Daftar Isi
Kamu pernah nggak sih ngalamin momen di mana ada sesuatu yang kecil, tapi bikin penasaran banget? Kayak dapet pesan misterius di tempat yang nggak diduga? Nah, cerpen ini bakal ngajak kamu ke dunia Yuga, seorang cowok yang tiba-tiba dapet secarik kertas dengan tulisan yang bikin kepalanya muter-muter.
Siapa yang nulis? Kenapa pesannya seolah tahu masa depannya? Dan yang paling penting… apa ini tanda-tanda cinta yang nggak dia sadari? Cerita ini bakal bikin kamu ketawa, gemes, dan mungkin senyum-senyum sendiri. Siap-siap masuk ke kisah yang penuh teka-teki, bumbu romansa, dan tawa yang nggak terduga!
Pesan Rahasia di Balik Kertas Tugas
Tiga Lembar HVS dan Sebuah Deadline Kejam
Jam dinding di kelas menunjukkan pukul 13.45. Satu per satu mahasiswa mulai kehilangan fokus. Ada yang bersandar di meja, ada yang memainkan bolpoin, ada juga yang menatap kosong ke luar jendela sambil meratapi hidup.
Pak Damar, dosen Sastra Modern yang terkenal santai tapi sering menjebak mahasiswanya, berdiri di depan kelas dengan ekspresi khasnya—sebuah kombinasi antara serius dan nyebelin.
“Oke, sebelum kelas ini berakhir, saya ada satu tugas buat kalian,” katanya sambil memasukkan tangannya ke saku celana.
Seluruh kelas mulai siaga.
“Kalian harus buat cerpen.”
Beberapa mahasiswa mulai bernapas lega. Kedengarannya tidak sulit. Sampai akhirnya…
“Minimal tiga lembar HVS. Tidak boleh kurang, tidak boleh plagiat, harus menarik, dan harus bisa bikin saya ketawa atau baper. Kalau sampai saya bosan, nilai kalian turun.”
Ruang kelas yang tadinya tenang langsung dipenuhi suara keluhan.
“Pak, serius? Sekarang?” teriak seorang mahasiswa dari belakang.
Pak Damar mengangguk. “Iya, sekarang. Waktu kalian 90 menit. Kalau saya baca ceritanya dan saya bosen, ya… yaudah, nasib.”
Yuga, seorang mahasiswa yang terkenal cukup cerdas tapi sering meremehkan tugas-tugas sastra, langsung menopang dagunya dengan tangan. Matanya menatap kosong ke arah kertas kosong di mejanya.
Di sebelahnya, Runi, gadis yang selalu bersikap santai tapi nyebelin, sudah mulai menulis dengan cepat. Sesekali dia menyeringai seakan idenya mengalir deras seperti air di sungai saat hujan deras.
Yuga melirik ke arahnya. “Kamu nulis apaan?” tanyanya dengan suara malas.
Runi menoleh dengan tatapan mengejek. “Cerpen, lah. Kan disuruh Pak Damar.”
“Ya aku tahu. Maksudku, ide kamu apa?”
Runi mengangkat alisnya sambil menggigit pulpen. “Rahasia.”
Yuga mendesah. “Ayolah, kasih ide dikit.”
Runi berpura-pura berpikir sebentar lalu berbisik, “Ceritain aja kisah tragis mahasiswa yang gagal nulis cerpen tiga lembar HVS dan akhirnya ditinggal dosennya karena nilainya jatuh.”
Yuga menatapnya dengan ekspresi datar. “Gila. Itu autobiografi kalau aku pakai.”
Runi terkikik. “Makanya, nulis cepetan. Jangan cuma liatin kertas doang. Itu bukan kaca, nggak bakal mantulin inspirasi.”
Yuga mengusap wajahnya. Kenapa dia sama sekali nggak kepikiran ide? Biasanya, dia bisa improvisasi dalam segala hal. Tapi hari ini, otaknya seperti laptop jadul yang lagi hang.
Dia melihat sekeliling kelas. Beberapa mahasiswa juga terlihat panik. Ada yang sibuk menggulung-gulung rambut sambil menggigit ujung pulpen. Ada yang malah menggambar doodle di sudut kertas.
Lalu, tiba-tiba, sebuah tangan menyelipkan secarik kertas kecil ke meja Yuga.
Ia menatap kertas itu dengan bingung. Tulisan tangan di atasnya rapi, dengan tinta hitam pekat:
“Kalau kamu bisa bikin aku ketawa dengan ceritamu, aku bakal traktir kopi sebulan.”
Yuga mengerutkan kening. Siapa yang nulis ini?
Dia melirik ke arah Runi. “Kamu yang kasih ini?”
Runi menoleh sebentar lalu pura-pura sibuk menulis lagi. “Apa? Nggak. Kenapa aku harus buang-buang kertas buat kamu?”
Yuga menatap kertas itu lagi. Traktiran kopi sebulan? Itu penawaran yang terlalu bagus untuk diabaikan.
Tanpa pikir panjang, ia mengambil pulpen dan mulai menulis. Awalnya hanya coret-coretan nggak jelas. Tapi lama-lama, idenya mulai muncul.
Seorang mahasiswa yang kebingungan karena disuruh menulis cerpen tiga lembar HVS dalam waktu singkat…
Dari satu kalimat, menjadi satu paragraf. Dari satu paragraf, menjadi satu halaman. Tiba-tiba, Yuga sadar, dia sudah menulis hampir satu setengah lembar.
Namun, masalah baru muncul.
Kertas HVS miliknya habis.
“Runi, bagi kertas!” bisiknya panik.
Runi menatapnya dengan seringai puas. “Hah? Tadi siapa yang bilang kalau aku nggak boleh buang-buang kertas buat dia?”
“Runi, plis. Ini darurat!”
Runi bersandar ke kursinya. “Hmmm… berapa harga satu lembar kertas menurut kamu?”
“Aku traktir es krim seminggu!”
Runi memiringkan kepalanya, berpikir sejenak. “Dua minggu.”
“Deal!” Yuga meraih kertas dari tangannya dan mulai menulis lagi.
Waktu terus berjalan, dan akhirnya, tiga lembar HVS yang tadinya kosong mulai terisi dengan cerita absurdnya sendiri.
Ketika bel berbunyi, Pak Damar mulai mengumpulkan kertas-kertas mahasiswa. Yuga menyerahkan cerpennya dengan hati berdebar.
Namun, yang paling bikin dia penasaran bukanlah nilai dari Pak Damar, tapi siapa yang memberikan catatan misterius itu.
Sementara dia mengemasi barang-barangnya, Runi menyelipkan sesuatu ke dalam bukunya. Sebuah kertas kecil, sama seperti sebelumnya.
“Aku nggak nyangka ceritamu lucu. Kapan-kapan tulisin cerpen tentang kita, gimana?”
Yuga menatap tulisan itu lama. Jantungnya mendadak berdetak lebih cepat. Apa-apaan ini?
Dan di sanalah, tanpa dia sadari, cerpen tiga lembar HVS itu telah mengawali sebuah kisah lain yang lebih panjang.
Peri Inspirasi di Bangku Sebelah
Yuga duduk di kantin, menatap gelas kopi di depannya dengan ekspresi kosong. Sudah dua hari sejak insiden tugas cerpen tiga lembar HVS, tapi ada satu hal yang masih mengganggunya.
Kertas kecil itu.
“Aku nggak nyangka ceritamu lucu. Kapan-kapan tulisin cerpen tentang kita, gimana?”
Tulisan tangan itu rapi, tapi Yuga nggak yakin itu tulisan Runi. Bukan berarti dia nggak curiga, karena Runi adalah satu-satunya orang yang cukup iseng buat melakukan hal kayak gitu. Tapi kalau dipikir-pikir, Runi nggak pernah baca cerpennya sebelum dikumpulkan. Jadi, siapa yang sebenarnya nulis catatan itu?
“Kenapa muka kamu kayak orang habis ditinggal utang?”
Suara Runi membuyarkan lamunannya. Gadis itu duduk di seberangnya sambil membawa satu cup es krim vanila. Yuga meliriknya malas.
“Kenapa kamu selalu muncul pas aku lagi tenang?”
Runi menyeringai. “Kebetulan. Tapi ngomong-ngomong, tugas cerpen kamu dapet nilai berapa?”
Yuga mendengus. “Belum dikasih tahu.”
“Serius? Punya aku udah dinilai. Pak Damar bilang ceritaku menarik.”
Yuga menaikkan alis. “Ceritanya tentang apa?”
Runi mengaduk es krimnya sebelum menjawab, “Tentang seorang cowok yang nggak sadar kalau cewek di sebelahnya adalah inspirasi terbesar dalam hidupnya.”
Yuga hampir tersedak kopinya. “Serius?”
Runi mengangkat bahu dengan santai. “Mungkin aja ceritanya nyata.”
Yuga mempersempit matanya, mencoba membaca maksud tersembunyi dari kata-kata Runi. Tapi sebelum dia bisa bertanya lebih jauh, seseorang memanggil namanya dari kejauhan.
“Yuga!”
Mereka berdua menoleh. Seorang gadis berambut pendek dengan kemeja oversized putih berlari kecil ke arah mereka. Itu Sela, teman sekelas mereka yang dikenal sebagai mahasiswa paling rajin dan aktif dalam berbagai kegiatan kampus.
“Aku nyari kamu sejak tadi! Ini, tugas cerpen kamu!” Sela menyerahkan sebuah kertas yang sudah penuh dengan coretan catatan di pinggirannya.
Yuga mengambilnya dengan bingung. “Dari mana kamu dapet ini?”
“Aku bantu Pak Damar ngoreksi tugas kalian. Jadi aku sempet baca beberapa cerpen, termasuk punyamu,” jelas Sela.
Runi menyikut Yuga pelan. “Jadi, gimana? Ceritanya bagus nggak?”
Sela tersenyum kecil. “Lucu. Aku suka bagian akhirnya. Oh iya, ada yang nitip pesan buat kamu.”
Yuga langsung waspada. “Pesan apa?”
Sela mengeluarkan secarik kertas kecil dari saku bajunya dan menyerahkannya pada Yuga.
“Kamu boleh jadi penulis hebat suatu hari nanti, tapi jangan sampai lupa siapa yang pertama kali jadi inspirasimu.”
Yuga membaca tulisan itu berulang kali. Hatinya berdebar.
“Siapa yang kasih ini?” tanyanya cepat.
Sela hanya tersenyum misterius. “Tebak sendiri.”
Yuga menoleh ke Runi, tapi gadis itu pura-pura sibuk dengan es krimnya.
Dan di sanalah, teka-teki itu semakin membuatnya penasaran.
Ketika Kertas Menentukan Takdir
Yuga berusaha bersikap biasa saja, tapi dalam kepalanya, pertanyaan tentang si pemberi pesan itu terus bergema. Siapa yang menulisnya? Kenapa mereka begitu percaya kalau dia bakal jadi penulis hebat?
Sela sudah pergi setelah mengantarkan tugasnya, dan sekarang tinggal dia dan Runi yang masih duduk di kantin. Runi masih mengaduk-aduk es krimnya dengan malas, sementara Yuga menatap secarik kertas kecil di tangannya seperti sedang meneliti dokumen rahasia negara.
“Kamu kenapa sih? Dari tadi kayak orang lagi coba memecahkan kode nuklir,” celetuk Runi sambil menopang dagu.
“Menurut kamu…” Yuga menggantungkan kalimatnya sebentar, mencoba mencari cara yang nggak terlalu kentara untuk menyelidiki sesuatu. “Tulisan tangan ini mirip tulisan siapa?”
Runi melirik sekilas ke kertas itu sebelum kembali menyeruput es krimnya dengan santai. “Gimana aku tahu? Aku bukan detektif grafologi.”
“Kamu yakin ini bukan tulisan kamu?” Yuga mempersempit matanya.
Runi menahan senyum. “Kamu berharap ini tulisan aku?”
“Bukan itu maksudku—”
“Berarti kamu curiga ke aku?”
Yuga menghela napas panjang. “Nggak. Aku cuma…”
“Cuma apa?” Runi mencondongkan tubuhnya mendekat dengan ekspresi jahil.
“Cuma penasaran, oke?” Yuga akhirnya mengakui.
Runi tersenyum kecil, lalu dengan tenang menarik kertas dari tangan Yuga dan melihatnya lagi.
“Hmm… aku punya satu tebakan,” katanya sambil menggoyang-goyangkan kertas itu di depan wajah Yuga.
“Siapa?”
“Kalau aku kasih tahu, kamu bakal traktir aku boba?”
Yuga mendelik. “Kenapa tiba-tiba jadi harus traktir?”
Runi mengangkat bahu. “Informasi itu mahal, bro. Kamu mau tahu atau enggak?”
Yuga menggerutu dalam hati, tapi akhirnya mengangguk. “Oke. Tapi kalau tebakan kamu salah, kamu yang traktir aku boba.”
“Deal!” Runi menyeringai. “Orang yang menulis ini… bisa jadi Sela.”
Yuga mengerutkan kening. “Sela?”
“Ya! Kamu pikir kenapa dia yang nganterin tugas kamu? Dia bilang bantu Pak Damar, tapi bisa aja dia sengaja mau lihat reaksi kamu pas baca pesannya.”
Yuga memproses kemungkinan itu. Memang masuk akal.
“Tapi kenapa Sela?” tanyanya, masih setengah ragu.
Runi menatap Yuga dengan ekspresi ‘masa kamu nggak sadar sih?’. “Gimana kalau dia suka sama kamu?”
Yuga hampir tersedak kopi yang tinggal sedikit. “Hah? Ngaco kamu!”
“Buktinya?” Runi mengangkat alis. “Dia baik ke kamu. Dia baca cerpen kamu dengan penuh perhatian. Dia kasih catatan di pinggiran kertasnya. Terus tiba-tiba dia nitip pesan misterius ini buat kamu. Coba pikirin, Yuga. Itu semua kode keras, tahu?”
Yuga terdiam. Dia memang nggak pernah terlalu memperhatikan Sela. Mereka cuma teman sekelas yang sesekali ngobrol kalau ada tugas kelompok. Tapi kalau dipikir-pikir lagi… apakah mungkin Sela benar-benar tertarik padanya?
“Atau,” Runi menambahkan dengan nada misterius, “bisa aja tebakan aku salah, dan orang yang nulis ini bukan Sela.”
Yuga mendesah lelah. “Jadi kamu sendiri nggak yakin?”
Runi tertawa pelan. “Aku cuma kasih teori. Tapi kalau kamu penasaran, kenapa nggak tanya langsung ke orangnya?”
Yuga terdiam. Runi benar. Kalau dia mau tahu jawabannya, satu-satunya cara adalah menghadapi Sela dan bertanya langsung. Tapi pertanyaannya sekarang: apakah dia cukup berani untuk melakukannya?
Jawaban di Balik Tulisan Tangan
Yuga menatap layar ponselnya. Chat dengan Sela terbuka, tapi jempolnya hanya melayang di atas keyboard tanpa mengetik apa pun. Mau nanya langsung? Terlalu frontal. Nunggu sampai ketemu di sekolah? Bisa kelamaan.
Di tengah kebimbangannya, notifikasi masuk. Dari Sela.
Sela: Besok pagi aku di taman belakang sekolah. Ada yang mau aku omongin. Datang, ya?
Jantung Yuga berdebar lebih cepat. Seakan semesta mempermudah semuanya, Sela sendiri yang minta ketemu.
Besok paginya, Yuga berdiri di taman belakang sekolah. Tempat ini cukup sepi, hanya ada bangku kayu dan pohon besar yang menaungi sebagian area. Sela sudah ada di sana, duduk dengan tangan menggenggam sesuatu.
“Tumben kamu datang duluan,” Sela tersenyum saat melihatnya.
“Ya… kebetulan aku juga mau nanya sesuatu,” kata Yuga, mencoba terdengar santai meski dalam hati gelisah.
Sela menatapnya sesaat, lalu menyerahkan secarik kertas yang dilipat rapi. “Aku mau jujur,” katanya pelan.
Yuga mengambil kertas itu dengan ragu, lalu membukanya. Begitu melihat isinya, dia membeku. Itu tulisan yang sama dengan yang dia temukan di tugasnya.
“Kamu…” Yuga menelan ludah. “Kamu yang nulis ini?”
Sela mengangguk pelan. “Maaf kalau kesannya aneh. Aku cuma… beneran suka baca cerpen kamu. Dan aku yakin suatu hari nanti kamu bakal jadi penulis hebat.”
Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Yuga merasa lidahnya kelu. Dia membayangkan segala kemungkinan—bahwa mungkin ini bagian dari lelucon, atau mungkin dia salah paham—tapi dari tatapan Sela, dia tahu gadis itu tulus.
“Kenapa kamu nggak bilang langsung?” Yuga akhirnya bertanya.
Sela tersenyum kecil. “Aku takut kamu anggap aku sok tahu.”
Yuga tertawa tipis. “Kalau kamu sok tahu, berarti kamu tahu nggak… kalau aku juga suka baca tulisan kamu?”
Sela menatapnya, terkejut. “Hah?”
“Kamu suka nulis di mading sekolah, kan?” Yuga menatapnya dengan penuh arti. “Aku sering baca. Dan aku suka.”
Sela menutup mulutnya dengan tangan, jelas nggak nyangka. “Kamu… serius?”
“Serius.” Yuga mengangkat bahu. “Kalau aku bakal jadi penulis hebat, kamu juga. Mungkin kita bakal nerbitin buku bareng suatu hari nanti.”
Pipi Sela merona, dan Yuga sadar kalau kata-katanya tadi mungkin terdengar terlalu berani. Tapi entah kenapa, dia nggak menyesal mengatakannya.
Sela menunduk, tersenyum malu-malu. “Mungkin… suatu hari nanti.”
Di kejauhan, lonceng sekolah berbunyi, tapi keduanya masih duduk di sana, membiarkan pagi yang baru saja dimulai mengukir cerita mereka sendiri.
Gimana? Gemes banget, kan? Dari sekadar tugas sekolah, eh malah jadi awal cerita yang bakal diingat seumur hidup. Kadang hal-hal kecil yang nggak kita duga bisa jadi awal dari sesuatu yang lebih besar—termasuk perasaan yang nggak sadar udah ada dari lama!
Kalau kamu suka cerita ini, kasih tahu dong bagian mana yang paling bikin kamu ketawa atau baper! Jangan lupa, siapa tahu kamu juga pernah ngalamin hal kayak gini di dunia nyata. Kalau ada yang diam-diam nyimpen rasa buat kamu… ya, siapa tahu!


