Daftar Isi
Jelajahi perjalanan emosional dalam cerpen Perpisahan Kuliah ke Luar Negeri: Harapan di Ujung Cinta, sebuah narasi menyentuh hati tentang Kirana Dewantari yang menghadapi tantangan perpisahan demi impian studinya di Kanada. Dengan latar kampus Indonesia yang penuh kenangan dan persahabatan mendalam, cerita ini menawarkan inspirasi dan air mata bagi pecinta drama emosional dan kisah perjuangan.
Perpisahan Kuliah ke Luar Negeri
Cahaya Senja di Ambang Perpisahan
Matahari sore turun perlahan di atas kampus Universitas Bina Nusantara pada hari Selasa, 01 Juli 2025, pukul 11:14 WIB, membiarkan cahaya keemasan menyelinap di atas rumput yang terawat dan bangunan bata tua. Udara membawa aroma samar bunga kamboja dari pohon-pohon di sepanjang jalan setapak, bercampur dengan suara jauh obrolan mahasiswa dan derit daun yang tertiup angin sepoi-sepoi. Di sudut ruang tunggu fakultas yang sepi, seorang wanita muda bernama Kirana Dewantari duduk sendirian di meja kayu, laptopnya terbuka namun tak disentuh. Rambutnya yang panjang dan bergelombang mengelilingi wajahnya, dan matanya hazel—biasanya berbinar penuh rasa ingin tahu—kini diselimuti campuran antisipasi dan kesedihan.
Kirana, mahasiswi tahun akhir berusia 22 tahun jurusan Ilmu Lingkungan, dikenal di kalangan teman-temannya karena semangatnya dalam keberlanjutan dan tawanya yang menular. Ia adalah anak sulung dari Pak Surya Wibowo dan Ibu Ratna Sari, keluarga sederhana dari sebuah kota kecil di Jawa Timur yang telah banyak berkorban untuk menyekolahkannya. Mimpinya selalu ingin belajar di luar negeri, memperluas pengetahuannya dan berkontribusi pada upaya lingkungan global, dan mimpi itu kini dalam genggaman. Ia baru saja menerima surat penerimaan dari Universitas British Columbia di Kanada, beasiswa yang akan membawanya ke seluruh dunia dalam tiga bulan. Namun, kebahagiaan prestasi ini tertutup oleh beban apa yang harus ia tinggalkan.
Ruang tunggu, dengan bantalan yang memudar dan kursi yang tak seragam, telah menjadi tempat perlindungannya selama sesi belajar larut malam dan percakapan penuh makna bersama teman-temannya. Di depan tempat duduknya yang biasa, ia masih bisa membayangkan wajah dua sahabat karibnya: Arjuna Wijaya, mahasiswa teknik yang kurus dengan senyum nakal dan bakat memperbaiki apa saja, serta Laksmi Hartanti, mahasiswi sastra dengan kekuatan tenang dan kecintaan pada puisi. Bersama-sama, mereka membentuk trio yang tak terpisahkan sejak tahun pertama, terikat oleh kuliah bersama, sesi makan malam larut di kantin kampus, dan impian masa depan yang lebih cerah.
Hari ini, namun, ruangan itu terasa lebih kosong. Arjuna telah mengirim pesan sebelumnya, mengatakan ia terlambat karena eksperimen lab, sementara Laksmi sedang menyelesaikan draf akhir tesisnya. Jari Kirana menyentuh tepi laptopnya, pikirannya melayang pada perpisahan yang tak terhindarkan di depan mata. Beasiswa itu adalah kesempatan emas, tetapi berarti meninggalkan keluarganya, teman-temannya, dan kehidupan yang telah ia bangun di Indonesia. Ia bertanya-tanya bagaimana cara memberi tahu mereka, bagaimana menghadapi reaksi mereka—kebahagiaan atas kesuksesannya, tetapi juga rasa sakit akibat perpisahan.
Pintu terbuka lebar, dan Arjuna masuk dengan langkah cepat, mantel lab-nya berdebu seperti gergaji, rambut hitamnya berantakan akibat berjam-jam bekerja. “Kir! Maaf, aku terjebak sama mesin rusak,” katanya dengan senyum malu-malu, duduk di kursi di depannya. Energinya menjadi kontras tajam dengan suasana hati Kirana yang tertekan, dan ia berhasil tersenyum kecil. “Laksmi bakal datang sebentar lagi. Bagaimana kabar beasiswamu?” tanyanya, nadanya santai tetapi matanya menyelami wajahnya.
Kirana ragu-ragu, tenggorokannya terasa sesak. “Aku… aku diterima di UBC,” katanya akhirnya, suaranya hampir tak terdengar. Mata Arjuna melebar, dan untuk sesaat ia menatapnya dalam keheningan terkejut sebelum tersenyum lebar. “Serius?! Kir, ini luar biasa!” Ia condong untuk memeluknya, antusiasmenya mengangkat semangatnya sejenak. Tetapi saat ia mundur, Kirana melihat sekilas sesuatu—kecemasan, mungkin kesedihan—di ekspresinya.
Sebelum ia bisa menjawab, Laksmi masuk, lengannya penuh buku dan buku catatan yang digenggam erat di dadanya. Kepang panjangnya bergoyang saat ia bergerak, dan senyum lembutnya menerangi ruangan. “Aku dengar suara Arjuna dari luar. Apa yang aku lewatkan?” tanyanya, meletakkan beban di meja dan bergabung dengan mereka. Kirana menghela napas dalam, mengulangi kabar tersebut. Reaksi Laksmi lebih tenang tetapi tak kalah tulus—ia memegang tangan Kirana, matanya bersinar penuh kebanggaan. “Kamu pantas dapat ini, Kir. Aku bangga.”
Mereka duduk bersama, beban momen itu mulai terasa. Mereka memesan teh botol dan gorengan dari kantin, rasa yang akrab memberikan kenyamanan kecil saat mereka bernostalgia. Arjuna mengingat proyek kelompok pertama mereka, kekacauan penuh tumpahan kopi dan tawa, sementara Laksmi membacakan puisi yang ia tulis tentang persahabatan mereka, suaranya gemetar penuh emosi. Kirana berbagi kenangan favoritnya—mengamati bintang di atap kampus saat pemadaman listrik, di mana mereka bermimpi keras tentang masa depan mereka. Setiap cerita memperdalam ikatan mereka, tetapi juga rasa sakit mengetahui bahwa itu akan segera diuji oleh jarak.
Saat matahari mulai terbenam, melukis langit dengan warna oranye dan merah muda, mereka pindah ke halaman kampus, tempat favorit tempat mereka sering belajar atau sekadar mengobrol. Pohon kamboja melemparkan bayangan panjang, dan suara jangkrik memenuhi udara. Kirana mengeluarkan ponselnya, menunjukkan foto Vancouver yang ia temukan secara online—gunung bersalju, hutan lebat, dan kampus universitas yang terasa jauh sekali. “Ini tempatku nanti,” katanya, suaranya retak. “Tapi aku takut meninggalkan kalian.”
Arjuna meletakkan tangan di bahunya, kebiasaan bermainnya yang biasa digantikan oleh ketulusan. “Kita akan selalu ada buat kamu, Kir. Jarak nggak akan ubah itu.” Laksmi mengangguk, menambahkan, “Aku akan tulis surat buat kamu, dan kamu harus cerita semua petualanganmu.” Kata-kata mereka menjadi penutup hidup, tetapi Kirana merasa air mata membasahi matanya. Ia memeluk mereka erat, kehangatan pelukan mereka menjadi kontras tajam dengan realitas dingin kepergiannya.
Malam itu, kembali di kamar asramanya dengan tempat tidur yang berderit dan wallpaper yang mengelupas, Kirana duduk di dekat jendela, lampu kota berkelap-kelip di bawah. Ia membuka jurnalnya, kebiasaan yang ia jaga sejak tahun pertama, dan menulis: Cahaya senja di ambang perpisahan membawa harapan, tapi juga luka yang tak bisa dielakkan. Kata-kata itu tumpah ke halaman, cerminan hati yang terbelah—bersyukur atas kesempatan, namun berduka atas kehidupan yang akan ia tinggalkan. Di luar, malam semakin dalam, dan saat ia menatap bintang-bintang, ia bertanya-tanya bagaimana cara membawa cinta teman-temannya melintasi lautan menuju awal yang baru.
Bayang Rindu di Hari Penantian
Matahari pagi menyelinap melalui tirai kamar asrama Kirana Dewantari pada hari Rabu, 02 Juli 2025, pukul 11:15 WIB, membiarkan cahaya lembut melintasi ruangan yang berantakan. Aroma kopi instan samar terasa dari cangkir yang ditinggalkannya di meja, bercampur dengan bau apek buku teks lama dan parfum melati yang ia semprotkan sebelumnya. Kirana duduk bersila di tempat tidurnya, jurnalnya terbuka di sampingnya, tinta dari entri semalam masih basah. Matanya hazel, dikelilingi bayangan lelah, memindai kata-kata yang ia tulis—Cahaya senja di ambang perpisahan membawa harapan, tapi juga luka yang tak bisa dielakkan—saat pikirannya memutar ulang malam emosional bersama Arjuna dan Laksmi.
Kabar penerimaannya di Universitas British Columbia telah menyebar cepat di lingkarannya, dan kampus berdengung dengan campuran ucapan selamat dan kekhawatiran yang terselubung. Hari ini adalah hari persiapan—mengurutkan barang-barang, mengemas kebutuhan pokok, dan menghadapi realitas kepergiannya dalam tiga bulan. Asrama, dengan wallpaper yang mengelupas dan lantai kayu yang berderit, telah menjadi rumahnya selama empat tahun, ruang yang dipenuhi sesi belajar larut malam, rahasia berbisik, dan tawa sesekali yang bergema di dinding tipis. Kini, terasa seperti kepompong yang akan ia tinggalkan.
Kirana mulai merapikan raknya, jarinya menyapu bingkai foto yang memegang gambar dirinya, Arjuna, dan Laksmi di festival kampus pertama mereka. Lengan Arjuna melingkari bahunya, senyumnya lebar, sementara Laksmi memegang buku puisi, senyumnya malu tetapi berseri. Ia meletakkannya hati-hati ke dalam kotak bertuliskan “Kenangan,” dadanya terasa sesak saat ia menambahkan bunga kamboja kering dari halaman dan catatan kusut dari Arjuna yang bertuliskan, “Jangan lupa aku kalo udah jadi profesor, ya!” Setiap benda adalah benang dalam tapestri persahabatan mereka, dan melepaskannya terasa seperti menguraikan bagian dari dirinya.
Pintu diketuk, mengganggu lamunannya. Itu Arjuna, mantel lab-nya diganti dengan kaos dan celana jeans, ransel tergantung di satu bahu. “Kir, aku bawa bantuan!” katanya, mengangkat tas camilan—martabak dan es campur—dari kantin. Di belakangnya, Laksmi muncul, lengannya penuh folder dan termos teh tarik. “Kita bantu kamu packing,” tambah Laksmi dengan senyum lembut, melangkah masuk. Kehadiran mereka memenuhi ruangan dengan kehangatan, perisai sementara terhadap kesedihan yang merayap.
Mereka masuk ke ritme—Arjuna mengurutkan buku teknik dengan keluhan main-main tentang beratnya, Laksmi melipat pakaian dengan ketelitian, dan Kirana memutuskan apa yang akan disimpan atau dibuang. Saat bekerja, percakapan mengalir, diwarnai nostalgia. Arjuna mengingat saat mereka berkemah di perpustakaan untuk menyelesaikan proyek kelompok, bertahan dengan mi instan dan kopi, sementara Laksmi berbagi kenangan membacakan puisi pertamanya di open mic, kegugupannya diredakan oleh sorak mereka. Kirana tertawa melalui air mata saat mengingat stargazing di atap, di mana Arjuna dengan bercanda berjanji membangun rumah bertenaga surya untuknya.
Namun, suasana berubah saat Laksmi menemukan surat lama yang ditulis Kirana tapi tak pernah dikirim—draf untuk orang tuanya tentang ketakutannya pergi. “Kir, kamu tulis ini kapan?” tanya Laksmi, nadanya lembut. Kirana mengambil surat itu, tangannya gemetar. “Tahun lalu, pas aku mulai apply beasiswa. Aku takut mereka nggak setuju, atau aku gagal.” Ia membacanya keras-keras, suaranya retak saat ia mengaku kekhawatirannya tentang jarak, pengorbanan orang tuanya, dan kemungkinan kehilangan teman-temannya. Arjuna dan Laksmi mendengarkan dalam diam, mata mereka mencerminkan rasa sakitnya.
Arjuna memecah keheningan, nadanya tulus. “Kir, kamu kuat. Kami tahu kamu bisa berhasil di sana. Tapi… aku bakal kangen banget.” Pengakuannya menggantung di udara, dan Laksmi mengangguk, menambahkan, “Aku juga. Tapi kita akan dukung kamu, selalu.” Mereka berpelukan, lingkaran dukungan yang erat, dan Kirana merasakan gelombang rasa syukur bercampur rasa bersalah. Ia tak ingin meninggalkan mereka, tetapi kesempatan itu adalah mimpi yang tak bisa ia abaikan.
Kemudian, mereka pindah ke halaman, mencari udara segar dan istirahat dari packing. Pohon kamboja bergoyang pelan, kelopaknya menutupi tanah, dan kampus seolah menahan napas. Mereka duduk di bangku, berbagi martabak sambil menonton mahasiswa lewat, obrolan mereka menjadi dengungan jauh. Kirana mengeluarkan ponselnya, menunjukkan video kampus Vancouver yang ia temukan secara online—mahasiswa bercoat musim dingin, salju turun perlahan. “Ini yang aku hadapi nanti,” katanya, suaranya bercampur kekaguman dan ketakutan.
Arjuna mendekat, menunjuk layar. “Kamu harus fotoin salju buat kita. Aku pengen bikin robot salju!” Usahanya menghibur meringankan ketegangan, dan Laksmi menyarankan, “Aku akan kirim puisi tentang salju buat kamu. Kita tetap terhubung.” Mereka membuat pakta—panggilan video mingguan, pembaruan bersama, dan janji mengunjungi suatu hari nanti. Rencana itu terasa rapuh, tetapi itu adalah penutup hidup yang mereka pegang erat.
Saat senja turun, melukis langit dengan ungu tua dan biru, mereka kembali ke asrama. Arjuna memberi Kirana ukiran kayu kecil bunga kamboja yang ia buat di lab-nya, tanda ikatan mereka. Laksmi menyerahkan puisi tulisan tangan berjudul “Jarak Tak Memisahkan”, kata-katanya obat untuk jiwanya. Kirana, sebagai gantinya, memberikan mereka masing-masing sketsa yang ia gambar—diri mereka bertiga di bawah pohon kampus, tersenyum di latar belakang bintang. Pertukaran itu adalah janji diam, disegel dengan pelukan.
Malam itu, sendirian di kamarnya, Kirana duduk di dekat jendela, ukiran dan puisi di sampingnya. Ia menulis di jurnalnya: Bayang rindu di hari penantian membawa luka, tapi juga kekuatan dari cinta teman. Lampu kota berkelap-kelip di bawah, dan saat ia menatapnya, ia merasakan campuran tekad dan kerinduan, mengetahui jalan di depan akan menguji hatinya tetapi juga membentuk masa depannya.
Ujian Hati di Hari Patah
Pagi hari Kamis, 03 Juli 2025, pukul 11:16 WIB, menyingsing dengan langit mendung di atas Universitas Bina Nusantara, udara tebal dengan janji hujan. Angin sejuk menggerakkan pohon kamboja di luar jendela asrama Kirana Dewantari, membawa aroma tanah lembap dan gema petir jauh. Di dalam kamarnya, kekacauan packing semakin bertambah—kotak-kotak bertumpuk sembarangan, pakaian dilipat dengan hati-hati, dan jurnalnya terbuka di meja, halamannya penuh dengan pikiran yang tercoret. Kirana duduk di tempat tidurnya, ukiran kayu bunga kamboja dari Arjuna Wijaya digenggam di tangannya, permukaannya halus menjadi jangkar di tengah badai yang berkecamuk di hatinya.
Dua hari terakhir telah menjadi pusaran emosi. Sesi packing bersama Arjuna dan Laksmi Hartanti memperkuat ikatan mereka, tetapi juga mempertajam tepi kepergiannya yang akan datang. Beasiswa ke Universitas British Columbia kini terasa lebih besar, dengan aplikasi visa dan rencana perjalanan menuntut perhatiannya. Namun, beban meninggalkan teman dan keluarga menekan lebih keras, terutama setelah hadiah penuh makna yang mereka tukar. Hari ini, ia berencana mengunjungi orang tuanya di Jawa Timur untuk menyampaikan kabar, perjalanan yang mengisi hatinya dengan campuran kegembiraan dan ketakutan.
Kirana mengenakan blus batik sederhana dan celana jeans, rambut bergelombangnya diikat ke belakang dengan sanggul longgar, dan mengemas tas kecil dengan kebutuhan pokok—jurnalnya, ukiran, dan puisi Laksmi. Kampus lebih sepi dari biasanya, mahasiswa sibuk mempersiapkan ujian atau nongkrong di perpustakaan, wajah mereka menjadi kabur saat ia menuju stasiun bus. Perjalanan ke stasiun kereta berlangsung biasa saja, dengungan mesin dan ketukan hujan di jendela menjadi latar untuk pikirannya yang berlomba. Ia memegang ponselnya, membaca ulang pesan dari Arjuna dan Laksmi di grup chat mereka, dorongan mereka menjadi penutup hidup: “Kamu bisa, Kir!” dan “Kami doain dari sini.”
Tiba di Stasiun Gubeng Surabaya, platform ramai dengan pelancong, udara tebal dengan bau makanan goreng dari pedagang terdekat dan seng metal rel. Kirana naik kereta ke Jember, mengamankan tempat duduk dekat jendela tempat ia bisa menyaksikan sawah dan desa lewat. Perjalanan memakan waktu tiga jam, setiap mil memperlebar jarak antara kehidupan lamanya dan yang baru menantinya. Ia menggambar di jurnalnya—pemandangan sawah hijau di bawah langit kelabu, dengan sosok tunggal berdiri di tepi, melambangkan ketidakpastiannya sendiri.
Di Jember, orang tuanya, Pak Surya Wibowo dan Ibu Ratna Sari, menunggu di stasiun, wajah mereka yang telah usang menyala dengan senyum. Pak Surya, petani pensiunan dengan tangan kasar, memeluknya erat, sementara Ibu Ratna, matanya berkerut penuh kebanggaan, menyisir rambut Kirana. “Kamu kurus, Nak,” kata Ibu, nadanya hangat tetapi bercampur kekhawatiran. Mereka mengendarai truk tua mereka pulang, aroma rokok cengkeh dari saku Pak Surya memenuhi kabin, kenyamanan melawan ketegangan yang membangun di dalam dirinya.
Rumah keluarga, struktur kayu sederhana dengan atap seng, menyambutnya dengan aroma gudeg dan derit alat dapur yang lembut. Setelah makan siang yang mengenyangkan, Kirana mengumpulkan keberaniannya. Mereka duduk di ruang tamu, tikar bambu dingin di bawahnya, dan ia mengungkapkan kabar beasiswa. “Bapak, Ibu, aku diterima di UBC. Aku akan kuliah di Kanada,” katanya, suaranya stabil tetapi tangannya gemetar. Ruangan menjadi sunyi, satu-satunya suara adalah tik tik jam dinding tua.
Ekspresi Pak Surya mengeras, alisnya berkerut. “Jauh sekali, Kirana. Siapa yang akan jaga kamu di sana?” Kekhawatirannya terasa nyata, berakar pada tahun-tahun melindunginya. Mata Ibu Ratna berair, tangannya memegang tangan Kirana. “Kami bangga, tapi hati ini sakit memikirkan kamu pergi,” bisiknya. Percakapan berubah menjadi perdebatan lembut—ketakutan orang tuanya akan jarak dan keselamatan bertabrakan dengan mimpinya untuk membuat perubahan. Kirana menjelaskan manfaat beasiswa, rencananya untuk tetap terhubung, dan janjinya untuk kembali, tetapi jurang itu terasa tak terlewati.
Air mata mengalir saat Ibu Ratna menceritakan pengorbanan—menjual sepetak tanah untuk membiayai pendidikannya, bekerja lembur di pasar. “Kami lakukan itu supaya kamu sukses di sini, Nak,” katanya, suaranya patah. Pak Surya menambahkan, “Kami takut kehilangan kamu seperti kami kehilangan adikmu dulu.” Sebutan adiknya yang telah meninggal bertahun-tahun lalu menusuk Kirana seperti pukulan, melepaskan banjir rasa bersalah. Ia memeluk mereka, menangis, mimpinya bercampur dengan rasa sakit mereka.
Malam itu, saat hujan mengetuk atap, Kirana duduk di beranda, ukiran di tangannya dan puisi Laksmi terbuka di pangkuannya. Kata-kata—“Jarak tak memisahkan, cinta tetap bersinar”—menawarkan ketenangan, tetapi hatinya sakit. Ia menelepon Arjuna dan Laksmi, suara mereka yang retak di telepon memberikan jeda sementara. Humor Arjuna—“Kamu harus bawa bakso ke Kanada!”—dan janji Laksmi untuk lebih banyak puisi meringankan beban, tetapi percakapan berakhir dengan air mata bersama.
Kembali di kamar masa kecilnya, dikelilingi poster yang memudar dan tempat tidur yang berderit, Kirana menulis di jurnalnya: Ujian hati di hari patah membawa luka, tapi juga kekuatan untuk melangkah. Hujan di luar mencerminkan air matanya, dan saat ia menatap bulan melalui jendela, ia bertekad untuk menjembatani kesenjangan dengan orang tuanya, menghormati cinta mereka sambil mengejar takdirnya. Malam berlangsung, medan perang sunyi tempat harapan dan patah hati bertarung.
Cahaya Harapan di Ujung Jarak
Pagi hari Selasa, 01 Juli 2025, pukul 11:16 WIB, menyingsing di desa Jember yang sepi dengan langit dilukis warna pastel lembut, sisa hujan semalam meninggalkan udara segar dan harum tanah basah serta melati yang bermekar. Di dalam rumah kayu sederhana keluarga Kirana Dewantari, suasana tebal dengan ketegangan yang belum terselesaikan. Kirana duduk di meja dapur, jarinya mengikuti serat kayu, ukiran kayu bunga kamboja dari Arjuna Wijaya dan puisi Laksmi Hartanti beristirahat di samping jurnalnya. Matanya hazel, berpinggir merah akibat malam tanpa tidur, menyimpan kilau teguh saat ia bersiap menghadapi hari—hari yang akan menentukan jalannya ke depan.
Konfrontasi emosional dengan Pak Surya Wibowo dan Ibu Ratna Sari malam sebelumnya telah meninggalkan bekas dalam. Air mata mereka, ketakutan mereka, dan sebutan adiknya yang hilang telah mengguncang Kirana hingga ke inti, menempatkan mimpinya kuliah di Universitas British Columbia melawan cinta yang mengikatnya ke Indonesia. Namun, malam itu juga membawa kejelasan. Ia tak bisa meninggalkan pengorbanan orang tuanya atau dukungan teman-temannya, tetapi ia juga tak bisa melepaskan kesempatan yang bisa membentuk masa depannya. Hari ini, ia akan mencari resolusi, jembatan antara keinginan hatinya yang bertolak belakang.
Setelah sarapan sunyi nasi uduk dan tempe goreng, Kirana mendekati orang tuanya, yang duduk di tikar bambu di ruang tamu, radio memutar lagu dangdut lembut di latar belakang. “Bapak, Ibu, aku minta maaf kalau kemarin aku bikin kalian sedih,” ia memulai, suaranya stabil meski tangannya gemetar. “Aku tahu kalian takut kehilangan aku, tapi aku janji ini bukan perpisahan selamanya. Aku akan pulang, dan aku akan buat kalian bangga.” Ia mengungkapkan rencana yang ia susun semalaman—panggilan video bulanan, itinerary perjalanan terperinci untuk tinggalnya, dan komitmen kembali setiap musim panas. Proposal itu adalah cabang zaitunnya, cara untuk menghormati cinta mereka sambil mengejar mimpinya.
Ekspresi Pak Surya yang tegas melunak, jari kasarnya menggosok dagu saat ia mendengarkan. Mata Ibu Ratna berbinar, tetapi senyum kecil muncul. “Kamu sudah dewasa, Kirana,” kata Pak Surya akhirnya, suaranya kasar namun hangat. “Kalau ini mimpimu, kami dukung. Tapi janji pulang sering, ya.” Ibu Ratna mengangguk, menarik Kirana ke pelukan erat, air matanya meresap ke blus putrinya. Lega terasa nyata, beban terangkat dari bahu Kirana saat ia memeluk mereka kembali, ukiran menekan dadanya seperti jimat.
Dengan restu orang tuanya diamankan, Kirana menelepon Arjuna dan Laksmi, suara mereka retak penuh kegembiraan melalui speakerphone. “Kamu berhasil, Kir! Aku tahu kamu bisa!” sorak Arjuna, antusiasmenya menular. Laksmi menambahkan, “Aku akan tulis puisi spesial buat keberangkatanmu. Kita harus rayakan!” Terinspirasi, mereka merencanakan kumpul perpisahan malam itu di kampus, perayaan terakhir sebelum kepergiannya dalam tiga bulan. Kirana merasakan gelombang syukur, dukungan mereka menyalakan keberaniannya kembali.
Sore itu, ia kembali ke Universitas Bina Nusantara, kampus hidup dengan dengungan mahasiswa di bawah matahari tengah hari. Ia bertemu Arjuna di lab-nya, di mana ia mengutak-atik prototipe panel surya kecil, wajahnya belepotan minyak. “Ini buat kamu,” katanya, menyerahkan versi miniatur, lampu kecilnya berkedip. “Supaya kamu ingat aku kalo listrik mati di Kanada!” Senyumnya kekanak-kanakan, tetapi matanya menyimpan kedalaman emosi. Kirana tertawa, menyimpannya ke tasnya, gestur itu simbol ikatan mereka yang abadi.
Laksmi bergabung nanti di halaman, lengannya penuh buku dan buku catatan tempat ia menyusun puisi baru. Mereka duduk di bawah pohon kamboja, kelopaknya jatuh seperti konfeti di sekitar mereka, dan berbagi cerita—kegagalan teknik terbaru Arjuna, penerimaan Laksmi di bengkel penulisan, dan rencana penelitian pertama Kirana di Kanada. Udara dipenuhi tawa dan denting cangkir plastik saat mereka menyeruput teh botol, momen itu praeludium pahit manis untuk perpisahan.
Kumpul malam menarik kerumunan kecil—teman sekelas, dosen, dan sahabat—di bawah kanopi lampu peri yang dirancang Arjuna. Musik mengalir dari speaker portabel, mencampur gamelan tradisional dengan pop modern, dan meja bergoyang di bawah beban masakan rumahan: sate ayam, nasi goreng, dan kue lapis. Kirana berdiri untuk berbicara, suaranya gemetar tetapi jelas. “Terima kasih semua. Keberangkatan ini bukan akhir, tapi awal baru. Kalian akan selalu ada di hatiku.” Kerumunan bertepuk tangan, dan Arjuna serta Laksmi mengapitnya, kehadiran mereka perisai dari air mata yang mengancam jatuh.
Saat malam semakin dalam, mereka menyelinap ke atap, tempat stargazing mereka. Lampu kota berkelap-kelip di bawah, cermin bagi bintang di atas, dan udara sejuk menyentuh kulit mereka. Arjuna mengeluarkan botol jus berkilau, mengusulkan toast untuk “awal baru dan persahabatan lama.” Laksmi membacakan puisinya, “Cahaya di Ujung Jarak,” barisnya menjalin harapan dan cinta melalui rasa sakit perpisahan. Kirana menggambar mereka di bawah bintang, menambahkan panel surya miniatur dan kelopak kamboja, penghormatan terakhir untuk perjalanan mereka.
Momen kepergian datang terlalu cepat. Mereka berpelukan erat, Arjuna berbisik, “Jangan lupa foto salju,” dan Laksmi menekan puisi lipat ke tangannya. Kirana merasakan kehangatan mereka bertahan saat ia berjalan kembali ke asramanya, malam membungkusnya seperti kepompong. Di kamarnya, ia menulis di jurnalnya: Cahaya harapan di ujung jarak membawa luka sembuh, menabur benih cinta yang tak pernah layu. Kota tidur di bawah, dan saat ia menatap bulan, ia tahu jarak akan mengujinya, tetapi cinta teman dan keluarganya akan membimbingnya pulang.
Perpisahan Kuliah ke Luar Negeri: Harapan di Ujung Cinta menghadirkan kisah perpisahan yang memikat, mengubah luka kehilangan menjadi harapan baru melalui cinta dan dukungan teman serta keluarga. Perjalanan Kirana akan menggerakkan hati Anda, menawarkan pelajaran tentang keberanian dan ikatan abadi, dengan akhir yang penuh makna dan harapan.
Terima kasih telah menyelami keindahan cerita Perpisahan Kuliah ke Luar Negeri: Harapan di Ujung Cinta bersama kami. Tetap ikuti petualangan emosional lainnya, dan sampai jumpa di cerita-cerita inspiratif berikutnya!


