Pesona Batam: Jejak Hati di Pulau yang Merindu

Posted on

Selamat datang di Batam, pulau yang memikat dengan pesona laut birunya, jembatan megah Barelang, dan kenangan yang tak terlupakan! Dalam cerita inspiratif Pesona Batam: Jejak Hati di Pulau yang Merindu, Anda akan diajak menyelami perjalanan emosional sebuah keluarga yang menemukan cinta, kehilangan, dan makna hidup di destinasi wisata populer ini. Dari Pantai Nongsa yang romantis hingga Bukit Cinta di Pulau Galang, artikel ini mengungkap bagaimana Batam menjadi lebih dari sekadar liburan—ia adalah panggung kisah penuh air mata dan harapan yang akan menginspirasi Anda untuk menjelajahi pulau ini dengan hati terbuka.

Pesona Batam

Langkah Pertama di Pulau yang Asing

Cahaya matahari pagi menyelinap melalui celah-celah jendela pesawat, menyapu wajah Azura Velithya yang tengah menatap keluar dengan pandangan kosong. Di bawahnya, hamparan laut biru tua berkilau, sesekali diselingi pulau-pulau kecil yang tampak seperti permata hijau yang tercecer. Pesawat mulai menukik perlahan, dan suara mesin yang berdengung lembut seolah mengiringi detak jantungnya yang tak menentu. Batam, kota yang selama ini hanya ia dengar dari cerita-cerita sepintas teman kantornya, kini menanti di hadapannya. Ini bukan sekadar liburan—ini adalah pelarian.

Azura, seorang perempuan berusia 29 tahun dengan rambut hitam panjang yang selalu diikat asal-asalan, bukan tipe yang suka merencanakan liburan. Ia lebih suka rutinitas kantoran yang monoton, spreadsheet yang rapi, dan kopi hitam tanpa gula yang menemani malam-malam lemburnya di Jakarta. Tapi tiga minggu lalu, hidupnya berubah. Telepon dari dokter yang menyampaikan kabar tentang kondisi ibunya, Vionita, membuat dunianya seolah runtuh. Kanker stadium akhir, kata dokter itu, dengan nada yang terlalu datar untuk sebuah vonis seberat itu. “Waktu ibu Anda tidak banyak lagi,” ujar dokter itu, dan Azura merasa kata-kata itu seperti pisau yang terus berputar di dadanya.

“Ibu ingin ke Batam sekali lagi sebelum… sebelum semuanya berakhir,” kata Vionita lemah di ranjang rumah sakit, tangannya yang kurus mencengkeram tangan Azura. “Di sana, dulu, Ibu dan Ayahmu pernah punya mimpi. Aku ingin mengenangnya.” Azura tak bisa menolak. Ia memesan tiket pesawat, mengurus cuti, dan kini, ia duduk di pesawat ini bersama ibunya yang tertidur di kursi sebelah, oksigen portabel kecil terselip di tas jinjingnya. Di sampingnya juga ada Zivran, adik laki-lakinya yang berusia 23 tahun, yang sejak tadi asyik dengan earphone-nya, berusaha menyembunyikan matanya yang memerah.

Pesawat mendarat di Bandara Internasional Hang Nadim dengan lembut. Azura membantu ibunya keluar dari pesawat, menopang tubuh Vionita yang kini ringkih. Zivran, dengan jaket hoodie biru navy yang kebesaran, mengambil alih koper-koper mereka. “Kita nginep di mana, Zur?” tanyanya, suaranya serak, seolah berusaha menutupi emosi yang menggelegak.

“Hotel di Nagoya, dekat pusat kota. Aku sudah booking,” jawab Azura singkat, matanya tak lepas dari ibunya yang berjalan pelan di sampingnya. Vionita mengenakan syal tipis berwarna krem, wajahnya pucat namun matanya masih menyimpan kilau yang sulit dijelaskan—seperti seseorang yang sedang mengejar kenangan.

Perjalanan dari bandara ke hotel terasa seperti petualangan kecil. Supir taksi, seorang pria paruh baya bernama Pak Iskandar, berbicara dengan logat Melayu yang kental, bercerita tentang Batam dengan antusias. “Batam ini, non, pulau yang hidup. Ada laut, ada kota, ada cerita. Kalau ke sini, jangan lupa ke Pulau Galang, ya. Ada sejarah di sana,” katanya sambil menunjuk ke arah jendela. Azura hanya mengangguk sopan, pikirannya terlalu penuh untuk benar-benar mendengarkan. Vionita, di sisi lain, tersenyum tipis, matanya menatap ke luar jendela, seolah melihat sesuatu yang tak terlihat oleh yang lain.

Hotel mereka, sebuah bangunan modern dengan fasad kaca di kawasan Nagoya, menyambut mereka dengan lobi yang beraroma lavender. Azura mengurus check-in sementara Zivran membantu ibunya duduk di sofa lobi. “Zur, Ibu pengen ke Pantai Nongsa besok,” kata Vionita tiba-tiba, suaranya pelan namun tegas. Azura menoleh, sedikit terkejut. “Nongsa? Bukan… bukan terlalu jauh, Bu? Ibu perlu istirahat.”

Vionita menggeleng pelan. “Ibu baik-baik saja. Nongsa… dulu Ibu dan Ayah sering ke sana. Tempat itu spesial.” Azura ingin protes, tapi ada sesuatu di mata ibunya—campuran rindu dan tekad—yang membuatnya diam. Ia hanya mengangguk, lalu kembali ke urusan check-in.

Malam itu, setelah makan malam sederhana di restoran hotel, Azura duduk di balkon kamarnya, menatap lampu-lampu kota Batam yang berkelap-kelip di kejauhan. Zivran bergabung dengannya, membawa dua kaleng soda. “Lo tahu, Zur,” katanya, membuka kaleng dengan suara ‘klik’ kecil, “Ibu cerita soal Batam pas lo di kamar mandi tadi. Katanya, dulu dia sama Bapak pernah mimpi buka usaha kecil di sini. Warung makan, kayaknya. Tapi… ya, gagal.” Zivran tertawa kecil, tapi ada nada pahit di suaranya.

Azura menatap adiknya. “Ibu cerita itu ke lo?” Ia sendiri tak pernah mendengar cerita itu. Vionita jarang berbicara soal masa lalu, apalagi soal ayah mereka, yang meninggal saat Azura masih kecil. Zivran mengangguk. “Ibu bilang, Batam buat dia kayak… kotak kenangan. Dia pengen ke sini buat ngucapin selamat tinggal, kayaknya.”

Kata-kata itu mengguncang Azura. Ia menatap soda di tangannya, tiba-tiba merasa dingin meski udara malam Batam hangat dan lengket. “Selamat tinggal,” gumamnya, hampir tak terdengar. Ia tahu ibunya sedang berjuang melawan waktu, tapi mendengar Zivran mengatakannya begitu gamblang membuat dadanya sesak. Ia ingin menangis, tapi ia menahan diri. Ia harus kuat, untuk ibunya, untuk Zivran.

Malam semakin larut, dan angin laut membawa aroma asin yang samar. Azura menatap langit, mencoba mencari bintang di antara kabut kota. Besok, mereka akan ke Pantai Nongsa, tempat yang entah kenapa begitu berarti bagi ibunya. Ia tak tahu apa yang menanti di sana, tapi ia merasa perjalanan ini bukan hanya soal liburan. Ini soal memahami ibunya, soal menemukan potongan-potongan masa lalu yang selama ini tersembunyi, dan mungkin, soal belajar melepaskan.

Di kamar sebelah, Vionita berbaring di ranjang, matanya terpejam namun wajahnya tak sepenuhnya tenang. Di tangannya, ia memegang sebuah liontin kecil berbentuk kerang, kenang-kenangan dari Batam puluhan tahun lalu. “Kita akan ke sana lagi, Sayang,” bisiknya pelan, seolah berbicara pada seseorang yang sudah lama pergi. Di luar, Batam tidur dalam gemerlapnya, menyimpan rahasia yang akan segera terungkap.

Pantai Nongsa dan Bayang-Bayang Masa Lalu

Pagi di Batam menyapa dengan lembut, sinar matahari menyelinap melalui tirai kamar hotel dan membangunkan Azura Velithya dari tidur yang gelisah. Ia terbangun dengan perasaan berat, mimpi semalam tentang ibunya yang tersenyum di tepi pantai masih melekat di pikirannya, meski wajah ibunya dalam mimpi itu terasa lebih muda, lebih hidup. Di ranjang sebelah, Vionita masih tertidur, napasnya pelan namun teratur, tabung oksigen portabel di sampingnya berdengung pelan seperti pengingat yang tak pernah diam. Azura menatap ibunya sejenak, mencoba menahan gelombang emosi yang kembali menyergap. Hari ini, mereka akan ke Pantai Nongsa, tempat yang Vionita sebut sebagai “spesial” tadi malam.

Zivran, adik Azura, sudah bangun lebih dulu dan duduk di sofa kecil di sudut kamar, sibuk dengan ponselnya. “Zur, lo yakin Ibu kuat ke pantai? Dia kelihatan lelet banget kemarin,” katanya tanpa menoleh, suaranya penuh kekhawatiran yang ia coba sembunyikan dengan nada santai. Azura menghela napas. “Ibu yang minta, Ziv. Kita cuma bisa nemenin dia. Kalau dia bilang kuat, kita percaya aja.” Zivran mengangguk, tapi matanya tetap tertuju pada layar ponsel, seolah tak ingin Azura melihat keraguan di wajahnya.

Setelah sarapan sederhana di restoran hotel—nasi goreng seafood untuk Azura dan Zivran, serta bubur ayam untuk Vionita yang kini sulit menelan makanan berat—mereka bersiap menuju Pantai Nongsa. Azura memesan taksi online, dan tak lama kemudian, sebuah mobil putih menjemput mereka. Supirnya, seorang wanita muda bernama Rania, tersenyum ramah. “Ke Nongsa, ya? Pantainya bagus, loh, apalagi kalau pagi gini. Anginnya sejuk, lautnya tenang,” katanya dengan antusias. Vionita, yang duduk di kursi belakang bersama Azura, hanya tersenyum tipis, tangannya memegang liontin kerang yang sama seperti malam sebelumnya.

Perjalanan menuju Pantai Nongsa memakan waktu sekitar 30 menit dari Nagoya. Jalanan meliuk melewati perumahan modern, deretan pohon kelapa, dan sesekali pemandangan laut yang mengintip di sela-sela bangunan. Azura memperhatikan ibunya yang terus menatap ke luar jendela, matanya seolah mencari sesuatu di setiap sudut. “Ibu, apa sih yang spesial dari Nongsa?” tanya Azura pelan, berusaha memecah keheningan. Vionita menoleh, matanya berbinar. “Dulu, Ibu dan Ayahmu suka duduk di tepi pantai itu, ngobrol sampai malam. Kami punya banyak rencana, Zur. Banyak mimpi.” Suaranya terputus sejenak, lalu ia menambahkan, “Di sana, Ibu merasa dia masih ada.”

Kata-kata itu seperti pukulan lembut di hati Azura. Ayahnya, Luthran, hanya samar-samar ia ingat—seorang pria tinggi dengan senyum hangat yang meninggal dalam kecelakaan kapal saat Azura berusia lima tahun. Vionita jarang berbicara tentangnya, dan Azura belajar sejak kecil untuk tidak bertanya terlalu banyak. Tapi kini, di Batam, seolah-olah ibunya ingin membuka kotak kenangan yang selama ini terkunci rapat.

Sesampainya di Pantai Nongsa, angin laut langsung menyapa mereka, membawa aroma asin yang segar. Pantai ini tak terlalu ramai pagi itu, hanya ada beberapa wisatawan lokal yang berjalan-jalan dan sepasang nelayan yang sedang memperbaiki jaring di kejauhan. Pasirnya halus, bercampur dengan kerikil kecil, dan ombak kecil menghempas lembut di tepi pantai. Azura membantu ibunya berjalan menuju sebuah gazebo kayu yang menghadap laut, sementara Zivran membawa tikar dan tas berisi air mineral serta makanan ringan.

Vionita duduk dengan hati-hati di bangku gazebo, matanya menjelajahi garis horizon di mana laut bertemu langit. “Lihat itu, Zur,” katanya, menunjuk ke arah sebuah pulau kecil di kejauhan. “Itu Pulau Putri. Dulu, Ayahmu bilang dia ingin bawa Ibu ke sana, bikin rumah kecil dari kayu. Dia bilang, ‘Vio, kita bakal hidup sederhana, cuma dengerin suara ombak setiap malam.’” Vionita tertawa kecil, tapi ada nada getir di suaranya. Azura dan Zivran saling pandang, tak yakin bagaimana menanggapi. Ini adalah pertama kalinya ibunya bercerita tentang ayah mereka dengan begitu terbuka.

Azura duduk di samping ibunya, merasakan pasir yang masih dingin di bawah kakinya. “Ibu, kenapa Ibu gak pernah cerita ini sebelumnya?” tanyanya, suaranya hampir berbisik. Vionita menghela napas panjang. “Karena setiap kali Ibu ingat, rasanya seperti kehilangan dia lagi. Tapi sekarang… sekarang Ibu harus cerita. Kalau enggak, siapa lagi yang bakal simpan kenangan ini?” Matanya berkaca-kaca, dan Azura merasakan dadanya sesak. Ia ingin memeluk ibunya, tapi ia takut gerakan sekecil apa pun akan memecahkan momen rapuh ini.

Zivran, yang selama ini diam, tiba-tiba berdiri dan berjalan menuju tepi air. Azura memperhatikannya dari kejauhan, melihat adiknya membungkuk dan mengambil sesuatu dari pasir. Ketika Zivran kembali, ia membawa sebuah kerang kecil berwarna putih keabu-abuan. “Ibu, ini buat Ibu,” katanya, meletakkan kerang itu di tangan Vionita. “Biar Ibu punya kenang-kenangan lagi dari Nongsa.” Vionita tersenyum, tangannya yang gemetar menggenggam kerang itu erat-erat. “Terima kasih, Ziv,” katanya, suaranya penuh kehangatan.

Matahari mulai naik lebih tinggi, dan panas mulai terasa. Azura mengusulkan untuk mencari makan siang di warung terdekat, tapi Vionita menggeleng. “Sebentar lagi, Zur. Ibu ingin ke satu tempat lagi di dekat sini. Warung tua di ujung jalan, kalau masih ada.” Azura mengerutkan kening. “Warung? Warung apa, Bu?” Vionita hanya tersenyum misterius. “Nanti kamu tahu.”

Mereka berjalan pelan menyusuri jalan kecil yang membelah deretan pohon kelapa. Vionita berpegangan pada lengan Azura, langkahnya lelet tapi penuh tekad. Di ujung jalan, mereka menemukan sebuah warung sederhana dengan atap seng dan meja-meja kayu yang sudah usang. Papan nama di depannya bertuliskan “Warung Makan Bahari” dengan cat yang mulai pudar. Seorang wanita tua dengan rambut disanggul rapi menyambut mereka. “Selamat datang! Mau makan apa, non, pak?” tanyanya dengan senyum lebar.

Vionita menatap wanita itu lama, lalu berkata, “Mbak Sari, masih ingat saya?” Wanita itu, yang ternyata bernama Sari, mengerutkan kening sejenak sebelum matanya melebar. “Vio? Vionita? Ya Tuhan, berapa tahun sudah?” Mereka berpelukan, dan Azura serta Zivran hanya bisa menatap dengan bingung. Ternyata, warung ini adalah tempat yang dulu sering dikunjungi Vionita dan Luthran. “Dulu, kami selalu pesan ikan bakar sama sambal dabu-dabu di sini,” kata Vionita, suaranya penuh nostalgia. “Mbak Sari yang masak, selalu enak.”

Makan siang mereka di Warung Makan Bahari terasa seperti perjalanan ke masa lalu. Vionita bercerita tentang hari-hari ketika ia dan Luthran masih muda, penuh harapan, dan bermimpi membuka warung serupa di Batam. “Kami hampir berhasil, tahu. Tapi… hidup punya rencana lain,” katanya, menatap piring ikan bakar di depannya. Azura memperhatikan ibunya, menyadari betapa banyak cerita yang selama ini tak ia ketahui. Zivran, yang biasanya pendiam, bertanya, “Bu, Bapak kayak apa sih orangnya?” Vionita tersenyum, tapi air mata mengalir di pipinya. “Dia… dia orang yang bikin semua orang di sekitarnya merasa hidup. Kayak laut ini, luas dan penuh kejutan.”

Sore itu, saat mereka kembali ke gazebo di tepi pantai, Vionita meminta waktu sebentar sendirian. Azura dan Zivran menjaga jarak, duduk di pasir sambil memandang ibunya yang berdiri di tepi air, syalnya berkibar ditiup angin. “Zur, lo pikir Ibu bakal baik-baik aja?” tanya Zivran, suaranya bergetar. Azura menarik napas dalam-dalam. “Gak tahu, Ziv. Tapi yang pasti, kita harus buat Ibu bahagia selama dia masih di sini.” Zivran mengangguk, dan untuk pertama kalinya dalam waktu lama, Azura melihat adiknya menangis.

Matahari mulai tenggelam, mewarnai langit dengan semburat oranye dan ungu. Vionita kembali ke gazebo, wajahnya lebih tenang meski matanya masih basah. “Terima kasih sudah bawa Ibu ke sini,” katanya, memeluk Azura dan Zivran. Di tangannya, liontin kerang dan kerang pemberian Zivran tergenggam erat, seolah menjadi jangkar kenangan yang tak akan ia lepaskan.

Jembatan Barelang dan Rahasia yang Terungkap

Langit Batam pagi itu berwarna kelabu, awan tipis menyelimuti matahari, seolah mencerminkan suasana hati Azura Velithya yang masih terombang-ambing antara harapan dan ketakutan. Setelah hari yang penuh emosi di Pantai Nongsa kemarin, Azura terbangun dengan perasaan yang sulit dijelaskan—campuran antara kelegaan karena melihat ibunya, Vionita, tersenyum, dan kecemasan yang terus menggerogoti setiap kali ia memikirkan waktu yang semakin menipis. Vionita, meski lemah, tampak lebih bersemangat pagi ini. Saat sarapan di hotel, ia mengumumkan rencana hari ini dengan suara yang penuh tekad. “Kita ke Jembatan Barelang hari ini,” katanya, menyeruput teh hangat dengan hati-hati. “Ibu ingin kalian lihat tempat yang dulu jadi saksi mimpi Ibu dan Ayah.”

Azura dan Zivran saling pandang. “Barelang? Itu yang jembatan ikonik itu, kan?” tanya Zivran, alisnya terangkat. Ia mencoba menyembunyikan kekhawatirannya dengan nada santai, tapi Azura tahu adiknya sama gelisahnya dengan dirinya. Jembatan Barelang, atau lebih tepatnya Jembatan Tengku Fisabilillah, adalah salah satu landmark terkenal di Batam, menghubungkan pulau-pulau kecil di Kepulauan Riau. Azura pernah melihat fotonya di media sosial—jembatan megah dengan latar laut yang luas—tapi ia tak pernah membayangkan tempat itu memiliki makna khusus bagi ibunya. “Ibu yakin kuat, Bu? Perjalanannya lumayan jauh,” tanya Azura hati-hati, menatap wajah pucat Vionita yang kini tersenyum lembut.

“Ibu kuat, Zur. Kalau Ibu bilang mau ke sana, artinya Ibu bisa,” jawab Vionita, nada tegasnya tak meninggalkan ruang untuk protes. Azura hanya mengangguk, meski di dalam hatinya ia masih bergulat dengan kekhawatiran. Zivran, yang duduk di seberang meja dengan hoodie biru navy yang sama seperti kemarin, mengalihkan perhatiannya ke ponselnya, tapi Azura bisa melihat jari-jarinya gemetar saat mengetik.

Setelah sarapan, mereka memesan taksi untuk menuju Jembatan Barelang, yang berjarak sekitar satu jam dari hotel mereka di Nagoya. Supir taksi kali ini adalah seorang pria muda bernama Farhan, yang dengan antusias menceritakan sejarah jembatan itu. “Barelang itu singkatan dari Batam, Rempang, dan Galang, Bu. Jembatan ini menghubungkan tiga pulau besar di sini. Banyak turis suka foto di sana, apalagi pas sunset,” katanya, matanya sesekali melirik ke kaca spion untuk melihat reaksi penumpangnya. Vionita mendengarkan dengan penuh perhatian, sesekali mengangguk, sementara Azura hanya menatap ke luar jendela, pikirannya dipenuhi pertanyaan tentang apa yang membuat ibunya begitu terpikat pada tempat ini.

Perjalanan menuju Barelang terasa seperti melintasi dua dunia. Di satu sisi, ada pemandangan kota Batam yang sibuk dengan deretan pusat perbelanjaan dan gedung-gedung modern. Di sisi lain, begitu mereka meninggalkan pusat kota, pemandangan berubah menjadi hamparan hijau, pohon-pohon kelapa, dan laut yang berkilau di kejauhan. Jalanan mulai menanjak saat mereka mendekati jembatan pertama, dan Azura merasakan angin laut yang semakin kencang menyelinap melalui jendela taksi yang sedikit terbuka.

Sesampainya di Jembatan Tengku Fisabilillah, pemandangan itu langsung memukau mereka. Jembatan megah itu membentang di atas laut, dengan pilar-pilar kokoh yang menjulang seperti penjaga setia. Di kejauhan, pulau-pulau kecil tampak seperti lukisan, dikelilingi oleh air biru yang berkilau di bawah sinar matahari yang mulai menembus awan. Azura membantu ibunya turun dari taksi, memastikan tabung oksigen portabel tetap aman di tas jinjingnya. Zivran, seperti biasa, mengambil alih koper kecil berisi keperluan mereka, tapi matanya tak lepas dari pemandangan di depannya. “Keren banget, Bu. Kayak di film,” katanya, suaranya penuh kagum.

Mereka berjalan perlahan menuju tepi jembatan, di mana ada area kecil untuk pejalan kaki dengan pagar rendah yang menghadap laut. Vionita berhenti di sana, tangannya memegang pagar untuk menopang tubuhnya. Angin bertiup kencang, membuat syal kremnya berkibar seperti bendera kecil. “Di sini,” katanya pelan, hampir seperti berbicara pada dirinya sendiri. “Di sinilah dulu Ibu dan Ayahmu berdiri, merencanakan masa depan.” Matanya menatap ke arah laut, seolah melihat bayangan masa lalu yang hanya bisa ia rasakan.

Azura dan Zivran berdiri di samping ibunya, tak ingin mengganggu momen itu, tapi rasa ingin tahu mereka tak bisa ditahan. “Bu, ceritain dong, apa yang kalian rencanain di sini?” tanya Zivran, suaranya lembut tapi penuh rasa ingin tahu. Vionita menoleh, matanya berkaca-kaca tapi penuh kehangatan. “Kalian tahu, dulu Ibu dan Ayahmu punya mimpi besar. Kami mau buka penginapan kecil di salah satu pulau di sini, mungkin di Galang atau Rempang. Kami mau hidup sederhana, cuma kami berdua, laut, dan mimpi itu. Kami berdiri di jembatan ini, berjanji untuk mewujudkannya.”

Azura merasakan sesuatu menyumbat tenggorokannya. “Tapi… kenapa gak jadi, Bu?” tanyanya, suaranya hampir pecah. Vionita menghela napas panjang, tangannya meremas liontin kerang yang selalu ia pegang. “Hidup, Zur. Hidup punya cara sendiri untuk mengubah rencana. Ayahmu… dia pergi sebelum kami sempat mulai. Kecelakaan itu…” Suaranya terhenti, dan ia menunduk, seolah tak sanggup melanjutkan.

Zivran, yang biasanya pendiam, melangkah mendekati ibunya dan memegang tangannya. “Bu, ceritain lebih banyak tentang Bapak. Aku… aku hampir gak ingat apa-apa tentang dia.” Ada kerinduan dalam nada Zivran, sesuatu yang jarang ia tunjukkan. Vionita tersenyum kecil, meski air mata mulai mengalir di pipinya. “Ayahmu, Luthran, orang yang penuh semangat. Dia suka bercanda, suka nyanyi lagu-lagu Melayu yang entah dari mana dia dengar. Dia bilang, jembatan ini kayak simbol harapan kami—menghubungkan mimpi kami dengan kenyataan. Tapi kenyataan… kenyataan kadang lebih keras dari mimpi.”

Azura merasakan dadanya sesak. Selama ini, ia hanya tahu ayahnya sebagai sosok samar dalam foto-foto lama, pria dengan senyum lebar yang selalu memegang tangan ibunya. Mendengar cerita ini, ia merasa seolah bertemu ayahnya untuk pertama kalinya, tapi juga kehilangannya lagi. Ia ingin bertanya lebih banyak, tapi melihat ibunya yang mulai terlihat lelah, ia memutuskan untuk mengalihkan perhatian. “Bu, kita duduk dulu, yuk. Ada warung kecil di ujung sana, kita bisa makan siang,” usulnya, menunjuk ke arah sebuah warung sederhana yang terlihat di dekat ujung jembatan.

Warung itu kecil, dengan atap daun kelapa dan meja-meja plastik yang sedikit goyah. Pemiliknya, seorang pria tua bernama Pak Amran, menyambut mereka dengan senyum ramah. “Mau makan apa, keluarga? Kami punya soto kepala ikan sama otak-otak yang baru digoreng,” katanya, tangannya sibuk mengipasi bara di panggangan. Vionita memesan otak-otak untuk mereka bertiga, dan sambil menunggu, ia kembali bercerita. “Dulu, Ayahmu suka otak-otak dari warung-warung di sekitar Barelang. Dia bilang, ‘Vio, kalau kita punya penginapan, kita harus jual otak-otak seenak ini.’”

Makan siang mereka diiringi tawa kecil dan cerita-cerita ringan dari Vionita tentang Luthran—bagaimana ia pernah tersesat di pulau kecil saat mencoba memancing, atau bagaimana ia selalu membawa kerang untuk Vionita setiap kali mereka ke pantai. Tapi di balik tawa itu, Azura dan Zivran bisa merasakan beban yang tak terucapkan. Setiap cerita adalah pengingat bahwa waktu mereka bersama ibunya semakin pendek.

Setelah makan, mereka kembali ke tepi jembatan untuk menikmati angin sore. Matahari mulai condong ke barat, mewarnai langit dengan semburat emas dan merah muda. Vionita meminta Azura mengambilkan sebuah kotak kecil dari tasnya. Di dalamnya, ada selembar kertas tua yang sudah menguning, dilipat rapi. “Ini,” kata Vionita, membuka kertas itu dengan tangan gemetar. “Rencana penginapan kami. Ayahmu yang gambar sendiri.”

Azura dan Zivran menatap kertas itu. Di atasnya, ada sketsa sederhana sebuah rumah kayu dengan atap daun kelapa, dikelilingi pohon kelapa dan laut. Di sudut kertas, ada tulisan tangan Luthran: “Untuk Vio, rumah kita di tepi laut. Selamanya.” Azura merasakan air matanya jatuh tanpa bisa ia tahan, dan Zivran memalingkan wajah, berusaha menyembunyikan isakannya. “Ibu simpan ini selama ini?” tanya Azura, suaranya serak.

Vionita mengangguk. “Ibu ingin kalian tahu bahwa mimpi itu nyata, meski cuma sebentar. Dan Ibu ingin ke sini untuk… untuk bilang pada Ayahmu bahwa Ibu masih ingat semuanya.” Ia menatap laut, dan untuk sesaat, Azura merasa ibunya sedang berbicara dengan seseorang yang tak terlihat, seseorang yang hanya hidup dalam kenangan.

Sore itu, saat mereka kembali ke taksi, Azura memegang tangan ibunya erat-erat. Zivran berjalan di samping mereka, memasukkan tangannya ke saku hoodie untuk menyembunyikan kerang kecil yang ia temukan di tepi jembatan. “Bu, besok kita ke mana lagi?” tanyanya, berusaha mengalihkan perhatian dari emosi yang masih menggantung di udara. Vionita tersenyum, matanya penuh cahaya meski tubuhnya lelah. “Pulau Galang. Ada satu tempat terakhir yang Ibu ingin kalian lihat.”

Matahari terbenam di cakrawala, dan Jembatan Barelang berdiri kokoh di belakang mereka, seperti penutup babak dari kisah yang belum selesai. Azura tahu perjalanan ini bukan hanya tentang liburan—ini tentang memahami cinta, kehilangan, dan warisan yang ditinggalkan oleh mereka yang pernah mengisi hati.

Pulau Galang dan Pelukan Terakhir

Pagi di Batam terasa lebih berat bagi Azura Velithya, seolah udara pagi itu membawa beban kenangan yang kian nyata. Cahaya matahari yang lembut menyelinap melalui jendela kamar hotel, tapi tak mampu menghangatkan hatinya yang dipenuhi campuran rindu dan ketakutan. Hari ini adalah hari terakhir liburan mereka di Batam, dan Vionita, ibunya, telah memilih Pulau Galang sebagai tujuan akhir. “Di sana, ada sesuatu yang Ibu ingin kalian lihat,” kata Vionita malam sebelumnya, suaranya lemah namun penuh tekad, seolah ia sedang mengumpulkan sisa-sisa tenaga untuk menutup sebuah babak penting dalam hidupnya. Azura dan Zivran, adiknya, tahu bahwa perjalanan ini bukan sekadar kunjungan wisata—ini adalah perpisahan yang Vionita persiapkan dengan hati.

Azura membantu ibunya bersiap pagi itu, memastikan tabung oksigen portabel terpasang dengan baik dan syal krem favorit Vionita terlilit rapi di lehernya. Zivran, dengan hoodie biru navy yang kini sedikit berdebu setelah beberapa hari petualangan, membawa tas berisi air mineral, makanan ringan, dan liontin kerang yang kini menjadi simbol kenangan keluarga mereka. “Zur, lo yakin Ibu bisa ke Galang? Jauh, lho,” tanya Zivran pelan saat mereka menunggu taksi di lobi hotel. Azura menatap adiknya, melihat kekhawatiran yang sama yang ia rasakan di matanya. “Kita cuma bisa ikutin kemauan Ibu, Ziv. Ini penting buat dia,” jawabnya, suaranya bergetar meski ia berusaha terdengar tegas.

Taksi yang mereka pesan tiba tak lama kemudian, dikemudikan oleh seorang pria paruh baya bernama Pak Yanto, yang berbicara dengan logat Melayu yang kental dan penuh semangat. “Ke Galang, ya? Itu pulau yang punya banyak cerita, non. Ada Kampung Vietnam, jembatan-jembatan Barelang, dan laut yang cantik. Kalau beruntung, bisa lihat lumba-lumba di perjalanan!” katanya, membuat Vionita tersenyum kecil dari kursi belakang. Azura memperhatikan ibunya, yang sejak pagi tampak lebih pendiam, matanya sering kali menatap ke luar jendela seolah mencari sesuatu yang hanya ia pahami.

Perjalanan ke Pulau Galang memakan waktu sekitar satu jam dari Nagoya, melintasi Jembatan Barelang yang kemarin telah meninggalkan kesan mendalam bagi mereka. Jembatan-jembatan itu, dengan pilar-pilar megahnya, seolah menjadi pengingat bahwa setiap langkah mereka di Batam adalah bagian dari jembatan emosional yang menghubungkan masa lalu dan masa kini. Saat mereka tiba di Pulau Galang, pemandangan berubah menjadi lebih hijau, dengan deretan pohon kelapa dan jalan-jalan kecil yang berkelok di antara perkampungan sederhana. Udara di sini terasa lebih segar, dengan aroma tanah basah bercampur angin laut.

Vionita meminta Pak Yanto untuk membawa mereka ke sebuah tempat yang ia sebut “Bukit Cinta,” sebuah bukit kecil di dekat Kampung Vietnam yang jarang dikunjungi wisatawan. “Dulu, Ayahmu suka bawa Ibu ke sana,” katanya pelan, tangannya memegang liontin kerang dengan erat. “Dia bilang, dari atas bukit itu, kita bisa lihat seluruh dunia.” Azura dan Zivran saling pandang, merasakan bobot kata-kata ibunya. Mereka tak tahu apa yang menanti di Bukit Cinta, tapi mereka bisa merasakan bahwa tempat ini adalah puncak dari perjalanan emosional ibunya.

Sesampainya di kaki bukit, Azura dan Zivran membantu Vionita berjalan menyusuri jalan setapak yang ditumbuhi rumput liar. Langkah Vionita pelan dan terhuyung, tapi matanya penuh tekad, seolah setiap langkah adalah perjuangan untuk mencapai sesuatu yang sangat berarti. Bukit Cinta ternyata bukan bukit yang tinggi, tapi pemandangan dari puncaknya memukau—hamparan laut biru yang berkilau, pulau-pulau kecil yang tersebar seperti permata, dan angin yang bertiup lembut membawa aroma asin. Di puncak bukit, ada sebuah pohon beringin tua dengan akar-akar yang mencengkeram tanah, dan di bawahnya, sebuah batu besar yang tampak seperti tempat duduk alami.

Vionita berhenti di dekat batu itu, tangannya menyentuh permukaannya dengan penuh perasaan. “Di sini,” katanya, suaranya hampir berbisik. “Di sinilah Ayahmu melamar Ibu. Dia gak punya cincin mewah, cuma liontin kerang ini.” Ia mengangkat liontin itu, cahaya matahari memantul dari permukaannya yang mengilap. “Dia bilang, ‘Vio, laut ini saksinya. Kita bakal bersama selamanya.’ Tapi selamanya… ternyata cuma sebentar.” Air mata mengalir di pipi Vionita, tapi ia tersenyum, seolah menemukan kedamaian dalam kenangan itu.

Azura merasakan hatinya hancur. Ia duduk di samping ibunya, tangannya memegang tangan Vionita yang kini terasa dingin dan rapuh. Zivran berdiri di sisi lain, matanya memerah tapi ia berusaha keras untuk tidak menangis. “Bu, kenapa Ibu gak pernah cerita ini sebelumnya?” tanya Azura, suaranya serak. Vionita menoleh, matanya penuh cinta. “Karena Ibu takut kalian akan sedih, Zur. Tapi sekarang… sekarang Ibu tahu, kalian berhak tahu siapa Ayahmu. Dan Ibu ingin kalian simpan kenangan ini, supaya dia tetap hidup di hati kalian.”

Zivran, yang selama ini lebih banyak diam, tiba-tiba berlutut di depan ibunya. “Bu, aku cuma pengen Ibu tahu… aku bangga jadi anak Ibu dan Bapak,” katanya, suaranya pecah. Vionita memeluknya erat, air mata mereka bercampur dalam pelukan yang penuh makna. Azura bergabung, memeluk ibunya dan adiknya, dan untuk sesaat, dunia di sekitar mereka seolah berhenti. Angin bertiup lembut, membawa suara ombak yang seperti berbisik, seolah laut itu sendiri ikut menyaksikan momen ini.

Setelah beberapa saat, Vionita mengeluarkan sebuah kotak kecil dari tasnya—kotak yang sama yang berisi sketsa penginapan dari Jembatan Barelang. Tapi kali ini, ia mengambil sesuatu yang lain: sebuah surat tua dengan tulisan tangan Luthran. “Ibu ingin kalian baca ini nanti, di Jakarta,” katanya, menyerahkan surat itu kepada Azura. “Ini surat terakhir Ayahmu untuk Ibu, sebelum dia pergi. Dia tulis tentang kalian berdua, tentang harapannya untuk kalian.” Azura menerima surat itu dengan tangan gemetar, tak berani membukanya sekarang. Ia tahu isinya akan terlalu berat untuk saat ini.

Mereka menghabiskan sisa sore di Bukit Cinta, duduk bersama di bawah pohon beringin. Vionita bercerita lebih banyak tentang Luthran—bagaimana ia pernah mencoba menari di tepi laut dan jatuh ke air, atau bagaimana ia selalu membawa pulang bunga liar untuk Vionita setiap kali mereka ke Galang. Cerita-cerita itu membawa tawa dan air mata, mengisi udara dengan kehangatan yang pahit manis. Azura dan Zivran mendengarkan dengan penuh perhatian, menyadari bahwa setiap kata adalah harta yang tak akan mereka dengar lagi.

Saat matahari mulai tenggelam, mewarnai langit dengan semburat emas dan ungu, Vionita meminta mereka untuk berjalan ke tepi bukit, tempat mereka bisa melihat laut dengan lebih jelas. “Lihat itu,” katanya, menunjuk ke arah horizon. “Ayahmu bilang, laut itu seperti hidup—kadang tenang, kadang berombak, tapi selalu indah. Ibu ingin kalian ingat itu, apa pun yang terjadi nanti.” Azura dan Zivran mengangguk, tak mampu berkata apa-apa. Mereka berdiri bersama, memandang laut yang berkilau, merasakan kehadiran Luthran dalam angin, dalam ombak, dalam cinta yang Vionita bawa hingga akhir.

Malam itu, saat mereka kembali ke hotel, suasana hening menyelimuti mereka. Vionita tertidur di perjalanan, wajahnya lebih damai dari sebelumnya. Azura dan Zivran duduk di balkon kamar hotel, memandang lampu-lampu kota Batam yang berkelap-kelip. “Zur, lo pikir kita bisa lanjutin mimpi Ibu dan Bapak?” tanya Zivran tiba-tiba, memegang kerang kecil yang ia temukan di Jembatan Barelang. Azura tersenyum kecil, meski matanya basah. “Mungkin gak persis sama, Ziv. Tapi kita bisa bikin sesuatu yang bikin mereka bangga. Kita simpan cerita mereka, kita hidupkan kenangan mereka.”

Di tangan Azura, surat Luthran terasa seperti jangkar yang menahannya di tengah badai emosi. Ia belum siap membukanya, tapi ia tahu, suatu saat nanti, kata-kata ayahnya akan memberinya kekuatan untuk melangkah. Batam, dengan pantainya, jembatannya, dan bukitnya, telah menjadi lebih dari sekadar destinasi liburan. Ini adalah tempat di mana mereka menemukan kembali keluarga mereka, di mana mereka belajar bahwa cinta, meski rapuh, bisa abadi dalam kenangan.

Saat pesawat mereka lepas landas keesokan harinya, Azura menatap Batam yang mengecil di bawahnya. Ia memegang tangan ibunya, yang kini tertidur dengan liontin kerang di genggamannya. Di sampingnya, Zivran menatap ke luar jendela, matanya penuh harapan dan duka. Pulau itu telah mengubah mereka, menyatukan mereka dalam pelukan terakhir yang tak akan mereka lupakan. Dan di hati mereka, Batam akan selamanya menjadi rumah kenangan, tempat di mana mereka belajar untuk merindu dan melepaskan.

Pesona Batam: Jejak Hati di Pulau yang Merindu bukan hanya sebuah cerita, tetapi cerminan bagaimana Batam mampu menyatukan kenangan masa lalu dan harapan masa depan dalam pelukan lautnya yang hangat. Destinasi seperti Pantai Nongsa, Jembatan Barelang, dan Bukit Cinta menawarkan lebih dari keindahan alam—mereka adalah tempat di mana Anda bisa menemukan makna mendalam tentang keluarga, cinta, dan kehidupan. Rencanakan perjalanan Anda ke Batam sekarang, dan biarkan pulau ini meninggalkan jejak di hati Anda, seperti yang terjadi pada Azura, Vionita, dan Zivran.

Terima kasih telah menyelami kisah emosional dan pesona Batam bersama kami! Semoga cerita ini menginspirasi Anda untuk menjelajahi keindahan pulau ini dan menciptakan kenangan Anda sendiri. Sampai jumpa di petualangan berikutnya, dan jangan lupa bagikan pengalaman Anda di kolom komentar!

Leave a Reply