Persahabatan Kelas 5 SD: Petualangan di Balik Senyum

Posted on

Temukan kehangatan dan inspirasi dalam Persahabatan Kelas 5 SD: Petualangan di Balik Senyum, cerpen menarik yang mengisahkan persahabatan menyentuh antara Kurnia Jati dan Lestari Purnama, dua anak kelas 5 SD di SD Cahaya Harapan. Dengan alur penuh emosi, tawa, dan pelajaran hidup, cerita ini cocok untuk anak SD yang ingin menikmati petualangan persahabatan di tengah kehidupan sekolah.

Persahabatan Kelas 5 SD

Awal di Bawah Pohon Beringin

Pada hari Jumat, 4 Juli 2025, pukul 07:30 WIB, sinar matahari pagi menyelinap melalui celah-celah dedaunan pohon beringin raksasa yang berdiri tegak di halaman SD Cahaya Harapan, sebuah sekolah sederhana di pinggiran kota Bogor. Udara pagi terasa segar, bercampur dengan aroma rumput basah setelah hujan semalam yang membasahi tanah merah di sekitar area sekolah. Suara burung gereja berkicau riang, bercampur dengan tawa anak-anak kelas 5 yang mulai berdatangan dengan seragam putih-merah yang sedikit kusut setelah perjalanan dari rumah. Di bawah pohon beringin yang lebar itu, seorang anak laki-laki bernama Kurnia Jati duduk sendirian di bangku kayu tua, memandangi buku gambar lusuh yang terbuka di pangkuannya. Buku itu penuh dengan sketsa burung, pohon, dan wajah-wajah imajiner yang ia gambar dengan pensil tumpul. Kurnia, yang akrab dipanggil Kurni oleh keluarganya, memiliki rambut pendek berwarna cokelat tua yang selalu acak-acakan karena ia jarang menyisir, serta mata hitam yang besar dan penuh dengan mimpi yang belum ia ungkapkan pada siapa pun.

Kurni baru pindah ke sekolah ini bersama ibunya, Sari Lestari, seorang penjual kue tradisional yang setiap hari berjuang menjajakan kue lumpur dan klepon di pasar desa. Mereka pindah dari kota setelah ayah Kurni, seorang tukang kayu terampil, meninggal dunia dua tahun lalu akibat penyakit paru-paru yang dideritanya setelah bertahun-tahun menghirup debu kayu tanpa pelindung yang memadai. Kematian ayahnya meninggalkan luka dalam di hati Kurni, yang sering mengingat saat-saat mereka bersama di bengkel kecil di belakang rumah, di mana ayahnya mengajarinya cara menggambar pola pada kayu dengan arang. Tas kain lusuh yang ia pakai setiap hari adalah warisan dari ayahnya, penuh dengan jahitan tambal sulam dan coretan kecil yang ia buat saat bosan menunggu ibunya pulang dari pasar.

Di sekolah baru ini, Kurni merasa seperti orang asing. Anak-anak lain sibuk berlari dan bermain, sementara ia hanya duduk diam, menarik garis-garis di buku gambarnya dengan hati-hati. Tasnya yang sudah tua sering menjadi bahan ejekan, terutama dari Dedi, anak laki-laki besar di kelas yang suka menggoda siapa saja yang dianggap lemah. “Eh, Kurni, tasmu kayak kain lap tua!” kata Dedi suatu hari, membuat beberapa anak tertawa kecil. Kurni hanya menunduk, memeluk tas itu erat, tak berani membalas.

Saat ia tenggelam dalam pikirannya, seorang gadis kecil dengan rambut ikal cokelat dan senyum lebar mendekatinya, membawa sebuah bungkusan kertas cokelat yang mengeluarkan aroma manis. Gadis itu bernama Lestari Purnama, atau yang dipanggil Tari oleh teman-temannya, anak perempuan ceria yang tinggal di sebuah rumah kayu dekat sekolah bersama keluarganya yang berprofesi sebagai petani mangga. Tari memiliki mata cerdas yang selalu berbinar, dan ia dikenal sebagai anak yang ramah, suka membantu teman, dan pandai menyanyi lagu daerah. “Hai, kamu gambar bagus! Aku Tari. Mau temen? Ini kue lumpur buat kamu,” katanya sambil menawarkan bungkusan itu dengan tangan kecilnya yang sedikit kotor karena bermain di halaman tadi.

Kurni terkejut, menatap Tari dengan ekspresi bingung sebelum akhirnya tersenyum malu-malu. “Aku Kurni. Terima kasih,” balasnya pelan, menerima kue itu dan memakannya perlahan. Rasanya manis dengan sedikit gurih, membuatnya merasa hangat di dalam hati. Dari situ, percakapan kecil itu menjadi awal dari persahabatan mereka. Mereka duduk bersama di bawah pohon beringin, berbagi kue yang masih hangat, dan mulai berbagi cerita. Tari menceritakan tentang kebun mangga milik keluarganya yang luas, di mana ia sering memanjat pohon bersama adiknya untuk memetik buah, meski kadang jatuh dan membuat ibunya marah. Ia juga bercerita tentang sungai kecil di belakang desa tempat ia bermain air bersama teman-teman, dan bagaimana ia belajar menyanyi dari neneknya yang sudah tua.

Kurni, yang awalnya pendiam, perlahan membuka diri. Ia menceritakan tentang kehidupan di kota yang ramai, di mana ia sering duduk di balkon kecil rumahnya bersama ayahnya, menggambar apa saja yang terlihat—mobil, burung, bahkan asap dari cerobong pabrik. “Ayahku bilang, gambar bisa ceritain hati. Tapi sekarang aku cuma bisa gambar sendiri,” katanya pelan, suaranya hampir tenggelam oleh angin yang berhembus. Tari mengangguk penuh kekaguman, matanya berbinar. “Ayahmu hebat, Kurni. Aku suka gambar kamu. Gambar aku dong!” pintanya, membuat Kurni tersenyum dan mulai menggambar wajah Tari dengan pensilnya.

Di kelas 5B, mereka menjadi tak terpisahkan. Tari sering membantu Kurni menyesuaikan diri dengan rutinitas sekolah, seperti mengajarinya cara bermain gobak sodor di halaman yang penuh rumput hijau, atau congklak dengan biji-bijian yang mereka kumpulkan dari kebun. Kurni, dengan bakat menggambarnya, membuat sketsa teman-teman mereka saat istirahat, termasuk Tari dengan ekspresi berlebihan yang membuatnya tertawa. “Kurni, aku gitu, ya, kelihatan lucu!” celanya, sambil memandangi gambar dirinya yang digambar dengan rambut ikal yang melambai-lambai seperti angin. Kurni hanya merona, tapi di dalam hatinya ia merasa diterima untuk pertama kalinya sejak ayahnya tiada.

Suatu sore setelah pulang sekolah, Tari mengajak Kurni ke kebun mangga milik keluarganya yang terletak di ujung desa, dikelilingi oleh sawah hijau dan semak-semak liar. Perjalanan menuju kebun memakan waktu sekitar 15 menit dengan berjalan kaki, melewati jalan setapak yang licin karena hujan semalam. Di kebun, pohon-pohon mangga berdiri tinggi dengan buah-buah hijau yang mulai menguning, dan aroma manisnya tercium samar. Mereka memanjat pohon kecil yang rendah, tertawa saat cabang bergoyang, dan memetik mangga mentah yang masih keras. Jus mangga menetes ke baju seragam mereka, meninggalkan noda kuning yang membuat ibu Tari nanti akan mengeluh, tapi mereka tak peduli. Kurni menggambar pemandangan itu—pohon, mangga, dan Tari yang tersenyum di cabang—sementara Tari menyanyikan lagu daerah “Cing Cangkeling” yang ia pelajari dari neneknya, suaranya lembut namun penuh semangat.

“Ini tempat rahasia kita, ya,” kata Tari sambil duduk di rumput, mengunyah mangga yang sudah dikupas dengan pisau kecil miliknya. Kurni mengangguk, merasa kebun itu seperti surga kecil baginya. Mereka membuat “kotak kenangan” dari kaleng bekas yang mereka temukan di kebun, mengisinya dengan sketsa pertama Kurni, daun kering yang mereka petik, dan janji untuk selalu berteman. Kotak itu mereka kubur di bawah pohon mangga terbesar, menandainya dengan batu kecil agar tak hilang.

Namun, di balik keceriaan, ada bayangan sedih yang mengintai. Di rumah, ibu Kurni sering terlihat cemas, menghitung uang hasil jualan kue yang semakin menipis karena persaingan dengan pedagang baru di pasar. Kurni pernah mendengar ibunya berbisik dengan tetangga tentang kemungkinan pindah lagi ke kota jika bisnis tak membaik, mungkin ke tempat saudara di Bandung. Pikiran itu membuat Kurni takut kehilangan Tari, sahabat pertamanya sejak ayahnya pergi. Suatu hari, saat hujan turun di sore hari, mereka berteduh di bawah pohon beringin, dan Kurni berkata dengan suara gemetar, “Tari, kalau aku pindah, apa kita masih temen?” Tari memandangnya, memeluknya erat meski baju mereka basah, dan menjawab, “Tentu saja! Aku tunggu kamu balik, Kurni. Kita janji, ya?”

Tantangan lain muncul di sekolah. Dedi, yang tak pernah berhenti menggoda, suatu kali merebut tas Kurni saat istirahat dan melemparkannya ke genangan air di halaman. Kurni terdiam, tapi Tari marah. Ia melangkah maju, mengambil tas itu kembali dengan tangan penuh lumpur, dan berteriak, “Jangan ganggu Kurni! Ini tas berharga buat dia!” Keberanian Tari membuat Dedi mundur, dan beberapa teman lain mulai menghormati Kurni. Guru, Bu Ani, yang melihat kejadian itu dari kejauhan, hanya menggelengkan kepala sambil tersenyum, memuji keberanian Tari di kelas berikutnya.

Malam itu, Kurni menulis di buku hariannya yang sudah penuh coretan, “Tari seperti sinar matahari buat aku. Aku takut kehilangan dia kalau aku pindah.” Di kebun mangga, Tari juga menulis di buku catatannya yang berwarna kuning, “Kurni sahabat terbaikku. Aku harap dia bahagia, apa pun yang terjadi.” Hari-hari berlalu dengan petualangan kecil—membuat layang-layang dari bambu yang mereka temukan di tepi sawah, bermain petak umpet di antara semak liar, dan berbagi rahasia di bawah pohon beringin. Tapi di dalam hati Kurni, ada ketakutan yang tumbuh, menanti keputusan ibunya yang tak terucap, sementara angin malam berhembus membawa bisikan harapan dan ketidakpastian.

Bayangan Perpisahan

Setelah beberapa bulan bersahabat, kehidupan Kurnia Jati dan Lestari Purnama di SD Cahaya Harapan semakin erat, diwarnai oleh tawa dan petualangan kecil yang mengisi hari-hari mereka. Pagi hari itu, 18 Juli 2025, udara pagi terasa hangat dengan aroma kue lumpur yang dibawa ibu Kurni untuk dijual di pasar desa. Di bawah pohon beringin yang sudah menjadi markas mereka, Kurni dan Tari duduk bersama, membagi kue hangat sambil bercanda tentang pelajaran matematika yang sulit, terutama soal pecahan yang selalu membuat Kurni pusing. Kurni, yang kini lebih percaya diri berkat dukungan Tari, sering menggambar Tari dengan ekspresi lucu—mata besar dan mulut terbuka lebar saat tertawa—yang selalu membuat mereka berdua tertawa terbahak-bahak.

Persahabatan mereka menjadi sorotan di kelas 5B. Tari sering mengajak Kurni bergabung dalam permainan kelompok, seperti lomba menggambar yang diadakan oleh guru seni, Bu Ani, setiap bulan sekali. Kurni memenangkan lomba itu dengan sketsa pohon beringin yang detail, lengkap dengan burung gereja yang hinggap di cabang dan daun yang bergoyang tertiup angin. Tari bertepuk tangan keras, berteriak, “Kurni, kamu hebat!” sambil melompat-lompat kegirangan. Hadiahnya, sebuah kotak cat air kecil berwarna biru, mereka bagi dua—Kurni menggunakannya untuk melukis pemandangan kebun mangga, sementara Tari mencoba mencoret-coret wajah Dedi dengan gaya karikatur yang lucu, meski warnanya belepotan.

Namun, di balik tawa, ada kekhawatiran yang mulai terasa. Ibu Kurni pulang suatu malam dengan wajah pucat, membawa sekeranjang kue yang tak laku terjual. Ia duduk di dapur kecil mereka, menghitung uang receh dengan tangan gemetar, dan berkata pelan, “Kita mungkin harus pindah ke kota, Nak. Penjualan kuenya menurun karena pasar baru di kota mengambil pelanggan.” Kata-kata itu seperti petir bagi Kurni. Ia berlari ke kebun mangga, mencari Tari yang sedang membantu ayahnya menyiram pohon, dan menangis di bawah pohon terbesar. “Tari, aku takut aku harus pergi. Ibu bilang kita pindah,” katanya di antara isak, air matanya membasahi rumput. Tari memeluknya erat, baju lusuhnya basah oleh air mata Kurni, dan menjawab, “Aku nggak mau kamu pergi, tapi kalau harus, kita tetap temen, ya? Aku tunggu kamu balik.”

Mereka memutuskan membuat kenangan lebih banyak sebelum perpisahan yang mungkin terjadi. Setiap sore, mereka pergi ke kebun, memetik mangga yang sudah menguning, membuat layang-layang dari bambu tipis yang mereka potong sendiri, dan menambahkan benda ke kotak kenangan—seperti tali layang-layang yang penuh simpul, sketsa terbaru Kurni tentang Tari yang memanjat pohon, dan daun mangga kering yang mereka kumpulkan. Suatu hari, saat hujan turun tiba-tiba, mereka berteduh di gubuk tua di kebun, sebuah bangunan sederhana dari bambu dan daun kelapa yang sudah reyot. Di dalam gubuk, mereka bermain catur dengan papan kayu sederhana yang dibuat Tari dari potongan kayu bekas, menggunakan biji mangga sebagai pion. Kurni kalah lagi, tapi Tari tertawa, “Kamu harus latihan, Kurni! Aku jadi juara catur nih!” Momen itu membuat Kurni tersenyum, meski hatinya berat memikirkan perpisahan.

Di sekolah, Dedi kembali mengganggu, kali ini merobek salah satu sketsa Kurni yang menggambarkan pohon beringin saat istirahat. Tari marah, mendorong Dedi dengan tangan kecilnya yang penuh semangat, dan berteriak, “Jangan sentuh gambar Kurni lagi! Itu buat ayahnya!” Guru, Bu Ani, yang kebetulan lewat, menghampiri dan memberikan teguran pada Dedi, sementara Tari membantu Kurni mengumpulkan sisa-sisa kertas yang robek. Kejadian itu membuat Kurni semakin menghargai keberanian Tari, dan ia menulis di buku hariannya malam itu, “Tari melindungiku lagi. Aku nggak tahu apa yang akan terjadi kalau aku pindah.”

Kabar buruk datang saat ibu Kurni mengumumkan bahwa mereka harus pindah dalam dua minggu ke Bandung, di mana ia mendapat tawaran membantu saudaranya membuka warung makan kecil. Kurni menangis di kamar, memeluk buku gambarnya yang penuh kenangan dengan ayahnya, dan memutuskan memberi tahu Tari. Mereka bertemu di kebun mangga, duduk di bawah pohon terbesar, dan menangis bersama sambil memeluk kotak kenangan. “Aku akan tulis kamu setiap hari,” janji Kurni dengan suara parau. Tari mengangguk, air matanya jatuh ke rumput, “Aku juga. Kita buat surat rahasia, ya?” Mereka menulis surat pertama di atas kertas yang sedikit basah karena hujan, menyimpannya di kotak kenangan, dan berjanji untuk tak melupakan satu sama lain, meski jarak akan memisahkan.

Hari-hari terakhir di desa penuh kenangan. Mereka membuat layang-layang terbesar dari bambu dan kertas bekas, melepaskannya di lapangan sekolah dengan bantuan teman-teman lain seperti Rina dan Budi, yang kini juga mulai akrab dengan Kurni. Layang-layang itu terbang tinggi, warna-warni merah dan kuningnya bersinar di langit sore, dan mereka tertawa saat angin membawanya jauh. Tapi di malam sebelum kepergian, Kurni tak bisa tidur. Ia menatap langit dari jendela kamarnya, menulis di buku hariannya, “Besok aku pergi. Tari, kamu sahabatku selamanya.” Pagi itu, di bawah pohon beringin, mereka berpelukan panjang, air mata bercampur tawa, dan Tari berkata, “Kembali ya, Kurni. Aku tunggu.”

Setelah Kurni pergi, Tari sering duduk di kebun, memandang mangga yang mulai matang, dan menulis surat untuk Kurni dengan tinta yang kadang belepotan karena tangannya gemetar. Di Bandung, Kurni mulai sekolah baru di SD Harapan Jaya, tapi hatinya tetap di desa. Ia menggambar pohon beringin setiap malam, menulis surat balasan dengan huruf rapi, dan mengirimnya dengan harap-harap cemas melalui pos yang jauh dari rumah kontrakan sempit mereka. Di dalam hati mereka, ada luka perpisahan, tapi juga harapan kecil bahwa mereka akan bertemu lagi, dibawa oleh angin yang berhembus melalui dedaunan.

Jarak dan Harapan

Pagi ini, 4 Juli 2025, pukul 12:09 WIB, sinar matahari bersinar terik di atas desa kecil di pinggiran Bogor, menciptakan bayangan panjang dari pohon-pohon mangga di kebun keluarga Lestari Purnama. Udara terasa hangat, bercampur dengan aroma tanah kering yang mulai retak akibat kekurangan air setelah beberapa hari tanpa hujan. Di bawah pohon mangga terbesar, Tari duduk sendirian, memegang buku catatan kuningnya yang sudah penuh coretan dan sketsa. Ia baru saja selesai menulis surat untuk Kurnia Jati, sahabatnya yang kini tinggal jauh di Bandung setelah perpisahan menyakitkan beberapa bulan lalu. Di tangannya, ia memutar-mutar pensil pendek yang sudah tumpul, memandangi kotak kenangan yang terkubur di bawah pohon, ditandai dengan batu kecil yang mulai ditutupi lumut.

Sejak kepergian Kurni, kehidupan Tari di SD Cahaya Harapan terasa sepi, meski ia berusaha tetap ceria di depan teman-teman. Kelas 5B kini dipenuhi tawa anak-anak lain, tapi kursi kosong di sampingnya selalu mengingatkannya pada Kurni yang dulu duduk di sana, menggambar dengan konsentrasi penuh. Surat pertama dari Kurni tiba seminggu setelah ia pergi, dikirim melalui pos desa dengan amplop cokelat yang sedikit kusut. Dengan tangan gemetar, Tari membukanya dan membaca tulisan rapi Kurni: “Tari, aku kangen kebun mangga. Sekolah baruku ramai, tapi nggak senyaman dulu. Tulis aku, ya?” Tari tersenyum, air matanya hampir jatuh, dan langsung menulis balasan panjang, menceritakan tentang mangga yang mulai matang, permainan congklak bersama Rina dan Budi, dan hujan kecil yang membasahi desa semalam.

Mereka mulai berkirim surat setiap minggu, menjaga ikatan meski jarak memisahkan. Tari selalu menambahkan sketsa kecil—pohon beringin, kebun mangga, atau wajah lucu Kurni—sedangkan Kurni membalas dengan cerita tentang kehidupan barunya di SD Harapan Jaya, Bandung. Ia menulis tentang tas lusuhnya yang masih jadi ejekan, guru baru yang ketat bernama Bu Sari, dan kesulitannya beradaptasi dengan teman-teman yang tak mengenalnya seperti Tari. Suatu hari, Kurni mencoba menggambar di kelas untuk mengisi waktu, tapi Bu Sari menyita bukunya karena dianggap mengganggu pelajaran. Kurni menangis di sudut lapangan sekolah, memeluk pohon kecil di sana, dan memikirkan Tari yang selalu mendukungnya. Malam itu, ia menulis surat dengan tinta yang sedikit belepotan karena tangannya gemetar, “Tari, aku disalahin di sekolah. Aku rindu tawa kamu.” Surat itu ia kirim, dan Tari membalas dengan sketsa catur yang mereka mainkan dulu, ditambah pesan, “Kamu hebat, Kurni. Jangan nyerah!”

Di desa, Tari menghadapi masalah sendiri. Kebun mangga keluarganya terkena hama ulat kecil yang menggerogoti daun, membuat panen gagal dan ibunya, Siti Aminah, khawatir. Tari membantu menyiram pohon dengan ember tua yang bocor, mengumpulkan daun kering untuk dibakar, dan meminta saran pada ayahnya, Pak Hadi, yang sibuk memperbaiki irigasi. Tapi hasilnya minim, dan wajah cemas ibunya semakin terlihat setiap hari. Ia menulis pada Kurni, “Kebunku sakit, Kurni. Aku takut kita nggak punya mangga lagi.” Kurni membalas dengan ide sederhana, “Coba minta tolong warga, Tari. Aku doa buat kamu dari sini.” Saran itu berhasil—Tari mengumpulkan keberanian, mengajak Rina dan Budi ke rumah-rumah tetangga, dan meminta bantuan. Warga datang dengan cangkul dan semprotan alami, dan kebun mulai pulih setelah beberapa hari kerja keras.

Tapi kesedihan datang saat surat dari Kurni terhenti selama dua minggu. Tari khawatir, mengirim tiga surat berturut-turut tanpa balasan, duduk di kebun setiap sore dengan harap-harap cemas. Di Bandung, Kurni sibuk dengan ujian tengah semester dan ibunya yang sakit ringan akibat kelelahan kerja di warung saudara. Ibu Kurni, Sari, terpaksa beristirahat, meninggalkan Kurni merawatnya dengan nasi hangat dan teh manis yang ia buat sendiri. Ia merasa bersalah pada Tari, menulis surat panjang saat ibunya membaik, “Maaf, Tari. Ibu aku sakit, tapi sekarang baik. Aku kangen kamu.” Surat itu sampai, dan Tari menangis haru, membalas dengan gambar kebun yang hijau lagi dan pesan, “Aku senang kamu baik. Aku tunggu suratmu!”

Suatu hari, Tari mendapat ide brilian—mengadakan lomba menggambar di sekolah untuk mengenang Kurni dan menjaga semangat persahabatan mereka. Ia mengajak Bu Ani, guru seni, yang setuju dengan antusias. Tari membuat poster dari kertas bekas, menulis “Lomba Menggambar Persahabatan” dengan spidol warna-warni, dan mengajak teman-teman kelas. Lomba itu sukses, diadakan di halaman sekolah di bawah pohon beringin, dengan sketsa pohon mangga karya Tari yang menang pertama. Ia mengirim foto kegiatan itu pada Kurni melalui surat, dan Kurni tersenyum lebar, menulis balasan, “Aku bangga sama kamu, Tari. Aku mau gambar lagi buat kamu.” Tapi di dalam hati, ia takut tak bisa kembali, karena ibunya berbicara tentang pindah lagi ke Jakarta jika warung tak berkembang.

Masalah muncul saat ibu Tari jatuh sakit karena kelelahan di kebun. Siti Aminah pingsan di tengah sawah saat menyiram, dan Tari menemukannya dengan napas tersengal. Ia berlari memanggil Pak Hadi, dan mereka membawanya ke puskesmas desa. Dokter bilang ibunya lelah berlebihan, butuh istirahat total. Tari menangis di rumah, memeluk ibunya yang terbaring lemah, dan menulis surat terakhir dengan tangan gemetar, “Kurni, ibu aku sakit. Aku takut.” Kurni membaca surat itu di Bandung dengan hati hancur, meminta ibunya mengizinkan kunjungan singkat. Sari, yang baru sembuh, setuju meski mereka harus menghemat untuk biaya perjalanan, dan Kurni merencanakan perjalanan dengan membawa buku gambar dan kotak kenangan.

Di desa, Tari merawat ibunya dengan bantuan tetangga seperti Ibu Rina, yang membawa sup ayam hangat. Ia duduk di kebun, memandang mangga yang mulai berbuah, dan berdoa agar Kurni datang. Malam itu, saat jam dinding menunjukkan 11:00 PM, ia menulis di buku catatannya, “Kurni, kalau kamu baca ini, tolong balik. Aku butuh sahabatku.” Di Bandung, Kurni mengangguk sendiri di kamar kontrakan sempitnya, memandang foto pohon beringin yang ia gambar, “Aku akan datang, Tari. Tunggu aku.” Harapan kecil itu membawanya tidur dengan senyum tipis, sementara di desa, Tari memandang langit malam, berharap hujan membawa Kurni kembali.

Kembali dan Cahaya Baru

Pagi hari ini, 15 September 2025, pukul 08:00 WIB, udara di desa pinggiran Bogor terasa sejuk setelah hujan semalam yang membasahi tanah dan dedaunan. Di halaman SD Cahaya Harapan, anak-anak kelas 5 berlarian dengan seragam yang masih basah kuyup, tertawa di bawah pohon beringin yang lelet jalannya. Di sebuah rumah kayu sederhana di ujung desa, Lestari Purnama sedang menyapu teras, membantu ibunya yang kini mulai membaik setelah dua bulan istirahat. Siti Aminah duduk di kursi rotan, tersenyum lemah sambil mengupas mangga untuk sarapan. Tari, yang kini berusia 11 tahun, tampak lebih matang, rambut ikalnya sedikit dipotong pendek, simbol perubahan yang ia terima setelah hari-hari sulit.

Sejak ibunya sakit, Tari belajar bertanggung jawab—memasak nasi sederhana, menyiram kebun, dan menjaga adiknya yang masih balita. Tapi hatinya selalu rindu Kurnia Jati, sahabatnya yang pergi ke Bandung. Surat-surat mereka terus berdatangan, meski kadang terlambat karena pos, dan setiap malam Tari menulis harapan kecil di buku catatannya. Siti berkata, “Tari, kalau Kurni balik, ajak dia ke kebun, ya. Kalian butuh waktu bersama.” Tari mengangguk, memandang jendela dengan harap-harap cemas, memegang kotak kenangan yang kini ia bawa ke rumah.

Di sisi lain, Kurni, yang juga 11 tahun, bersiap untuk perjalanan singkat ke desa. Pagi itu di Bandung, udara kota terasa panas, tapi hati Kurni penuh semangat. Ia membawa tas lusuh, buku gambar penuh sketsa, dan kotak kenangan yang ia selamatkan dari kontrakan sempit mereka. Ibu Kurni, Sari, yang kini bekerja di warung saudara dengan penghasilan stabil, mengizinkan perjalanan ini setelah Kurni memohon dengan air mata. Mereka naik bus tua menuju Bogor, dan saat tiba di desa pukul 11:00 AM, hujan ringan mulai turun, seolah menyambutnya dengan tetesan dingin di wajahnya.

Tari sedang menyapu saat mendengar suara langkah di halaman. Ia menoleh dan melihat sosok familiar—Kurni berdiri di pintu, basah kuyup dengan payung rusak di tangan, tersenyum lebar menunjukkan gigi depannya yang sedikit renggang. “Tari!” serunya, berlari memeluknya tanpa peduli baju basah. Tari menangis kegirangan, melempar sapu dan memeluk balik, “Kurni, kamu balik!” Ibu Tari tersenyum dari dalam, mengangguk pada Sari yang turun dari bus, dan kedua ibu itu berbincang hangat di teras.

Mereka duduk di teras, berbagi cerita tentang kehidupan terpisah. Kurni menceritakan ujian di Bandung, ejekan teman tentang tasnya, dan ibunya yang sakit, sementara Tari berbicara tentang kebun yang pulih, ibunya yang lelah, dan lomba menggambar yang ia adakan. Mereka membuka kotak kenangan, tertawa melihat sketsa lama—Tari dengan rambut ikal yang melambai, Kurni dengan ekspresi serius menggambar—dan menambahkan benda baru: mangga kering yang dipetik hari ini dan gambar terbaru Kurni tentang hujan di desa. “Kita sahabat selamanya, ya,” kata Tari, membuat Kurni mengangguk dengan mata berbinar.

Keesokan harinya, mereka pergi ke kebun mangga, yang kini hijau lagi dengan buah-buah menguning. Mereka memanjat pohon terbesar, tertawa saat cabang bergoyang, dan memetik mangga matang yang manisnya membuat mereka saling lemparan kecil. Kurni menggambar pemandangan itu—pohon, mangga, dan Tari yang tersenyum di cabang—sementara Tari menyanyikan “Cing Cangkeling” dengan suara yang lebih merdu. Mereka membuat layang-layang baru dari bambu dan kertas warna, melepaskannya di lapangan sekolah, dan berlari di bawah hujan, tertawa seolah tak ada perpisahan. Ibu Kurni dan Ibu Tari, yang kini berteman, tersenyum dari kejauhan, berjanji menjaga kontak agar anak-anak bisa bertemu lagi.

Di sekolah, Kurni diizinkan mengunjungi kelas 5B, dan teman-teman menyambutnya dengan tepuk tangan. Dedi, yang kini lebih tenang, bahkan meminta maaf atas kelakuannya dulu. Tari mengadakan lomba menggambar ulang, dan Kurni memenangkannya dengan sketsa kebun mangga yang detail, membuat Tari bertepuk tangan keras. Mereka membagi hadiah—kotak cat air baru—dan melukis bersama di bawah pohon beringin, menciptakan kenangan baru dengan warna-warni cerah.

Malam itu, saat hujan turun lembut, mereka duduk di teras rumah Tari, menyalakan lentera kertas sebagai simbol harapan. Kurni menulis di buku hariannya, “Tari kembali dalam hidupku. Cahaya ini abadi.” Tari menggambar lentera di buku catatannya, “Kurni, sahabatku, terima kasih.” Di bawah langit hujan, mereka tertawa, berbagi mangga, dan tahu bahwa persahabatan mereka lebih kuat dari jarak. Petualangan mereka berakhir dengan janji baru—setiap hujan, mereka akan mengingat satu sama lain, dan suatu hari, Kurni akan kembali untuk selamanya.

Persahabatan Kelas 5 SD: Petualangan di Balik Senyum adalah kisah indah yang menggabungkan tawa dan air mata, menunjukkan kekuatan persahabatan anak SD dalam menghadapi tantangan. Dengan pesan mendalam tentang kebersamaan dan harapan, cerpen ini mengajak anak-anak untuk menghargai sahabat, meninggalkan kenangan manis yang tak terlupakan.

Terima kasih telah menikmati Persahabatan Kelas 5 SD bersama kami! Semoga cerita ini membawa keceriaan dan inspirasi. Bagikan artikel ini dan kembali lagi untuk lebih banyak kisah seru lainnya!

Leave a Reply