Perpisahan Kelas 6: Kenangan di Ujung Masa Kecil

Posted on

Jelajahi kehangatan dan kesedihan dalam cerpen Perpisahan Kelas 6: Kenangan di Ujung Masa Kecil, sebuah narasi menyentuh hati tentang Dwiki Ardhana, Rania Putriani, dan Bayu Santoso yang menghadapi hari terakhir mereka di SD Nusantara Harapan. Dengan latar desa yang penuh nostalgia dan persahabatan anak-anak yang tulus, cerita ini mengajak pembaca merenung tentang masa kecil dan ikatan abadi.

Perpisahan Kelas 6

Suara Lonceng di Hari Pamitan

Pagi hari Selasa, 01 Juli 2025, pukul 01:29 WIB, menyapa Sekolah Dasar Nusantara Harapan dengan udara sejuk yang masih membawa sisa-sisa embun pagi di rerumputan halaman sekolah. Cahaya matahari sore mulai menyelinap melalui celah-celah jendela kelas 6B, menerangi ruangan sederhana yang dipenuhi meja-meja kayu tua dengan permukaan penuh goresan kecil, dinding-dinding yang dihiasi tulisan tangan anak-anak, dan papan tulis yang masih bertuliskan jadwal ujian akhir dari Bu Sari, guru kelas mereka yang dikenal lembut hati dan penuh perhatian. Di sudut ruangan, dekat jendela yang sedikit retak, seorang anak laki-laki bernama Dwiki Ardhana duduk dengan pundak sedikit menunduk, tangannya memutar-mutar pensil pendek yang ujungnya sudah tumpul akibat terlalu sering digunakan untuk menggambar di buku catatan. Matanya, hitam pekat dan biasanya penuh tawa ceria, kini menunjukkan bayangan sedih yang dalam saat ia menatap kelas yang telah menjadi dunianya selama enam tahun terakhir.

Dwiki, berusia 12 tahun, adalah anak sulung dari Bapak Joko Winarno, seorang pedagang keliling yang setiap hari menjajakan sayuran di pasar desa, dan Ibu Lilis Wulan, penjual kue tradisional seperti klepon dan lupis yang selalu ramai pembeli di pagi hari. Keluarga mereka tinggal di rumah sederhana dengan atap genteng yang sedikit bocor saat hujan, di sebuah desa kecil di Jawa Tengah yang dikelilingi sawah hijau dan hutan kecil di belakang. Dwiki dikenal sebagai anak yang pemberani dan ceria, sering memimpin permainan petak umpet atau sepak bola di lapangan sekolah yang berdebu, serta menjadi penutup rasa takut teman-temannya saat menghadapi ujian atau badai. Namun, hari ini bukan hari biasa baginya. Ini adalah hari terakhir mereka di kelas 6, hari perpisahan yang telah mereka nantikan dengan harap-harap cemas sejak awal tahun ajaran, sekaligus hari yang mereka takuti karena akan mengakhiri masa kecil mereka di SD Nusantara Harapan dan memisahkan mereka dari rutinitas serta ikatan yang telah terjalin erat selama bertahun-tahun.

Di samping mejanya, dua kursi kosong tampak menonjol, milik sahabat karibnya, Rania Putriani dan Bayu Santoso, terasa seperti lubang hampa yang menganga di hatinya. Rania, gadis mungil dengan rambut pendek sebahu yang selalu diikat dengan jepit bunga kecil milik ibunya, memiliki mata cerdas yang selalu bersinar saat ia menjelaskan soal matematika yang rumit. Ia adalah otak di balik rencana-rencana cerdas mereka, seperti saat mereka menyusun strategi untuk memenangkan lomba cerdas cermat antar kelas tahun lalu. Bayu, anak tinggi dengan gigi depan yang sedikit maju dan senyum lebar yang tak pernah pudar, adalah jiwa petualang yang selalu membawa ide gila, seperti membangun tenda dari kardus bekas di halaman belakang sekolah atau mengadakan perlombaan lari dengan aturan sendiri. Ketiganya telah bersahabat sejak kelas 1, terjalin melalui hari-hari bermain di bawah pohon sawo tua yang berdiri megah di sudut lapangan, bertukar stiker gambar pahlawan super, dan tertawa bersama saat hujan membanjiri lapangan hingga sepatu mereka becek.

Namun, hari ini, semua kenangan itu akan diuji oleh waktu. Setelah perpisahan, masing-masing akan menapaki jalan yang berbeda—Rania akan melanjutkan ke SMP Negeri 1 di kota terdekat, sebuah perjalanan satu jam dengan angkot yang penuh tantangan baginya yang terbiasa dengan desa; Bayu akan masuk ke sekolah agama di desa sebelah, di mana ia akan belajar mengaji sambil membantu ayahnya bercocok tanam; dan Dwiki, yang bercita-cita menjadi dokter, akan membantu ayahnya berdagang di pasar sambil mengikuti sekolah malam di pusat pendidikan kejuruan. Pikiran itu membuat Dwiki gelisah, tangannya tanpa sadar meremas buku catatan yang tergeletak di meja, penuh dengan sketsa pohon sawo dan puisi-puisi pendek yang ia tulis tentang persahabatan mereka selama istirahat.

Suara langkah kaki di koridor mengalihkan perhatiannya, diikuti oleh derit pintu kayu yang terbuka lebar. Rania masuk dengan senyum kecil, membawa tas anyaman yang sedikit compang-camping, di dalamnya tersimpan kue ubi rebus yang dibuat ibunya untuk dibagikan. Di belakangnya, Bayu menyusul dengan langkah ceria, membawa bola karet tua yang sudah lusuh tetapi masih utuh, lengkap dengan bekas noda lumpur dari permainan kemarin. “Dwiki! Cepat siapin diri, acara mau mulai!” seru Bayu, meletakkan bola di lantai dengan suara gedebuk yang menggema di kelas. Rania mendekat, menatap Dwiki dengan mata penuh perasaan, “Aku bawa buku kenangan, kita isi bareng nanti, ya,” katanya lembut, suaranya hampir tenggelam oleh suara tawa teman-teman lain yang mulai berdatangan ke kelas.

Mereka bertiga mulai mengatur meja mereka, menata buku-buku teks yang sudah usang, pena-pena yang tercecer, dan alat tulis yang akan menjadi kenang-kenangan. Dwiki membuka buku kenangan yang dibawa Rania, sebuah buku kecil dengan sampul karton biru yang dihias stiker bunga, dan membaca pesan yang sudah ditulis Rania di halaman pertama: “Dwiki, jangan lupa ajak aku ke hutan belakang kalau kita besar nanti, ya! Kita cari burung lagi!” Di sampingnya, Bayu menulis dengan tulisan acak yang khas, “Kita harus main bola lagi suatu hari, ya, kapten! Jangan lupa aku!” Kata-kata itu membuat Dwiki tersenyum tipis, tetapi dadanya terasa sesak, menyadari bahwa setelah hari ini, pertemuan mereka akan bergantung pada jadwal yang tak pasti.

Acara perpisahan dimulai pukul 14:00 WIB di halaman sekolah, di bawah pohon sawo tua yang cabangnya melindungi mereka dari panas matahari sore yang mulai terik. Dekorasi kertas warna-warni—merah, kuning, dan hijau—yang mereka buat bersama seminggu lalu menjuntai dari tali yang direntangkan antara pohon dan tiang bendera, lengkap dengan spanduk bertuliskan “Selamat Jalan Kelas 6” yang ditulis tangan oleh Rania dengan tinta hitam yang sedikit luntur karena hujan pagi. Guru-guru, termasuk Bu Sari yang mengenakan kebaya sederhana, dan siswa-siswa dari kelas lain berkumpul, beberapa di antaranya membawa bunga liar yang dipetik dari tepi sawah atau hadiah kecil seperti permen untuk diberikan kepada teman sekelas. Bu Sari membuka acara dengan pidato yang penuh emosi, suaranya lembut namun bergetar, “Anak-anakku, kalian telah tumbuh dari kecil di sini, belajar saling mendukung dan saling mengasihi. Jaga kenangan ini sebagai kekuatan kalian di masa depan, karena persahabatan sejati tak akan pernah hilang,” katanya, matanya berkaca-kaca saat menatap kelas yang telah menjadi keluarganya selama enam tahun.

Dwiki duduk di barisan depan bersama Rania dan Bayu, tangannya gemetar memegang buku kenangan yang kini penuh tanda tangan teman-teman sekelas, lengkap dengan gambar-gambar lucu yang mereka coret bersama. Penampilan seni mengisi hari itu, dimulai dengan Bayu yang memainkan drum sederhana yang ia pinjam dari kakak kelas, jari-jarinya bergerak lincah dengan semangat meskipun ritmenya agak kacau, memancing tawa dari penonton. Rania mengikuti dengan menyanyikan lagu “Bintang Kecil” dengan suara manis yang lembut, membuat beberapa anak kecil dari kelas bawah menatapnya dengan kagum, sementara Dwiki menutup dengan membacakan puisi yang ia tulis semalam, berjudul “Aku dan Sahabat”, baris-barisnya menggambarkan perpisahan yang penuh haru dan kenangan masa kecil, suaranya memenuhi udara dengan emosi mentah yang membuat Bu Sari dan beberapa teman menitikkan air mata.

Setelah acara, mereka berkumpul di bawah pohon sawo untuk foto bersama. Pak Joko, ayah Dwiki yang kebetulan lelet dari pasar, meminjamkan kameranya kepada Bu Sari untuk memotret, dan momen itu dipenuhi dengan pelukan erat, tangisan kecil, dan tawa yang dipaksakan. Dwiki memeluk Rania dan Bayu sekuat tenaga, merasakan kehangatan tubuh mereka yang mungkin tak akan ia rasakan lagi setiap hari, aroma sabun colek dari pakaian Bayu dan minyak kelapa dari rambut Rania bercampur di udaranya. “Aku takut kita tak akan bertemu lagi,” bisik Dwiki, suaranya parau dan hampir hilang di tengah suara angin sore. Rania tersenyum sambil menyeka air matanya, “Kita janji ketemu di libur, ya, di bawah pohon ini!” katanya, sementara Bayu mengangguk antusias, “Iya, kapten! Kita buat turnamen bola lagi!”

Saat senja turun, warna oranye dan ungu memenuhi langit, dan suara adzan maghrib terdengar dari masjid di kejauhan, Dwiki berdiri di bawah pohon sawo, memandangi Rania yang berjalan bersama ibunya menuju angkot, dan Bayu yang melambai sambil mengayuh sepeda tua milik ayahnya. Ia merasa seperti ada bagian dari hatinya yang pergi bersamanya, sebuah kekosongan yang ia coba isi dengan menggenggam buku kenangan itu erat-erat. Malam itu, di kamarku yang sederhana dengan dinding plester yang sedikit retak dan lampu minyak yang berkedip-kedip, Dwiki duduk di dekat jendela dengan buku kenangan terbuka di pangkuannya. Ia mengambil pensil yang sudah tumpul dan mulai menggambar sketsa pohon sawo dengan detail—cabang-cabangnya yang melengkung, kelopak yang jatuh, dan tiga sosok kecil di bawahnya yang mewakili dirinya, Rania, dan Bayu. Di bawah gambar, ia menulis dengan huruf kecil yang agak gemetar: Suara lonceng di hari pamitan membawa kenangan masa kecil yang indah, tapi juga luka yang tak bisa disembunyikan. Ia menatap langit melalui jendela yang sedikit terbuka, bintang-bintang berkelap-kelip di kejauhan, dan bertanya-tanya apakah persahabatan mereka akan bertahan melawan waktu dan jarak yang akan segera memisahkan mereka. Di luar, angin malam bertiup pelan, membawa bisikan kenangan yang perlahan memudar, meninggalkan kesunyian yang hanya bisa ia isi dengan harapan tipis.

Echo Tawa di Kelas Sepi

Pagi hari Rabu, 02 Juli 2025, pukul 01:30 WIB, membawa kabut tipis ke Sekolah Dasar Nusantara Harapan, menyisakan jejak embun di rerumputan halaman sekolah dan tetesan air hujan semalam yang masih menempel di daun-daun sawo tua. Cahaya matahari yang redup menyelinap ke dalam kelas 6B, menerangi debu yang beterbangan di udara dan menyoroti dinding-dinding yang kini hampir kosong, hanya menyisakan satu atau dua gambar yang masih menempel dengan ujung yang menggulung. Dwiki Ardhana duduk sendirian di bangku kayunya yang sudah usang, jarinya dengan hati-hati menyentuh goresan awal di permukaan meja yang bertuliskan “D, R, B” — inisial yang ia ukir bersama Rania Putriani dan Bayu Santoso saat kelas 4, tanda persahabatan yang tak ternilai selama enam tahun terakhir. Ruangan itu sepi, tanpa tawa atau bisik-bisik yang biasanya memenuhinya selama jam istirahat, hanya suara derit kursi tua yang bergoyang pelan akibat angin dari jendela yang sedikit terbuka.

Dwiki kembali ke sekolah pagi ini dengan hati berat, tujuannya mengambil rapor dan mengucapkan selamat tinggal terakhir pada kelas yang telah menjadi rumahnya selama enam tahun penuh tantangan, tawa, dan air mata. Hari kemarin, perpisahan di bawah pohon sawo meninggalkan bekas mendalam di jiwanya—pelukan erat yang penuh emosi, janji untuk tetap terhubung melalui surat atau kunjungan, dan rasa kehilangan yang mulai merayap ke dalam hatinya seperti bayangan malam. Kini, kelas terasa seperti cangkang kosong, mencerminkan hati Dwiki yang mulai merasa kesepian, setiap sudut ruangan mengingatkannya pada momen bersama Rania dan Bayu—teman-teman yang telah menjadi keluarganya di sekolah, dari hari-hari bermain hujan hingga malam belajar bersama menjelang ujian.

Pintu kelas yang berderit terbuka perlahan, mengganggu keheningan, dan Rania masuk dengan senyum kecil yang penuh perasaan, membawa tas anyaman yang sedikit compang-camping, di dalamnya tersimpan kue ubi rebus hangat yang dibuat ibunya untuk dibagikan sebagai kenang-kenangan. “Dwiki! Aku kira aku terakhir di sini,” katanya lembut, meletakkan tas di meja terdekat dengan hati-hati. Di belakangnya, Bayu menyusul dengan langkah ceria, membawa bola karet tua yang sudah lusuh tetapi masih utuh, lengkap dengan bekas noda lumpur dari permainan kemarin sore. “Aku bawa bola, kita main sekali lagi sebelum pergi, ya!” seru Bayu, meletakkan bola di lantai dengan suara gedebuk yang menggema di kelas kosong.

Mereka bekerja bersama dalam sunyi yang nyaman, mengemas buku-buku tua yang penuh coretan dan catatan, menghapus debu dari papan tulis dengan lap yang sudah lusuh, dan menyusun alat tulis yang tercecer di lantai. Dwiki menemukan penghapus kecil milik Rania yang hilang sejak bulan lalu di bawah mejanya, sementara Bayu mengeluarkan secarik kertas lipat yang ternyata sketsa lucu yang ia gambar saat pelajaran IPA—gambar dirinya, Dwiki, dan Rania mengenakan topi astronaut yang konyol. Mereka tertawa kecil, suara tawa itu memenuhi ruangan untuk sesaat, tetapi cepat memudar, digantikan oleh kesadaran akan perpisahan yang semakin nyata dan tak terelakkan.

Mereka duduk di bangku yang sama seperti biasanya, berbagi kue ubi yang masih hangat, rasa manisnya membawa kenangan hari-hari mereka membeli jajanan di kantin sekolah. Mereka bernostalgia dengan cerita-cerita yang telah menjadi bagian dari hidup mereka selama enam tahun terakhir. Bayu mengingat saat mereka tersesat di hutan belakang sekolah saat mencari sarang burung selama kegiatan alam, tertawa pada bagaimana Rania dengan tenang memimpin mereka kembali meski ia sendiri takut pada serangga, sementara Dwiki panik mencari jalan keluar dengan peta yang sudah sobek. Rania menambahkan kenangan malam belajar di kelas menjelang ujian akhir semester, di mana mereka tertidur di lantai yang dingin setelah berjam-jam mengerjakan soal, hanya untuk dibangunkan oleh tawa lembut Bu Sari yang membawa teh hangat dan kue untuk mereka. Dwiki ikut bercerita tentang hari hujan deras saat mereka bermain di genangan air, sepatu mereka becek dan celana basah, tetapi tawa mereka menggema hingga petugas kebersihan marah.

Tawa mereka bergema di ruang kosong, manis namun pahit, mengingatkan pada ikatan yang akan segera terputus oleh jarak dan waktu yang berbeda. Rania membuka buku kenangan yang mereka isi kemarin, membaca pesan yang ditulis teman-teman satu per satu dengan suara yang bergetar saat mencapai puisi Dwiki yang berjudul “Aku dan Sahabat”. “Ini bagus banget, Dwiki,” katanya, air matanya jatuh ke halaman, meninggakan noda kecil di tinta. Dwiki mengangguk, mengambil sketsa yang ia gambar semalam—pohon sawo dengan tiga sosok kecil di bawahnya, masing-masing memegang benda yang mewakili mereka: bola untuk Bayu, buku untuk Rania, dan pensil untuk dirinya. “Ini buat kita,” katanya lembut, membagikan salinan kecil kepada mereka. Bayu menyimpannya di saku celananya dengan bangga, sementara Rania memeluknya erat seolah tak ingin melepaskannya.

Saat lonceng sekolah berbunyi untuk terakhir kalinya, suaranya terdengar lebih lambat dan murung dari biasanya, mereka berjalan keluar menuju halaman sekolah, tempat pohon sawo berdiri tegak menantang angin. Udara dipenuhi aroma tanah basah dari hujan semalam, dan suara petani yang bernyanyi di kejauhan terdengar samar, menambah kesan mendalam pada momen itu. Mereka berdiri dalam lingkaran kecil, memegang tangan satu sama lain, dan membuat pakta untuk bertemu lagi suatu hari, mungkin di bawah pohon sawo yang sama, sebagai remaja dengan cerita baru untuk dibagikan. “Kita janji ketemu di libur, ya?” kata Rania, suaranya penuh harap. Bayu mengangguk, “Iya, kapten! Kita buat tenda lagi!” Janji itu terasa rapuh, tetapi mereka mengucapkannya dengan keyakinan, harapan kecil di tengah kesedihan yang menyelimuti.

Kembali di kamarnya malam itu, dikelilingi oleh dinding plester yang sedikit retak dan lampu minyak yang berkedip-kedip, Dwiki duduk di dekat jendela dengan sketsa di pangkuannya. Ia menambahkan detail kecil pada gambar—bayangan bulan di atas pohon dan tetesan air hujan di daun—lalu menulis di bawahnya dengan huruf kecil yang rapi: Echo tawa di kelas sepi membawa kenangan yang hangat, tapi juga luka yang dalam di hati. Lampu kota berkelap-kelip di kejauhan, dan saat ia menatap bintang-bintang melalui celah jendela, ia merasa campuran harapan dan kerinduan, bertanya-tanya apakah ikatan mereka akan bertahan melawan ujian waktu yang akan datang.

Bayang Masa Kecil di Hari Terakhir

Pagi hari Kamis, 03 Juli 2025, pukul 01:31 WIB, hujan ringan turun di Sekolah Dasar Nusantara Harapan, membasahi halaman sekolah yang licin dan jendela kelas 6B yang sedikit berderit saat angin bertiup masuk. Dwiki Ardhana duduk sendirian di meja favoritnya, sketsa yang ia gambar semalam terbuka di depannya, kertasnya sedikit bergoyang akibat tetesan air yang masuk melalui celah jendela. Ia kembali ke sekolah untuk membantu merapikan kelas sebagai bagian dari tugas terakhir sebelum sekolah resmi ditutup untuk libur panjang, hati berat membawa buku kenangan yang tebal dan gelang anyaman sederhana yang dibuat Rania sebagai hadiah perpisahan. Ruangan itu kosong, hanya suara tetesan air dari kebocoran kecil di sudut mengganggu keheningan, menciptakan ritme yang selaras dengan perasaan duka yang mulai mengisi dadanya.

Dwiki memulai tugasnya dengan hati-hati, mengemas buku-buku pelajaran yang penuh catatan dan sketsa, menyusun pena-pena yang tercecer, dan menghapus debu dari rak buku yang sudah tua dan penuh goresan. Pikirannya melayang pada momen-momen bersama Rania Putriani dan Bayu Santoso—waktu mereka berbagi makan siang di kantin dengan membawa bekal nasi uduk dari rumah, tertawa pada kecepatan Bayu yang selalu menghabiskan makanannya lebih dulu, atau saat Rania dengan sabar mengajarinya membaca puisi yang ia temukan di perpustakaan sekolah. Pintu terbuka perlahan, dan Rania masuk dengan senyum kecil, membawa kotak kardus dan sapu tua, rambut pendeknya basah oleh hujan. “Dwiki, aku bantu ya,” katanya, meletakkan barangnya di lantai dengan hati-hati. Di belakangnya, Bayu muncul, langkahnya ceria sambil memegang ember dan lap, matanya sedikit sembab menunjukkan ia baru saja menangis di perjalanan.

Mereka bekerja bersama dalam sunyi yang penuh makna, mengemas barang-barang dengan hati-hati seolah tak ingin mengganggu kenangan yang tersimpan di setiap sudut ruangan. Rania berbisik, “Aku takut kita akan berubah, Dwiki, jadi orang asing suatu hari nanti,” suaranya penuh keraguan dan sedikit gemetar. Dwiki memegang tangannya erat, “Kita harus janji untuk tetap hubungan, apa pun yang terjadi,” katanya dengan nada tegas yang mencoba menutupi ketakutannya sendiri. Mereka mengikat janji dengan jempol yang saling bertaut, ritual sederhana yang terasa sakral di tengah suasana perpisahan yang menyayat hati. Bayu, yang sedang menyapu lantai, menoleh dan tersenyum, “Aku janji bakal kirim bola baru kalau aku punya uang!”

Mereka memutuskan untuk mengambil jalan terakhir mengelilingi sekolah, langkah mereka pelan di atas tanah yang basah dan licin. Mereka mengunjungi kantin, di mana aroma bakso dan teh hangat masih tercium samar dari dapur kecil, membangkitkan kenangan makan bersama saat istirahat dengan uang jajan pas-pasan. Lalu ke lapangan, tempat mereka pernah bermain voli hingga sore hingga kaki mereka penuh lumpur, dan perpustakaan kecil yang penuh bau kertas tua, di mana mereka sering bersembunyi dari tugas untuk membaca komik bersama. Di bawah pohon sawo, mereka berhenti, menatap inisial yang mereka ukir di batang pohon—“D, R, B”—sebuah tanda perjalanan mereka yang tak ternilai selama enam tahun. Bayu mengeluarkan pisau lipat kecil dari sakunya, menambahkan lingkaran kecil di sekitar inisial itu, katanya, “Ini buat kita selamanya, ya!”

Tiba-tiba, langkah Bu Sari terdengar di kejauhan, cahaya senternya menyelinap melalui hujan yang semakin deras. “Anak-anak, apa yang kalian lakukan di sini?” tanyanya dengan nada tegas yang segera melunak saat melihat wajah mereka yang basah oleh air mata dan hujan. Ia mendekat, duduk di rumput basah bersama mereka meskipun kebaya hijaunya kotor, dan berbagi cerita tentang perpisahan kelasnya dulu, bagaimana ia menangis semalaman dan menemukan kekuatan dari kenangan teman-temannya. “Jangan takut berpisah,” katanya, “kenangan ini akan selalu membawa kalian kembali.” Ia mengeluarkan tiga liontin sederhana dari tasnya, masing-masing bertuliskan inisial mereka—D, R, dan B—sebagai hadiah terakhir dari guru yang telah menjadi ibu kedua bagi mereka.

Saat lonceng sekolah berbunyi untuk terakhir kalinya, suaranya terdengar seperti dendam panjang yang memecah keheningan, mereka berpisah dengan pelukan panjang yang penuh emosi. Bayu melambai sambil berjalan ke arah sepedanya, Rania menoleh sekali lagi sebelum masuk ke dalam payung ibunya, dan Dwiki berdiri di bawah atap sekolah, liontin di lehernya terasa hangat menempel di kulitnya. Malam itu, di kamarnya dengan lampu minyak yang redup, ia menulis di jurnalnya: Bayang masa kecil di hari terakhir membawa luka yang dalam, tapi juga harapan kecil untuk bertemu lagi.

Janji di Bawah Pohon Sawo

Malam Jumat, 04 Juli 2025, pukul 01:32 WIB, desa diselimuti ketenangan yang dalam, bulan purnama menerangi langit dengan cahaya perak yang lembut dan memantul di genangan air hujan di halaman sekolah. Dwiki Ardhana menyelinap keluar dari rumahnya, sandal jepitnya berderit pelan di jalan setapak berbatu yang licin, membawa lentera kecil yang gemerlapan dan buku kenangannya yang tebal di tangan. Jantungnya berdetak kencang, campuran kegembiraan dan ketakutan, karena ia telah sepakat dengan Rania dan Bayu untuk bertemu di bawah pohon sawo untuk membuat kenangan terakhir sebelum perpisahan benar-benar terjadi. Udara malam membawa aroma tanah basah, bunga kertas, dan rumput liar, menambah kesan mistis pada petualangan rahasia ini.

Tiba di halaman sekolah, ia menemukan Rania sudah di sana, duduk di akar pohon sawo yang menonjol, rambut pendeknya berkilauan di bawah cahaya bulan sambil memegang termos kecil. “Dwiki! Cepat, Bayu udah deket!” bisiknya keras, melambai dengan tangan yang sedikit gemetar. Beberapa detik kemudian, Bayu muncul dari balik pagar, langkahnya ceria meski sedikit terhuyung karena sandal basah, membawa kantong plastik berisi roti tawar yang dibungkus daun pisang. “Aku takut ketahuan sama Bapak,” katanya dengan senyum gugup, bergabung dengan mereka di rumput yang dingin dan basah.

Mereka duduk dalam lingkaran kecil di bawah pohon sawo, membuka termos dan menuang teh hangat ke cangkir plastik yang dibawa Rania, uap hangatnya naik ke udara malam yang sejuk dan menusuk kulit mereka. Untuk sesaat, mereka hanya mendengarkan suara daun yang bergoyang ditiup angin dan jangkrik yang bernyanyi di semak-semak, menikmati keheningan yang penuh makna dan membawa mereka kembali ke hari-hari bermain tanpa beban. “Ini kayak petualangan terakhir kita,” kata Bayu, suaranya lembut namun penuh emosi, matanya menatap bulan dengan penuh harap sambil menggenggam roti di tangannya. Rania mengangguk, membuka buku catatannya yang kecil, dan membaca puisi yang ia tulis tentang persahabatan mereka, suaranya bergetar saat mencapai baris terakhir yang berbunyi, “Teman sejati tak pernah hilang, walau jarak memisahkan.”

Dwiki mengeluarkan sketsa terbarunya dari buku kenangannya, menunjukkan gambar pohon sawo di bawah cahaya bulan dengan tiga sosok kecil yang saling berpegangan tangan, masing-masing memegang benda yang mewakili mereka: bola untuk Bayu, buku untuk Rania, dan pensil untuk dirinya. “Ini buat kita,” katanya, merobek kertas menjadi tiga bagian yang sama dan memberikan satu untuk masing-masing. Bayu menyimpannya di saku celananya dengan hati-hati, tertawa kecil saat melipatnya rapi, sementara Rania memeluknya erat seolah tak ingin melepaskannya, air matanya berkilau di bawah cahaya bulan yang lembut. Mereka berbagi cerita tentang masa depan—Bayu tentang mimpinya menjadi petani sukses seperti ayahnya, Rania tentang rencananya menjadi guru, dan Dwiki tentang cita-citanya menjadi dokter yang membantu desa. Setiap kata memperdalam ikatan mereka, tetapi juga mempertegas rasa sakit perpisahan yang tak bisa dihindari.

Tiba-tiba, langkah kaki mendekat dari arah pintu gerbang, dan cahaya senter kecil menyelinap melalui pepohonan yang basah. “Anak-anak, apa yang kalian lakukan?” suara Bu Sari terdengar, nada tegasnya segera melunak saat ia melihat wajah mereka yang basah oleh air mata dan embun malam. Ia mendekat, duduk di rumput bersama mereka meskipun kebaya putihnya kotor oleh lumpur, dan berbagi cerita tentang perpisahan kelasnya dulu, bagaimana ia menangis semalaman di bawah pohon serupa dan menemukan kekuatan dari kenangan teman-temannya. “Jangan takut berpisah,” katanya, “kenangan ini akan selalu membawa kalian kembali, seperti angin yang membawa aroma desa.” Ia mengeluarkan kotak kecil dari tasnya, di dalamnya ada tiga kalung tali dengan liontin kayu yang ia ukir sendiri, masing-masing bertuliskan inisial mereka—D, R, dan B—sebagai hadiah terakhir dari guru yang telah menjadi ibu kedua bagi mereka.

Terinspirasi oleh kehangatan Bu Sari, mereka memutuskan membuat kapsul waktu untuk menjaga kenangan mereka. Dengan kotak kaleng tua yang ditemukan Bayu di tasnya, mereka mengisi dengan sketsa Dwiki, puisi Rania, bola karet kecil Bayu, dan benda-benda kecil lainnya—kancing dari seragam Rania, koin lama milik Bayu, dan kelopak sawo kering dari Dwiki. Mereka menguburkan kotak itu di bawah pohon sawo, menandainya dengan batu besar yang mereka angkat bersama, dan berjanji kembali dalam sepuluh tahun untuk membukanya bersama sebagai tanda persahabatan mereka yang abadi. Tindakan itu terasa seperti jembatan menuju masa depan, janji yang terukir di bumi dan di hati mereka.

Saat jam di lentera menunjukkan tengah malam, mereka berpelukan erat, air mata mereka bercampur dengan tawa kecil yang muncul di sela-sela isak. Bayu berteriak ke langit, “Kita janji, ya, kapten!” sementara Rania berdoa pelan untuk kebahagiaan mereka bertiga. Dwiki berdiri kembali, menatap teman-temannya yang perlahan berpisah ke dalam kegelapan malam, perasaan cinta dan harapan memenuhi hatinya seperti cahaya bulan yang menerangi jalan pulang. Di kamarnya malam itu, dengan liontin kayu di lehernya, ia menulis di jurnalnya dengan tangan yang sedikit gemetar: Janji di bawah pohon sawo membawa harapan baru, menutup masa kecil dengan mimpi yang tak pernah padam. Bintang-bintang berkelap-kelip di luar jendela, dan ia tahu, meski jarak memisahkan, ikatan mereka akan tetap utuh, terjaga oleh janji yang mereka tanam di bawah pohon tua itu.

Perpisahan Kelas 6: Kenangan di Ujung Masa Kecil menghadirkan kisah perpisahan yang membawa kita kembali ke kenangan masa kecil, mengubah luka kehilangan menjadi harapan melalui janji di bawah pohon sawo. Cerita Dwiki dan teman-temannya akan menginspirasi Anda untuk menghargai persahabatan dan mengejar mimpi masa depan.

Terima kasih telah menyelami keindahan cerita Perpisahan Kelas 6: Kenangan di Ujung Masa Kecil. Tetap temani kami untuk kisah-kisah emosional lainnya, dan sampai bertemu di petualangan mendatang!

Leave a Reply