rasanya, dia belum puas dengan eksperimen kecil-kecilan yang sudah terjadi. Dunia ini terasa begitu besar, dan ia ingin melihat lebih banyak keajaiban.

“Zunzo!” Riko tiba-tiba menyapa dari meja sebelah. “Apa kamu beneran nggak kepikiran buat coba sesuatu yang lebih seru? Ini udah gila banget, tapi aku rasa masih ada yang kurang.”

Zunzo menoleh dengan wajah serius. “Kamu ngomong apa sih, Riko? Kita baru aja hampir jatuh dari langit, dan kamu malah nyuruh aku coba yang lebih gila lagi?”

Riko menatapnya dengan serius, namun mata kecilnya itu menyiratkan rasa penasaran yang mendalam. “Apa kamu nggak pernah denger soal permen ajaib?” Riko bertanya pelan.

Zunzo terkejut. “Permen ajaib? Apa itu?”

Riko melanjutkan, “Aku pernah baca di buku sejarah sekolah, katanya ada permen yang bisa bikin siapa aja bernyanyi seperti penyanyi opera. Kamu tahu kan, suara yang kayak di konser-konser gitu?”

Zunzo terdiam sejenak. Tentu saja, ia belum pernah mendengar hal itu. Tapi, jika ada yang bisa membuatnya lebih hebat daripada eksperimen kapur ajaib, maka itu adalah permen yang bisa mengubah suara manusia. “Ayo, coba aja!” jawab Zunzo penuh semangat.

Ia menatap kapur itu sekali lagi, berpikir sejenak, dan tanpa berpikir panjang menulis di papan. “Kantin sekolah punya permen yang bisa bikin siapa pun bernyanyi seperti penyanyi opera!” Zunzo merasa cukup yakin dengan keputusannya. Kalau kapur ini bisa membuat orang terbang, kenapa permen ajaib tidak bisa?

Tak lama setelah kalimat itu tertera, tiba-tiba pintu kantin sekolah terbuka lebar. Seluruh kelas terdiam. Tidak ada yang menduga apa yang terjadi selanjutnya. Di dalam kantin, nampak berbagai jenis permen yang memenuhi meja, semuanya berkilauan seolah-olah dipenuhi dengan sihir. Begitu anak-anak di kelas mencium bau harum yang datang dari kantin, mereka langsung bergegas menuju ke sana.

“Eh, Zunzo! Apa kamu yakin ini aman?” Riko bertanya, wajahnya sedikit khawatir, tetapi lebih didorong rasa ingin tahunya daripada rasa takut.

Zunzo cuma tersenyum lebar. “Ayo, kita coba!”

Begitu mereka sampai di kantin, para siswa lain sudah berebut mengambil permen dari meja. Ada yang memilih permen berwarna biru, ada juga yang memilih permen merah cerah. Begitu permen itu masuk ke mulut mereka, suara mereka berubah menjadi sesuatu yang tak terduga. “Laaalalaa~!” teriak Vino, teman sekelas yang biasanya pendiam. Tapi kali ini, suaranya terdengar seperti suara diva terkenal yang sedang bernyanyi di panggung konser!

“Woaaa!” seluruh kantin mengeluarkan seruan kagum. Semua anak yang mencicipi permen itu mulai bernyanyi dengan suara-suara indah, bahkan lebih merdu daripada penyanyi profesional. Mereka seolah terhipnotis oleh permen ajaib itu. Zunzo tertawa puas, sementara Riko hanya bisa menggelengkan kepala, tidak bisa percaya apa yang sedang terjadi.

Namun, kebahagiaan itu hanya bertahan sebentar. Tiba-tiba, suara Pak Tomtom terdengar dari pintu kantin. “Zunzo! Apa lagi yang kamu lakukan kali ini?!”

“Pak Tomtom, nggak ada yang berbahaya kok!” Zunzo berkata dengan penuh semangat, berusaha meyakinkan guru mereka yang sudah mulai terlihat tegang. “Ini cuma permen, dan mereka jadi… ya, bisa bernyanyi ajaib gitu!”

Pak Tomtom mendekat, terlihat bingung sekaligus jengkel. “Semuanya jadi kayak konser! Dan kamu malah ikut-ikutan bikin kelas jadi kayak pertunjukan opera?!” teriak Pak Tomtom, yang suaranya kini ikut melengking karena permen ajaib itu.

Zunzo hanya tersenyum lebar. “Lihat, Pak, kan seru! Semua jadi bisa nyanyi kayak penyanyi opera terkenal! Siapa yang nggak mau coba?”

Namun, sebelum Pak Tomtom sempat membalas, suara dari kantin semakin kencang. Anak-anak yang tadinya hanya mencoba bernyanyi, sekarang malah mulai tampil seperti penyanyi opera sungguhan—penuh dengan ekspresi dramatis. Bahkan meja kantin mulai bergoyang seperti panggung konser. “Laaalaa~ lalalala~!” Semua bernyanyi dengan suara merdu yang membuat seluruh sekolah bergetar.

Pak Tomtom akhirnya menghela napas panjang. “Aku nggak tahu lagi harus bilang apa sama kamu, Zunzo,” katanya dengan suara lelah. “Kamu bikin semuanya jadi ribut!”

Tapi Zunzo, yang masih melihat semuanya dengan penuh kegembiraan, berbisik pelan ke Riko, “Aku rasa, ini baru permulaan. Kalau permen aja bisa begini, bayangkan kalau aku coba hal lain lagi!” Dan dengan itu, Zunzo sudah mulai membayangkan petualangan selanjutnya yang mungkin lebih ajaib dari semuanya.

 

Brankas dan Penghapus Cokelat

Setelah petualangan permen nyanyi yang luar biasa itu, Akademi Bintang Kecil seolah-olah tidak pernah sama lagi. Hari-hari yang sebelumnya tenang kini dipenuhi dengan kegilaan yang sulit dijelaskan. Setiap kali Zunzo menulis sesuatu di papan dengan kapur ajaib, seakan-akan dunia di sekitarnya mengikuti apa yang dia inginkan. Meskipun begitu, kali ini Zunzo merasa sudah cukup—untuk sementara—dengan eksperimen yang mengubah kelas jadi konser dan membuat semua orang terbang. Ia ingin mencari sesuatu yang lebih unik, lebih menarik, dan pastinya, lebih… menenangkan.

Suatu hari, saat istirahat, Zunzo duduk di pojokan kantin sambil menatap brankas besar yang terletak di sudut ruangan. Brankas itu sudah lama tak pernah dibuka. Itu adalah brankas milik kepala sekolah yang katanya menyimpan berbagai benda berharga, tapi siapa yang tahu apa yang ada di dalamnya? Zunzo merasa terpanggil. Kali ini, ia tidak lagi mencari petualangan yang menggelikan, melainkan sesuatu yang lebih serius. Ia ingin membuka misteri yang terkubur dalam brankas itu.

“Hmmm, apa yang ada di dalam brankas itu ya?” gumam Zunzo, sambil melirik Riko yang sedang sibuk memeriksa buku gambar. “Gimana kalau kita buka aja? Mungkin ada sesuatu yang seru.”

Riko yang mendengar itu langsung menoleh dengan ekspresi khawatir. “Zunzo… jangan deh. Kalau kita buka brankas itu, nanti bisa-bisa kita malah disuruh kerja rodi di ruang bawah tanah sekolah, lho!”

“Tapi kan kita nggak tahu apa yang ada di dalamnya. Bisa jadi ada harta karun atau benda-benda ajaib lain, siapa tahu!” Zunzo menjawab dengan semangat.

Akhirnya, dengan sedikit bujukan dari Zunzo, Riko setuju untuk ikut membantu. Zunzo, yang sudah membawa kapur ajaib, mulai menulis di papan tulis dengan harapan bisa membuka brankas itu. “Brankas sekolah terbuka dengan mudah, tanpa kunci!” Tulisnya dengan cepat, lalu menunggu beberapa detik. Tidak ada reaksi.

Zunzo mengerutkan kening, merasa kecewa. “Mungkin aku harus coba kalimat lain.” Tanpa menyerah, ia menulis ulang, kali ini dengan penuh keyakinan: “Brankas terbuka, dan isinya sangat menarik!”

Begitu ia selesai menulis, tiba-tiba brankas besar di kantin itu mulai bergemuruh. Suara berderak terdengar keras, dan kunci brankas itu mulai berputar sendiri. “Eh, itu beneran!” Riko terkejut, hampir terjatuh dari kursinya. “Zunzo, kamu beneran bisa buka itu?!”

Dengan mata berbinar, Zunzo dan Riko mendekat. Begitu brankas itu terbuka, mereka berdua terdiam sejenak. Di dalam brankas itu, bukan harta karun seperti yang mereka bayangkan, melainkan tumpukan penghapus cokelat, puluhan bungkus permen licorice, dan sebuah buku tua yang tampaknya sangat berharga.

“Ini apaan?!” Zunzo terkejut melihat tumpukan penghapus cokelat. “Penghapus cokelat? Apa gunanya ini?”

Riko mengambil salah satu penghapus cokelat dan mencicipinya dengan ragu. “Hmmm… enak juga, sih.” Tiba-tiba, Riko tersenyum lebar. “Eh, coba deh, penghapus cokelat ini bikin ketagihan! Aku bisa makan ini terus!”

Zunzo menggelengkan kepala. “Ini pasti nggak normal. Penghapus seharusnya nggak bisa dimakan.”

Namun, sebelum Zunzo sempat berkomentar lebih lanjut, mereka mendengar suara pintu kantin terbuka. Pak Tomtom muncul lagi, dengan wajahnya yang kini sudah terlihat sangat bingung dan sedikit khawatir. “Zunzo, apa lagi yang kamu lakukan kali ini? Brankas sekolah bisa dibuka begitu saja?!”

Zunzo mencoba menjelaskan dengan tenang, meskipun ia sendiri merasa sedikit panik. “Pak, ini bukan saya yang buka, kan. Kapur ajaib—eh, maksudnya saya cuma coba nulis supaya brankas itu bisa dibuka, dan… Tadaa!”

Pak Tomtom menghela napas panjang. “Aku nggak tahu lagi, Zunzo. Kamu bikin semuanya jadi kacau! Tapi lihatlah, sekarang kita punya penghapus cokelat… dan aku rasa kita semua akan kebingungan soal ini.”

Namun, sebelum Pak Tomtom sempat melanjutkan, buku tua di dalam brankas itu tiba-tiba bergetar. Riko yang penasaran langsung mengambilnya. Begitu halaman pertama terbuka, tulisan di dalam buku itu tampak berkilauan.

“Zunzo, lihat!” Riko menunjuk ke halaman buku. “Ini kayak… semacam buku petunjuk tentang bagaimana membuat sesuatu jadi nyata!”

Zunzo menatap Riko, lalu kembali ke buku itu dengan penuh minat. Halaman demi halaman terbuka, memperlihatkan petunjuk dan gambar-gambar yang menggambarkan berbagai macam hal yang bisa mereka buat—dari tanaman yang tumbuh dalam sekejap hingga benda-benda terbang yang lebih canggih dari apapun yang pernah mereka lihat.

Zunzo dan Riko saling pandang. Ini bukan akhir dari petualangan mereka—ini baru permulaan.

“Riko,” Zunzo berkata dengan senyum lebar, “aku rasa, kita harus mulai membaca buku ini lebih dalam. Siapa tahu, kita bisa menciptakan lebih banyak keajaiban lagi.”

Pak Tomtom hanya menggelengkan kepala sambil mencoba menenangkan diri. Tapi di dalam hatinya, dia tahu satu hal—Akademi Bintang Kecil takkan pernah kembali seperti dulu lagi.

 

Jadi, gimana? Seru kan? Siapa sangka, brankas yang kelihatannya biasa-biasa aja bisa ngubah semua jadi gila kayak gini. Tapi ya, namanya juga Zunzo, nggak ada yang biasa-biasa aja. Coba deh bayangin, dunia sekolah jadi tempat penuh keajaiban—apa kamu siap ikutan?

Leave a Reply