Daftar Isi
Coba bayangin, gimana rasanya punya teman yang selalu ada di saat kita lagi butuh banget. Nggak penting dia orang yang terkenal atau cuma sekadar teman sekelas, tapi yang penting dia ada, dan itu bikin segalanya jadi lebih berarti.
Nah, cerpen ini bakal ngulik banget gimana serunya perjalanan tiga orang yang tadinya nggak kenal sama sekali, terus jadi sahabat yang saling ngerti satu sama lain, walau nggak mudah buat sampe ke tahap itu. Langsung aja, yuk ikutin cerita persahabatan yang nggak biasa ini!
Persahabatan Sejati di Sekolah
Hari Pertama dan Anak Pendiam di Pojokan
Hari pertama sekolah selalu sama—ramai, penuh suara langkah kaki, dan wajah-wajah baru yang masih canggung. Beberapa murid sudah bergerombol dengan teman lama, sementara sisanya sibuk mencari tempat duduk atau menyesuaikan diri dengan lingkungan baru.
Di salah satu sudut kelas, seorang anak laki-laki duduk diam. Rambutnya sedikit berantakan, kacamata tebal bertengger di hidungnya, dan sebuah buku terbuka di atas meja. Tatapannya lurus ke halaman, seolah tak peduli dengan riuh rendah di sekitarnya.
Di sisi lain ruangan, seorang gadis dengan rambut dikuncir dua masuk dengan langkah penuh semangat. Matanya berbinar saat mengamati kelas, mencari tempat duduk yang pas. Begitu melihat bangku kosong di samping anak laki-laki berkacamata itu, dia langsung melangkah ke sana.
Tanpa ragu, ia menjatuhkan tasnya ke meja dan duduk. “Hai! Aku Elya!” katanya dengan nada ceria.
Anak laki-laki itu tidak menoleh. Dia hanya mengangkat bahu sedikit, lalu membalik halaman bukunya.
Elya menunggu sebentar, berharap jawaban. Tapi tak ada.
“Kamu siapa?” tanyanya lagi, kali ini sambil menyandarkan dagunya di meja, mencoba melihat wajah anak itu lebih jelas.
Perlahan, anak itu mendongak. “Kiran.”
Satu kata. Singkat. Lalu kembali membaca.
Elya mengernyit. “Kamu pendiam banget ya? Aku nggak pernah duduk sama orang pendiam sebelumnya.”
Kiran tidak merespons.
“Tapi nggak masalah, aku tetap duduk di sini,” lanjut Elya tanpa menunggu jawaban. “Aku banyak ngomong, kamu diem. Cocok, kan?”
Kiran menarik napas panjang, tapi tetap tidak menutup bukunya.
Elya menyenggol lengannya pelan. “Jadi, kamu suka baca buku ya?”
Kiran akhirnya menutup bukunya, menatap Elya sebentar, lalu mengangguk.
Elya tersenyum lebar. “Keren! Aku juga suka baca, tapi komik. Kamu baca apa?”
Kiran menunjukkan sampul bukunya. Sebuah novel tebal tentang sejarah.
Elya berkedip. “Oke, aku nggak terlalu ngerti itu. Tapi keren sih, aku salut.”
Belum sempat Kiran merespons, suara seorang guru menggema dari depan kelas. “Baik, anak-anak! Selamat datang di tahun ajaran baru! Saya Bu Ratna, wali kelas kalian. Sekarang, ayo kita kenalan satu per satu!”
Elya langsung berseri-seri. “Oke, ini saatnya aku bikin banyak teman!”
Kiran hanya menggeleng pelan.
Ketika gilirannya tiba, Elya berdiri dengan percaya diri. “Halo semuanya! Aku Elya! Aku suka ngobrol, suka petualangan, dan suka berteman! Kalau ada yang butuh teman buat ngerjain tugas atau sekadar ngobrol, panggil aku aja!”
Beberapa anak tertawa kecil.
Setelahnya, giliran Kiran. Dia berdiri, menarik napas, lalu berkata singkat, “Aku Kiran.”
Dan duduk kembali.
Suasana kelas sempat hening, sebelum Bu Ratna tertawa kecil. “Baik, Kiran. Pendek, tapi jelas.”
Elya menyikut lengan Kiran pelan. “Serius? Cuma gitu doang?”
Kiran mengangkat bahu. “Aku nggak suka ngomong banyak.”
Elya mendesah. “Baiklah. Aku bakal ngomong lebih banyak buat kita berdua!”
Kiran tidak menjawab, tapi ada sudut bibirnya yang sedikit tertarik ke atas—senyum kecil yang hanya bertahan beberapa detik.
Dan di situlah semuanya dimulai.
Bel pulang sekolah berbunyi. Anak-anak mulai merapikan buku mereka dan bergegas keluar kelas. Elya menutup tasnya, lalu menoleh ke arah Kiran.
“Kamu langsung pulang?” tanyanya.
Kiran mengangguk.
Elya menghela napas. “Aku sih pengennya keliling sekolah dulu. Kamu mau ikut nggak?”
Kiran tampak berpikir sebentar, lalu akhirnya menggeleng. “Aku mau pulang.”
Elya menatapnya sebentar, lalu tersenyum kecil. “Baiklah. Tapi jangan lupa, kita teman sebangku. Jadi, siap-siap aja aku bakal banyak gangguin kamu!”
Kiran tidak berkata apa-apa, hanya mengambil tasnya dan berjalan keluar kelas.
Elya menatap punggungnya yang perlahan menghilang di lorong sekolah. Lalu, tanpa alasan yang jelas, dia tersenyum.
Dia tidak tahu kenapa, tapi dia merasa, anak pendiam di pojokan itu akan jadi bagian penting dalam hari-harinya di sekolah.
Dan dia benar.
Duo Pembuat Masalah dan Hukuman yang Tak Terduga
Hari-hari berlalu, dan meskipun Kiran tetap pendiam, keberadaan Elya di sebelahnya seperti badai kecil yang tak bisa dihindari. Setiap pagi, gadis itu datang dengan semangat yang sama, menyapanya, bercerita tentang hal-hal yang menurutnya menarik, atau sekadar menyenggol bahunya agar Kiran sadar dia masih ada.
Mereka bukan tipe teman yang terlihat serasi—Elya yang selalu ribut dan Kiran yang lebih suka diam—tapi entah bagaimana, mereka mulai terbiasa satu sama lain.
Namun, perbedaan mereka justru sering membawa masalah.
Hari itu, pelajaran Matematika berlangsung lebih lama dari biasanya. Udara di kelas terasa semakin panas, dan sebagian besar siswa mulai kehilangan fokus.
Elya, yang sejak tadi sudah gelisah di kursinya, akhirnya berbisik ke Kiran. “Aku bosen banget. Kamu nggak?”
Kiran hanya menatap papan tulis, lalu bergumam pelan, “Dengerin aja.”
Elya mendengus. “Dengerin apanya? Aku udah nggak ngerti dari tadi.”
Dia mulai mencoret-coret bukunya, lalu menoleh ke Kiran yang masih serius mencatat. Mendadak, ide jahil melintas di kepalanya. Dengan senyum kecil, dia mengambil penghapus dari meja dan melemparkannya ke arah seorang anak di depan mereka.
Blep!
Anak itu menoleh ke belakang dengan bingung. Kiran, yang menyadari apa yang baru saja terjadi, langsung melirik Elya tajam. “Kamu ngapain?”
Elya terkikik. “Santai, cuma biar nggak bosen aja.”
Kiran menghela napas, kembali fokus ke bukunya. Tapi sebelum dia sempat menulis lagi, sebuah penghapus tiba-tiba melayang ke arahnya dan mendarat tepat di kepalanya.
Elya terbahak pelan. “Hah! Kena!”
Kiran menatapnya tajam. “Aku nggak ikut-ikutan, ya.”
Tapi sebelum dia bisa menjelaskan lebih lanjut, suara berat Bu Ratna terdengar dari depan kelas.
“Elya. Kiran.”
Seluruh kelas mendadak hening.
Elya dan Kiran sama-sama menoleh ke depan dengan ekspresi terkejut. Bu Ratna berdiri dengan tangan terlipat di dada, tatapannya tajam. “Kalian pikir ini waktu buat main-main?”
Elya mencoba menahan senyum, sementara Kiran hanya menghela napas panjang.
“Kalian berdua,” lanjut Bu Ratna, “sebagai hukuman, saya ingin kalian membantu di perpustakaan sepulang sekolah.”
Elya memutar mata. “Cuma bantuin perpustakaan? Mudah banget.”
Bu Ratna tersenyum kecil. “Jangan senang dulu. Kalian akan merapikan rak buku yang belum tersusun sejak tahun lalu.”
Kiran mendesah. Sementara itu, Elya hanya tersenyum kecil, seolah hukuman ini bukan masalah besar.
Satu jam setelah bel pulang berbunyi, mereka sudah berdiri di depan perpustakaan sekolah.
Elya menatap pintu besar di hadapannya. “Aku suka perpustakaan, tapi nggak suka kerjaannya.”
Kiran menghela napas. “Karena kamu nggak pernah diem.”
Mereka masuk ke dalam, disambut dengan udara sejuk dan aroma buku tua yang khas. Ruangan itu hampir kosong, hanya ada satu petugas perpustakaan yang duduk di meja resepsionis, membaca novel tebal.
“Kalian yang dihukum, ya?” tanyanya tanpa mengangkat kepala.
“Ya,” jawab Kiran singkat.
Petugas itu mengangguk ke arah rak-rak yang berantakan. “Silakan mulai. Kalian bisa selesai sebelum matahari terbenam kalau kerja cepat.”
Elya mengerang pelan. “Aku udah kangen kasur.”
Mereka mulai bekerja, memindahkan buku dari satu rak ke rak lainnya, menyusunnya berdasarkan kategori yang sudah ditentukan. Satu jam berlalu tanpa banyak bicara—Kiran fokus, sementara Elya mengeluh setiap beberapa menit sekali.
Tapi saat Elya sedang menyusun buku di rak paling bawah, dia menemukan sesuatu yang menarik.
“Eh, Kiran,” panggilnya.
Kiran, yang tengah memasukkan buku ke rak atas, hanya menoleh sekilas. “Apa lagi?”
Elya mengangkat sebuah buku tua yang berbeda dari yang lain. Sampulnya lusuh, warnanya pudar, dan ada tulisan tangan di bagian depan:
“Buku Harian Tanpa Nama”
Kiran mengerutkan kening. “Itu bukan buku perpustakaan, kan?”
Elya menggeleng. “Kayaknya bukan. Ini… kayak buku harian seseorang.”
Dia membuka halaman pertama, dan di dalamnya ada tulisan tangan yang rapi:
“Aku selalu duduk sendirian. Aku berharap suatu hari nanti, aku punya sahabat sejati.”
Elya dan Kiran bertukar pandang.
Hukuman mereka baru saja berubah menjadi sesuatu yang jauh lebih menarik.
Misteri di Antara Halaman yang Pudar
Elya memegang buku harian itu dengan hati-hati, seolah takut merusaknya. Jari-jarinya membolak-balik halaman, sementara Kiran duduk bersila di lantai perpustakaan, menatapnya dengan ekspresi skeptis.
“Kita nggak seharusnya baca ini,” gumam Kiran.
Elya meliriknya tajam. “Oh, jadi kamu nggak penasaran? Ini jelas bukan buku biasa.”
Kiran menghela napas. Dia memang penasaran, tapi membaca buku harian orang lain terasa seperti melanggar privasi. Meski begitu, Elya sudah mulai membaca halaman pertama dengan suara pelan.
“Aku selalu duduk sendirian. Aku berharap suatu hari nanti, aku punya sahabat sejati.”
Elya berhenti sejenak, lalu melanjutkan.
“Hari ini, aku mencoba berbicara dengan seseorang. Tapi seperti biasa, mereka hanya melihatku sebentar, lalu pergi. Mungkin aku memang tak terlihat di mata mereka. Mungkin aku memang tak seharusnya ada di sini.”
Suasana mendadak terasa berat. Kiran, yang tadinya ragu, kini menatap halaman itu dengan lebih serius.
“Siapa pun pemilik buku ini,” kata Kiran pelan, “sepertinya dia merasa sangat sendirian.”
Elya mengangguk. “Dan dia jelas anak sekolah ini. Coba lihat ini,” katanya sambil menunjuk halaman yang agak buram. Ada coretan kecil di bagian bawah halaman—sesuatu yang awalnya sulit terbaca.
Kiran mempersempit matanya, lalu membaca dengan suara pelan.
“Perpustakaan adalah satu-satunya tempat aku bisa bernapas.”
Elya dan Kiran saling pandang.
“Kalau dia sering ke perpustakaan,” kata Elya, “berarti ada kemungkinan kita bisa menemukan lebih banyak petunjuk tentang siapa dia.”
Kiran masih ragu. “Dan buat apa kita mencari tahu? Ini buku lama. Mungkin pemiliknya udah nggak sekolah di sini lagi.”
“Tapi gimana kalau dia masih ada?” potong Elya cepat. “Gimana kalau dia masih merasa sendirian?”
Keesokan harinya, Elya dan Kiran kembali ke perpustakaan saat jam istirahat. Kiran awalnya malas mengikuti Elya, tapi ada sesuatu yang mengganggu pikirannya sejak tadi malam.
“Aku yakin ada sesuatu yang bisa kita temuin di sini,” kata Elya sambil berjalan melewati rak-rak buku.
Kiran melirik sekeliling. Perpustakaan cukup sepi, hanya ada beberapa siswa yang sibuk dengan buku dan tugas mereka.
Elya mulai memeriksa bagian-bagian rak tempat mereka menemukan buku harian itu, berharap ada petunjuk lain. Kiran sendiri memilih berjalan-jalan di sekitar perpustakaan, memperhatikan wajah-wajah siswa yang ada di sana.
Saat itulah dia melihat seseorang.
Seorang anak laki-laki, duduk di pojokan perpustakaan dengan kepala tertunduk. Rambutnya berantakan, seragamnya sedikit kusut, dan dia terlihat sibuk mencoret-coret sesuatu di bukunya.
Kiran menatapnya beberapa saat. Ada sesuatu tentang anak itu yang terasa… familiar.
Elya, yang baru saja menemukan sebuah kertas yang terselip di antara rak, mendekati Kiran dengan ekspresi penuh semangat. “Aku nemu ini!” katanya sambil menyerahkan selembar kertas lusuh.
Kiran mengambilnya dan membaca tulisan di atasnya.
“Aku ingin berbicara. Tapi aku tak tahu caranya.”
Mata Kiran kembali ke arah anak laki-laki di pojokan.
“Elya,” katanya pelan, “aku rasa kita baru saja menemukan pemilik buku harian itu.”
Persahabatan yang Tumbuh dari Kepedulian
Kiran dan Elya berdiri beberapa langkah dari anak laki-laki yang kini tampak semakin jelas sebagai pemilik buku harian itu. Matanya menatap lurus ke meja, tangan kanannya sibuk menulis sesuatu, sementara tangan kirinya memegang pena dengan canggung.
Elya, yang dari tadi memperhatikan, mengangkat bahu. “Aku rasa kita harus berbicara sama dia.”
Kiran menatapnya, masih ragu. “Kamu yakin? Dia kelihatan… nggak nyaman.”
“Tapi kita bisa bantu dia,” jawab Elya dengan percaya diri. “Kamu nggak merasa kasihan?”
Kiran mengangguk pelan. “Iya, tapi… kadang kita nggak bisa langsung masuk ke dunia orang lain, Elya. Semua butuh waktu.”
Elya menarik napas panjang, lalu memutuskan untuk mengambil langkah pertama. Dengan hati-hati, dia mendekati anak laki-laki itu. Kiran mengikutinya dari belakang, berusaha tampak tenang.
“Hei,” sapa Elya pelan, mencoba tidak mengejutkannya.
Anak laki-laki itu menoleh, terlihat terkejut. Dia menatap Elya sebentar, lalu cepat-cepat menundukkan kepala lagi, menutupi buku tulisnya dengan tangan. “Apa yang kamu mau?”
Elya tidak merasa terganggu dengan sikapnya. “Aku cuma mau bilang… kalau kamu nggak sendirian.”
Anak itu diam, masih tidak yakin. Kiran akhirnya mendekat dan berdiri di samping Elya. “Kami cuma… ingin membantu. Kita semua di sini, di sekolah ini. Mungkin kamu merasa nggak ada yang peduli, tapi… kadang orang hanya butuh waktu buat menyadari hal-hal itu.”
Untuk beberapa detik, tidak ada suara kecuali detak jam dinding di perpustakaan. Anak laki-laki itu perlahan menurunkan tangannya dari buku, dan dengan suara yang hampir tak terdengar, dia berkata, “Aku nggak tahu harus mulai dari mana.”
Elya tersenyum lembut. “Kamu nggak perlu langsung tahu semuanya. Kadang kita cuma butuh waktu untuk percaya bahwa orang lain bisa memahami.”
Kiran menambahkan, “Dan kita nggak akan pergi ke mana-mana. Kita di sini.”
Perlahan, anak laki-laki itu mengangkat wajahnya dan memperhatikan mereka. Matanya terlihat sedikit basah, tapi dia menahan air matanya. “Aku… nggak pernah punya teman dekat.”
Elya dan Kiran duduk di sebelahnya. “Sekarang kamu punya kami,” kata Elya dengan hangat. “Kami bisa mulai dari sini.”
Kiran mengangguk, dan anak laki-laki itu akhirnya tersenyum tipis. “Nama aku Reza,” katanya pelan. “Terima kasih, kalian udah mau ngomong sama aku.”
Mereka bertiga duduk diam untuk beberapa saat, membiarkan kesunyian membawa kenyamanan. Semua yang terjadi sebelumnya, dari buku harian yang ditemukan secara tak sengaja hingga percakapan yang akhirnya terbuka, membuat hari itu terasa lebih berarti.
Seiring berjalannya waktu, hubungan mereka berdua dengan Reza semakin dekat. Hari-hari penuh tawa dan cerita menggantikan hari-hari hening yang pernah dia lewati sendirian. Reza mulai merasa lebih nyaman di sekitar Elya dan Kiran, dan mereka semua mulai berbagi cerita, masalah, bahkan impian mereka.
Dari sekadar teman yang terbentuk karena sebuah buku harian yang tak sengaja ditemukan, mereka akhirnya tumbuh menjadi sebuah persahabatan yang nyata—persahabatan yang akan selalu mereka ingat, tak peduli ke mana hidup membawa mereka.
Karena terkadang, dalam kehidupan yang penuh dengan kebisingan dan rutinitas, persahabatan sejati tumbuh dari kesediaan untuk mendengarkan, berbagi, dan tidak meninggalkan seseorang meskipun mereka tidak meminta.
Dan itu—bukan hanya sekadar hadiah dari kehidupan, tapi juga sebuah kebahagiaan yang tak ternilai.
Jadi, kadang kita nggak perlu cari jauh-jauh buat menemukan teman sejati. Cukup buka hati, dan lihat sekeliling kita. Mungkin aja ada seseorang yang sebenarnya butuh banget buat dengerin atau sekadar ditemenin, kaya yang terjadi di cerpen ini.
Intinya, persahabatan itu tumbuh karena perhatian kecil dan pengertian, bukan karena kesempurnaan. Jadi, siapa tau, sahabat yang kita cari selama ini ternyata ada di tempat yang nggak kita duga.


