Daftar Isi
Kadang kita lupa, kan, gimana persahabatan bisa jadi hal yang paling kuat buat ngelewatin segala rintangan dalam hidup? Cerita ini tentang dua sahabat yang udah bareng dari kecil, ngalamin segala jatuh bangun hidup bareng, dan gimana mereka akhirnya nyadar kalau perubahan itu butuh keberanian.
Dulu mungkin kita nggak sadar, tapi sekarang, mereka udah siap banget menghadapi hidup dengan cara mereka sendiri. Siapa bilang persahabatan cuma soal ketawa-ketawa aja? Ini perjalanan yang penuh makna.
Persahabatan Sejati
Pertemuan di Bawah Pohon Beringin
Hari itu, seperti biasa, aku duduk sendirian di bawah pohon beringin besar di halaman sekolah. Tak ada yang aneh. Hanya suara anak-anak yang sedang berlarian, suara sepatu mereka menggesek lantai, dan tawa riang yang memenuhi udara. Aku lebih suka di sini, menyendiri. Sebuah kebiasaan yang sudah kupelajari sejak dulu. Dunia ini sering kali terasa terlalu ramai untukku.
Lalu, di tengah semua itu, aku mendengar suara yang cukup keras. Suara seseorang yang berjalan tergesa-gesa, menginjak daun-daun kering yang jatuh dari pohon. Suara itu semakin dekat, dan aku tahu, seseorang pasti mendekat ke arahku. Aku tidak perlu melihat wajahnya untuk tahu siapa dia. Suara itu terlalu familiar.
“Damar, lo di sini lagi?” Suara itu terdengar lantang dan penuh energi. Itu suara Damar.
Aku mendongak perlahan, menatap sosok yang kini berdiri di depanku. Damar, dengan senyum lebar yang selalu mengundang perhatian, berdiri dengan kedua tangan di pinggang. Rambut hitamnya yang sedikit berantakan menambah kesan santai di wajahnya. Pasti dia baru saja bermain bola dengan teman-temannya. Dan seperti biasa, Damar tak pernah melewatkan kesempatan untuk mengganggu aku, si pemurung yang lebih suka menyendiri.
“Lagi ngapain lo? Merenung?” tanyanya sambil duduk di sebelahku, begitu saja tanpa izin. Tubuhnya yang tinggi hampir menyentuh bahuku, dan dia menyandarkan punggungnya ke pohon, membuat daun-daun jatuh bertebaran di sekitarnya.
“Cuma duduk,” jawabku singkat, mencoba tak terlalu memperdulikannya.
Damar melirikku sejenak, lalu menatap ke depan. Dia tersenyum seperti tahu bahwa aku sedang tidak tertarik untuk berbicara lebih banyak. Namun, dia tidak peduli. Damar memang selalu begitu. Tak ada yang bisa menghalangi dia untuk berbicara, bahkan jika lawan bicaranya hanya diam saja.
“Kenapa sih lo kayak batu? Semua orang lagi pada asyik main bola, lo malah diem aja di sini. Ada masalah?” Damar menatapku dengan ekspresi penasaran. Aku bisa lihat dia mencoba menggali lebih dalam.
“Enggak ada masalah,” jawabku, mencoba menghindar dari perbincangan yang lebih dalam. “Cuma lagi pengen tenang aja.”
Damar tertawa. “Serius, lo? Lo tuh kalau diem gini jadi keliatan lebih aneh dari biasanya. Gue pikir lo bakal bosen kalau terus-terusan gini.”
Aku mengangkat bahu, lalu kembali menatap ke depan. Saat itu, aku hanya ingin menikmati ketenangan sejenak tanpa diganggu. Tapi, entah kenapa, keberadaan Damar justru mengingatkanku pada kenangan yang sudah lama terkubur.
Kami berdua sudah mengenal satu sama lain sejak kecil. Dulu, ketika kami masih kecil, Damar sering mengajak aku bermain. Dia selalu datang ke rumahku, menarik tangan aku dan memaksaku ikut bermain bola, meskipun aku lebih suka duduk di rumah, membaca buku atau menggambar.
Damar selalu jadi orang yang aktif, yang penuh energi. Sedangkan aku, ya, aku lebih suka menyendiri. Tapi, entah kenapa, aku tetap merasa nyaman saat bersama dia. Mungkin karena kami sudah terlalu lama saling mengenal, dan dia tahu persis siapa aku—tanpa perlu banyak bicara.
“Gimana, gue main bola bareng yang lain, ya?” tanya Damar, seolah membaca pikiranku.
“Lo aja,” jawabku singkat. “Gue di sini dulu.”
Damar hanya tertawa kecil, kemudian bangkit dari duduknya. “Yaudah, kalau gitu, gue lanjutin main bola. Tapi gue yakin lo bakal bosen sendiri di sini,” katanya sambil berbalik dan berlari menuju lapangan.
Aku hanya menggelengkan kepala, tersenyum samar melihat kelakuannya. Damar, sahabat yang satu ini, selalu punya cara untuk menghibur diri dan orang lain, meskipun aku lebih suka kesendirian.
Tak lama setelah Damar pergi, aku kembali duduk sendiri, menatap langit biru yang cerah. Udara terasa sejuk meskipun matahari sudah cukup tinggi. Di saat-saat seperti ini, aku merasa damai, merasa dunia berhenti sejenak, seolah-olah hanya ada aku dan angin yang berhembus.
Tapi entah kenapa, di tengah ketenangan itu, aku merasa ada yang hilang. Damar sudah pergi, dan aku kembali sendirian. Namun, bukan kesepian yang terasa. Itu adalah perasaan yang lebih dalam, sesuatu yang mungkin aku sendiri tidak bisa mengartikan.
Aku mulai berpikir tentang kami—tentang bagaimana kami tumbuh bersama sejak kecil. Mungkin, Damar memang selalu menjadi bagian dari hari-hariku. Seiring berjalannya waktu, kami berdua berubah. Kami bukan lagi anak-anak yang bermain bola di halaman rumah atau berlarian ke sana kemari tanpa tujuan. Kami mulai memiliki dunia masing-masing. Meskipun begitu, satu hal yang selalu sama: kami masih saling membutuhkan.
Tiba-tiba, aku merasakan gelombang tawa dari lapangan di dekatku. Damar sudah kembali dengan kawan-kawannya, tertawa dan bercanda seperti biasa. Tanpa sadar, aku berdiri dan berjalan ke arah mereka. Aku tidak tahu kenapa, tapi entah kenapa, aku merasa ada kehangatan dalam kebersamaan itu. Rasanya, meskipun aku lebih suka sendiri, ada hal yang berbeda saat aku berada di dekat Damar.
Ketika aku bergabung dengan mereka, Damar menatapku sambil melambaikan tangan. “Nih, akhirnya lo nongol juga!” katanya dengan senyum lebar.
Aku hanya mengangguk, dan untuk beberapa detik, kami semua terdiam, menikmati momen yang begitu biasa, namun entah kenapa terasa sangat berarti.
Malam di Atap Rumah Alif
Malam itu, langit dipenuhi bintang. Udara sejuk menyelimuti, dan suara angin yang berhembus pelan mengusik daun-daun pohon. Aku dan Damar duduk di atap rumahku, seperti biasa. Entah kenapa, atap rumah ini selalu menjadi tempat favorit kami untuk berbicara. Mungkin karena di sini, kami bisa melupakan segala beban, bahkan ketika dunia terasa begitu berat.
Damar menatap langit malam, lalu mengeluh pelan. “Lo tau nggak sih, Alif, kadang gue ngerasa kayak burung yang kepak sayapnya dibelenggu.” Suaranya terdengar agak serius, sesuatu yang jarang aku dengar dari Damar.
Aku menoleh sekilas ke arah sahabatku. Biasanya dia selalu ceria, penuh tawa, dan tidak pernah membicarakan hal-hal berat seperti itu. “Kenapa? Lo ngerasa terjebak?” tanyaku.
Damar mengangguk. “Gue nggak tau. Semua hal di hidup gue tuh kayak udah dipatok. Dari kecil udah diarahin buat jadi kayak bokap. Sekarang, di bisnis keluarga, ya gue harus ngikutin apa kata orang. Gue nggak bisa kayak lo, ngejar impian gue sendiri.”
Aku terdiam sejenak, mencerna kata-katanya. Damar memang selalu menjadi orang yang tampak percaya diri, yang tidak takut menghadapi apapun. Namun, aku tahu bahwa di balik itu semua, ada keraguan yang sering kali dia sembunyikan.
“Gue nggak ngerti banget sih, Dam,” kataku pelan. “Lo tuh kelihatan baik-baik aja, tapi kenapa gue ngerasa lo selalu ngumpet di balik semua kegemilangan itu?”
Damar menoleh, memberi tatapan yang berbeda dari biasanya. “Gue nggak bisa ngelawan, Alif. Gue nggak bisa bilang ‘enggak’ ke bokap gue. Semua orang di sekitar gue tuh berharap banyak. Terus gue, apa, cuma diem aja, nunggu waktu buat kabur ke mana?”
Aku tahu betul bagaimana rasanya merasa terjebak dalam harapan orang lain. Meskipun kami berbeda dalam hal ini—aku yang memilih menjadi penulis dan mengikuti impian, sementara Damar lebih memilih jalannya yang sudah ditentukan—kami tetap merasa ada kekosongan yang sama, hanya dengan cara yang berbeda.
“Apa lo pernah mikir buat nyoba hal lain? Gue tau lo punya potensi lebih dari sekadar jadi pengusaha,” kataku, mencoba membuka pembicaraan yang lebih dalam. “Gue nggak tau, sih, Dam. Tapi, kalau gue jadi lo, gue bakal coba lakuin hal yang gue bener-bener suka, bukan cuma yang orang lain harapin.”
Damar terdiam. Wajahnya terlihat berpikir keras, seolah kalimat-kalimat itu menggugah sesuatu dalam dirinya. Setelah beberapa detik, dia menggelengkan kepala pelan.
“Gue nggak tahu, Alif,” ujarnya, terdengar sedikit kecewa. “Mungkin lo bener, gue cuma nggak tau harus mulai dari mana. Lo pikir gue nggak pengen hidup gue jadi sesuatu yang lebih?” Suaranya mulai sedikit gemetar, dan itu bukan hal yang biasa keluar dari Damar.
Aku hanya bisa mengangguk. Aku tidak bisa memberikan jawaban pasti. Mungkin, aku hanya bisa menjadi pendengar yang baik untuk sahabatku ini. Tapi aku tahu satu hal: apapun yang terjadi, kami selalu punya satu sama lain. Dari kecil hingga sekarang, kami selalu bersama, saling menguatkan.
Damar menatapku dengan tatapan yang lebih ringan sekarang, mencoba mengubah suasana. “Lo tuh emang enak, Alif. Bisa bebas ngejar impian lo, bisa nulis apa aja yang lo mau. Gue juga pengen bisa seperti itu.”
“Apa lo yakin nggak bisa? Gue tau lo punya banyak hal yang bisa diceritain. Lo pernah kepikiran buat ngejalanin apa yang lo suka?” tanyaku dengan rasa ingin tahu. Aku ingin tahu lebih banyak, tapi kadang aku juga merasa kesulitan untuk menggali lebih dalam.
Damar menoleh, tatapannya kosong sejenak, lalu dia tersenyum miring. “Mungkin suatu saat nanti. Tapi gue nggak tau kapan. Mungkin lo bener, kita harus berani ambil langkah. Mungkin gue terlalu takut kalau semuanya nggak berjalan sesuai rencana.”
Kami terdiam sejenak, menikmati kesunyian malam. Aku melihat bintang-bintang di langit yang seakan-akan mengisyaratkan bahwa waktu akan memberi jawabannya. Damar bukan orang yang mudah menyerah, aku tahu itu. Mungkin, hanya perlu waktu baginya untuk menemukan jalan yang dia inginkan.
“Lo tahu, kan, Dam, gue nggak akan ninggalin lo, kan?” kataku, mencoba menenangkan sahabatku yang mulai merasa terbebani dengan pikiran-pikirannya.
Dia mengangguk pelan. “Gue tahu, Alif. Gue tahu banget.”
Malam itu, kami berdua tetap duduk di atap, berbicara tentang berbagai hal, dari mulai kenangan masa kecil hingga rencana-rencana masa depan yang masih samar-samar. Tak ada kata-kata yang terlalu berat, tak ada tekanan yang terasa. Kami hanya duduk dan menikmati waktu bersama, seperti dua sahabat yang saling memahami tanpa perlu banyak berbicara.
Karena pada akhirnya, itu yang lebih penting. Tidak ada yang lebih berharga daripada saling mendukung dalam perjalanan hidup masing-masing, bahkan saat jalan itu tampak penuh keraguan.
Ketika Semua Perlu Keberanian
Pagi itu aku dan Damar memutuskan untuk pergi ke kafe kecil di ujung jalan. Tempat itu selalu jadi pilihan kalau kami butuh ngobrol tentang hal-hal yang lebih serius. Suasana kafe yang tenang dengan alunan musik lembut, ditambah aroma kopi yang menggoda, membuat kami merasa nyaman. Tempat itu seakan jadi zona bebas untuk kami berbicara tentang apapun, tanpa takut terdengar aneh atau canggung.
Saat aku menatap Damar yang sedang memesan kopi, aku bisa melihat ada sesuatu yang berbeda darinya. Matanya yang biasanya cerah, kali ini tampak lebih dalam, penuh dengan keraguan. Seolah dia sedang berjuang dengan pikirannya sendiri.
“Lo oke, Dam?” tanyaku, sedikit ragu. Aku bukan tipe orang yang sering bertanya begitu, tapi ada sesuatu yang mengusik. Damar tampak seperti sedang berusaha mengubah sesuatu dalam dirinya.
Dia menatapku dengan ekspresi yang tidak bisa aku baca. “Gue rasa, hidup gue udah ada di titik balik, Alif,” katanya dengan suara yang sedikit berat, lebih serius dari biasanya.
Aku menyandarkan punggungku ke kursi dan menyilangkan tangan di dada, menunggu dia melanjutkan kalimatnya.
“Aku nggak bisa terus-terusan begini, Alif. Selama ini gue cuma ngikutin arus. Semua orang pikir hidup gue sempurna, tapi mereka nggak tahu apa yang gue rasain,” Damar menghela napas panjang, seolah beban yang dia tanggung terlalu berat untuk dibicarakan.
Aku terdiam, menatapnya dengan perhatian lebih. Kami sudah melewati banyak hal bersama, tapi kali ini rasanya seperti ada sisi Damar yang belum pernah aku kenal. Ada perasaan bahwa dia sedang memikirkan keputusan besar dalam hidupnya.
“Lo mau coba berubah, ya?” tanyaku, meski aku sudah tahu jawabannya. Damar bukan tipe orang yang mudah puas dengan keadaan. Dia selalu ingin lebih, bahkan jika itu berarti harus berjuang melawan ketakutannya sendiri.
“Gue nggak tau harus mulai dari mana, Alif,” jawabnya, suara suaranya kali ini terdengar penuh kebingungan. “Gue takut kalau gue nggak bisa mewujudkan semua yang gue bayangkan. Gue takut kalau semuanya berantakan.”
Aku tahu betul apa yang dia maksud. Perasaan takut akan kegagalan sering kali menghalangi orang untuk mengambil langkah besar. Aku sendiri pernah merasakannya, tapi setiap langkah yang aku ambil selalu berujung pada pembelajaran, bahkan ketika hasilnya tidak sesuai ekspektasi.
“Lo nggak bakal tau hasilnya kalau nggak coba, Dam,” kataku sambil tersenyum sedikit. “Bahkan kalau lo jatuh sekalipun, itu bukan akhir dari segalanya. Lo nggak sendiri kok, gue ada di sini. Selalu ada.”
Damar terdiam, menatap aku dengan mata yang lebih lembut. Aku tahu, dia mencerna kata-kataku. Ada sesuatu yang bergema dalam pikirannya. Sebagai sahabat, aku tahu ini adalah saat yang penting baginya.
“Gue harus berani ambil keputusan, ya?” ujarnya akhirnya, dengan nada yang lebih pasti. Itu bukan hanya sebuah pertanyaan, tapi sebuah pengakuan. Seolah dia baru menyadari bahwa untuk bisa melangkah maju, dia harus menghadapinya tanpa ragu.
Aku mengangguk, dan kami terdiam sejenak. Keputusan itu memang tidak mudah, tetapi kadang-kadang, untuk bisa menjadi versi terbaik dari diri sendiri, seseorang harus berani keluar dari zona nyaman, berani menghadapi ketakutannya. Aku percaya Damar bisa melakukannya.
Setelah beberapa saat, pelayan datang membawa kopi kami. Damar menyesap kopinya pelan, seolah memikirkan sesuatu yang jauh lebih besar daripada hanya sekadar rasa manis atau pahit dari minuman itu.
“Lo tau, Alif, kadang gue merasa bingung, hidup ini cepat banget berlalu. Gue gak tahu apakah gue udah cukup melakukan hal yang bener. Dan gue juga nggak tahu apakah gue akan cukup bahagia dengan semua yang ada,” kata Damar dengan nada rendah. “Tapi mungkin, yang gue butuhkan adalah keberanian untuk bertindak, bukan hanya berharap.”
Aku tersenyum mendengar itu. “Itu baru Damar yang gue kenal. Lo bakal baik-baik aja, gue yakin.”
Damar tersenyum, walaupun masih ada kecemasan di matanya. Tapi senyumnya sudah cukup menunjukkan bahwa dia mulai percaya pada dirinya sendiri. Langkah kecil itu sudah membuat perbedaan. Kadang-kadang, hanya dengan mendengar kata-kata sederhana, seseorang bisa menemukan jalan mereka.
Kami melanjutkan obrolan tentang hal-hal lain, tentang rencana masa depan, dan bagaimana kami ingin menjalani hidup. Walaupun banyak yang harus kami hadapi, malam itu terasa lebih ringan daripada sebelumnya. Seperti ada beban yang sedikit berkurang.
Setelah selesai minum, kami berjalan keluar dari kafe. Suasana malam di luar terasa tenang. Kota ini memang tidak pernah tidur, tapi malam seperti ini, dengan langit yang berbintang dan angin yang lembut, memberi rasa damai yang sulit untuk ditemukan di tengah hiruk-pikuk kehidupan.
Damar berhenti sejenak di tengah jalan, menatapku. “Alif, terima kasih, lo udah selalu ada buat gue. Kadang gue nggak ngerti kenapa gue bisa begitu gampang merasa terjebak. Tapi lo selalu ada buat ngingetin gue kalau semuanya masih mungkin. Gue harus percaya sama diri gue sendiri.”
Aku menepuk bahunya. “Lo nggak perlu terima kasih, Dam. Kita udah lama bareng. Ini cuma bagian dari perjalanan kita. Kita jalani bersama-sama.”
Damar tersenyum lagi. Tapi kali ini, senyumnya lebih tulus, lebih lega. Kami berdua berjalan bersama menuju rumah masing-masing, dengan perasaan yang lebih ringan. Keberanian untuk berubah, meskipun masih samar-samar, sudah mulai tumbuh dalam dirinya. Dan itu adalah awal dari perjalanan baru yang akan kami jalani bersama.
Langkah Baru di Depan Mata
Minggu-minggu berlalu setelah percakapan malam itu. Damar berubah. Tidak secara drastis, tetapi cukup terasa. Di setiap obrolan kami, dia tidak lagi hanya berbicara tentang apa yang seharusnya dia lakukan, melainkan mulai berbicara tentang langkah-langkah konkret yang dia ambil untuk menuju impian-impian yang dulu hanya dia simpan dalam hati. Kami masih sering bertemu, berbincang tentang kehidupan, tetapi ada sesuatu yang lebih ringan di dalam setiap percakapan kami. Sesuatu yang kami berdua tahu: Damar sedang berada dalam perjalanan menuju kebebasan.
Pada suatu sore, ketika kami sedang duduk di taman dekat rumah, Damar tiba-tiba berkata, “Gue rasa gue mulai tahu arah hidup gue, Alif.”
Aku menoleh padanya dengan sedikit rasa penasaran. “Oh, ya? Jadi lo udah punya rencana?”
Damar mengangguk, senyum di wajahnya lebar, sesuatu yang sudah lama tidak terlihat. “Iya, gue mulai buat keputusan. Gue mulai ambil langkah kecil untuk keluar dari bayang-bayang semua yang gue takuti. Gue ngajuin diri buat ambil proyek pertama di luar bisnis keluarga. Gue pengen ngerasain sendiri apa artinya ngejalanin hal yang gue pilih.”
Aku terdiam, terkesima. Ini bukan langkah kecil bagi Damar. Ini adalah lompatan besar. Dari seseorang yang selalu merasa terjebak dalam ekspektasi orang lain, kini dia memilih untuk mengejar apa yang benar-benar dia inginkan.
“Dam, itu keputusan besar banget!” kataku, masih tidak percaya. “Lo yakin?”
“Yakin. Gue nggak mau hidup di bayang-bayang lagi, Alif. Gue pengen ngerasain dunia di luar sana, meskipun gue nggak tau hasilnya gimana. Tapi gue siap. Sekarang atau nggak sama sekali.”
Aku tersenyum lebar, bangga sekaligus terharu. Damar, sahabatku yang dulu penuh keraguan, kini berdiri di ambang perubahan besar. Ada keberanian dalam dirinya yang bahkan aku sendiri jarang temui. Seperti menemukan cahaya dalam kegelapan, dia akhirnya menemukan apa yang selama ini dia cari.
“Lo hebat, Dam. Gue nggak nyangka lo bakal ambil langkah itu, tapi gue juga tahu, lo pasti bisa.” Suaraku penuh keyakinan, seperti aku percaya sepenuhnya pada sahabatku.
Kami terdiam beberapa saat, menikmati senja yang perlahan berubah menjadi malam. Angin yang berhembus seakan membawa semangat baru bagi kami berdua. Tidak ada lagi ketakutan yang menghalangi, tidak ada lagi keraguan yang menghentikan langkah. Kami hanya duduk di sana, menikmati waktu yang ada, sambil membayangkan masa depan yang penuh dengan kemungkinan.
“Kita selalu mulai dengan langkah kecil, Dam,” kataku akhirnya, sambil menatap langit yang mulai gelap. “Lo udah ambil langkah pertama, dan itu yang paling penting. Sekarang lo tinggal terus maju, gue yakin lo bakal sampai ke tujuan lo.”
Damar tersenyum, dan aku bisa melihat bahwa senyum itu bukan hanya senyum biasa. Itu adalah senyum dari seseorang yang sudah merasa lega, seseorang yang akhirnya melepaskan beban yang selama ini dia bawa. Dia tahu bahwa perjalanan ini mungkin akan panjang dan penuh tantangan, tapi dia siap untuk menjalani setiap langkahnya.
“Kalo lo bilang gitu, gue rasa gue nggak sendirian, Alif,” kata Damar. “Makasih udah ada buat gue. Selama ini gue nggak pernah ngerasa sendirian, dan itu mungkin yang bikin gue kuat buat mulai berubah.”
Aku hanya mengangguk, merasa semakin yakin bahwa perjalanan kami berdua masih panjang. Kami sudah melangkah begitu jauh, bersama-sama sejak kecil. Tapi kali ini, kami berjalan dengan cara yang berbeda. Kami punya tujuan masing-masing, tetapi kami tetap berjalan berdampingan. Tidak ada yang lebih berarti bagi kami selain saling mendukung dalam setiap langkah yang kami ambil.
Malam itu, kami kembali ke rumah masing-masing dengan perasaan yang berbeda. Tidak ada lagi keraguan, hanya keyakinan bahwa apa yang sedang kami lakukan adalah hal yang benar. Mungkin perjalanan ini baru dimulai, dan kami masih harus melalui banyak hal. Tetapi satu hal yang pasti: kami tidak akan pernah berjalan sendirian.
Saat aku berbaring di tempat tidur, aku memikirkan semuanya. Tentang Damar, tentang perubahannya, dan tentang apa yang mungkin terjadi di masa depan. Kami mungkin akan menghadapi banyak rintangan, tetapi selama kami punya keberanian untuk melangkah, kami akan selalu menemukan jalan. Dan aku tahu, apapun yang terjadi, kami akan selalu ada satu sama lain.
Karena itu yang paling penting. Keberanian untuk berubah, dan sahabat yang selalu ada di sampingmu. Kami berdua mungkin tidak tahu persis ke mana langkah ini akan membawa kami, tetapi kami tahu bahwa selama kami bersama, kami akan terus maju, bersama-sama.
Jadi, kadang kita mikir, apa yang udah kita lewatin selama ini cuma soal kebetulan atau nasib? Tapi, kalau dipikir-pikir, mungkin itu semua adalah bagian dari perjalanan kita buat jadi lebih kuat.
Persahabatan bukan cuma soal berada di saat-saat bahagia, tapi juga siap bareng-bareng ngadepin tantangan. Dan yang lebih penting, kita nggak pernah sendirian dalam perjalanan ini. Karena, selama kita punya sahabat yang bener-bener ngerti kita, nggak ada yang nggak mungkin.