Daftar Isi
Siapa bilang persahabatan itu selalu mudah? Yuk, simak cerita seru tentang dua sahabat yang selalu ada di saat senang dan susah. Dari tawa hingga air mata, ini adalah kisah yang bikin kamu mikir ulang tentang arti sejati dari persahabatan! Penasaran sama ceritanya kan? Langsung aja baca sampai habis, let’s go!!
Persahabatan Abadi
Janji Dibawah Langit Senja
Senja selalu jadi saksi bisu. Di bawah semburat jingganya, dua anak kecil duduk di atas ayunan berkarat, saling berbagi mimpi. Kiara mengayunkan kakinya pelan, sementara Revan duduk dengan tangan mencengkeram rantai ayunan.
“Aku mau jadi pelukis,” ucap Kiara, matanya menatap jauh ke langit yang mulai gelap.
Revan menoleh, alisnya berkerut. “Kamu? Bukannya kamu nggak bisa gambar?”
Kiara mendengus, menendang tanah dengan sepatunya yang penuh debu. “Makanya aku mau belajar. Siapa tahu nanti aku jadi terkenal, punya galeri sendiri.”
Revan tertawa kecil. “Oke, terus kalau udah terkenal, aku dapat tiket masuk gratis, kan?”
Kiara mencibir. “Lihat nanti. Kalau kamu baik, mungkin aku kasih diskon.”
Revan mendengus sambil menyandarkan kepalanya ke rantai ayunan. Mereka berdua sudah berteman sejak masih ingusan, dari zaman main hujan bareng sampai sekarang mulai paham soal nilai sekolah dan masa depan. Setiap sore, mereka selalu ada di sini, di taman kecil dekat rumah, berbagi cerita tentang hari yang mereka lewati.
Angin sore berhembus pelan, membawa aroma tanah yang mulai lembap. Kiara menggambar sesuatu di pasir dengan ujung sepatunya. “Kalau kamu?” tanyanya pelan.
“Hm?”
“Kalau kamu, mau jadi apa nanti?”
Revan terdiam sesaat, lalu menatap ke arah lapangan yang kosong. “Aku nggak tahu,” gumamnya. “Tapi aku mau pergi jauh. Nggak mau di kota ini selamanya.”
Kiara menoleh cepat. “Hah? Maksudnya?”
Revan mengangkat bahu. “Aku pengen lihat dunia. Nggak cuma di sini. Aku pengen ke tempat-tempat yang jauh, ketemu orang baru, belajar hal baru.”
Kiara terdiam, menggigit bibirnya pelan. “Terus… kalau kamu pergi, aku gimana?”
Revan menatapnya, lalu tersenyum kecil. “Ya kamu ikut, lah.”
Kiara mendengus lagi. “Jangan bercanda. Mana bisa aku ninggalin semuanya di sini.”
Revan menendang pasir di bawahnya. “Kalau gitu, kita buat janji.”
Kiara menoleh. “Janji apa?”
Revan berdiri, menepuk celana pendeknya yang kotor. “Kita janji bakal ngejar mimpi masing-masing, tapi nggak bakal ninggalin satu sama lain. Apa pun yang terjadi, kita bakal tetap sahabat.”
Kiara terdiam, menatap Revan seolah mencari kesungguhan dalam matanya. Lalu, dengan gerakan dramatis, ia menjulurkan kelingkingnya.
“Janji?” tanyanya dengan nada main-main.
Revan tertawa kecil sebelum akhirnya menyambut jari Kiara dengan kelingkingnya sendiri. “Janji.”
Angin berhembus lebih dingin saat itu, seakan menegaskan bahwa janji mereka telah terpatri di udara. Tapi, seberapa kuat pun janji yang diucapkan di bawah langit senja, siapa yang bisa menebak apa yang akan terjadi di masa depan?
Tahun berlalu. Mereka bukan lagi anak kecil yang menghabiskan waktu di ayunan berkarat. Kini, Kiara dan Revan sudah duduk di bangku SMA, tapi persahabatan mereka masih sama eratnya. Bedanya, kini mereka punya kesibukan masing-masing. Kiara sibuk dengan sketsa dan cat airnya, sementara Revan sibuk dengan buku dan rencananya untuk pergi jauh dari kota ini.
Namun, tidak peduli seberapa sibuk mereka, sore di taman itu tetap jadi kebiasaan yang tidak pernah hilang.
“Hari ini aku gambar sesuatu yang keren!” seru Kiara, mengeluarkan buku sketsanya dan menyerahkannya ke Revan.
Revan mengambilnya dengan malas. “Yakin keren? Jangan-jangan kayak gambar bocah TK.”
Kiara melotot. “Lihat dulu, baru nyinyir!”
Revan membuka halaman buku itu dan menatap sketsa di dalamnya. Gambar sebuah jembatan panjang dengan dua sosok kecil yang berdiri di ujungnya, memandang ke depan.
Revan mengernyit. “Ini kita?”
Kiara mengangguk penuh semangat. “Iya! Ini jembatan impian kita. Kita berdiri di sini, siap menyeberang ke dunia baru!”
Revan tersenyum kecil. “Kayak film petualangan aja.”
“Memang!” Kiara mendekat, menatap gambarnya dengan penuh kebanggaan. “Aku pengen gambar semua impian kita di buku ini. Jadi kalau suatu hari kita udah jauh, kita bisa lihat ini dan ingat janji kita.”
Revan menatap Kiara lama, lalu mengembalikan buku sketsa itu ke pangkuannya. “Kamu terlalu sentimental,” katanya, tapi senyumnya tidak hilang.
Kiara tertawa kecil. “Biarin. Setidaknya ada sesuatu yang bisa kita kenang nanti.”
Mereka terdiam sesaat, menikmati angin sore yang mulai membawa aroma hujan. Langit di atas mereka mulai meredup, dan di kejauhan, suara ibu-ibu memanggil anak-anaknya untuk pulang terdengar samar.
Revan akhirnya bangkit. “Ayo pulang. Sebelum kita dimarahin karena pulang kesorean lagi.”
Kiara mendengus, lalu berdiri juga. Mereka berjalan berdampingan, seperti yang selalu mereka lakukan sejak dulu. Tapi entah kenapa, ada perasaan aneh yang menggelitik dada Revan.
Seakan ada sesuatu yang akan berubah.
Tapi mungkin itu hanya perasaannya saja.
Ia tidak tahu bahwa ini adalah salah satu senja terakhir mereka yang terasa utuh, tanpa luka, tanpa perpisahan yang mengintai.
Di Antara Harapan Dan Kenyataan
Revan merasakan ada yang aneh. Bukan hanya perasaan kosong yang sulit dijelaskan, tapi sesuatu yang benar-benar berbeda dalam kesehariannya.
Biasanya, Kiara selalu ada—menunggu di taman sepulang sekolah, mengganggunya dengan obrolan nggak penting, atau sekadar mengeluh tentang warna cat yang nggak sesuai dengan imajinasinya. Tapi, sudah hampir seminggu ini, taman itu kosong. Tidak ada suara Kiara, tidak ada tawa khasnya yang kadang menyebalkan.
Awalnya, Revan berpikir Kiara hanya sibuk. Mungkin dengan tugas sekolah, mungkin dengan proyek lukisannya. Tapi saat tiga hari berlalu tanpa satu pun chat dibalas atau telepon diangkat, Revan mulai gelisah.
Sampai akhirnya, suatu sore, dia memutuskan untuk datang ke rumah Kiara.
Saat pintu terbuka, wajah Tante Liana—ibunya Kiara—terlihat lelah. Ada lingkaran hitam di bawah matanya, dan rambutnya berantakan seperti belum sempat disisir.
“Revan?”
“Halo, Tante. Kiara ada?”
Tante Liana terdiam sejenak, lalu membuka pintu lebih lebar. “Masuk dulu, Nak.”
Revan melangkah masuk, matanya langsung mencari keberadaan Kiara. Ruang tamu terasa lebih sunyi dari biasanya. Tidak ada suara TV, tidak ada alat-alat melukis yang biasanya berantakan di sudut ruangan.
Tante Liana duduk di sofa dan menepuk tempat di sebelahnya, mengisyaratkan Revan untuk duduk juga. Hatinya semakin gelisah.
“Kiara sakit, Van.”
Revan terdiam. “Sakit apa?” tanyanya, berusaha terdengar tenang.
Tante Liana tersenyum kecil, tapi matanya berkabut. “Dia butuh istirahat. Sudah beberapa hari ini dia lebih banyak di kamar. Kamu mau ketemu?”
Tanpa berpikir panjang, Revan mengangguk.
Tante Liana mengantarnya ke kamar Kiara. Pintu diketuk pelan sebelum dibuka. Revan menahan napas saat melihat Kiara di atas tempat tidur, berselimut tebal, wajahnya pucat. Gadis itu menoleh dan tersenyum lemah saat melihat Revan.
“Kamu ke mana aja?” suara Kiara terdengar pelan, tapi masih ada nada jahil di dalamnya.
Revan melangkah masuk dan berdiri di samping tempat tidurnya. “Harusnya aku yang nanya. Kamu kenapa nggak bilang kalau sakit?”
Kiara mengangkat bahu, masih tersenyum. “Nggak penting. Lagian aku cuma butuh istirahat.”
Tapi Revan bisa melihat ada sesuatu yang lebih dari sekadar kelelahan. Matanya bergerak ke meja di sebelah tempat tidur, di mana ada beberapa botol obat dan satu lembar kertas yang terlihat seperti hasil pemeriksaan medis.
“Kiara…” Revan menatapnya tajam. “Ini serius, kan?”
Kiara menghela napas. Dia tahu tidak bisa menyembunyikan ini lebih lama.
“Aku kena penyakit autoimun,” gumamnya akhirnya. “Dokter bilang tubuhku nyerang dirinya sendiri. Makanya aku gampang capek, gampang sakit.”
Revan terdiam. Sesuatu di dadanya terasa menegang. “Jadi… bisa sembuh, kan?”
Kiara tidak langsung menjawab. Dia hanya tersenyum, tapi kali ini senyumnya berbeda—ada sesuatu di baliknya, sesuatu yang membuat Revan semakin sulit bernapas.
“Aku nggak tahu,” jawabnya akhirnya. “Tapi aku nggak mau kita bahas ini terlalu serius. Aku masih Kiara yang sama, masih mau ngejar mimpi-mimpiku.”
Revan menggenggam jemarinya. Dingin.
“Kita janji nggak bakal ninggalin satu sama lain, kan?” Kiara bertanya dengan nada ringan, seolah mereka sedang membicarakan hal sepele.
Revan menatapnya, lalu mengangguk.
“Janji,” bisiknya.
Tapi di dalam hatinya, dia tahu—ada sesuatu yang perlahan berubah. Sesuatu yang mungkin tidak akan pernah sama lagi.
Senja Di Puncak Bukit
Langit sore mulai berubah jingga ketika Revan akhirnya berhenti mengayuh sepedanya. Nafasnya sedikit tersengal, tapi hatinya lega ketika melihat Kiara sudah duduk di atas batu besar, menatap hamparan kota dari puncak bukit kecil itu.
Kiara menoleh ketika mendengar langkah kaki Revan mendekat. “Kamu lama banget,” godanya, meski suaranya masih terdengar lemah.
Revan mendecak. “Kamu yang maksa ke sini, tapi malah datang duluan.”
Kiara tertawa kecil, lalu menepuk ruang kosong di sebelahnya. Revan duduk tanpa banyak bicara, matanya ikut menelusuri pemandangan di depan mereka. Kota kecil itu terlihat begitu damai dari atas sini, dengan cahaya matahari yang perlahan meredup, menghangatkan suasana.
“Masih suka tempat ini?” tanya Kiara tiba-tiba.
Revan mengangguk. “Iya. Dulu kita sering ke sini buat kabur dari tugas sekolah.”
Kiara tersenyum, matanya berbinar sejenak. “Dan kamu selalu bawel nyuruh aku belajar.”
“Karena nilai kamu payah.”
Kiara tertawa pelan. “Tapi aku tetap naik kelas, kan?”
Revan hanya tersenyum. Ada yang berbeda dari tawa Kiara kali ini. Masih lepas, masih ceria, tapi ada sesuatu yang terasa menggantung di dalamnya.
Mereka duduk dalam diam untuk beberapa saat, menikmati angin sore yang lembut. Kiara menyandarkan kepalanya di bahu Revan, sesuatu yang jarang ia lakukan.
“Aku nggak mau ini berubah,” gumamnya pelan.
Revan meliriknya. “Apa?”
“Semua ini.” Kiara menggerakkan tangannya, menunjuk langit, angin, dan mereka berdua. “Aku nggak mau kita jadi orang-orang yang sibuk sama hidup masing-masing sampai lupa gimana rasanya duduk bareng kayak gini.”
Revan menatap lurus ke depan. “Kita nggak bakal berubah, Kiara.”
Kiara tertawa kecil. “Jangan janji sesuatu yang kamu nggak yakin bisa tepati.”
Revan menghela napas. Ia tahu Kiara takut—bukan hanya tentang dirinya sendiri, tapi juga tentang persahabatan mereka. Tentang bagaimana waktu dan keadaan bisa mengubah segalanya.
“Aku nggak akan ninggalin kamu.”
Kiara mengangkat kepalanya dan menatap Revan lama. “Kamu janji, ya?”
Revan mengangguk. “Janji.”
Kiara tersenyum kecil, lalu mengeluarkan sesuatu dari sakunya. Sebuah gelang anyaman berwarna biru.
“Aku buat ini sendiri. Awalnya aku mau kasih pas ulang tahun kamu, tapi… aku takut nanti aku nggak sempat.”
Dada Revan terasa sesak.
“Kiara, jangan ngomong kayak gitu.”
Kiara hanya tersenyum, lalu meraih tangan Revan dan melingkarkan gelang itu di pergelangannya.
“Kamu harus tetap pakai ini, ya. Biar kalau suatu hari kita jauh, kamu tetap ingat aku.”
Revan menggenggam tangannya. “Kita nggak bakal jauh.”
Kiara tidak menjawab. Ia hanya menatap senja yang semakin memudar, seolah menyimpan sesuatu di dalam hatinya yang tidak bisa ia ungkapkan.
Dan di dalam diam itu, Revan sadar—mungkin janji yang ia buat tidak akan cukup untuk melawan kenyataan yang semakin mendekat.
Menemukan Cahaya
Matahari sudah sepenuhnya tenggelam di balik horizon ketika Revan dan Kiara kembali ke rumahnya. Suasana terasa lebih berat, seakan bayang-bayang malam menyelimuti harapan-harapan mereka. Dalam perjalanan pulang, Revan merasakan keheningan yang menyakitkan, seperti ada sesuatu yang terlewatkan, sesuatu yang tak bisa diungkapkan.
Kiara berjalan pelan di sampingnya, kadang menatap ke arah jalan setapak, kadang menatap bintang-bintang yang mulai bermunculan di langit. “Kamu tahu, Van, aku selalu percaya bahwa setiap bintang punya cerita sendiri,” katanya tiba-tiba, suaranya lembut dan penuh makna.
Revan menoleh. “Apa maksudmu?”
“Mereka ada di sana, meski kadang tertutup awan. Kita cuma perlu menunggu sampai mereka muncul lagi.”
Revan merasakan rasa hangat di dalam hatinya, mengingatkan pada saat-saat mereka berdua berbagi mimpi dan cerita. “Jadi, kamu percaya kita bisa melalui ini semua?”
Kiara mengangguk. “Ya. Mungkin perjalanan kita nggak akan mudah, tapi kalau kita tetap ada satu sama lain, kita bisa menemukan cahaya, kan?”
Revan merasa beban di dadanya sedikit terangkat. Ada sesuatu yang indah dalam cara Kiara berbicara, sesuatu yang memberikan harapan. “Kita akan menemukan cahaya, Kiara. Bersama.”
Saat mereka tiba di depan rumah Kiara, suasana terasa tenang, tapi ada kesedihan yang menyelimuti. Kiara berhenti sejenak dan menatap Revan, matanya bersinar meski ada kilau air mata yang mengancam. “Terima kasih sudah ada untukku, Van.”
Revan menggenggam tangannya. “Kamu tidak perlu berterima kasih. Itu sudah jadi tanggung jawabku.”
“Tapi aku ingin kamu tahu, persahabatan kita itu berharga. Aku tidak akan pernah melupakan semua momen kita bersama.”
Revan merasakan air mata Kiara yang hampir menetes. Ia tidak tahu harus berbuat apa, selain merangkulnya erat. “Kita tidak akan melupakan ini. Janji.”
Kiara tersenyum dengan penuh harapan, meski di sudut matanya masih ada kesedihan. “Kamu ingat saat kita pernah berjanji untuk selalu melihat ke bintang setiap kali kita merasa kehilangan?”
“Ya,” jawab Revan. “Bintang akan selalu ada, Kiara. Dan begitu juga kita.”
Mereka saling menatap, dan dalam sekejap, semua rasa takut dan keraguan terasa hilang. Kiara mungkin sedang berjuang melawan sesuatu yang lebih besar dari sekadar sakit, tetapi bersama Revan, ia merasa lebih kuat.
“Selamat malam, Van. Sampai jumpa di bintang-bintang,” Kiara berkata lembut, lalu melangkah masuk ke dalam rumahnya.
Revan berdiri di luar sejenak, menatap langit malam yang penuh bintang. Ia merasakan kehadiran Kiara di setiap cahaya yang berkelip, dan meski perjalanan mereka tidak akan mudah, ia tahu bahwa persahabatan mereka akan selalu menemukan cara untuk bersinar.
Dengan semangat baru, Revan mengayuh sepedanya pulang, berharap hari-hari yang akan datang akan membawa lebih banyak cahaya, lebih banyak cerita, dan lebih banyak momen indah bersama sahabatnya.
Di balik langit malam yang dipenuhi bintang, ada harapan yang tak akan pernah padam—bahwa mereka akan selalu bersama, dalam suka maupun duka, dalam terang maupun gelap. Dan meskipun kenyataan kadang terasa menakutkan, mereka berdua akan selalu siap menghadapi segala sesuatu, satu langkah demi satu langkah.
Jadi, itu dia perjalanan seru Revan dan Kiara! Gimana? Menginspirasi banget, kan? Ingat, persahabatan itu bukan soal seberapa lama kamu mengenal seseorang, tapi seberapa dalam kamu bisa menjalaninya bareng. Sampai jumpa di cerita-cerita berikutnya, dan jangan lupa, tetap jaga persahabatanmu, ya!


