Persahabatan yang Terukir di Bintang: Kisah Penuh Emosi Bersama Sahabat

Posted on

Menyentuh dan penuh makna, cerpen Persahabatan yang Terukir di Bintang: Kisah Penuh Emosi Bersama Sahabat mengajak Anda menyelami kisah Kinasih dan Rengga, dua sahabat yang menjalin ikatan tak terlupakan di desa kecil Sindangwangi. Penuh dengan detail yang hidup, cerita ini menggabungkan tawa, air mata, dan pelajaran mendalam tentang cinta, kehilangan, dan kenangan abadi. Temukan bagaimana persahabatan mereka mengubah cara pandang terhadap hidup dan mengapa kisah ini wajib dibaca untuk siapa saja yang merindukan cerita emosional yang autentik.

Persahabatan yang Terukir di Bintang

Pertemuan di Bawah Pohon Jati

Di sebuah desa kecil bernama Sindangwangi, yang terletak di kaki perbukitan hijau Jawa Barat, udara pagi selalu terasa sejuk, membawa aroma tanah basah dan daun-daun yang baru tersapu embun. Desa ini dikelilingi sawah yang membentang luas, dengan pohon jati tua berdiri gagah di tengah lapangan kecil, tempat anak-anak desa sering bermain. Di sanalah, pada suatu senja yang berwarna jingga, aku, Kinasih Larasati, pertama kali bertemu dengan Rengga Wicaksana.

Aku baru saja pindah ke Sindangwangi bersama keluargaku. Ayahku, seorang guru sejarah yang idealis, memutuskan untuk meninggalkan hiruk-pikuk kota demi mencari ketenangan di desa ini. Aku yang saat itu berusia 13 tahun merasa dunia ini terlalu sempit untukku. Aku rindu teman-temanku di kota, rindu suara bising kendaraan yang entah kenapa terasa nyaman, dan rindu kafe kecil di sudut jalan tempat aku biasa membaca novel. Sindangwangi terasa asing, terlalu sunyi, dan membuatku merasa seperti burung yang dikurung dalam sangkar.

Hari itu, setelah membantu ibu mengemas barang di rumah kayu sederhana kami, aku memutuskan untuk menjelajahi desa. Kakiku membawaku ke lapangan di tengah desa, tempat pohon jati tua itu berdiri. Aku duduk di akarnya yang menonjol dari tanah, memandang langit yang perlahan berubah warna. Di tanganku, sebuah buku puisi karya Sapardi Djoko Damono terbuka, tapi pikiranku melayang, dipenuhi kekhawatiran tentang bagaimana aku akan menjalani hidup di tempat yang terasa begitu jauh dari dunaku.

Tiba-tiba, sebuah suara memecah kesunyian. “Kamu suka puisi?”

Aku menoleh, sedikit tersentak. Di depanku berdiri seorang anak laki-laki dengan rambut ikal yang sedikit berantakan, kulitnya sawo matang, dan matanya berbinar seperti bintang di malam cerah. Dia mengenakan kaus sederhana berwarna biru tua dan celana pendek yang agak lusuh, tapi ada sesuatu dalam senyumnya yang membuatku merasa dia bukan orang asing. Namanya, seperti yang kemudian kutahu, adalah Rengga Wicaksana.

“Iya,” jawabku singkat, masih ragu. Aku bukan tipe yang mudah berbincang dengan orang baru, apalagi di tempat yang terasa seperti dunia lain.

“Pernah baca puisi tentang bintang?” tanyanya sambil duduk di sampingku tanpa diminta, seolah-olah kami sudah kenal bertahun-tahun. “Ada satu yang bilang, bintang itu cuma kelihatan kecil karena jauh, tapi sebenarnya mereka besar, penuh cerita.”

Aku memandangnya, sedikit terkejut dengan caranya berbicara. Ada kehangatan dalam nada suaranya, seolah-olah dia sedang menceritakan rahasia alam semesta. “Kamu suka ngomongin bintang?” tanyaku, mulai penasaran.

Rengga tertawa kecil, suaranya renyah seperti daun kering yang diinjak. “Bukan cuma bintang. Aku suka ngomongin apa saja yang bikin hidup… hidup. Kayak pohon ini,” katanya sambil menepuk batang pohon jati di belakang kami. “Dia udah ada di sini sebelum kita lahir, tahu semua cerita desa ini, tapi diam aja. Keren, kan?”

Aku tersenyum, untuk pertama kalinya sejak pindah ke Sindangwangi. Ada sesuatu dalam diri Rengga yang membuatku merasa nyaman, seolah-olah aku tidak perlu berpura-pura menjadi orang lain. Kami mulai berbincang, dari puisi hingga cerita-cerita kecil tentang desa ini. Rengga bercerita tentang sawah yang pernah jadi tempat dia dan teman-temannya menangkap belut, tentang bukit kecil di ujung desa yang katanya menyimpan legenda siluman ular, dan tentang neneknya yang selalu membuat kue apem setiap bulan purnama.

Malam itu, kami duduk di bawah pohon jati hingga langit benar-benar gelap. Bintang-bintang mulai bermunculan, dan Rengga menunjuk salah satunya. “Itu Orion,” katanya. “Pemburu yang selalu nyanyi di langit. Kalau kamu dengar baik-baik, dia nyanyi buat orang-orang yang lagi nyari rumah.”

Aku memandang bintang-bintang itu, dan untuk pertama kalinya, Sindangwangi tidak lagi terasa asing. Rengga, dengan caranya yang sederhana namun penuh makna, telah membuatku merasa bahwa mungkin, di desa kecil ini, aku bisa menemukan sesuatu yang berarti.

Hari-hari berikutnya, aku dan Rengga menjadi tak terpisahkan. Setiap sore, kami bertemu di bawah pohon jati. Kadang kami membaca buku bersama, kadang Rengga membawaku ke tempat-tempat rahasia di desa, seperti sungai kecil yang tersembunyi di balik rumpun bambu atau ladang bunga liar yang hanya mekar saat musim hujan. Dia mengajariku cara menangkap ikan dengan tangan kosong, meski aku selalu gagal dan berakhir dengan tawa yang membuat perutku sakit. Rengga adalah sahabat yang tak pernah kucari, tapi entah bagaimana, aku menemukannya.

Namun, di balik senyumnya yang cerah, aku mulai menyadari ada sesuatu yang disembunyikan Rengga. Kadang, saat kami duduk bersama, matanya akan kosong, memandang ke kejauhan, seolah-olah ada beban yang tak pernah dia ceritakan. Aku ingin bertanya, tapi setiap kali aku mencoba, dia selalu mengalihkan pembicaraan dengan candaan atau cerita-cerita aneh tentang bintang dan alam. Aku memilih untuk tidak memaksa, berpikir bahwa suatu saat dia akan terbuka.

Hingga suatu malam, ketika kami berbaring di atas tikar di lapangan, memandang langit penuh bintang, Rengga tiba-tiba berkata, “Kinasih, kalau suatu hari aku pergi, kamu bakal inget aku, kan?”

Aku tertawa, mengira dia bercanda. “Mau ke mana? Ke bulan?”

Tapi dia tidak tertawa. Matanya memandangku dengan serius, dan untuk pertama kalinya, aku melihat sesuatu di wajahnya—ketakutan, atau mungkin kesedihan. “Cuma… janji aja, ya. Inget aku, apa pun yang terjadi.”

Aku mengangguk, meski ada perasaan aneh yang menggelitik di dadaku. “Janji,” kataku, tanpa tahu bahwa kata-kata itu akan menjadi awal dari sebuah perjalanan yang penuh dengan tawa, air mata, dan kenangan yang tak pernah pudar.

Rahasia di Balik Senyum

Hari-hari di Sindangwangi mulai terasa seperti petualangan yang tak pernah habis. Bersama Rengga Wicaksana, dunia yang awalnya terasa asing bagiku, Kinasih Larasati, berubah menjadi kanvas penuh warna. Setiap sore, setelah membantu ibu di dapur atau ayah menyusun buku-buku sejarahnya di rak kayu yang sudah tua, aku akan berlari ke lapangan tempat pohon jati tua itu berdiri. Di sana, Rengga selalu menunggu, kadang dengan buku lusuh di tangan, kadang dengan sebatang bambu yang dia suling jadi alat musik sederhana. Suara sulingnya lembut, seperti aliran sungai kecil yang mengalir di dekat desa, membawa ketenangan yang sulit kujelaskan.

Pada suatu sore yang mendung, ketika langit dihiasi awan kelabu yang bergulung-gulung, Rengga mengajakku ke tempat yang dia sebut “sarang rahasia.” Aku mengikutinya dengan rasa penasaran yang membuncah, meski kaki kami basah oleh tanah yang licin akibat hujan pagi tadi. Kami berjalan menyusuri jalan setapak di pinggir sawah, melewati rumpun padi yang bergoyang diterpa angin. Rengga berjalan di depan, sesekali menoleh untuk memastikan aku tidak tersandung. “Jangan jatuh, Kinasih! Nanti aku yang kena marah ibumu,” candanya, tapi matanya penuh perhatian.

Setelah melewati jembatan bambu yang sedikit goyah, kami tiba di sebuah gundukan kecil yang ditumbuhi semak belukar. Di balik semak itu, tersembunyi sebuah gua kecil, mulutnya nyaris tak terlihat karena tertutup akar-akar pohon beringin yang menjuntai. “Ini dia,” kata Rengga, suaranya penuh kebanggaan. “Tempatku kalau lagi pengen sendiri.”

Aku menatap gua itu dengan takjub. Dindingnya dingin dan lembap, tapi di dalamnya ada tumpukan daun kering yang disusun seperti karpet alami. Di sudut gua, ada beberapa batu besar yang disusun membentuk lingkaran, seolah-olah tempat itu pernah jadi tempat berkumpul. Cahaya matahari yang masuk dari celah-celah akar beringin menciptakan pola-pola cahaya yang menari di dinding gua, membuat tempat itu terasa magis.

“Kamu sering ke sini?” tanyaku sambil duduk di atas daun kering, merasakan aroma tanah dan lumut yang menyatu dengan udara.

Rengga mengangguk, tapi ada sesuatu di wajahnya yang berbeda—bayang-bayang kesedihan yang mulai kukenali. “Dulu, aku ke sini sama kakakku, Galang,” katanya pelan. Itu kali pertama dia menyebut nama kakaknya, dan aku langsung tahu ada cerita besar di balik nama itu. “Dia yang ajarin aku cara bikin api unggun, cara baca bintang, sama… cara nyanyi tanpa takut kedengeran orang.”

Aku tersenyum, membayangkan Rengga kecil bernyanyi dengan suara sumbang di gua ini. “Kakakmu pasti orang yang keren,” kataku, mencoba membaca ekspresinya.

Rengga tidak menjawab segera. Dia memungut sebatang ranting kecil dan mulai menggambar pola acak di tanah. “Galang… dia beda. Dia selalu tahu cara bikin orang ketawa, meski dia sendiri lagi susah. Tapi sekarang…” Suaranya terhenti, dan aku bisa mendengar napasnya yang sedikit bergetar. “Dia udah nggak di sini lagi.”

Aku terdiam. Ada sesuatu dalam nada suaranya yang membuat dadaku terasa sesak. Aku ingin bertanya lebih jauh, tapi instingku berkata untuk menunggu. Rengga bukan tipe yang suka dipaksa bicara. Jadi, aku hanya duduk di sampingnya, mendengarkan suara angin yang bersiul pelan di luar gua.

Setelah beberapa saat, Rengga melanjutkan, suaranya lebih pelan. “Galang sakit, Kinasih. Dua tahun lalu, dia mulai batuk-batuk, terus badannya lemes. Dokter bilang itu leukimia. Aku nggak ngerti apa itu, cuma tahu kakakku yang selalu kuat tiba-tiba nggak bisa lari lagi. Dia cuma bisa tiduran di rumah, sama… ceritain bintang ke aku setiap malam.”

Aku menatapnya, tak tahu harus berkata apa. Rengga menunduk, jari-jarinya masih memainkan ranting itu, tapi aku bisa melihat matanya mulai berkaca-kaca. “Dia bilang, kalau dia pergi, dia bakal jadi bintang. Jadi, tiap malam aku ke sini, ngeliat langit, nyari bintang yang paling terang. Aku pikir, itu pasti Galang.”

Air mataku hampir jatuh, tapi aku menahannya. Aku meraih tangan Rengga, merasakan dinginnya jari-jarinya yang sedikit gemetar. “Rengga… aku nggak tahu harus bilang apa. Tapi… aku yakin Galang bangga sama kamu.”

Dia menoleh padaku, dan untuk pertama kalinya, aku melihat air mata mengalir di pipinya. “Aku cuma… kangen dia, Kinasih. Kangen ngeliat dia ketawa, kangen denger ceritanya. Kadang aku takut aku lupa wajahnya.”

Aku memeluknya, tanpa kata-kata. Di dalam gua kecil itu, di tengah aroma tanah dan daun kering, aku merasakan beban yang selama ini Rengga pikul sendirian. Aku tak bisa membayangkan kehilangan seseorang yang begitu berarti, tapi aku tahu satu hal: aku ingin ada untuk Rengga, seperti dia ada untukku sejak hari pertama di bawah pohon jati.

Malam itu, kami keluar dari gua dan duduk di atas rumput, memandang langit yang penuh bintang. Rengga menunjuk sebuah bintang yang berkelap-kelip di kejauhan. “Itu dia,” katanya, suaranya sudah lebih tenang. “Galang. Dia pasti lagi nyanyi sekarang.”

Aku tersenyum, meski hatiku masih terasa berat. “Kalau dia nyanyi, aku yakin kamu bisa nyanyi lebih keras,” kataku, mencoba menghibur.

Rengga tertawa kecil, suara yang kini terdengar lebih ringan. “Kamu lucu, Kinasih. Makanya aku suka ngajak kamu ke mana-mana.”

Hari-hari setelah itu, persahabatan kami semakin erat. Rengga mulai lebih terbuka, meski kadang aku masih melihat bayang-bayang kesedihan di matanya. Kami menghabiskan waktu dengan petualangan kecil—menjelajahi hutan kecil di ujung desa, membuat perahu kertas untuk dihanyutkan di sungai, atau sekadar berbaring di lapangan sambil mencoba menghitung bintang. Tapi di balik semua tawa dan canda, aku tahu ada luka yang masih belum sembuh di hati Rengga.

Suatu sore, saat kami sedang membuat layang-layang dari bambu dan kertas koran bekas, Rengga tiba-tiba berkata, “Kinasih, kalau suatu hari aku nggak di sini, kamu bakal ke gua itu, kan? Nyanyi buat Galang?”

Pertanyaan itu kembali membuatku merasa tak nyaman, seperti ada firasat yang tak bisa kujelaskan. “Jangan ngomong gitu, Rengga. Kamu nggak ke mana-mana. Kita masih harus bikin layang-layang yang bisa terbang sampai bulan!”

Dia tersenyum, tapi senyumnya tidak secerah biasa. “Iya, sampai bulan,” katanya pelan, lalu kembali fokus pada tali layang-layang yang sedang dia ikat.

Aku tidak tahu saat itu, bahwa kata-kata Rengga bukan sekadar candaan. Ada rahasia lain yang masih dia simpan, sebuah rahasia yang akan mengubah segalanya, dan membuatku belajar arti sebenarnya dari persahabatan, kehilangan, dan kenangan yang abadi.

Badai di Ufuk

Waktu berlalu begitu cepat di Sindangwangi, seperti air sungai kecil yang mengalir tanpa henti di dekat desa. Musim hujan telah tiba, mengubah sawah menjadi hamparan hijau yang berkilau di bawah sinar matahari yang sesekali muncul di sela-sela awan. Aku, Kinasih Larasati, dan Rengga Wicaksana, kini semakin akrab, seperti dua sisi koin yang tak bisa dipisahkan. Setiap petualangan kecil kami—mulai dari mengejar capung di tepi sawah hingga membuat gelang dari anyaman daun kelapa—terasa seperti lukisan yang perlahan mengisi kanvas kosong hidupku di desa ini. Tapi, di balik tawa dan cerita tentang bintang, ada sesuatu yang terus mengusikku: firasat aneh dari kata-kata Rengga tentang “jika suatu hari aku pergi.”

Sore itu, langit Sindangwangi berwarna kelabu, dengan awan tebal yang seolah menahan napas sebelum menumpahkan hujan. Kami duduk di beranda rumah kayu Rengga, yang berdiri di ujung desa dengan pemandangan langsung ke bukit kecil. Di beranda itu, ada ayunan tua yang terbuat dari papan dan tali tambang, tempat favorit Rengga untuk termenung. Aku memperhatikan dia sedang mengukir sesuatu pada sepotong kayu jati dengan pisau kecil, gerakannya hati-hati namun penuh konsentrasi. “Itu apa?” tanyaku, mencoba mengintip.

Rengga tersenyum samar, tapi tidak menoleh. “Cuma… sesuatu buat diinget. Nanti kamu lihat kalau udah selesai.” Nada suaranya ringan, tapi ada ketegangan di bahunya yang membuatku curiga dia sedang menyembunyikan sesuatu.

Aku memutuskan untuk tidak memaksa, seperti biasa. Sebaliknya, aku mengeluarkan buku catatan kecilku, tempat aku menulis puisi-puisi pendek yang terinspirasi dari cerita Rengga tentang bintang dan alam. “Mau dengar puisi baru?” tanyaku, mencoba mengalihkan suasana.

Rengga akhirnya menoleh, matanya berbinar seperti biasa. “Baca! Tapi kalau jelek, aku kabur ke gua, lho,” candanya.

Aku tertawa, lalu mulai membaca puisi yang kutulis semalam, tentang bintang yang menyanyi di malam sunyi, tentang pohon jati yang menyimpan rahasia desa, dan tentang sahabat yang membuat dunia terasa lebih luas. Saat aku selesai, Rengga diam sejenak, lalu bertepuk tangan pelan. “Kinasih, kamu harus jadi penyair beneran. Itu… bagus banget.”

Aku tersipu, tapi sebelum aku bisa menjawab, ibunya Rengga, seorang wanita berwajah lembut dengan rambut disanggul sederhana, keluar dari rumah membawa nampan berisi teh hangat dan kue apem. “Kalian berdua, jangan cuma ngobrol di beranda, masuk dulu, nanti kehujanan,” katanya dengan senyum hangat. Tapi, saat dia memandang Rengga, aku melihat kekhawatiran di matanya, sesuatu yang mirip dengan ekspresi Rengga saat dia bicara tentang kakaknya, Galang.

Malam itu, setelah pulang ke rumah, aku tak bisa tidur. Pikiranku dipenuhi oleh tatapan ibu Rengga dan kata-kata aneh Rengga tentang “pergi.” Aku memutuskan untuk mencari tahu lebih banyak. Keesokan harinya, saat kami berjalan ke sungai kecil untuk memancing ikan, aku memberanikan diri bertanya. “Rengga, kamu kenapa sih suka bilang ‘kalau aku pergi’? Kamu mau pindah atau apa?”

Rengga berhenti berjalan, memandang air sungai yang berkilau di bawah sinar matahari pagi. Untuk sesaat, dia hanya diam, seolah-olah mencari kata-kata yang tepat. Lalu, dia menghela napas panjang. “Kinasih, aku nggak mau bohong sama kamu. Tapi… aku juga nggak tahu caranya bilang.”

Jantungku berdegup kencang. “Bilang apa? Rengga, kamu tahu aku nggak suka teka-teki.”

Dia menoleh padaku, dan untuk pertama kalinya, aku melihat ketakutan nyata di matanya. “Aku… sakit, Kinasih. Dokter bilang aku kena penyakit yang sama kayak Galang. Leukimia. Udah beberapa bulan ini aku cek rutin ke kota, tapi… kata dokter, mungkin aku nggak punya banyak waktu.”

Dunia seolah berhenti berputar. Aku merasa udara di sekitarku menghilang, dan suara gemericik sungai tiba-tiba terasa begitu jauh. “Rengga… kamu bercanda, kan?” kataku, suaraku bergetar. “Kamu nggak mungkin… kamu sehat, kamu selalu lari-lari, bikin layang-layang, cerita tentang bintang…”

Rengga tersenyum pahit, matanya berkaca-kaca. “Aku nggak bercanda. Aku cuma… nggak mau kamu takut. Makanya aku nggak bilang dari awal. Aku pengen kita tetap kayak gini, ketawa bareng, petualangan bareng. Aku nggak mau kamu lihat aku cuma sebagai… orang sakit.”

Aku tak bisa menahan air mataku lagi. Aku memeluknya, erat, seolah-olah dengan memeluknya aku bisa menahan waktu agar tidak mengambilnya dariku. “Kamu nggak boleh bilang gitu, Rengga. Kamu harus sembuh. Kita masih harus ke bukit, ke gua, bikin layang-layang yang bisa terbang ke bulan!”

Rengga memelukku balik, dan aku bisa merasakan getaran kecil di tubuhnya. “Aku janji, Kinasih. Aku bakal coba. Tapi… kalau aku nggak bisa, kamu harus janji ke gua itu, nyanyi buat aku dan Galang. Deal?”

Aku mengangguk, meski air mata membasahi wajahku. “Deal,” bisikku, meski hatiku menolak untuk menerima kenyataan itu.

Hari-hari setelah pengakuan Rengga terasa berbeda. Aku masih bertemu dengannya setiap sore, tapi kini aku lebih memperhatikan detail kecil—caranya tersenyum meski kadang wajahnya pucat, caranya berjalan yang kadang sedikit lelet, dan caranya tetap berusaha membuatku tertawa meski aku tahu dia sedang berjuang. Kami masih pergi ke gua, masih membuat layang-layang, tapi ada bayang-bayang yang kini mengikuti kami, seperti awan kelabu yang tak pernah benar-benar pergi.

Suatu malam, saat kami duduk di bawah pohon jati, Rengga menyerahkan sesuatu padaku—ukiran kayu yang dia buat di beranda rumahnya. Itu adalah sebuah bintang kecil, dengan detail yang begitu halus, seolah-olah dia menuangkan seluruh hatinya ke dalamnya. “Ini buat kamu,” katanya. “Supaya kamu selalu inget, aku dan Galang ada di sana, di antara bintang-bintang.”

Aku memegang ukiran itu, merasakan kehangatan kayu di tanganku, dan aku tahu bahwa apa pun yang terjadi, Rengga telah meninggalkan jejak di hidupku yang tak akan pernah pudar. Tapi di dalam hati, aku berdoa, memohon pada langit dan bintang-bintang yang dia cintai, agar dia diberi waktu lebih lama, agar persahabatan kami tak berakhir di sini.

Bintang yang Tak Pernah Padam

Musim hujan di Sindangwangi perlahan berganti menjadi musim kemarau. Sawah-sawah yang dulu hijau kini mulai menguning, dan angin membawa aroma tanah kering yang bercampur dengan bunga-bunga liar yang masih bertahan di tepi jalan. Namun, di tengah perubahan musim, hatiku, Kinasih Larasati, terasa seperti terjebak dalam badai yang tak kunjung reda. Sejak Rengga Wicaksana mengaku tentang penyakitnya, setiap detik bersamanya terasa seperti hadiah yang rapuh, sesuatu yang bisa hilang kapan saja. Tapi Rengga, dengan caranya yang khas, tetap berusaha menjalani hari-hari kami seolah-olah waktu bukan musuh.

Setiap sore, kami masih bertemu di bawah pohon jati tua, tempat yang kini terasa seperti rumah kedua bagiku. Rengga semakin jarang ke dokter di kota karena, katanya, “Aku lebih suka habisin waktu sama kamu daripada duduk di ruang tunggu yang bau obat.” Aku membencinya karena berkata begitu, tapi aku juga tak bisa menahan senyum setiap kali dia melempar candaan untuk meringankan suasana. Di tanganku, ukiran bintang kayu yang dia berikan selalu kupegang, seperti jimat yang mengingatkanku pada janjinya—dan janjiku.

Pada suatu sore yang panas, ketika matahari membakar langit dengan warna oranye yang menyala, Rengga mengajakku ke bukit kecil di ujung desa, tempat yang pernah dia ceritakan sebagai “panggung bintang.” Jalan menuju bukit itu tidak mudah; kami harus melewati semak-semak dan akar-akar pohon yang menjalar di tanah. Rengga berjalan lebih pelan dari biasanya, napasnya sedikit tersengal, tapi dia menolak saat aku menawarkan tangan untuk membantunya. “Aku masih kuat, Kinasih,” katanya dengan senyum lebar, meski keringat membasahi dahinya.

Saat kami sampai di puncak bukit, pemandangan di depan kami membuatku terdiam. Langit terbentang luas, tanpa awan, dan matahari yang hampir tenggelam mewarnai cakrawala dengan gradasi merah, ungu, dan emas. Di bawah kami, Sindangwangi terlihat kecil, dengan atap-atap rumah yang tersusun rapi dan asap tipis yang naik dari dapur-dapur warga. Rengga duduk di atas batu besar, menepuk tempat di sampingnya agar aku ikut duduk. “Ini tempat terbaik buat lihat bintang,” katanya. “Nanti malam, kamu bakal lihat sesuatu yang nggak bakal kamu lupa.”

Kami duduk dalam diam untuk beberapa saat, menikmati angin sepoi-sepoi yang membelai wajah. Aku memperhatikan Rengga, yang kini terlihat lebih kurus, kulitnya sedikit lebih pucat, tapi matanya masih berkilau seperti bintang yang dia ceritakan. “Rengga,” kataku pelan, “kamu nggak takut?”

Dia menoleh, alisnya sedikit terangkat. “Takut apa?”

“Takut… nggak bisa lihat bintang lagi, nggak bisa ke gua, nggak bisa… ketemu aku.”

Rengga tertawa kecil, tapi ada nada serius di suaranya. “Aku takut, Kinasih. Tapi bukan takut mati. Aku takut dilupain. Aku takut cerita-cerita aku, cerita Galang, cerita kita, hilang begitu aja. Makanya aku bikin bintang itu buat kamu. Supaya kamu inget, nggak cuma aku, tapi semua yang kita lakuin bareng.”

Air mataku mengalir tanpa bisa kuhentikan. Aku memegang ukiran bintang di saku bajuku, merasakan tekstur kayunya yang halus. “Aku nggak bakal lupa, Rengga. Janji. Tapi kamu juga harus janji, kamu harus kuat. Kita masih harus ke bulan, kan?”

Dia tersenyum, tapi kali ini senyumnya penuh dengan kelembutan yang membuat hatiku semakin perih. “Iya, ke bulan,” katanya, lalu menoleh ke langit yang mulai gelap. “Lihat, Kinasih. Bintang-bintang udah mulai keluar.”

Malam itu, langit Sindangwangi dipenuhi bintang, lebih terang dari yang pernah kulihat sebelumnya. Rengga menunjuk ke arah Orion, seperti yang pertama kali dia lakukan saat kami bertemu. “Itu Galang,” katanya. “Dan nanti, kalau aku pergi, aku bakal di sebelahnya, nyanyi bareng.”

Aku ingin memprotes, ingin berteriak bahwa dia tidak boleh pergi, tapi kata-kata itu terjebak di tenggorokanku. Sebaliknya, aku hanya memeluknya, dan kami duduk di sana, di bawah langit penuh bintang, hingga malam menjadi sangat larut.

Beberapa minggu kemudian, kondisi Rengga memburuk. Dia tak lagi bisa berlari ke pohon jati atau mendaki bukit. Aku sering mengunjunginya di rumah, duduk di samping ranjangnya yang sederhana, membacakan puisi atau menceritakan hal-hal konyol yang kulihat di desa. Ibunya selalu menyiapkan kue apem, tapi aku tahu dari matanya bahwa dia sedang berjuang menahan air mata setiap kali melihat kami bersama.

Pada malam terakhir Rengga, aku duduk di sampingnya, memegang tangannya yang kini terasa dingin. Dia hampir tak bisa bicara, tapi matanya masih berbinar. “Kinasih,” bisiknya, suaranya lemah tapi penuh kehangatan, “jangan lupa… gua… nyanyi… buat aku dan Galang.”

Aku mengangguk, air mata membasahi wajahku. “Aku janji, Rengga. Aku janji.”

Dia tersenyum, lalu menutup mata, dan aku tahu bahwa bintang baru telah lahir di langit malam itu.

Hari-hari setelah kepergian Rengga terasa seperti mimpi buruk. Sindangwangi tak lagi sama tanpa tawa renyahnya, tanpa cerita-ceritanya tentang bintang. Aku berhenti pergi ke pohon jati untuk sementara, karena setiap melihatnya, dadaku terasa sesak. Tapi suatu malam, ketika bulan purnama menerangi desa, aku mengambil ukiran bintang dari sakuku dan berjalan ke gua rahasia kami.

Di dalam gua, di tengah aroma tanah dan daun kering, aku duduk di lingkaran batu yang dulu dibuat Galang. Aku memandang langit melalui celah-celah akar beringin, mencari bintang yang paling terang. Lalu, dengan suara yang gemetar, aku mulai bernyanyi—lagu sederhana yang pernah Rengga ajarkan, tentang bintang yang menyanyi di malam sunyi. Air mataku mengalir, tapi entah kenapa, aku merasa Rengga dan Galang sedang mendengarkan, tersenyum dari langit.

Hingga kini, setiap kali aku merasa kehilangan arah, aku kembali ke gua itu. Aku membawa buku puisiku, ukiran bintang, dan kenangan tentang sahabat yang mengajariku bahwa hidup bukan tentang seberapa lama kita ada, tapi seberapa dalam kita meninggalkan jejak di hati orang lain. Rengga dan Galang kini menjadi bintang-bintang yang tak pernah padam, dan aku, Kinasih Larasati, akan terus bernyanyi untuk mereka, di bawah langit Sindangwangi yang penuh cerita.

Persahabatan yang Terukir di Bintang bukan sekadar cerpen, melainkan sebuah perjalanan emosional yang mengingatkan kita akan kekuatan ikatan sahabat dan keabadian kenangan. Kisah Kinasih dan Rengga akan terus bergema di hati pembaca, mengajarkan bahwa cinta dan persahabatan sejati mampu melampaui waktu dan ruang, bagaikan bintang yang tak pernah padam di langit malam. Jangan lewatkan cerita ini untuk merasakan kehangatan dan kedalaman emosi yang ditawarkannya.

Terima kasih telah menyelami kisah penuh emosi ini bersama kami! Semoga cerita Kinasih dan Rengga menginspirasi Anda untuk menghargai setiap momen bersama orang-orang tersayang. Sampai jumpa di artikel berikutnya, dan jangan lupa untuk terus menjelajahi cerita-cerita yang menyentuh hati!

Leave a Reply