Daftar Isi [hide]
Persahabatan dan Cinta yang Tumbuh Bersama
Pertemuan di Antara Angka dan Nada
Perpustakaan sekolah sore itu sepi, hanya terdengar bunyi halus lembaran buku yang dibalik. Matahari merambat turun di ufuk barat, menyisakan sinar oranye yang menyelinap masuk melalui jendela besar. Di sudut ruangan, Nayla duduk dengan tenang, membolak-balik halaman buku matematika tebal yang selalu ia bawa ke mana-mana.
Hingga tiba-tiba, seseorang muncul dengan napas terengah-engah, wajahnya panik.
“Hey, kamu lihat buku teori musik di sini?” Suara itu datang dari seorang anak laki-laki berambut sedikit berantakan, seragamnya kusut, seolah ia baru saja berlari keliling lapangan.
Nayla mengangkat wajah, menatap anak itu dengan alis terangkat. “Teori musik?” ulangnya.
“Iya! Aku yakin aku taruh di sini tadi,” katanya sambil mengacak rambutnya frustasi. “Tapi sekarang hilang! Padahal aku butuh buat latihan.”
Nayla memperhatikan anak laki-laki itu sebentar. Ia cukup familiar dengan wajahnya—Aksa, siswa yang sering terlihat membawa earphone ke mana-mana dan terkadang menghabiskan jam istirahatnya di ruang musik.
“Buku bersampul biru, kan?” tanya Nayla akhirnya.
“Iya!” Aksa langsung menatapnya penuh harap.
Nayla menghela napas kecil lalu menunjuk rak sebelah kiri. “Aku lihat seseorang meletakkannya di sana tadi.”
Mata Aksa langsung berbinar. Ia melesat ke rak yang dimaksud dan dalam hitungan detik, ia menemukan bukunya. “YES! Aku kira sudah hilang!” katanya sambil tersenyum lebar. “Terima kasih, uhm… siapa namamu?”
“Nayla.”
“Aku Aksa.” Ia mengulurkan tangannya, tapi Nayla hanya mengangguk kecil sebagai balasan.
Aksa tampak tak tersinggung. Ia justru menarik kursi di hadapan Nayla dan duduk tanpa permisi. “Jadi, kamu suka matematika?” tanyanya setelah melihat buku-buku yang terbuka di meja.
Nayla mendesah. “Aku suka angka. Mereka selalu punya jawaban pasti, tidak seperti manusia yang sering berubah-ubah.”
Aksa terkekeh. “Menarik. Kalau aku lebih suka nada.”
Nayla meliriknya. “Kenapa?”
“Karena nada itu bebas, bisa diubah kapan saja. Musik itu lebih fleksibel, lebih terasa… hidup,” jawabnya sambil mengetukkan jemarinya ke meja, seolah sedang memainkan melodi di pikirannya.
Nayla diam sebentar. Perbedaan mereka sangat jelas—Aksa dengan musiknya yang mengalir, Nayla dengan angka-angkanya yang teratur.
“Tapi,” lanjut Aksa, “mungkin matematika dan musik nggak terlalu jauh beda, ya? Mereka sama-sama butuh ritme dan pola.”
Nayla menaikkan satu alisnya. “Aku tidak pernah berpikir sejauh itu.”
Aksa tersenyum, lalu melihat lembaran soal yang ada di meja Nayla. “Aku juga nggak pernah benar-benar tertarik sama angka. Tapi kalau ada yang bisa ngajarin aku biar nggak terlalu buruk di pelajaran ini, kenapa nggak?”
Nayla memutar bola matanya. “Jadi intinya, kamu minta aku ngajarin kamu?”
Aksa menyengir. “Kamu pintar. Aku butuh bantuan.”
Sebenarnya, Nayla bukan tipe yang mudah akrab dengan orang lain. Tapi ada sesuatu dalam cara Aksa berbicara—ringan, santai, dan jujur—yang membuatnya tidak langsung menolak.
“Baiklah,” kata Nayla akhirnya. “Tapi aku nggak akan menjelaskan ulang kalau kamu nggak benar-benar dengar.”
“Aku janji, aku bakal serius!” seru Aksa, tapi dalam waktu yang sama, tangannya sudah mengetuk-ngetuk meja lagi dengan irama tertentu.
Nayla hanya bisa menghela napas. Sepertinya, persahabatan mereka baru saja dimulai.
Taruhan di Ujung Pena
Angin sore bertiup lembut di halaman sekolah. Di bawah pohon ketapang yang rimbun, Aksa dan Nayla duduk di bangku panjang yang sudah menjadi tempat favorit mereka. Di depan mereka, buku-buku pelajaran berserakan, bercampur dengan beberapa lembar kertas coretan latihan soal.
“Serius, kamu nggak ngerti ini?” Nayla menghela napas, menatap Aksa yang menatap soal di depannya dengan tatapan kosong.
“Aku ngerti, kok,” sahut Aksa santai. “Aku cuma… malas.”
Nayla menatapnya tajam. “Aksa, olimpiade matematika tinggal seminggu lagi. Kamu yang minta aku ngajarin, sekarang malah nggak niat?”
Aksa menyandarkan punggungnya, menatap langit yang mulai berubah jingga. “Bukannya nggak niat. Tapi kadang aku ngerasa angka-angka ini cuma berputar-putar di kepalaku tanpa makna.”
Nayla mendesah. “Itu karena kamu nggak fokus. Kamu kebanyakan mikirin musik.”
Aksa terkekeh. “Nggak salah sih.”
Mereka terdiam sejenak. Hanya ada suara angin yang berdesir di antara dedaunan. Nayla menatap Aksa yang sedang mengetuk-ngetukkan jemarinya ke permukaan bangku—sebuah kebiasaannya saat ia sedang berpikir atau bosan.
“Kamu tahu, Nay?” Aksa tiba-tiba berbicara. “Gimana kalau kita bertaruh?”
Nayla mengernyit. “Bertaruh apa?”
Aksa menoleh, menatapnya dengan senyum menantang. “Kalau aku bisa menang di olimpiade ini, kamu harus ikut aku ke Jakarta buat audisi konser musik.”
Nayla menatapnya tak percaya. “Kenapa harus aku?”
“Soalnya kamu selalu bilang aku harus lebih serius sama akademik. Nah, aku juga mau kamu ngerasain sesuatu yang di luar zona nyaman kamu,” kata Aksa, matanya berbinar penuh semangat.
Nayla berpikir sejenak. Ia memang tidak pernah tertarik dengan dunia musik, tapi ia tahu betapa besarnya impian Aksa untuk menjadi pianis hebat.
“Dan kalau kamu kalah?” tanya Nayla akhirnya.
Aksa mengangkat bahu. “Aku bakal belajar lebih giat dan mengikuti ritme kamu. No more malas-malasan, no more ketuk-ketuk meja waktu belajar.”
Nayla tersenyum kecil. “Menarik.”
“Jadi… setuju?”
Nayla menghela napas. Ia tahu Aksa jarang sekali serius dalam hal akademik, tapi jika ini bisa membuatnya termotivasi, mungkin taruhan ini bukan ide buruk.
“Baiklah,” katanya sambil menyodorkan tangan.
Aksa langsung menyambutnya dengan mantap. “Oke, bersiaplah, Nay. Aku pasti menang!”
Hari-hari berikutnya berubah total. Aksa yang biasanya ogah-ogahan belajar, kini mulai menunjukkan usaha. Ia sering datang lebih awal ke sekolah untuk mengerjakan latihan soal, bahkan terkadang meminta Nayla mengulang penjelasan jika ia masih kurang paham.
Nayla diam-diam kagum. Meski Aksa sering mengeluh dan sesekali kembali ke kebiasaannya mengetuk-ngetuk meja dengan irama, ia tidak menyerah. Ia bahkan mulai menghubungkan konsep matematika dengan musik—menghafal pola dengan ritme, atau membandingkan persamaan dengan komposisi lagu.
Saat hari olimpiade tiba, Nayla berdiri di depan kelas sambil menggenggam buku catatannya. Ia melihat Aksa berjalan keluar ruangan dengan wajah penuh campuran ekspresi—antara lega dan cemas.
“Bagaimana?” tanyanya.
Aksa menghela napas panjang. “Aku rasa aku nggak separah yang aku kira.”
Nayla tersenyum tipis. “Bagus. Kita lihat hasilnya nanti.”
Aksa menatapnya lekat. “Kamu siap-siap aja, Nay. Aku bakal menang.”
Dan Nayla, untuk pertama kalinya, merasa penasaran apakah Aksa benar-benar bisa melakukannya.
Simfoni Kemenangan
Seminggu setelah olimpiade, suasana sekolah terasa lebih ramai dari biasanya. Semua siswa berkumpul di aula, menunggu pengumuman hasil lomba yang ditempel di papan pengumuman.
Di antara kerumunan itu, Nayla berdiri dengan tangan terlipat di dada, sesekali melirik ke samping, tempat Aksa berdiri dengan wajah penuh percaya diri.
“Kamu yakin menang?” goda Nayla, meliriknya tajam.
Aksa menyengir. “Nggak yakin, tapi optimis.”
Nayla hanya menghela napas. Sebenarnya, ia penasaran, tapi lebih baik menunggu hasilnya langsung.
Saat lembar hasil ditempel, siswa-siswa langsung berdesakan ke depan. Nayla masih santai, tapi Aksa malah menarik tangannya dan menyeretnya mendekat.
Matanya langsung mencari satu nama—dan menemukannya.
“Aksa… kamu peringkat dua!” seru Nayla, matanya sedikit membesar.
Aksa terdiam sejenak, lalu tertawa kecil. “Nggak nyangka, ya?”
Nayla berbalik menatapnya. Ia tahu Aksa berbakat dalam banyak hal, tapi tidak pernah menyangka dia bisa sampai sejauh ini dalam akademik.
“Selamat,” katanya, sedikit kagum.
Aksa menoleh dengan senyum puas. “Itu berarti… kamu harus menepati taruhan kita.”
Nayla terdiam. Ia hampir lupa soal itu.
“Tunggu, kamu serius mau audisi di Jakarta?” tanyanya ragu.
“Serius. Aku udah cari tahu jadwalnya. Kita harus berangkat minggu depan,” jawab Aksa santai.
Nayla terdiam sejenak, menimbang-nimbang. Ia memang tidak terlalu tertarik dengan musik, tapi melihat bagaimana Aksa sudah berusaha keras, rasanya tidak adil kalau ia mundur sekarang.
“Baiklah,” katanya akhirnya. “Tapi jangan harap aku ikut tampil.”
Aksa tertawa. “Santai aja, Nay. Aku cuma mau kamu lihat dunia musik dari dekat.”
Seminggu kemudian, mereka berdua berangkat ke Jakarta. Bagi Nayla, ini adalah perjalanan pertama kalinya ke kota besar untuk sesuatu yang di luar akademik. Aksa, di sisi lain, terlihat begitu semangat sepanjang perjalanan, terus membicarakan musik dan impiannya.
Saat tiba di tempat audisi, Nayla terkejut melihat begitu banyak peserta berbakat dari berbagai daerah. Semua tampak serius dengan alat musik mereka, sementara Aksa duduk di bangku dengan ekspresi tenang, menunggu gilirannya.
Ketika namanya dipanggil, Nayla menonton dari kejauhan. Aksa duduk di depan piano, menarik napas dalam, lalu mulai bermain.
Nada-nada yang keluar dari jemarinya terdengar lembut, mengalir seperti air. Seisi ruangan seakan terhanyut dalam melodi yang ia mainkan. Bahkan Nayla, yang tidak begitu memahami musik, bisa merasakan sesuatu dalam permainannya—sebuah cerita tanpa kata, yang entah bagaimana terasa dekat.
Saat Aksa selesai, ruangan hening beberapa detik sebelum akhirnya disambut tepuk tangan. Nayla tersenyum kecil.
Saat Aksa kembali ke sisinya, ia menatap Nayla dengan penuh kemenangan. “Jadi, gimana?” tanyanya penuh harap.
Nayla berpikir sebentar, lalu berkata, “Aku nggak paham musik, tapi aku paham sesuatu yang tulus. Dan musik kamu terasa seperti itu.”
Aksa tersenyum lebar. “Berarti kamu mulai ngerti, kan?”
Nayla hanya mendengus pelan. Mungkin, taruhan ini tidak seburuk yang ia kira. Dan mungkin, ada lebih banyak hal yang bisa ia pelajari dari Aksa—bukan hanya tentang musik, tapi tentang cara menikmati hidup di luar angka-angka yang selalu ia kejar.
Nada-Nada Cinta
Beberapa hari setelah audisi di Jakarta, Aksa dan Nayla kembali ke kota mereka. Meski belum ada pengumuman hasil audisi, Aksa tidak terlihat cemas. Ia justru lebih sering tersenyum, seolah sudah mendapatkan sesuatu yang lebih dari sekadar hasil seleksi.
Di sekolah, rutinitas mereka kembali seperti biasa—belajar bersama, bercanda di bawah pohon ketapang, dan terkadang, Aksa masih mengetuk-ngetukkan jemarinya di meja saat berpikir. Tapi kali ini, Nayla tidak lagi menegurnya.
Suatu sore, setelah bel pulang berbunyi, Aksa menghampiri Nayla yang sedang menata bukunya di loker.
“Aku punya sesuatu buat kamu,” katanya sambil menyodorkan selembar kertas.
Nayla mengambilnya dengan ragu, lalu membaca tulisan di atasnya. Matanya membesar sedikit saat menyadari itu adalah lembar hasil audisi.
“Kamu lolos?” tanyanya, menatap Aksa.
Aksa mengangguk. “Aku bakal tampil di konser kecil bulan depan. Dan aku mau kamu ada di sana.”
Nayla menatapnya, lalu tersenyum kecil. “Selamat, Aksa. Aku tahu kamu bisa.”
Aksa menatapnya dalam-dalam, lalu tiba-tiba berkata, “Nay, kamu sadar nggak? Kita udah ngelewatin banyak hal bareng.”
Nayla mengernyit. “Ya, dan?”
Aksa tertawa pelan, lalu menghela napas. “Dulu aku pikir aku cuma butuh musik. Tapi ternyata, aku juga butuh seseorang yang bisa bikin aku tetap melangkah, yang bisa ngingetin aku buat nggak menyerah. Dan orang itu kamu.”
Jantung Nayla berdegup sedikit lebih cepat.
“Aku nggak tahu kapan tepatnya, tapi aku sadar… aku nggak cuma pengen kamu sebagai sahabat. Aku pengen kamu tetap ada di sisiku, bukan cuma buat sekarang, tapi seterusnya.”
Nayla terdiam, menatap Aksa yang kini terlihat sedikit gugup.
Lalu, perlahan, ia tersenyum. “Kamu tahu, Aksa? Aku juga sadar sesuatu. Dulu aku pikir aku cuma butuh angka-angka yang pasti, tapi kamu ngajarin aku kalau kadang, hidup juga butuh melodi yang nggak selalu terduga.”
Aksa menatapnya, matanya berbinar. “Jadi?”
Nayla menarik napas, lalu berkata, “Jadi, aku mau tetap di sini. Di sisimu.”
Aksa tersenyum lebar, lalu tanpa sadar mengetukkan jemarinya ke loker dengan irama yang familiar.
Nayla tertawa. “Kebiasaan.”
Aksa tertawa juga. “Kamu nggak bakal bisa mengubah aku sepenuhnya, Nay.”
“Aku juga nggak mau.”
Dan di bawah langit sore yang keemasan, di tengah riuh rendah suara siswa yang pulang sekolah, mereka berdiri di sana—dua sahabat yang telah tumbuh bersama, menemukan bukan hanya impian, tetapi juga satu sama lain.