Pertemuan di Ujung Senja: Kisah Gadis Kecil dan Kakek Tua di Bus

Posted on

Apakah Anda pernah merasakan keajaiban pertemuan tak terduga yang mengubah hidup? Dalam cerpen Pertemuan di Ujung Senja: Kisah Gadis Kecil dan Kakek Tua di Bus, kisah Lintang Alunita dan Pak Solihin Matarasa mengajak Anda menyelami perjalanan emosional yang penuh makna. Di tengah perjalanan bus yang sederhana, seorang gadis kecil dengan buku catatan penuh puisi bertemu dengan seorang kakek pelaut yang menyimpan rahasia masa lalu. Cerita ini bukan hanya tentang perjalanan fisik, tetapi juga tentang bagaimana kehilangan, kerinduan, dan cinta dapat terjalin kembali melalui ikatan tak terduga. Siapkah Anda terhanyut dalam cerita yang sarat emosi, detail, dan kehangatan ini?

Pertemuan di Ujung Senja

Awal Perjalanan di Pagi Abu-Abu

Langit pagi di kota kecil bernama Sukamendung pada tahun 2024 tampak kelabu, seolah-olah alam sedang menahan napas. Awan tebal bergelayut rendah, menyisakan aroma tanah basah dari hujan semalam yang masih tersisa di udara. Di sebuah halte bus tua yang catnya sudah mengelupas, berdiri seorang gadis kecil bernama Lintang Alunita. Usianya baru sembilan tahun, tapi matanya yang bulat dan cerdas memancarkan kepekaan yang tak biasa untuk anak seusianya. Rambutnya yang dikepang dua diikat pita merah pudar, dan tas punggungnya yang usang tampak kebesaran di pundaknya yang kecil. Ia memegang erat sebuah buku catatan kecil berwarna biru tua, yang halaman-halamannya sudah mulai menguning di tepian.

Lintang menatap jalanan yang lengang, menunggu bus antarkota yang akan membawanya ke rumah neneknya di desa sebelah, sekitar dua jam perjalanan dari Sukamendung. Ia tidak sendiri, tapi ia merasa begitu. Ibunya, Ratih, berdiri beberapa langkah di belakang, sibuk berbicara dengan seseorang di telepon. Suara ibunya terdengar tegang, penuh dengan nada khawatir yang sudah biasa Lintang dengar belakangan ini. “Iya, Bu, aku tahu… tapi aku harus kerja. Lintang akan baik-baik saja di tempat Ibu. Aku cuma minta tolong jaga dia minggu ini,” ujar Ratih dengan nada yang berusaha tegas tapi rapuh.

Lintang tidak benar-benar mendengarkan. Pikirannya melayang ke buku catatannya, tempat ia menulis puisi-puisi pendek tentang hal-hal yang ia lihat sehari-hari: burung yang hinggap di kabel listrik, daun yang jatuh di selokan, atau wajah-wajah asing di pasar. Ia suka menulis karena itu membuatnya merasa dunia tidak terlalu besar dan menakutkan. Tapi hari ini, hatinya terasa berat. Ia tidak ingin pergi ke rumah nenek. Bukan karena ia tidak menyukai neneknya—ia sangat menyayangi Nenek Sari—tapi karena ia tahu ibunya sedang berjuang sendirian. Ayahnya pergi dua tahun lalu, meninggalkan mereka tanpa pesan, tanpa alasan, hanya sebuah keheningan yang kini mengisi rumah kecil mereka.

Bus akhirnya tiba dengan deru mesin yang berisik, memecah kesunyian pagi. Bus itu tua, dengan bodi berkarat di beberapa bagian dan jendela-jendela yang berderit saat dibuka. Lintang menoleh ke ibunya, yang kini sudah selesai menelepon dan berjalan mendekat. “Lintang, dengar Ibu. Di rumah Nenek, kamu harus sopan, ya? Jangan lupa baca buku pelajaranmu. Ibu akan menjemputmu minggu depan.” Ratih berlutut di depan Lintang, merapikan pita di kepangannya dengan tangan yang sedikit gemetar.

Lintang hanya mengangguk, matanya menatap sepatu ibunya yang sudah usang. “Ibu nanti pulang malam lagi?” tanyanya pelan, hampir seperti bisik.

Ratih tersenyum, tapi senyumnya tidak sampai ke matanya. “Ibu akan usaha pulang lebih cepat. Sekarang, naik busnya. Nenek sudah menunggu.”

Dengan langkah kecil, Lintang naik ke dalam bus, memilih tempat duduk di dekat jendela di baris ketiga. Ia suka duduk di dekat jendela karena ia bisa melihat dunia berlalu, seperti menonton film tanpa suara. Penumpang lain mulai masuk, kebanyakan adalah pedagang yang membawa keranjang berisi sayuran atau pekerja yang akan ke kota tetangga. Ada pula seorang ibu muda dengan bayi yang menangis di pangkuannya, dan seorang pemuda yang sibuk dengan ponselnya, earphone tersumbat di telinganya.

Saat bus mulai bergerak, Lintang membuka buku catatannya dan menulis dengan pensil pendek yang sudah tumpul:
Pagi ini langit seperti menangis, tapi tidak ada air mata. Apakah langit juga merasa kesepian seperti aku?

Ia menutup buku catatannya ketika seseorang duduk di kursi di sebelahnya. Aroma kayu tua dan minyak angin menyengat hidungnya. Ia menoleh dan mendapati seorang kakek tua, yang wajahnya penuh kerutan seperti peta tua yang sudah dilipat berkali-kali. Rambutnya putih tipis, hampir habis, dan ia mengenakan kemeja flanel yang sedikit kusut dengan rompi cokelat yang tampak terlalu besar untuk tubuhnya yang kurus. Di tangannya, ia memegang sebuah tongkat kayu yang ujungnya sudah aus, seolah-olah telah menemaninya selama puluhan tahun.

“Pagi, Nak,” sapa kakek itu dengan suara serak tapi hangat. Matanya, yang tersembunyi di balik kacamata tebal, memandang Lintang dengan penuh kelembutan. “Nama Kakek adalah Pak Solihin Matarasa. Kamu boleh panggil Kakek Sol saja. Kamu mau ke mana?”

Lintang ragu-ragu sejenak. Ia diajarkan untuk tidak berbicara dengan orang asing, tapi ada sesuatu dalam nada suara kakek itu yang membuatnya merasa aman. “Ke rumah nenek di Desa Cempaka, Kek,” jawabnya pelan, sambil memeluk buku catatannya lebih erat.

“Desa Cempaka? Tempat yang bagus. Bunga-bunganya selalu wangi, seperti kenangan masa kecil Kakek,” ujar Pak Solihin dengan senyum kecil. Ia mencondongkan tubuhnya sedikit ke arah Lintang, seolah ingin berbagi rahasia. “Kamu suka menulis, ya? Kakek lihat buku itu di tanganmu. Apa yang kamu tulis?”

Lintang terkejut. Ia tidak terbiasa orang lain memperhatikan buku catatannya. “Cuma… puisi. Tentang apa yang aku lihat,” jawabnya, nadanya sedikit defensif.

“Puisi itu seperti jendela hati, Nak. Kamu menulis, berarti kamu punya banyak cerita di dalam sini.” Pak Solihin menunjuk dadanya sendiri dengan tangan yang gemetar. “Kakek dulu juga suka menulis. Tapi sekarang, tangan Kakek sudah tak sekuat dulu.”

Lintang memandang tangan kakek itu, yang penuh bintik-bintik usia dan urat-urat yang menonjol. Ada sesuatu dalam caranya berbicara yang membuat Lintang penasaran, tapi ia belum tahu apa. Bus berderit saat melewati jalan berlubang, dan pemandangan di luar jendela berubah dari rumah-rumah sederhana menjadi sawah-sawah yang hijau, meski sedikit layu karena musim kemarau yang panjang.

“Apa yang Kakek tulis dulu?” tanya Lintang, akhirnya memberanikan diri.

Pak Solihin tertawa kecil, suaranya seperti daun kering yang bergesekan. “Cerita-cerita tentang laut. Kakek dulu pelaut, tahu? Berlayar ke pulau-pulau yang bahkan tak ada di peta. Kakek menulis tentang ombak, tentang bintang-bintang di malam hari, dan tentang orang-orang yang Kakek temui di pelabuhan-pelabuhan jauh.”

Mata Lintang membulat. “Pelaut? Benar? Kakek pernah lihat putri duyung?”

Pak Solihin terkekeh, tapi ada sedikit kesedihan di matanya. “Putri duyung mungkin cuma cerita, Nak. Tapi laut… laut punya cara sendiri untuk berbicara. Kalau kamu dengarkan baik-baik, ia akan ceritakan rahasianya.”

Lintang tidak tahu mengapa, tapi kata-kata kakek itu membuatnya merasa sedikit lebih ringan. Ia membayangkan laut yang luas, ombak yang bergulung, dan bintang-bintang yang berkilau di langit malam. Ia belum pernah melihat laut secara langsung—hanya di televisi atau di buku-buku perpustakaan sekolah. Tapi mendengar Pak Solihin berbicara, ia merasa seolah-olah ia bisa mencium aroma garam di udara.

Perjalanan berlanjut, dan mereka mulai berbincang lebih banyak. Pak Solihin menceritakan tentang masa mudanya, tentang kapal-kapal yang ia tumpangi, dan tentang badai yang pernah hampir menelannya. Lintang mendengarkan dengan penuh perhatian, sesekali menulis di buku catatannya ketika ada kalimat yang ia sukai. “Ombak itu seperti hidup, Nak,” kata Pak Solihin di satu titik. “Kadang tenang, kadang ganas. Tapi kalau kamu belajar menari dengannya, kamu tak akan tenggelam.”

Lintang tidak sepenuhnya mengerti, tapi ia menulis kalimat itu dengan hati-hati: Ombak itu seperti hidup. Menari dengannya agar tak tenggelam.

Saat bus berhenti di sebuah halte kecil untuk menurunkan beberapa penumpang, Pak Solihin mengeluarkan sebuah kotak kecil dari saku rompinya. Kotak itu terbuat dari kayu, diukir dengan gambar-gambar kapal dan ombak. Ia membukanya perlahan, memperlihatkan sebuah kompas tua yang jarumnya sedikit berkarat. “Ini teman Kakek selama bertahun-tahun,” katanya. “Kompas ini selalu membawa Kakek pulang, tak peduli seberapa jauh Kakek berlayar.”

Lintang menatap kompas itu dengan kagum. “Kakek masih pakai itu?”

“Tidak lagi,” jawab Pak Solihin, nadanya tiba-tiba melunak. “Kakek sudah tak berlayar lagi. Sekarang, Kakek cuma bepergian untuk menemui kenangan.”

Lintang ingin bertanya lebih banyak, tapi ada sesuatu dalam nada suara kakek itu yang membuatnya diam. Ia merasakan ada luka di balik kata-kata itu, luka yang terlalu dalam untuk disentuh oleh seorang anak kecil seperti dirinya. Bus kembali bergerak, dan percakapan mereka terhenti sejenak. Lintang menatap keluar jendela, melihat sawah-sawah yang kini mulai berwarna kuning keemasan di bawah sinar matahari yang akhirnya muncul dari balik awan.

Di dalam hatinya, Lintang merasa ada sesuatu yang berubah. Pertemuan dengan Pak Solihin, meski baru beberapa jam, terasa seperti awal dari sebuah petualangan yang ia belum pahami. Ia tidak tahu bahwa kakek tua itu, dengan cerita-ceritanya tentang laut dan kompas tuanya, akan mengubah cara ia memandang dunia—dan dirinya sendiri.

Rahasia di Balik Kompas Tua

Bus terus melaju menyusuri jalanan yang berkelok-kelok, meninggalkan hamparan sawah dan memasuki kawasan perbukitan yang dipenuhi pohon-pohon pinus. Aroma tanah basah kini bercampur dengan wangi resin pinus yang menyelinap melalui jendela bus yang sedikit terbuka. Lintang Alunita masih duduk di samping Pak Solihin Matarasa, tangannya memeluk buku catatan biru tuanya seperti perisai. Ia sesekali melirik kakek itu, yang kini tengah memandang ke luar jendela dengan ekspresi yang sulit dibaca—campuran antara nostalgia dan kesedihan yang dalam.

“Lintang, kamu pernah kehilangan sesuatu yang sangat berarti?” tanya Pak Solihin tiba-tiba, tanpa menoleh. Suaranya pelan, hampir tenggelam oleh deru mesin bus.

Lintang mengerutkan kening, berpikir keras. Ia teringat boneka kelinci kesayangannya yang hilang di pasar setahun lalu, tapi ia tahu itu bukan yang dimaksud kakek itu. “Ayah,” jawabnya akhirnya, suaranya hampir tidak terdengar. “Ayah pergi dua tahun lalu. Aku nggak tahu ke mana.”

Pak Solihin menoleh, matanya yang buram karena usia tampak berbinar sejenak. “Maaf, Nak. Kakek tak bermaksud membuka luka. Tapi kehilangan itu… seperti ombak yang datang tanpa diundang. Kamu tak bisa menghentikannya, tapi kamu bisa belajar berenang.”

Lintang tidak menjawab, tapi ia merasakan sesuatu yang hangat di dadanya. Ia tidak terbiasa berbicara tentang ayahnya. Ibunya selalu mengalihkan pembicaraan setiap kali ia bertanya, dan neneknya hanya akan menghela napas panjang sambil mengelus kepalanya. Tapi dengan Pak Solihin, ia merasa bisa jujur, meski hanya sedikit.

“Kakek pernah kehilangan apa?” tanya Lintang, suaranya penuh rasa ingin tahu.

Pak Solihin tersenyum tipis, tapi senyumnya penuh kerut-kerut pahit. Ia memegang kotak kayu berisi kompas tua itu lebih erat. “Banyak hal, Nak. Teman-teman di laut, kapal yang Kakek cintai, dan… seseorang yang sangat berarti bagi Kakek.”

Lintang ingin bertanya lebih lanjut, tapi ia melihat tangan Pak Solihin gemetar saat memegang kotak itu. Ia memutuskan untuk diam, kembali menulis di buku catatannya: Kehilangan itu seperti ombak. Kamu tak bisa menghentikannya, tapi kamu bisa belajar berenang.

Perjalanan berlanjut, dan bus berhenti di sebuah pasar kecil di tepi jalan. Beberapa penumpang turun, membawa keranjang-keranjang penuh sayuran dan buah-buahan. Seorang penjual makanan masuk, menawarkan pisang goreng dan teh manis dalam gelas plastik. Pak Solihin membeli dua pisang goreng dan memberi satu kepada Lintang. “Makan, Nak. Perjalanan masih panjang,” katanya sambil tersenyum.

Lintang menerima pisang goreng itu dengan ragu-ragu. “Kakek nggak apa-apa beli ini buat aku?”

“Apa salahnya berbagi sedikit kebahagiaan?” jawab Pak Solihin. “Lagi pula, Kakek suka melihat anak kecil tersenyum. Mengingatkan Kakek pada… masa lalu.”

Lintang menggigit pisang goreng itu, rasanya manis dan hangat, tapi pikirannya masih tertuju pada kata-kata kakek itu. Ia ingin tahu lebih banyak tentang “seseorang” yang hilang dari hidup Pak Solihin, tapi ia tidak tahu bagaimana caranya bertanya tanpa terdengar usil. Sebagai gantinya, ia membuka buku catatannya lagi dan menulis: Pisang goreng itu manis, tapi kenangan Kakek terasa pahit.

“Kamu menulis apa lagi, Nak?” tanya Pak Solihin, melirik buku catatan itu dengan penuh minat.

“Cuma… pikiran,” jawab Lintang, sedikit malu. “Kakek tadi bilang tentang seseorang yang berarti. Siapa dia?”

Pertanyaan itu keluar begitu saja, dan Lintang langsung menyesal. Ia takut kakek itu akan marah atau diam seperti ibunya setiap ia bertanya tentang ayah. Tapi Pak Solihin hanya menghela napas panjang, memandang kompas tua di tangannya.

“Namanya Aisyah,” katanya akhirnya, suaranya seperti angin yang berbisik di antara pohon-pohon pinus di luar. “Dia adalah putri Kakek. Satu-satunya anak Kakek.”

Lintang merasa jantungnya berdegup kencang. Ia tidak menyangka kakek itu akan menjawab. “Di mana dia sekarang?” tanyanya hati-hati.

Pak Solihin tidak segera menjawab. Ia membuka kotak kayunya lagi, mengeluarkan kompas itu, dan memandangnya seolah-olah jawabannya ada di sana. “Dia… pergi. Sudah lama sekali. Tapi Kakek masih mencarinya, dalam caraku sendiri.”

Lintang tidak mengerti, tapi ia bisa merasakan beban di balik kata-kata itu. Ia teringat ayahnya lagi, dan tiba-tiba matanya terasa panas. Ia buru-buru mengalihkan pandangannya ke jendela, berpura-pura memperhatikan pohon-pohon yang berlalu. “Aku juga ingin ayah pulang,” bisiknya, hampir tak terdengar.

Pak Solihin mendengarnya. Ia tidak berkata apa-apa, hanya mengulurkan tangannya yang keriput dan menepuk pundak Lintang dengan lembut. “Kita semua punya luka, Nak. Tapi luka itu yang membuat kita manusia. Dan kadang, orang-orang yang kita temui di perjalanan ini… mereka membantu kita membawa luka itu sedikit lebih ringan.”

Lintang tidak tahu harus menjawab apa. Ia hanya mengangguk, merasakan kehangatan tangan kakek itu di pundaknya. Bus terus melaju, dan percakapan mereka berlanjut, beralih ke hal-hal yang lebih ringan. Pak Solihin menceritakan tentang ikan-ikan raksasa yang pernah ia lihat di laut, tentang burung-burung camar yang mengikuti kapalnya, dan tentang pelabuhan-pelabuhan yang penuh warna dan suara. Lintang mendengarkan dengan penuh semangat, sesekali tertawa kecil saat Pak Solihin menirukan suara burung camar atau gerakan ikan yang melompat.

Tapi di tengah tawa itu, Lintang tidak bisa mengabaikan perasaan bahwa ada sesuatu yang belum selesai. Kompas tua itu, cerita tentang Aisyah, dan tatapan Pak Solihin yang selalu kembali ke masa lalu—semuanya seperti teka-teki yang belum ia pecahkan. Ia menulis lagi di buku catatannya: Kompas Kakek menunjuk ke mana? Apakah ke rumah, atau ke tempat yang sudah hilang?

Saat matahari mulai condong ke barat, bus akhirnya memasuki Desa Cempaka. Pemandangan berubah menjadi deretan rumah kayu dengan halaman penuh bunga cempaka yang harum. Lintang tahu perjalanannya hampir selesai, tapi ia tidak ingin berpisah dengan Pak Solihin. Ada sesuatu dalam diri kakek itu yang membuatnya merasa dilihat, didengar, dan dipahami—sesuatu yang sudah lama tidak ia rasakan.

“Kakek turun di sini?” tanya Lintang saat bus mulai melambat.

Pak Solihin menggeleng. “Kakek masih harus melanjutkan perjalanan, Nak. Tapi Kakek senang bertemu denganmu. Kamu… mengingatkan Kakek pada Aisyah.”

Lintang merasa pipinya memanas. “Aku juga senang ketemu Kakek. Cerita Kakek seru.”

Pak Solihin tersenyum, lalu mengeluarkan sesuatu dari saku rompinya—sebuah rantai kecil dengan liontin berbentuk bintang laut. “Ini untukmu,” katanya, menyerahkan liontin itu ke tangan Lintang. “Supaya kamu ingat laut, dan bahwa hidup itu seperti ombak. Jangan takut menari dengannya.”

Lintang memegang liontin itu dengan hati-hati, merasakan tekstur kasar bintang laut yang terukir di permukaannya. “Terima kasih, Kek,” bisiknya, suaranya penuh emosi.

Bus berhenti, dan Lintang tahu saatnya ia turun. Ia memeluk buku catatannya dan liontin bintang laut itu, lalu melangkah keluar dengan hati yang bercampur antara bahagia dan sedih. Ia menoleh sekali lagi ke arah Pak Solihin, yang mengangguk kepadanya dengan senyum yang lembut.

Saat bus mulai bergerak lagi, Lintang berdiri di tepi jalan, menatap bus itu menghilang di tikungan. Ia merasa seperti kehilangan sesuatu, tapi juga mendapatkan sesuatu yang baru. Di tangannya, liontin bintang laut itu terasa hangat, seperti janji bahwa perjalanan ini belum selesai.

Jejak Kenangan di Desa Cempaka

Langit di Desa Cempaka pada sore itu, tahun 2024, berwarna jingga lembut, seperti lukisan cat air yang perlahan memudar. Aroma bunga cempaka menyelinap di udara, bercampur dengan bau tanah kering dan asap dari dapur-dapur kayu di rumah-rumah sekitar. Lintang Alunita berdiri di tepi jalan berdebu, masih memegang liontin bintang laut pemberian Pak Solihin Matarasa. Bus yang membawanya dari Sukamendung sudah lenyap di kejauhan, meninggalkan dengung mesin yang perlahan memudar di telinganya. Ia memandang liontin itu, jari-jarinya kecil mengelus permukaan kasar ukiran bintang laut, dan hatinya terasa penuh dengan perasaan yang sulit ia jelaskan—campuran antara kehangatan dan secercah kesedihan.

Nenek Sari, seorang wanita berusia enam puluh tahun dengan rambut kelabu yang diikat rapi, menunggu di depan rumah kayu sederhana yang dikelilingi pohon mangga dan tanaman cabai. Wajahnya yang penuh kerut tersenyum lebar saat melihat Lintang berjalan mendekat, tas punggungnya yang kebesaran bergoyang di pundaknya. “Lintang, sayangku! Sudah besar sekali kamu!” seru Nenek Sari, membuka tangannya lebar-lebar. Lintang berlari kecil ke pelukan neneknya, mencium aroma minyak kelapa dan daun pandan yang selalu melekat pada Nenek Sari.

“Sudah makan apa belum? Busnya lama, ya? Nenek sudah masak sup kacang merah kesukaanmu,” kata Nenek Sari sambil mengelus kepala Lintang, memperhatikan pita merah pudar di kepangannya. “Ibumu bilang kamu akan tinggal seminggu. Kita akan bersenang-senang, ya?”

Lintang mengangguk, tapi pikirannya masih melayang pada Pak Solihin dan cerita-ceritanya tentang laut. Ia ingin menceritakan pertemuannya di bus kepada neneknya, tapi ia tidak tahu dari mana harus memulai. Ia hanya menggenggam liontin bintang laut itu lebih erat dan mengikuti Nenek Sari masuk ke dalam rumah. Di dalam, rumah itu sederhana namun hangat, dengan lantai kayu yang sudah usang, meja makan kecil yang ditutup taplak kain berbunga, dan sebuah lemari tua yang penuh dengan foto-foto keluarga. Salah satu foto menarik perhatian Lintang: seorang pria muda dengan seragam pelaut, tersenyum lebar di samping perahu kecil. Ia bertanya-tanya apakah itu ayahnya, tapi wajah pria itu terasa asing.

Malam itu, setelah makan malam dengan sup kacang merah dan nasi hangat, Lintang duduk di beranda rumah bersama Nenek Sari. Angin malam membawa aroma bunga cempaka yang semakin kuat, dan jangkrik bernyanyi di kejauhan. Lintang membuka buku catatannya, menunjukkan puisi-puisi pendeknya kepada neneknya. “Nenek, ini yang aku tulis di bus tadi,” katanya, menunjukkan kalimat yang ia tulis tentang ombak dan kehidupan. “Aku ketemu seorang kakek di bus. Namanya Pak Solihin. Dia bilang dia pelaut dulu, dan dia kasih aku ini.” Lintang mengangkat liontin bintang laut itu, yang kini tergantung di lehernya dengan tali tipis.

Nenek Sari mengerutkan kening, matanya menyipit saat memandang liontin itu. “Solihin Matarasa, kamu bilang?” tanyanya, nadanya tiba-tiba serius. “Dia ceritakan apa lagi, Lintang?”

Lintang menceritakan semua yang ia ingat: cerita Pak Solihin tentang laut, kompas tua yang selalu membawanya pulang, dan tentang Aisyah, putri yang hilang dari hidupnya. Nenek Sari mendengarkan dengan penuh perhatian, tapi wajahnya berubah, seolah-olah kenangan lama tiba-tiba bangkit dari tidurnya. “Lintang, kamu harus hati-hati dengan orang asing, ya? Tapi… kakek itu terdengar seperti orang baik,” ujarnya akhirnya, meski nadanya penuh keraguan.

Lintang tidak menyadari perubahan ekspresi neneknya. Ia terlalu asyik menceritakan bagaimana Pak Solihin mengajarkannya untuk “menari dengan ombak”. Ia juga menunjukkan catatannya yang penuh dengan kalimat-kalimat seperti: Kompas Kakek menunjuk ke mana? Apakah ke rumah, atau ke tempat yang sudah hilang? Nenek Sari tersenyum kecil, tapi ada sesuatu di matanya yang membuat Lintang merasa neneknya menyimpan rahasia.

Keesokan harinya, Lintang mulai menjelajahi Desa Cempaka. Ia suka berjalan di antara sawah-sawah kecil dan sungai yang mengalir di pinggir desa, membawa buku catatannya ke mana pun ia pergi. Ia menulis tentang burung-burung yang beterbangan di pagi hari, tentang anak-anak desa yang bermain layang-layang, dan tentang bunga-bunga cempaka yang jatuh di jalanan berdebu. Tapi pikirannya selalu kembali ke Pak Solihin. Ia bertanya-tanya ke mana kakek itu pergi, dan mengapa cerita tentang Aisyah terasa begitu berat baginya.

Di sore hari, saat membantu Nenek Sari menyiram tanaman di halaman, Lintang memberanikan diri bertanya. “Nenek, kamu kenal seseorang yang bernama Aisyah?”

Nenek Sari menghentikan gerakannya, tangannya yang memegang selang air terdiam. “Aisyah? Dari mana kamu dengar nama itu?” tanyanya, nadanya hati-hati.

“Dari Pak Solihin. Dia bilang Aisyah adalah putrinya yang hilang,” jawab Lintang polos, tidak menyadari bahwa pertanyaannya telah mengguncang sesuatu di hati neneknya.

Nenek Sari menghela napas panjang, lalu tersenyum tipis. “Itu cerita lama, Lintang. Banyak orang punya cerita sedih di masa lalu. Tapi kamu jangan terlalu memikirkannya. Sekarang, bantu Nenek masak untuk makan malam, ya?”

Lintang tahu neneknya mengalihkan pembicaraan, tapi ia tidak memaksa. Ia mengikuti neneknya ke dapur, membantu mengupas bawang dan mencuci sayuran, tapi pikirannya tetap dipenuhi pertanyaan. Ia merasa ada benang tak kasat mata yang menghubungkan pertemuannya dengan Pak Solihin, liontin bintang laut, dan reaksi neneknya yang aneh. Ia menulis di buku catatannya malam itu: Ada rahasia di Desa Cempaka, seperti ombak yang tersembunyi di bawah permukaan laut.

Hari-hari berikutnya di desa berlalu dengan cepat. Lintang membantu Nenek Sari di kebun, bermain dengan anak-anak tetangga, dan menulis lebih banyak puisi. Tapi setiap malam, ia memandang liontin bintang laut itu dan merasa ada cerita yang belum selesai. Ia mulai memperhatikan hal-hal kecil di rumah neneknya: sebuah kotak tua di bawah tempat tidur, beberapa surat yang tersimpan di laci meja, dan foto-foto lama yang sepertinya sengaja disembunyikan. Ia ingin bertanya, tapi ia takut neneknya akan marah atau sedih.

Suatu sore, saat hujan gerimis turun dan Lintang duduk di beranda dengan buku catatannya, ia mendengar Nenek Sari berbicara di telepon dengan suara pelan. “Ratih, aku tahu kamu sedang susah. Tapi Lintang… dia bertanya tentang Aisyah. Aku tak tahu apa yang harus kukatakan padanya.” Lintang menahan napas, berusaha mendengar lebih jelas. “Aku tak ingin dia tahu sekarang. Dia masih terlalu kecil untuk memahami semua itu.”

Lintang merasa jantungnya berdegup kencang. Ia tidak tahu siapa Aisyah sebenarnya, tapi ia yakin nama itu adalah kunci dari sesuatu yang penting. Malam itu, saat Nenek Sari sudah tertidur, Lintang menyelinap ke ruang tamu dan membuka laci meja tua itu. Di dalamnya, ia menemukan sebuah amplop kuning yang sudah usang, dengan tulisan tangan yang memudar: Untuk Sari, dari Solihin.

Dengan tangan gemetar, Lintang membuka amplop itu. Di dalamnya ada beberapa surat, sebuah foto kecil, dan sebuah gelang kecil dengan manik-manik berbentuk bintang laut. Foto itu menunjukkan seorang gadis muda, mungkin berusia tiga puluh tahun, dengan senyum yang mirip dengan senyum Lintang. Di belakang foto, ada tulisan tangan: Aisyah, 1990. Lintang merasa dunia di sekitarnya berhenti berputar. Ia tidak tahu apa artinya semua ini, tapi ia merasa telah menemukan sesuatu yang akan mengubah hidupnya.

Ia menulis di buku catatannya sebelum tidur: Aisyah adalah kunci. Tapi kunci untuk apa? Dan mengapa Nenek menyimpan rahasia ini?

Ombak yang Membawa Pulang

Hujan turun lebih deras keesokan harinya, mengubah jalan-jalan berdebu di Desa Cempaka menjadi lumpur yang licin. Lintang Alunita duduk di kamar kecil yang disediakan Nenek Sari untuknya, memandang amplop kuning yang ia temukan semalam. Surat-surat itu masih terlipat rapi di dalamnya, bersama foto Aisyah dan gelang bintang laut. Ia belum memberanikan diri membaca surat-surat itu, takut dengan apa yang mungkin ia temukan. Tapi rasa ingin tahunya lebih kuat dari ketakutannya. Ia merasa seperti sedang berdiri di tepi laut yang pernah diceritakan Pak Solihin, di mana ombak besar menunggu untuk menelannya—atau membawanya ke tempat baru.

Dengan hati-hati, ia mengeluarkan salah satu surat dari amplop itu. Tulisan tangan di kertas itu mirip dengan tulisan di belakang foto Aisyah, rapi tapi sedikit gemetar, seolah ditulis dengan penuh emosi. Surat itu bertanggal 1995, hampir tiga puluh tahun lalu. Lintang mulai membaca:

Sari, aku tahu kau tak akan memaafkanku. Aku pergi karena laut memanggilku, tapi aku tak pernah bermaksud meninggalkan Aisyah. Aku berjanji akan kembali, tapi kapal itu… badai itu mengambil segalanya dariku. Aku kehilangan dia, Sari. Putriku, Aisyahku. Jika kau membaca ini, tolong jaga dia. Beri tahu dia bahwa ayahnya mencintainya, meski aku tak pantas disebut ayah.

Surat itu ditandatangani dengan nama Solihin Matarasa. Lintang merasa napasnya tersendat. Ia membaca surat itu lagi, mencoba memahami setiap kata. Pak Solihin adalah ayah Aisyah, tapi apa hubungan Aisyah dengan Nenek Sari? Dan mengapa surat ini ada di laci neneknya? Ia mengeluarkan surat lain, yang lebih pendek, bertanggal beberapa tahun kemudian:

Sari, aku tahu kau membenciku. Tapi tolong, jika kau melihat Aisyah, katakan padanya bahwa aku mencari. Aku tak akan berhenti mencari.

Lintang merasa kepalanya pening. Ia memandang foto Aisyah lagi, memperhatikan senyumnya yang lembut dan matanya yang penuh kehangatan. Ada sesuatu di wajah itu yang terasa familiar, seperti cermin yang buram. Ia teringat ibunya, Ratih, dan tiba-tiba sebuah pikiran liar muncul di benaknya. Apakah mungkin…?

Pagi itu, Lintang menunggu hingga Nenek Sari selesai memasak sarapan sebelum memberanikan diri bertanya. Mereka duduk di meja makan, dengan semangkuk bubur kacang hijau dan pisang rebus di depan mereka. “Nenek,” kata Lintang pelan, “siapa Aisyah sebenarnya? Dan kenapa Nenek punya surat dari Pak Solihin?”

Nenek Sari menegang, sendok di tangannya terhenti di udara. Ia menatap Lintang dengan mata yang penuh kejutan dan sedikit ketakutan. “Lintang, dari mana kamu tahu semua itu?” tanyanya, nadanya hampir seperti bisik.

“Aku… aku menemukan surat-surat itu di laci,” akui Lintang, merasa bersalah tapi juga bertekad. “Aku cuma ingin tahu. Pak Solihin ceritakan tentang Aisyah di bus, dan Nenek sepertinya tahu sesuatu. Tolong ceritakan, Nenek. Aku nggak akan bilang ke siapa-siapa.”

Nenek Sari menghela napas panjang, seolah melepaskan beban yang telah ia pikul selama bertahun-tahun. Ia bangkit dari kursi, mengambil amplop kuning itu dari laci, dan duduk kembali di samping Lintang. “Kamu sudah besar, Lintang. Mungkin sudah waktunya kamu tahu,” katanya, suaranya penuh kelembutan tapi juga kesedihan. “Aisyah… adalah ibumu.”

Lintang merasa dunia di sekitarnya berputar. “Ibu? Tapi… Ibu kan namanya Ratih?”

Nenek Sari mengangguk. “Ratih adalah nama yang ibumu pilih setelah dia dewasa. Nama kecilnya adalah Aisyah. Dia… dia putri Solihin, ayahnya yang seorang pelaut. Tapi Solihin pergi ketika Aisyah masih kecil. Dia bilang dia akan kembali, tapi badai menghancurkan kapalnya, dan kami semua mengira dia sudah tiada. Aisyah—Ratih—tumbuh tanpa ayah, dan aku membesarkannya sendirian.”

Lintang memandang liontin bintang laut di lehernya, merasa jantungnya berdetak kencang. “Jadi… Pak Solihin adalah kakekku? Kakekku yang sebenarnya?”

Nenek Sari mengangguk, matanya berkaca-kaca. “Ya, Lintang. Aku tak pernah memberitahu Ratih bahwa ayahnya masih hidup. Aku mendapat surat-surat itu bertahun-tahun setelah dia pergi, tapi aku tak tahu bagaimana menemukannya. Dan Ratih… dia terluka karena ditinggalkan. Aku tak ingin membuka luka itu lagi.”

Lintang merasa air matanya mengalir tanpa ia sadari. Ia teringat wajah Pak Solihin, cerita-ceritanya tentang laut, dan tatapannya yang penuh kerinduan. Ia teringat bagaimana kakek itu menyebut namanya dengan kelembutan, seolah-olah ia adalah sesuatu yang berharga. “Kenapa Nenek nggak bilang apa-apa? Aku ketemu dia, Nenek! Dia di bus! Dia baik sekali, dan dia… dia mencari Ibu!”

Nenek Sari memeluk Lintang erat-erat, air matanya jatuh ke rambut kepang Lintang. “Maafkan Nenek, Lintang. Nenek takut. Nenek takut Ratih akan marah, atau Solihin akan pergi lagi dan menyakiti kalian berdua.”

Lintang menangis dalam pelukan neneknya, merasa campur aduk antara marah, sedih, dan bahagia. Ia ingin marah pada neneknya karena menyimpan rahasia ini, tapi ia juga memahami bahwa Nenek Sari hanya ingin melindungi ibunya—dan dirinya. Ia memegang liontin bintang laut itu, merasa seolah-olah itu adalah jembatan yang menghubungkannya dengan kakek yang baru saja ia temui.

Hari itu, Lintang dan Nenek Sari membuat rencana. Mereka akan mencari tahu ke mana Pak Solihin pergi setelah turun dari bus. Nenek Sari mengingat bahwa Solihin pernah menyebutkan sebuah kota pelabuhan kecil bernama Pelabuhan Rindu, tempat ia sering berlabuh di masa mudanya. Mereka memutuskan untuk menghubungi Ratih dan menceritakan semuanya, meski Nenek Sari khawatir ibunya akan marah.

Malam itu, Lintang menulis di buku catatannya: Aisyah adalah Ibu. Pak Solihin adalah Kakek. Ombak membawa mereka pergi, tapi mungkin juga bisa membawa mereka pulang.

Keesokan harinya, Ratih tiba di Desa Cempaka dengan wajah penuh kelelahan tapi juga tekad. Nenek Sari menceritakan semuanya, menunjukkan surat-surat dan foto Aisyah. Ratih menangis, memeluk foto itu seperti memeluk masa kecilnya yang hilang. “Kenapa Ibu nggak pernah ceritakan ini?” tanyanya, suaranya penuh luka tapi juga kerinduan.

“Aku takut, Ratih. Aku takut kau akan mencarinya dan terluka lagi,” jawab Nenek Sari.

Lintang memegang tangan ibunya. “Ibu, Kakek baik. Dia ceritakan tentang laut, tentang Ibu. Dia kasih aku ini.” Ia menunjukkan liontin bintang laut itu, dan Ratih menatapnya dengan mata berkaca-kaca.

Mereka memutuskan untuk pergi ke Pelabuhan Rindu. Perjalanan itu tidak mudah—bus antarkota harus ditempuh lagi, dan Ratih harus mengambil cuti dari pekerjaannya yang melelahkan. Tapi Lintang merasa ada harapan di hatinya, seperti ombak yang akhirnya membawa kapal pulang ke pelabuhan.

Di Pelabuhan Rindu, mereka menemukan Pak Solihin duduk di dermaga kecil, memandang laut dengan kompas tua di tangannya. Ketika ia melihat Ratih dan Lintang, matanya membelalak, dan air mata mengalir di wajahnya yang penuh kerut. “Aisyah?” bisiknya, suaranya gemetar.

Ratih berlari ke pelukannya, menangis seperti anak kecil. “Ayah… kenapa Ayah pergi?”

Lintang berdiri di samping mereka, memegang buku catatannya dan liontin bintang laut, merasa ombak dalam hatinya akhirnya tenang. Ia menulis kalimat terakhir di buku catatannya: Laut itu luas, tapi cinta selalu menemukan jalan pulang.

Pertemuan di Ujung Senja: Kisah Gadis Kecil dan Kakek Tua di Bus adalah lebih dari sekadar cerpen; ini adalah cerminan kehidupan yang mengajarkan kita tentang kekuatan ikatan keluarga, keberanian untuk menghadapi luka masa lalu, dan harapan yang selalu menemukan jalan pulang. Dengan narasi yang kaya akan detail dan emosi, cerita ini mengingatkan kita bahwa setiap perjalanan, sekecil apa pun, bisa membawa makna mendalam. Jangan lewatkan kesempatan untuk membaca kisah ini dan temukan bagaimana sebuah pertemuan singkat di bus dapat mengubah hidup selamanya.

Terima kasih telah menyempatkan waktu untuk menyelami keindahan Pertemuan di Ujung Senja. Semoga kisah ini menginspirasi Anda untuk menghargai setiap momen tak terduga dalam hidup. Sampai jumpa di artikel berikutnya, dan jangan lupa untuk terus menjelajahi cerita-cerita yang menyentuh hati!

Leave a Reply