Persahabatan Sejati dari TK: Cerita Mengharukan yang Tak Pernah Pudar

Posted on

Pernah nggak sih, kamu punya sahabat yang udah ada sejak kamu masih balita? Gimana rasanya kalau bisa bertumbuh bareng, meskipun banyak hal yang berubah di sekitar kita? Nah, dalam artikel ini, kita bakal ngobrolin tentang cerpen yang bakal bikin kamu baper: Persahabatan Sejati dari TK.

Cerita ini nggak cuma soal dua sahabat yang tumbuh bersama, tapi juga tentang bagaimana persahabatan yang tulus bisa bertahan meskipun jarak dan waktu mencoba memisahkan. Penasaran? Yuk, simak ceritanya yang penuh inspirasi dan pastinya bikin kamu ngiler buat punya sahabat se-unik mereka!

 

Persahabatan Sejati dari TK

Pertemuan di Taman Kota

Pagi itu, udara di taman kota terasa segar, dengan cahaya matahari yang lembut menyinari dedaunan yang mulai tumbuh hijau. Beberapa anak tampak sedang bermain bola, sementara ibu-ibu berbicara santai di bangku taman. Lintang, dengan rambut pendeknya yang terurai acak-acakan, memegang tangan ibunya sambil menatap sekeliling. Mata Lintang selalu penuh rasa ingin tahu, terutama ketika dia berada di tempat yang baru.

Ibunya, yang selalu memiliki cara menyenangkan untuk membuat Lintang berinteraksi dengan orang lain, berkata, “Lintang, ayo kita kenalan sama anak-anak yang ada di sana, yuk? Mereka juga teman-temanmu nanti di sekolah.”

Lintang hanya mengangguk kecil. Sebagai anak yang lebih suka membaca buku daripada berlarian seperti anak-anak lain, kesempatan ini membuatnya sedikit canggung. Tapi ia tetap berjalan mengikuti ibunya.

Di sebelahnya, Raya sedang asyik menggambar di buku sketsa miliknya. Rambut ikalnya yang panjang tergerai bebas, dan dia tampak tidak memperhatikan lingkungan sekitar. Matanya fokus pada goresan pensil yang ia buat, menggambarkan rumah pohon yang menurutnya sangat indah.

Ibunya, yang juga ada di taman itu, melihat Raya yang sibuk sendiri dan berpikir ini adalah kesempatan bagus untuk mengenalkan Raya pada teman baru. “Raya, coba deh, kenalan sama anak itu. Dia seumuran dengan kamu, lho,” kata ibu Raya sambil menunjuk ke arah Lintang yang sedang berjalan menghampiri mereka.

Raya menoleh, mengernyitkan dahi sejenak, kemudian tersenyum kecil. “Iya, Ma, aku mau kenalan.”

Raya bangkit dari bangkunya dan melangkah mendekat ke Lintang yang tampak ragu-ragu. Saat mereka saling melihat, Lintang tersenyum tipis, meski tidak sepenuhnya mengerti apa yang sedang terjadi.

“Hei, namaku Raya. Aku suka gambar-gambar,” kata Raya dengan suara ceria, berusaha membuka percakapan.

Lintang, yang biasanya lebih suka bicara dengan ibunya atau membaca buku, merasa sedikit canggung. Tapi melihat senyum Raya, ia merasa sedikit lebih tenang. “Aku Lintang. Aku suka baca buku cerita,” jawab Lintang, sedikit ragu, sambil menunjuk buku yang dia bawa di tangan.

Raya menatap buku itu, tertarik. “Buku cerita? Kayak buku yang ada gambar-gambarnya gitu, ya?”

“Iya, tapi kadang ada yang tanpa gambar juga, lho,” jawab Lintang dengan nada pelan, sedikit mencoba menjelaskan dengan cara yang bisa dimengerti.

“Boleh lihat?” tanya Raya, makin penasaran.

Lintang mengangguk dan menyerahkan buku itu. Raya mengambilnya dengan hati-hati, matanya bersinar melihat halaman-halaman penuh cerita yang belum pernah ia lihat sebelumnya. “Wah, ini kayaknya seru deh! Aku jarang baca buku kayak gini. Biasanya cuma gambar-gambar aja.”

Lintang tersenyum, merasa senang bisa berbagi minatnya. “Aku suka banget sama cerita tentang petualangan. Bisa bayangin, kita jadi pahlawan yang melawan monster, atau menyelamatkan dunia gitu.”

Raya tertawa, merasa semakin tertarik dengan pembicaraan itu. “Itu pasti seru banget! Tapi kalau aku, aku lebih suka gambar tentang alam. Kayak pohon-pohon besar yang ada di gunung, atau laut biru yang luas. Gimana kalau kita gambar bareng?”

Lintang mengangkat alis, merasa agak terkejut. “Gambar? Aku nggak jago gambar kok. Aku lebih jago nulis cerita.”

Raya tertawa lagi. “Nggak apa-apa! Aku juga nggak jago banget. Tapi seru kan kalau kita coba? Kamu nulis cerita, aku gambar yang ada di cerita itu.”

Lintang terdiam sejenak, kemudian mengangguk pelan. “Kayaknya seru juga, ya. Oke, kita coba nanti.”

Saat itu, Lintang merasa sesuatu yang berbeda. Biasanya, dia merasa sendiri dengan dunianya yang penuh buku dan imajinasi. Tapi sekarang, ada seseorang yang menawarkan sesuatu baru—sesuatu yang berbeda dan menarik. Dan siapa tahu, mungkin ini bisa menjadi awal dari sesuatu yang lebih besar.

Mereka berdua duduk di atas rumput, mulai berbicara tentang dunia mereka. Lintang menceritakan tentang buku yang baru saja dia baca, sementara Raya bercerita tentang gambarnya yang ingin ia buat. Tiba-tiba, Lintang merasakan waktu berjalan begitu cepat, karena mereka berdua mulai larut dalam percakapan.

“Jadi, kamu suka gambar-gambar tentang apa selain pohon dan laut?” tanya Lintang, penasaran.

Raya tersenyum lebar. “Aku juga suka gambar rumah pohon! Aku pengen punya rumah pohon yang besar banget, bisa main di sana sama teman-teman.”

“Oh, aku juga suka rumah pohon! Pasti seru kalau bisa punya rumah pohon besar, dan di sana bisa baca buku tanpa gangguan,” jawab Lintang antusias.

Percakapan mereka berlanjut, makin lama makin seru. Tidak ada lagi rasa canggung di antara mereka. Hari itu, Lintang dan Raya menemukan kesamaan yang tak mereka sangka sebelumnya. Mungkin persahabatan itu dimulai dengan cara yang sangat sederhana—dengan percakapan ringan tentang gambar, buku, dan rumah pohon. Namun, siapa sangka kalau perjalanan panjang mereka baru saja dimulai.

Saat matahari mulai terbenam dan ibunya Lintang memanggilnya untuk pulang, Lintang menoleh ke Raya. “Eh, nanti kalau kita ketemu lagi, aku bawa buku baru, ya. Kamu mau lihat?”

Raya tersenyum, senang. “Iya, aku pasti mau! Nanti aku gambar bareng kamu, ya?”

Lintang mengangguk, merasa senang bisa punya teman seperti Raya. Hari itu, di bawah langit yang mulai gelap, sebuah persahabatan kecil baru saja dimulai. Tak ada yang tahu, bagaimana persahabatan itu akan tumbuh seiring berjalannya waktu, tetapi yang pasti, Lintang dan Raya akan terus berjalan bersama, saling mendukung dan berbagi cerita—dimulai dari taman kota yang sederhana itu.

Langkah Kecil Menuju Juara

Musim hujan datang dengan langit yang sering mendung dan suara rintik hujan yang turun hampir setiap sore. Di antara genangan air yang memenuhi halaman sekolah dan aroma tanah basah yang menguar dari jendela ruang kelas, Lintang dan Raya tumbuh semakin dekat. Mereka sudah duduk di kelas tiga sekolah dasar, dan meja mereka selalu berdampingan. Tak ada yang pernah memisahkan mereka—bahkan wali kelas pun sudah hafal, kalau Lintang dan Raya itu satu paket.

Suatu pagi di hari Senin, saat upacara bendera baru selesai dan anak-anak mulai masuk ke kelas masing-masing, bu Tania—guru kelas mereka—mengumumkan sesuatu yang membuat hampir seluruh murid langsung bersorak.

“Anak-anak, bulan depan kita akan ikut lomba cerdas cermat antar kelas! Setiap kelas boleh mengirimkan dua orang peserta. Siapa yang mau ikut, boleh daftar minggu ini, ya!”

Beberapa anak langsung bersemangat. Tangan-tangan kecil melambai ke udara dengan antusias, saling berseru ingin menjadi wakil kelas. Namun Lintang hanya duduk diam, seperti biasa. Dia tidak suka jadi pusat perhatian. Raya yang duduk di sebelahnya mencolek pelan.

“Lintang, kamu nggak mau daftar? Kamu kan pinter banget.”

Lintang menggeleng pelan. “Males ah. Ntar disuruh ngomong di depan semua orang. Deg-degan.”

Raya menyengir. “Kalau aku daftar, kamu mau temenin?”

“Kalau cuma nemenin, ya mau,” jawab Lintang singkat.

“Tapi nemeninnya sebagai peserta juga, ya,” balas Raya cepat, membuat Lintang menoleh kaget.

“Lho! Itu namanya bukan nemenin lagi.”

Raya hanya tertawa pelan. “Ayolah. Kita bisa kok. Kamu yang mikirin jawabannya, aku yang ngomong. Kan kamu jago nulis, pasti ngerti semua pelajaran. Aku jago ngomong. Kombo banget.”

Lintang mengerutkan kening, mempertimbangkan. Memang benar, mereka selalu cocok kalau kerja bareng. Waktu tugas kelompok, mereka yang paling cepat selesai. Dan setiap kali ulangan, mereka saling bantu belajar—Lintang membantu menjelaskan bagian yang sulit, dan Raya membantu membuat catatan jadi lebih menarik dengan gambar-gambar kecilnya.

Akhirnya, Lintang mengangguk pelan. “Yaudah deh. Tapi kita belajar dulu yang bener.”

Selama beberapa minggu setelah itu, sepulang sekolah mereka tak langsung pulang. Mereka duduk di pojok perpustakaan, membuka buku-buku yang lebih tebal dari biasanya. Sesekali, mereka juga bikin kuis kecil-kecilan pakai kertas yang dilipat dua: satu bertanya, satu menjawab.

“Kapan Proklamasi Kemerdekaan?” tanya Raya sambil menutup buku.

Lintang menatapnya sebentar, lalu menjawab cepat. “17 Agustus 1945, jam 10 pagi.”

“Bagus! Sekarang gantian kamu nanya.”

“Kucing termasuk hewan apa?”

“Emm… karnivora?”

“Betul!”

Dan seperti itu terus. Mereka tidak merasa sedang belajar—semuanya terasa seperti bermain. Bahkan saat hujan turun dan sekolah sepi, mereka tetap bertahan di perpustakaan sampai petugas piket mengingatkan kalau sekolah hampir tutup.

Suatu sore, saat mereka sedang duduk di beranda rumah Raya sambil menghafal nama-nama pahlawan nasional, Raya menatap Lintang lama. “Aku seneng deh kita bisa bareng-bareng kayak gini.”

Lintang hanya mengangguk, lalu menulis sesuatu di kertas catatan.

“Kamu nggak bosen ya tiap hari sama aku?” tanya Raya tiba-tiba.

Lintang mengangkat bahu. “Kenapa harus bosen? Kamu lucu. Terus kamu ngerti aku.”

Raya tertawa kecil. “Lucu kayak badut?”

“Lucu kayak… gambar kamu yang kepala orangnya gede tapi kakinya kecil.”

“Eh! Itu gaya menggambar namanya!”

Mereka tertawa keras hari itu. Tak ada yang lebih menyenangkan dari belajar dan bercanda dengan sahabat sendiri.

Hari perlombaan akhirnya tiba. Aula sekolah sudah dipenuhi anak-anak dari kelas lain, juga beberapa orang tua dan guru. Lintang mengenakan seragam rapi, wajahnya sedikit pucat karena gugup. Tapi Raya menepuk bahunya dan berkata pelan, “Tenang, kamu nggak sendiri.”

Saat namanya dipanggil ke atas panggung, Lintang menarik napas dalam-dalam dan melangkah bersama Raya. Di depan mereka ada dua meja panjang, dan tiga juri duduk di belakang meja panel. Sorot lampu panggung membuat semuanya terasa lebih tegang dari yang mereka bayangkan.

Babak demi babak mereka lalui. Dari pertanyaan matematika, IPA, sampai sejarah, Lintang menjawab nyaris semua dengan tepat. Dan Raya—dengan kepercayaan diri khasnya—menyampaikan jawaban mereka dengan suara jelas dan senyum lebar.

Di babak terakhir, pertanyaan disampaikan tanpa pilihan ganda. Hanya satu pertanyaan penentu.

“Siapa tokoh yang dikenal dengan sebutan ‘Bapak Pendidikan Nasional’?”

Lintang langsung menulis di kertas kecil dan menyerahkannya ke Raya.

Raya mengangguk, lalu menghadap ke juri. “Ki Hajar Dewantara.”

Tepuk tangan langsung terdengar dari para penonton. Beberapa guru bahkan bersorak kecil.

Dan ketika pengumuman pemenang dibacakan, nama mereka disebut sebagai juara satu.

Di tengah keramaian anak-anak yang bersorak dan guru-guru yang memuji, Lintang menoleh ke Raya.

“Gila, kita menang,” katanya lirih.

Raya menyikutnya pelan. “Kan udah aku bilang, kamu jago. Kita jago.”

Lintang hanya tersenyum. Tak banyak kata yang bisa ia ucapkan. Tapi hari itu, ia tahu satu hal: dengan Raya di sisinya, ia bisa melakukan hal-hal yang dulu bahkan tak pernah ia bayangkan. Bukan hanya soal juara, tapi tentang percaya pada diri sendiri. Dan semua itu dimulai dari kepercayaan kecil yang mereka tanam sejak hari pertama bertemu di taman kota.

Hari itu bukan sekadar kemenangan. Tapi satu langkah kecil dalam perjalanan panjang mereka—langkah yang akan terus mereka ingat, bahkan ketika dunia mereka mulai berubah perlahan.

Jarak yang Menguji

Senin pagi yang cerah berubah jadi kelabu dalam hitungan detik. Di ruang kelas yang biasanya dipenuhi suara tawa dan diskusi kecil antara Lintang dan Raya, pagi itu terasa hening dan berat. Lintang duduk di kursinya, menunduk, sementara Raya masih berdiri di dekat pintu kelas dengan wajah tak percaya.

“Aku harus ikut Papa pindah ke Semarang,” ucap Lintang perlahan, tanpa berani menatap wajah Raya. Suaranya terdengar lirih, hampir seperti bisikan yang terhempas angin.

Raya mematung. Beberapa detik lamanya ia tak mampu berkata apa-apa. Matanya membesar, dan untuk pertama kalinya, ia kehilangan kata. “Serius kamu?” suaranya pelan dan berat.

Lintang mengangguk, akhirnya menatap sahabatnya yang tampak seperti baru kehilangan sesuatu yang sangat berharga.

“Bulan depan udah harus berangkat.”

Raya duduk pelan di bangku sebelahnya, tangan gemetar memegang ujung meja. Hatinya seperti runtuh. Ia tahu, pindah sekolah itu bukan hal sepele. Itu bukan sekadar beda tempat duduk atau ganti guru. Itu berarti—mereka nggak akan bisa bareng lagi tiap hari. Nggak bisa lagi duduk di pojok perpustakaan bareng. Nggak bisa saling mencolek saat pelajaran mulai membosankan. Nggak bisa ketawa gara-gara gambar kepala besar dan kaki kecil yang selalu jadi lelucon mereka.

“Aku kira kita bakal lulus SD bareng,” gumam Raya.

Lintang hanya bisa diam. Jauh di dalam hatinya, ia juga tak ingin pindah. Tapi ia anak-anak, dan keputusan ada di tangan orang tua. Ia bahkan belum cukup besar untuk membantah.

Beberapa hari setelah pengumuman itu, segalanya berubah pelan-pelan. Waktu bermain mereka makin singkat. Wajah ceria yang biasanya muncul saat bel pulang berbunyi mulai tergantikan oleh tatapan kosong dan pertanyaan dalam hati: Kalau nanti udah nggak satu sekolah, apa masih bisa temenan?

Tapi sebelum bulan itu berakhir, mereka membuat satu janji.

Di bawah pohon akasia besar di dekat gerbang sekolah, Lintang menyerahkan sebuah buku catatan berwarna hijau tua yang sudah dihias stiker kecil dan tulisan tangan. Di dalamnya, ada cerita-cerita pendek buatan Lintang—kisah tentang dua anak pemberani yang menjelajahi dunia pakai rakit kayu, menghadapi badai, sampai menemukan pulau rahasia.

Raya menerimanya dengan hati-hati, lalu membuka lembaran pertama. Di sana tertulis:

“Untuk Raya, si kepala gambar yang nggak pernah kehabisan ide. Nanti kalau kita ketemu lagi, kamu harus lanjutin gambar cerita ini, ya. Aku nulis, kamu gambar. Janji.” — Lintang

Air mata Raya menetes tanpa suara. Tapi ia tersenyum.

“Aku simpen ini terus,” katanya pelan. “Nanti pas kamu pulang, kita lanjutin. Bikin cerita paling keren sedunia.”

Minggu pertama tanpa Lintang berjalan lambat. Raya merasa kehilangan ritmenya. Di kelas, ia duduk sendiri. Di perpustakaan, tempat duduk yang biasanya untuk dua orang kini hanya diisi oleh satu. Buku-buku yang dulu dibaca berdua sekarang hanya dibolak-balik tanpa benar-benar dipahami. Teman-teman lain memang ada, tapi tak ada yang bisa mengisi ruang kosong yang ditinggalkan Lintang.

Namun Raya tidak menyerah.

Ia mulai menulis surat, meski belum tahu kapan akan dikirim. Setiap minggu, satu surat. Di dalamnya, ia cerita tentang kehidupan di sekolah, lomba mewarnai yang gagal, gurunya yang baru potong rambut, bahkan tentang bekal makan siangnya yang lupa dibawa. Ia tahu, Lintang pasti suka baca semuanya.

Sementara itu, di kota barunya, Lintang mencoba beradaptasi. Ia masuk ke sekolah baru yang lebih besar, dengan bangunan tinggi dan murid-murid yang seperti nggak pernah berhenti berbicara. Tak ada yang duduk diam baca buku di pojokan. Tak ada yang tertawa karena gambar absurd di kertas tugas. Ia mencoba tersenyum, tapi senyumnya tak pernah bertahan lama.

Lintang juga menulis. Tapi bukan surat. Ia menulis cerita di buku catatannya sendiri. Kisah tentang seorang anak yang terdampar di kota asing, lalu bertemu seekor burung yang membawanya terbang ke langit, mencari teman lama yang tinggal di balik awan.

Waktu terus berjalan. Satu semester berlalu. Mereka tak pernah benar-benar saling lupa, tapi jarak itu kejam. Surat-surat dari Raya akhirnya mulai dikirim, setelah ibunya membantu menemukan alamat rumah Lintang yang baru. Dan saat surat pertama dibalas, mereka tahu: ikatan itu belum putus.

Di surat balasannya, Lintang menulis dengan huruf kecil dan rapi:

“Aku masih nulis cerita. Kamu masih gambar? Kita harus ketemu lagi. Aku punya banyak ide yang pengen kamu lihat. Jangan lupa jaga buku cerita kita, ya.”

Mereka tumbuh bersama, tapi tidak lagi berdampingan. Meski begitu, benang halus yang menyatukan mereka tetap ada—tak terlihat, tapi kuat. Ditarik oleh surat-surat, cerita-cerita, dan satu janji kecil di bawah pohon akasia.

Hujan datang dan pergi, begitu juga ulang tahun, nilai rapor, dan musim liburan. Tapi tidak pernah ada satu hari pun yang benar-benar membuat mereka saling hilang.

Mereka tidak tahu kapan bisa bertemu lagi. Tapi satu hal pasti: mereka masih berjalan di jalur yang sama, meski lewat jalur yang berbeda. Dan selama itu, persahabatan mereka belum selesai—hanya sedang menunggu bab berikutnya.

Janji yang Tumbuh Bersama Waktu

Langit sore memerah perlahan di atas kota kecil tempat semuanya dulu dimulai. Jalanan depan sekolah dasar itu masih sama—penuh lalu-lalang anak-anak, suara ibu-ibu penjaja jajanan, dan gerbang yang kini tampak lebih kecil dari yang mereka ingat. Pohon akasia di dekat gerbang masih berdiri, meski daunnya tak selebat dulu. Namun dari rimbunnya yang menipis, satu bayangan berdiri dengan tangan di saku dan ransel di punggung.

Raya.

Hari itu, ia datang lebih awal dari siapa pun. Mengenakan seragam putih abu-abu dan sepatu yang tak lagi mengkilap, tapi langkahnya ringan. Di tangannya, ia menggenggam buku catatan hijau tua yang kini penuh gambar dan coretan. Helaan napasnya sedikit bergetar saat menatap pohon akasia itu lagi.

Sudah enam tahun sejak hari itu.

Lintang memang belum pernah benar-benar kembali… sampai sore ini.

Ia mendapat pesan seminggu lalu. Lintang akan liburan ke kota lamanya, dan ingin bertemu—di tempat yang sama, pada waktu yang sama seperti dulu. Raya membacanya berkali-kali, memastikan itu bukan mimpi.

Dan sekarang, waktu itu datang.

Dari kejauhan, langkah kaki terdengar mendekat. Raya menoleh dan jantungnya berdetak lebih kencang.

Seseorang muncul di antara bayangan pagar sekolah yang mulai kusam. Lebih tinggi, rambutnya lebih gondrong dari yang ia ingat, tapi sorot mata itu tidak berubah. Lintang berdiri di sana, mengenakan kaus hitam dan jaket yang terbuka lepas.

Mereka saling menatap selama beberapa detik, lalu Lintang tersenyum.

“Masih inget tempat ini?” tanyanya, ringan.

Raya tertawa pelan. “Ya kali aku lupa. Kita dulu kayak hantu nongkrong tiap sore di sini.”

Lintang melangkah mendekat dan duduk di bangku batu yang sama. “Kamu makin jago gambar?”

“Liat aja sendiri,” jawab Raya, menyerahkan buku hijau tua itu.

Lintang membolak-balik lembarannya dengan hati-hati. Gambar-gambar di dalamnya kini jauh lebih hidup—tokoh-tokoh dari cerita lama yang dulu hanya coretan kecil, kini punya ekspresi, bayangan, bahkan dunia sendiri. Ada kapal rakit, gua kristal, awan yang bisa dipanjat, dan burung besar bersayap pelangi. Tapi yang paling membuatnya terdiam adalah satu halaman di tengah—gambar dua anak kecil duduk di bawah pohon akasia, dikelilingi buku, pena, dan imajinasi.

“Aku lanjutin cerita kita,” bisik Raya.

Lintang mengangguk, suaranya nyaris tak terdengar. “Dan aku nulis terus. Aku bawa bukunya, mau kamu baca.”

Ia membuka ransel, mengeluarkan satu buku lusuh penuh tulisan tangan. Cerita-cerita itu kini lebih dewasa—tentang dunia yang berubah, jarak yang tak selalu bisa dihindari, tapi juga tentang sahabat yang tak pernah benar-benar hilang, hanya bersembunyi sebentar dari pandangan.

“Aku sempet takut,” kata Lintang pelan. “Takut kita berubah, takut nggak bisa ngobrol kayak dulu.”

“Kita emang berubah, Lang,” balas Raya, menatapnya dalam. “Tapi nggak semua perubahan itu bikin lupa. Liat aja sekarang.”

Lintang tersenyum. Ia tahu, tak semua persahabatan bisa bertahan selama itu. Banyak yang tumbuh bersama, tapi tak semua punya akar yang cukup dalam. Tapi mereka? Mereka ditanam dari awal oleh tangan kecil dua anak TK yang bahkan belum bisa eja namanya dengan benar—dan tumbuh, perlahan, melewati hujan dan panas, jarak dan waktu.

“Aku mau kita lanjutin cerita ini,” kata Lintang. “Tapi kali ini, bukan cuma di buku. Kita tulis bareng, jadi komik beneran. Kamu gambar, aku nulis. Terbitin beneran.”

Raya terdiam sejenak. Matanya berkilat.

“Kamu serius?”

“Banget. Aku udah cari penerbit kecil di Semarang. Mereka tertarik.”

Beberapa anak SD berlari melintasi halaman, suara tawa mereka membelah senja yang menggantung malu-malu di atas pohon akasia. Lintang dan Raya masih duduk di bangku yang sama, seperti dulu. Tapi kini, mereka bukan lagi anak-anak yang belajar menulis dan menggambar dengan tangan gemetar. Mereka dua remaja yang sudah berdiri melewati waktu—dan sekarang, siap melangkah lebih jauh.

Tahun berikutnya, sebuah buku bergambar dengan judul “Jelajah Dua Dunia” muncul di rak toko buku kecil di pinggir kota. Nama penulis dan ilustratornya terpajang berdampingan: Lintang Hadinata dan Raya Senjani.

Di halaman terakhir, tepat sebelum daftar pustaka, ada satu kalimat kecil yang dicetak miring:

“Cerita ini ditulis oleh dua sahabat yang tak pernah benar-benar berpisah, meski dunia pernah mencoba.”

Dan di bawah pohon akasia yang masih berdiri, meski tak seteduh dulu, dua anak pernah membuat janji kecil. Kini janji itu tumbuh jadi nyata—bukan hanya di halaman buku, tapi di kehidupan mereka yang masih terus berlanjut… bersama.

TAMAT.

Jadi, apakah kamu juga punya sahabat yang sudah ada sejak masa kecil? Persahabatan yang dimulai dari hal-hal sederhana, tapi bisa bertahan lama dan penuh makna, seperti cerita Persahabatan Sejati dari TK, memang jarang ditemukan. Cerita ini mengingatkan kita bahwa meskipun dunia berubah, ikatan yang dibangun dengan hati tulus nggak akan mudah terputus.

Semoga cerita ini bisa menginspirasi kamu untuk terus menjaga persahabatanmu dan saling mendukung dalam setiap langkah perjalanan hidup. Jangan lupa, teman sejati itu nggak tergantung waktu dan jarak, tapi dari seberapa kuat kita menjaga dan merawat hubungan itu.

Leave a Reply