Persahabatan yang Berujung Cinta: Kisah Naura dan Alek

Posted on

Kadang, orang yang kita cari-cari selama ini, ternyata udah ada di samping kita sejak awal. Naura dan Alek, sahabat lama yang lama terpisah, tiba-tiba dihadapkan pada perasaan yang nggak pernah mereka duga sebelumnya. Di sinilah, antara kopi, tawa, dan kenangan masa lalu, mereka harus memilih: tetap di zona nyaman, atau berani melangkah ke sesuatu yang baru.

 

Kisah Naura dan Alek

Jejak yang Hilang

Sudah lima tahun berlalu sejak Alek menghilang dari hidupku. Rasanya seperti baru kemarin dia mengucapkan selamat tinggal, walau tanpa kata. Alek, sahabat terbaikku sejak kecil, orang yang paling mengerti aku. Tapi waktu itu, dia pergi begitu saja, tanpa penjelasan. Hanya meninggalkan pesan singkat, “Aku harus pergi.” Sejak itu, kami kehilangan kontak. Tak ada kabar, tak ada pesan, seolah dia hilang ditelan bumi.

Hari ini, aku kembali ke tempat di mana semuanya dimulai. Taman kota yang penuh kenangan. Dulu, kami sering duduk di sini, bicara tentang mimpi-mimpi yang terasa begitu jauh, tapi selalu terasa mungkin ketika kami berdua. Kini, bangku kayu itu masih di tempatnya, tapi rasanya hampa tanpa kehadiran Alek di sampingku.

Aku duduk perlahan, mencoba menenangkan perasaan yang tiba-tiba membuncah. Di tanganku, ada sebuah kotak kecil berisi foto-foto lama. Foto-foto yang pernah merekam momen-momen terindah dalam hidupku—bersama Alek. Aku memandangi satu per satu foto itu. Di setiap senyuman yang terekam, ada kebahagiaan, ada harapan, dan juga janji yang tidak pernah ditepati.

Aku menarik napas dalam-dalam, menatap langit yang mulai berwarna jingga. “Alek… kenapa kamu harus pergi?” bisikku pelan, seakan berharap angin membawa pesan itu kepadanya. Tapi aku tahu, itu hanya angan-angan. Dia mungkin sudah lupa.

Sore itu di taman terasa begitu sepi, hanya suara angin dan dedaunan yang berbisik satu sama lain. Di tengah keheningan, langkah kaki seseorang terdengar mendekat. Aku tidak langsung menoleh, masih larut dalam pikiranku sendiri. Tapi langkah itu berhenti tepat di sampingku, membuatku mendongak dengan sedikit malas.

Dan di sanalah dia. Alek.

“Naura?” suaranya terdengar ragu tapi ada ketulusan di sana. Aku menatapnya dengan mata lebar, mencoba memastikan apakah ini benar-benar Alek atau hanya bayangan dari masa lalu yang kembali menghantuiku.

“Alek?” Aku berdiri dengan cepat, jantungku berdebar kencang. “Kamu… kamu beneran di sini?”

Alek tersenyum kecil, mengangguk pelan. “Iya, aku di sini.”

Aku masih tidak percaya. Lima tahun tanpa kabar, tanpa satu pun pesan, dan sekarang dia berdiri di depanku seolah tidak ada yang terjadi? Campuran antara marah, bingung, dan senang berkecamuk di dalam diriku. Tapi yang keluar dari mulutku hanyalah satu kalimat sederhana, “Kenapa?”

Alek menundukkan kepalanya, seakan mencari kata-kata yang tepat. “Aku… aku tahu aku salah, Naura. Aku pergi tanpa bilang apa-apa. Tapi aku nggak pernah lupa sama kamu.”

“Jadi kenapa kamu nggak pernah kasih kabar?” suaraku terdengar lebih tajam dari yang kuharapkan. “Lima tahun, Alek. Lima tahun aku nunggu. Kamu tahu seberapa sering aku mikirin kamu?”

Dia menghela napas panjang, menatapku dengan tatapan penuh rasa bersalah. “Aku nggak bisa balik waktu itu, Naura. Banyak hal yang terjadi, dan aku nggak tahu gimana caranya buat ngasih tahu kamu… aku bingung.”

“Bingung? Itu alasanmu?” Aku tertawa sinis, tapi di dalam hati, aku hanya merasa sakit. “Kalau kamu bingung, kenapa sekarang bisa balik?”

Alek menggigit bibirnya, seolah menahan sesuatu. “Aku balik karena aku tahu aku harus memperbaiki semuanya. Aku tahu aku terlambat, tapi aku nggak bisa terus lari. Kamu sahabat terbaik aku, Naura. Aku nggak bisa terus kayak gini.”

Aku terdiam. Kata-katanya menyentuhku, tapi rasa kecewa yang selama ini aku pendam membuatku ragu untuk langsung percaya. “Kenapa sekarang, Alek? Kenapa nggak dari dulu aja?”

Dia menatap mataku dalam-dalam, seakan mencari sesuatu di sana. “Karena aku butuh waktu buat sadar betapa pentingnya kamu dalam hidupku. Dulu, aku terlalu fokus sama diri sendiri, sama ambisiku, dan aku pikir dengan menjauh, aku bisa ngejar semuanya tanpa harus nyakitin siapa pun. Tapi ternyata aku malah nyakitin orang yang paling berharga.”

Kata-katanya membuatku ingin menangis, tapi aku menahan diri. Aku nggak mau kelihatan lemah di depannya.

“Aku udah berusaha buat lupain kamu, Alek,” kataku akhirnya, meski di dalam hati aku tahu itu bohong. “Tapi kamu selalu ada di pikiranku. Aku marah, kecewa, tapi aku nggak bisa benar-benar benci kamu.”

Alek mendekat sedikit, tapi masih memberikan jarak, seolah memberi ruang bagi perasaanku. “Aku nggak minta kamu buat maafin aku sekarang, Naura. Aku tahu aku nggak pantes. Tapi kalau kamu kasih aku kesempatan, aku mau memperbaiki semuanya. Mulai dari awal.”

Aku tertawa kecil, kali ini tanpa sarkasme. “Mulai dari awal? Seperti apa? Kita bukan anak-anak lagi, Alek. Banyak hal yang udah berubah.”

Alek tersenyum tipis. “Aku tahu, dan aku nggak berharap kita bisa langsung balik kayak dulu. Tapi aku percaya kalau kita bisa mulai lagi, pelan-pelan.”

Aku memandangi Alek, pria yang dulu kukenal dengan baik, kini tampak sedikit berbeda, tapi hatiku tahu bahwa dialah orang yang selalu ada untukku. Aku menunduk, berpikir keras.

“Kenapa kamu balik sekarang, Alek?” tanyaku pelan, hampir seperti bisikan. “Apa yang bikin kamu mutusin buat datang lagi?”

Alek menatap jauh ke depan, ke arah langit senja yang mulai memudar. “Karena aku sadar, nggak peduli seberapa jauh aku pergi, kamu tetap satu-satunya tempat yang selalu aku rindukan.”

Dan kata-kata itu, meski sederhana, memecah benteng yang selama ini kubangun. Aku menghela napas panjang, membiarkan perasaanku mengalir.

“Kita lihat aja, Alek,” jawabku akhirnya. “Aku nggak janji apa-apa. Tapi aku nggak mau kehilangan kesempatan untuk mulai lagi.”

Alek mengangguk pelan, senyumnya kembali muncul, kali ini lebih tulus dari sebelumnya. “Itu lebih dari cukup buat aku.”

Kami berdua duduk di bangku itu, membiarkan keheningan berbicara. Tak ada yang perlu terburu-buru. Di bawah langit senja yang mulai memudar, aku merasa ada harapan baru yang muncul, meski kecil. Mungkin kami belum bisa kembali seperti dulu, tapi setidaknya kami masih punya kesempatan untuk mencoba.

Dan bagi kami, itu sudah cukup untuk hari ini.

 

Kembali di Bawah Langit Senja

Setelah pertemuan itu, rasanya seperti hidupku terpecah dua. Di satu sisi, ada kenyamanan dari kehadiran Alek kembali. Di sisi lain, aku tak bisa begitu saja melupakan rasa sakit yang selama ini mengiringi setiap ingatanku tentang dia. Alek muncul kembali dengan janji perbaikan, tapi bisakah aku mempercayainya?

Hari-hari berikutnya, kami kembali bertemu di taman yang sama. Awalnya, terasa canggung, seperti ada dinding tak kasat mata yang memisahkan kami. Tapi lambat laun, dinding itu mulai runtuh, sedikit demi sedikit. Hari ini adalah pertemuan ketiga kami setelah lima tahun. Dan meski belum semuanya terasa normal, ada kenyamanan aneh yang mulai tumbuh lagi di antara kami.

Alek datang dengan pakaian santainya—kaus putih dengan jaket hitam yang tergantung di bahunya. “Maaf, aku telat. Macet,” ucapnya sambil tersenyum canggung.

Aku hanya mengangguk sambil memindahkan tempat dudukku sedikit, memberinya ruang di bangku taman yang biasa kami duduki. “Kamu selalu punya alasan,” kataku sambil menyengir, mencoba menyembunyikan sedikit kekesalan yang tersisa.

Dia tertawa pelan. “Iya, aku emang nggak pernah berubah soal itu.”

Aku mengalihkan pandangan ke langit yang mulai dipenuhi awan-awan jingga. “Jadi, udah siap buat cerita kenapa kamu tiba-tiba balik?”

Alek menunduk, memainkan ujung jaketnya. “Aku tahu kamu masih bingung. Jujur, aku juga masih bingung sama banyak hal, Naura. Tapi aku balik karena ada hal yang nggak bisa aku tinggalin begitu aja. Termasuk kamu.”

Aku menahan napas, mencoba menyusun kata-kata yang tepat. “Kamu tahu, kan? Ini nggak semudah itu, Lek. Kamu nggak bisa balik dan berpikir semuanya akan baik-baik aja.”

Dia mengangguk pelan. “Aku tahu. Aku nggak minta semuanya baik-baik aja dalam sekejap. Aku cuma mau kita bisa mulai pelan-pelan, benerin apa yang rusak.”

Aku menatapnya, mencoba membaca wajahnya yang terlihat lebih dewasa dari yang aku ingat. “Aku bukan orang yang sama lagi, Alek. Lima tahun itu banyak mengubah aku.”

Alek menatap mataku dengan serius. “Aku juga bukan Alek yang kamu kenal dulu. Banyak hal yang udah aku lalui, Naura. Mungkin nggak semuanya enak buat didengar, tapi aku janji aku nggak bakal sembunyi lagi.”

Aku bisa merasakan ada sesuatu yang berbeda dalam nadanya kali ini. Ada kejujuran yang dalam, sesuatu yang belum pernah kulihat sebelumnya. Tapi tetap saja, luka itu masih ada. “Kamu pergi tanpa kabar, Lek. Tanpa satupun pesan. Kamu tahu rasanya ditinggal gitu aja?”

Alek menarik napas dalam-dalam, menunduk sesaat sebelum menatapku lagi. “Aku tahu, Naura. Dan aku nggak akan cari-cari alasan. Aku pergi karena aku takut. Takut nggak bisa jadi orang yang kamu harapkan.”

“Kamu takut sama apa?” tanyaku, penasaran. “Aku nggak pernah minta apa-apa dari kamu.”

Alek terdiam sesaat, seolah mencari kata yang tepat. “Waktu itu, aku terlalu fokus sama ambisiku sendiri. Aku pikir aku bisa ngejar semuanya—karir, masa depan, semua hal yang aku impikan. Tapi di tengah perjalanan, aku sadar kalau ada hal yang lebih penting dari itu. Hubungan kita. Sahabat kita.”

Aku hanya diam, menunggu dia melanjutkan.

“Aku ngerasa kalau aku ngecewain kamu. Bukan karena aku pergi, tapi karena aku nggak pernah jujur sama perasaan sendiri. Selama ini, aku ngerasa nyaman di dekat kamu, tapi di saat yang sama, aku takut kehilangan kamu kalau semua jadi rumit. Jadi, aku memilih pergi. Itu kesalahan terbesar aku.”

Jantungku berdebar kencang mendengar pengakuannya. “Jadi, kamu pergi karena takut persahabatan kita rusak?”

Alek mengangguk pelan, matanya tak lepas dari wajahku. “Iya, Naura. Aku terlalu pengecut untuk hadapi kenyataan waktu itu.”

Aku memandanginya lama, mencoba mencerna setiap kata yang dia ucapkan. Dalam hatiku, ada perasaan yang tak bisa kutolak. Aku memang marah, tapi mendengar pengakuannya sekarang, aku mulai bisa memahami alasan di balik kepergiannya.

“Aku nggak tahu harus bilang apa,” kataku akhirnya. “Tapi jujur, aku nggak pernah berharap kamu balik untuk ngasih alasan. Aku cuma butuh penjelasan, kenapa semua ini harus terjadi.”

Alek menatapku dengan wajah serius. “Aku balik bukan cuma buat ngasih penjelasan, Naura. Aku balik karena aku mau memperbaiki semuanya. Kalau kamu kasih aku kesempatan.”

Aku terdiam, menatap jauh ke depan, ke arah matahari yang perlahan tenggelam. Langit jingga berubah menjadi warna keemasan yang indah, dan di bawah langit itu, aku merasakan kehangatan yang dulu pernah hilang kembali hadir. Tapi apakah aku siap untuk memberikan kesempatan kedua?

“Aku nggak janji, Alek,” kataku akhirnya. “Aku nggak tahu apakah aku bisa langsung percaya lagi setelah semua yang terjadi.”

Alek tersenyum tipis, seolah memahami keraguanku. “Aku nggak minta kamu buat langsung percaya. Aku cuma minta kita bisa mulai dari awal, pelan-pelan. Aku siap untuk jadi sahabatmu lagi, kalau kamu mau.”

Aku tertawa kecil, meski tak ada canda dalam situasi ini. “Sahabat? Kita bahkan belum tahu apakah kita bisa balik ke sana, Lek.”

Dia tersenyum, menatapku dengan mata yang penuh harapan. “Aku percaya kita bisa, Naura. Karena sejujurnya, aku nggak pernah benar-benar pergi. Hatiku selalu ada di sini, sama kamu.”

Dan dengan kata-kata itu, entah kenapa, aku merasa beban yang selama ini kurasakan mulai sedikit terangkat. Mungkin, hanya mungkin, ada harapan baru untuk kami berdua. Tapi aku tahu, perjalanan ini belum berakhir. Kami masih punya banyak hal yang harus dihadapi. Aku tidak bisa langsung percaya, tapi untuk pertama kalinya dalam lima tahun, aku merasa ada kemungkinan.

“Mungkin,” kataku akhirnya, sambil menatap ke langit yang mulai gelap. “Mungkin kita bisa mulai lagi. Tapi jangan buru-buru.”

Alek mengangguk, senyumnya semakin lebar. “Pelan-pelan. Aku janji.”

Dan di bawah langit yang kini berhiaskan bintang-bintang pertama, kami duduk bersama. Tidak ada kata-kata lagi yang perlu diucapkan. Kami hanya menikmati keheningan, seolah itu adalah jawaban yang kami cari selama ini.

Aku tahu, perjalanan ini tidak akan mudah. Tapi dengan Alek di sampingku lagi, setidaknya aku tidak perlu berjalan sendirian. Untuk hari ini, itu cukup.

 

Langkah yang Tak Mudah

Hari-hari berikutnya berjalan lebih aneh dari yang kubayangkan. Rasanya, seperti aku dan Alek sedang mencoba menapaki tanah baru—samar, penuh ketidakpastian, tapi ada sesuatu yang membuatku tetap ingin melangkah. Kami bertemu lebih sering, tidak selalu di taman yang sama. Kadang di kafe kecil dekat kampus, atau sekadar di tepi jalan tempat kami biasa nongkrong dulu. Setiap pertemuan seakan mengukuhkan bahwa meski lima tahun berlalu, sesuatu di antara kami masih hidup—meski belum tahu apakah itu persahabatan, atau sesuatu yang lain.

Hari ini, kami memutuskan untuk bertemu di sebuah warung kopi kecil yang baru saja buka di sudut kota. Tempatnya sederhana, tapi nyaman. Sambil duduk di sudut, aku memperhatikan Alek yang terlihat lebih santai dibanding sebelumnya. Dia bercerita tentang pekerjaannya, bagaimana hidupnya selama lima tahun terakhir tanpa pernah menyebutkan hal-hal yang membuatku semakin bertanya-tanya. Sejujurnya, ada rasa ingin tahu yang terus menghantui. Tapi aku tahu, ada beberapa hal yang mungkin belum waktunya untuk kubicarakan.

“Kamu sekarang lebih kalem, ya,” ucapku sambil menyeruput cappuccino-ku. “Nggak kayak dulu yang selalu ceria dan berisik.”

Alek tertawa kecil, tapi wajahnya agak memerah. “Iya, mungkin karena kerjaan. Bikin aku harus lebih dewasa.”

Aku hanya mengangguk, merasa canggung. Kami sudah mulai nyaman berbicara lagi, tapi tetap saja, ada jarak yang tak kasat mata di antara kami.

“Kamu sendiri gimana? Kuliah lancar kan?” Alek mengganti topik dengan nada yang lebih ringan.

Aku tersenyum tipis. “Lancar. Sekarang lagi skripsi sih. Sedikit stres, tapi ya gimana lagi, harus dijalanin.”

Alek mengangguk sambil menatapku dengan tatapan yang lebih dalam dari sekadar basa-basi. “Aku yakin kamu bakal bisa, Naura. Kamu selalu bisa ngelewatin hal-hal sulit.”

Kata-katanya membuatku sedikit tersentuh, tapi aku tak mau menaruh harapan terlalu besar. Setelah lima tahun, mendengar dukungan seperti itu dari Alek terasa aneh, meskipun hangat. Kami memang pernah dekat, tapi sekarang aku tak yakin apa yang kami miliki. Apakah persahabatan bisa kembali utuh setelah sekian lama?

Obrolan kami terus mengalir dengan santai, membahas hal-hal ringan tentang hidup, pekerjaan, hingga kenangan-kenangan lama yang kadang membuat kami tertawa. Namun, di balik tawa itu, aku masih merasa ada sesuatu yang belum terkatakan, seperti ada beban di antara kami yang menunggu untuk diangkat.

“Ada satu hal yang pengen aku tanyain ke kamu, Alek,” kataku akhirnya setelah merasa cukup nyaman dengan suasana. “Kenapa baru sekarang kamu balik? Maksudku, lima tahun itu waktu yang lama.”

Alek terdiam sesaat, matanya menyapu ruangan sebelum kembali menatapku. “Jujur, aku nggak pernah benar-benar tahu kapan waktu yang tepat. Aku bahkan nggak yakin kamu masih mau ketemu aku.”

Aku mengernyit. “Kenapa kamu pikir aku nggak mau ketemu?”

Dia menarik napas panjang. “Karena aku pergi tanpa kabar. Karena aku ninggalin kamu di saat kita lagi deket-deketnya. Dan karena aku tahu, aku nyakitin kamu.”

Kata-kata itu mengalir dengan lancar, tapi ada rasa berat di baliknya. “Waktu itu, aku cuma bisa mikir soal diri sendiri. Aku takut gagal. Takut nggak bisa jadi apa yang aku bayangin. Jadi aku pergi, fokus ngejar mimpi yang bahkan nggak pasti.”

Aku mendengarkan tanpa memotong. Kali ini, dia berbicara dengan lebih jujur daripada sebelumnya.

“Dan setelah semua yang aku lalui, aku sadar kalau nggak semua bisa aku dapetin. Tapi ada satu hal yang nggak bisa aku biarin gitu aja… kamu.”

Jantungku berdetak lebih cepat mendengar pengakuannya. “Alek…”

Dia melanjutkan, “Aku balik karena aku sadar kalau aku nggak pernah bisa benar-benar ninggalin kamu. Ada sesuatu di antara kita yang nggak bisa aku jelasin. Tapi aku tahu, kita belum selesai. Belum benar-benar selesai.”

Aku menatapnya lama, mencoba meraba perasaan di dadaku. Lima tahun adalah waktu yang panjang. Tapi entah kenapa, mendengar Alek berbicara seperti ini membuat sebagian dari hatiku yang tertidur perlahan bangun.

“Kamu nggak takut kita nggak bisa balik kayak dulu?” tanyaku pelan, mencoba mengerti apa yang sebenarnya dia inginkan.

Alek tersenyum kecil, tapi ada ketegasan di balik senyum itu. “Aku tahu kita nggak akan pernah bisa balik kayak dulu. Tapi mungkin itu hal yang baik, Naura. Mungkin kita bisa jadi sesuatu yang lebih.”

Kata-katanya menggantung di udara, membuatku terdiam. Sesuatu yang lebih? Apakah ini yang sebenarnya dia maksud selama ini? Perasaan yang dulu tidak pernah terucapkan?

Aku mencoba mencari jawabannya dalam hatiku, tapi belum bisa sepenuhnya yakin. “Aku nggak tahu, Alek. Ini semua terlalu cepat buat aku. Kita baru aja mulai bicara lagi, dan sekarang kamu bilang ada sesuatu yang lebih?”

Alek menatapku dalam-dalam, seolah berusaha meyakinkanku. “Aku nggak minta jawaban sekarang, Naura. Aku cuma mau kamu tahu kalau aku serius. Aku nggak balik hanya untuk jadi sahabat biasa. Aku balik karena aku ingin kita bisa melihat apakah ada sesuatu yang lebih di antara kita.”

Kata-katanya membuatku merasa bingung dan ragu. Di satu sisi, aku tak bisa memungkiri bahwa kehadirannya membangkitkan perasaan yang selama ini kusimpan rapat-rapat. Tapi di sisi lain, aku belum siap untuk melangkah sejauh itu.

“Alek, aku butuh waktu. Aku nggak bisa kasih jawaban sekarang,” ucapku akhirnya dengan nada hati-hati.

Dia mengangguk, memahami. “Aku ngerti. Dan aku bakal kasih kamu waktu. Aku nggak mau nyuruh kamu buru-buru, Naura.”

Aku menatapnya, berusaha mencari ketulusan di balik kata-katanya. Dan yang kutemukan adalah seseorang yang tak lagi sama dengan Alek yang kukenal dulu. Dia lebih dewasa, lebih bertanggung jawab, dan yang paling penting, dia tampak tulus dalam setiap perkataannya.

Kami berdua terdiam sejenak, membiarkan perasaan dan pikiran kami berputar dalam diam. Seperti ada jarak yang harus kami jembatani, tapi belum ada yang berani melangkah lebih jauh.

“Kita lihat nanti, ya?” ucapku akhirnya, dengan senyum kecil yang kutahu belum memberi kepastian apa-apa.

Alek balas tersenyum, kali ini lebih lembut. “Kita lihat nanti. Aku nggak kemana-mana.”

Dan dengan itu, obrolan kami kembali mengalir, meski topik berat itu tetap menggantung di udara. Tapi setidaknya, untuk saat ini, aku tahu bahwa kami sedang berusaha. Perlahan-lahan, tapi pasti.

Langkah pertama telah diambil. Dan entah ke mana ini akan berujung, aku tahu perjalanannya tak akan mudah. Tapi yang pasti, kali ini kami melangkah bersama—untuk pertama kalinya setelah lima tahun yang penuh keraguan.

 

Titik Temu

Waktu berjalan cepat sejak pertemuan terakhir kami di warung kopi. Hubungan kami terus berkembang, namun tetap dalam ketidakpastian. Ada malam-malam di mana aku merenung sendiri, memikirkan segala hal yang Alek katakan. Tentang kami. Tentang perasaan yang mungkin lebih dari sekadar persahabatan. Tapi ada sesuatu yang menahanku, sesuatu yang membuatku ragu untuk melangkah lebih jauh.

Aku tahu, aku tak bisa menunda selamanya. Pada akhirnya, aku harus memberikan jawaban—kepada Alek, dan kepada diriku sendiri.

Hari ini adalah hari di mana semuanya akan menemukan titik temu. Aku yang menghubungi Alek, mengajaknya bertemu lagi di tempat yang sama, di warung kopi yang menjadi saksi percakapan kami tentang masa lalu, dan mungkin juga masa depan. Saat aku tiba, Alek sudah menungguku di meja pojok, tempat yang sama di mana kami biasanya duduk. Ada senyum di wajahnya, tapi aku bisa melihat ada sedikit ketegangan di baliknya.

“Aku pesan dulu ya,” kataku singkat, tanpa terlalu banyak basa-basi. Jantungku berdegup cepat, tapi aku berusaha untuk tetap tenang.

Setelah memesan kopi, aku kembali duduk di depannya. Kami sama-sama diam, seperti tahu bahwa pembicaraan kali ini akan lebih berat daripada sebelumnya.

“Kamu baik-baik aja?” tanya Alek, memulai pembicaraan dengan nada lembut.

Aku mengangguk. “Baik. Cuma banyak yang aku pikirin akhir-akhir ini.”

Alek mengerti maksudku tanpa perlu penjelasan lebih. Dia menatapku dengan penuh perhatian, membiarkan aku yang memulai pembicaraan yang sebenarnya.

“Aku udah banyak mikir soal kita, Alek,” ucapku pelan, mencoba menyusun kata-kata dengan hati-hati. “Lima tahun itu waktu yang lama. Dan banyak hal yang berubah. Aku juga berubah, kamu berubah.”

Alek mendengarkan tanpa memotong, tapi aku bisa merasakan kegelisahannya.

“Aku nggak tahu apakah aku bisa memberi kamu apa yang kamu inginkan,” lanjutku. “Aku takut, Alek. Aku takut kalau kita coba buat lebih dari sekadar teman, dan akhirnya malah gagal. Aku nggak mau kehilangan kamu lagi.”

Dia menatapku dengan penuh kesungguhan. “Aku ngerti, Naura. Aku tahu semua ini sulit. Dan aku tahu ada resiko kalau kita nggak berhasil. Tapi aku lebih takut kalau kita nggak pernah mencoba.”

Kata-katanya membuat hatiku bergetar. Alek, yang dulu kukenal sebagai sosok yang cuek dan tak pernah terlalu peduli soal hubungan, kini bicara dengan ketulusan yang begitu dalam. Dia benar-benar berubah. Dan di balik semua keraguan dan ketakutanku, ada sebagian dari diriku yang ingin mempercayainya.

“Tapi aku butuh waktu,” kataku akhirnya, meski aku tahu itu bukan jawaban yang sepenuhnya diinginkan Alek.

Dia tersenyum kecil. “Aku udah nunggu lima tahun, Naura. Aku bisa nunggu lagi.”

Aku tertawa kecil mendengar jawabannya, meski tetap merasakan beratnya situasi ini. “Kamu selalu bisa bikin semuanya terdengar gampang.”

Alek balas tertawa. “Karena aku tahu kalau kita nggak perlu buru-buru. Kita bisa jalanin ini pelan-pelan, Naura. Tanpa tekanan.”

Aku menatapnya lama, memikirkan semua kenangan yang kami miliki, semua momen-momen kecil yang membuat kami tetap terhubung meski waktu dan jarak memisahkan. Dan saat itu, aku tahu bahwa meskipun perasaanku belum sepenuhnya siap untuk menerima perubahan, aku ingin mempertahankan hubungan ini. Apa pun bentuknya nanti.

“Kita bisa coba,” ucapku akhirnya. “Tapi pelan-pelan. Kita nggak perlu buru-buru ngedefine apa yang ada di antara kita. Kita lihat aja ke mana arah ini membawa kita.”

Alek menatapku dengan mata yang penuh harapan. “Itu udah cukup buat aku, Naura.”

Percakapan kami hari itu tidak diakhiri dengan kepastian, tidak ada janji atau komitmen besar yang diucapkan. Tapi ada perasaan lega yang menyelimuti hati kami berdua. Kami tahu bahwa hubungan ini masih panjang, bahwa apa pun yang akan terjadi nanti, kami telah mengambil langkah pertama yang penting—memulai sesuatu yang baru.

Saat kami beranjak dari warung kopi, aku merasa sedikit lebih ringan. Aku tak tahu ke mana hubungan ini akan berujung, tapi untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, aku merasa tenang dengan ketidakpastian. Mungkin Alek benar. Kami tak perlu buru-buru. Kami bisa berjalan beriringan, perlahan-lahan, menemukan kembali satu sama lain di setiap langkah yang kami ambil.

Dan dengan itu, aku tahu bahwa ini bukan akhir. Ini adalah awal dari sesuatu yang lebih besar—entah itu persahabatan yang diperkuat, atau mungkin cinta yang selama ini tersimpan rapi di balik kenangan lama. Yang pasti, apa pun yang terjadi, kami akan melangkah bersama.

Malam itu, sebelum tidur, aku menerima pesan dari Alek.

“Kita nggak perlu jawab semuanya sekarang. Yang penting, kita nggak lagi bersembunyi dari satu sama lain. Terima kasih udah ngasih aku kesempatan.”

Aku tersenyum kecil saat membaca pesannya, merasakan kehangatan menyelimuti hati. Dan untuk pertama kalinya, aku merasa yakin bahwa apa pun yang menunggu kami di depan sana, kami akan baik-baik saja.

Akhir dari perpisahan lima tahun itu telah tiba. Dan sekarang, kami siap untuk memulai bab baru—tanpa takut akan apa yang mungkin terjadi di kemudian hari.

 

 

Jadi, gimana menurutmu, Naura dan Alek bakal akhirnya ngapain dengan semua perasaan yang udah lama tersembunyi? Apakah mereka bakal menemukan jalan baru bareng-bareng, atau justru ngembaliin status mereka sebagai sahabat aja?

Yang pasti, perjalanan mereka membuktikan kalau kadang, cinta itu datang dari tempat yang paling nggak kita duga. Sampai jumpa di cerita-cerita selanjutnya, dan jangan lupa, kadang jawaban terbesar justru ada di perjalanan yang kita lalui!

Leave a Reply