Daftar Isi
Kamu pernah nggak sih ngerasain cinta yang manis tapi malah jadi perpisahan yang pahit? Cerita ini tentang Kiran dan Dara, dua orang yang pernah saling mencintai, tapi kadang cinta itu nggak cukup buat bikin semuanya baik-baik aja.
Di bawah hujan senja, mereka harus rela melepaskan satu sama lain, meskipun hati rasanya udah hancur banget. Cerita ini bakal bikin kamu ingat sama kenangan manis yang akhirnya jadi luka. Siapin tisu, karena bakal ada banyak emosi yang nggak bisa ditahan!
Perpisahan di Bawah Hujan Senja
Hujan Pertama di Senja Itu
Langit senja itu gelap. Tidak ada lagi warna oranye yang biasanya menyelimuti langit, hanya kelabu yang meluas tanpa henti. Hujan mulai turun perlahan, seperti perasaan yang ingin disembunyikan—gagal ditahan, tapi tetap ada. Kiran berdiri di bawah pohon besar di tepi jalan, membiarkan hujan membasahi wajahnya, mencampur air mata yang tak terlihat.
Dia menunggu. Entah menunggu apa, atau siapa, ia tidak tahu. Namun, di tengah keheningan yang hampir menyesakkan itu, suara langkah kaki terdengar jelas. Langkah yang sudah dikenalnya sangat baik. Langkah itu milik Dara. Dara, yang telah menemani setiap hari Kiran sejak mereka pertama kali bertemu—sejak hari-hari penuh kebahagiaan yang tidak akan pernah bisa terlupakan.
Dara muncul di ujung jalan, payung biru besar di tangannya yang sudah mulai basah. Ada sesuatu yang berbeda malam ini. Mungkin karena hujan yang turun lebih deras dari yang diperkirakan, atau karena senja itu memang terasa berbeda. Dara terlihat sedikit canggung, ada yang hilang dari tatapan matanya yang biasanya penuh kehidupan.
“Kiran,” Dara memanggil dengan suara pelan, hampir seperti bisikan angin yang dibawa hujan.
Kiran tidak langsung menjawab. Dia tetap memandangi Dara, mencoba menahan dirinya agar tidak menunjukkan apa yang sebenarnya dia rasakan. Dia sudah tahu, sejak lama, pembicaraan ini akan datang. Cuma saja, hatinya belum siap. Tak pernah siap.
“Aku nggak tahu harus mulai dari mana,” Dara melanjutkan sambil mendekat. “Tapi… aku harus bicara sama kamu.”
Kiran menatapnya, bibirnya tersenyum tipis, tapi itu bukan senyuman yang biasa. Senyuman itu terasa kaku, seperti ada sesuatu yang terkunci di dalamnya—sesuatu yang tidak bisa diungkapkan.
“Kamu pasti punya sesuatu yang penting, kan?” Kiran bertanya, suaranya agak bergetar. Ia berusaha terdengar biasa, seperti tidak ada yang terjadi. Tapi dalam hatinya, ada ketegangan yang semakin kuat. Semua yang sudah mereka lewati, semua kenangan, semuanya terasa rapuh, seolah bisa pecah kapan saja.
Dara menghela napas dalam-dalam, matanya menatap Kiran dengan penuh arti. “Kiran, aku… aku harus pergi,” kata Dara akhirnya, dengan suara yang hampir tidak terdengar di tengah suara hujan yang semakin deras.
Kiran tidak langsung menjawab. Kata-kata itu seperti petir yang menyambar tanpa peringatan. Ia tahu ini akan datang, tapi mendengarnya langsung dari mulut Dara terasa seperti menghantamnya tanpa ampun. Hatinya serasa terhimpit, dan sekejap dunia seperti berhenti berputar.
“Kamu… mau pergi ke mana?” Kiran bertanya, meskipun jawabannya sudah jelas. Itu adalah pertanyaan yang tidak seharusnya ia tanyakan, karena jawabannya sudah ada dalam setiap tatapan Dara.
Dara menunduk. Rambutnya yang basah oleh hujan menutupi sebagian wajahnya. “Aku harus melanjutkan hidup aku, Kiran. Aku nggak bisa lagi tinggal di sini. Aku harus mengejar apa yang selama ini aku impikan, dan itu nggak ada di sini,” katanya dengan suara yang penuh kepedihan.
Kiran merasa sesak. Seperti ada benda berat yang menekan dadanya. Dia ingin berteriak, bertanya kenapa, atau mungkin meminta Dara untuk tetap tinggal. Namun, mulutnya terkunci, dan perasaannya yang tertahan terlalu banyak untuk diungkapkan.
“Aku nggak tahu harus gimana,” Dara melanjutkan, langkahnya semakin mendekat. “Aku tahu ini berat buat kamu, dan aku juga… nggak mau kamu merasa tersakiti. Tapi ini yang terbaik, Kiran. Untuk aku. Untuk kita.”
Setiap kata Dara seolah menambah berat beban yang sudah lama ada di hati Kiran. Semua kenangan manis yang mereka rajut bersama—mereka yang dulu tak terpisahkan, kini harus diakhiri begitu saja. Dia ingin berlari, menyusul Dara, meminta agar semuanya bisa berbeda. Tapi dia tahu itu tidak mungkin. Waktu tidak bisa diputar kembali, dan keputusan itu sudah terambil.
“Dara…” Kiran memanggilnya dengan lembut, suara itu hampir tenggelam dalam derasnya hujan. “Aku nggak tahu kenapa harus kayak gini. Tapi kalau itu yang terbaik buat kamu… aku cuma bisa bilang, aku bakal selalu ingat kamu.”
Dara terdiam beberapa detik, seperti mencerna setiap kata Kiran. Kemudian dia melangkah lebih dekat, menatap Kiran dengan tatapan yang penuh rasa sayang, meskipun ada jarak yang mulai menganga di antara mereka.
Kiran memaksakan dirinya tersenyum. Dia tahu senyum itu tidak bisa menutupi betapa hancurnya hatinya saat ini. “Selalu jaga diri kamu, ya. Kalau nggak ada aku di sini, kamu harus bisa.”
Dara menarik napas panjang, lalu memeluk Kiran dengan lembut. Itu adalah pelukan yang penuh perasaan. Pelukan yang Kiran tahu, mungkin ini adalah pelukan terakhir mereka.
“Aku nggak akan pernah lupa, Kiran,” Dara berbisik, dan air mata yang tadi ia tahan akhirnya mulai jatuh. “Aku akan selalu ingat kamu, selalu. Kamu bagian terbaik dari hidup aku.”
Kiran memeluknya erat, tapi hati Kiran terasa seperti sudah kehilangan bagian dari dirinya. “Aku juga, Dara. Aku juga…” jawabnya, suaranya hampir terhenti.
Mereka berdua terdiam sejenak, hanya terdengar hujan yang semakin deras. Dara perlahan melepaskan pelukan itu, dan langkahnya mundur sedikit demi sedikit. Kiran menatapnya pergi, dengan perasaan yang tidak bisa dijelaskan—kosong, sesak, dan hancur.
Dara melangkah mundur, pergi menjauh, sampai akhirnya hanya ada siluetnya yang memudar dalam hujan yang semakin lebat. Kiran tetap berdiri di tempat yang sama, tidak bergerak, hanya memandang ke arah Dara yang sudah hilang dari pandangannya.
Hujan terus turun, dan senja itu tetap gelap.
Kenangan yang Tersisa
Kiran masih berdiri di tempat yang sama, hujan yang semula menenangkan kini terasa semakin deras, seolah langit ikut merasakan perpisahan itu. Dia tidak tahu sudah berapa lama ia berdiri di bawah pohon besar itu, tidak peduli dengan tubuh yang basah kuyup atau kaki yang mulai kedinginan. Waktu seakan terhenti sejak Dara pergi, meninggalkan jejak yang sulit dihapuskan.
Ketika hujan mulai reda, Kiran akhirnya berjalan perlahan meninggalkan tempat itu. Langkahnya terasa berat, namun tubuhnya seolah dipaksa untuk terus maju. Beberapa langkah lebih jauh, dia menoleh ke belakang. Pohon itu, tempat yang dulu mereka sering duduki bersama, kini hanya tampak sunyi dan kosong. Tidak ada Dara di sana. Tidak ada tawa, tidak ada kata-kata hangat yang dulu mereka ucapkan. Hanya ada keheningan yang menggema di hatinya.
Seminggu berlalu sejak malam itu, tapi rasanya waktu tidak berjalan seperti biasa. Setiap tempat yang dia kunjungi mengingatkannya pada Dara. Kedai kopi yang mereka sering kunjungi, taman tempat mereka berdua duduk sambil berbicara tentang masa depan, semuanya terasa hampa tanpa keberadaan Dara di sisinya. Setiap sudut kota ini seperti menyimpan kenangan mereka, kenangan yang sekarang terbungkus dalam kesedihan yang menyeliputi setiap langkahnya.
Pagi itu, Kiran duduk di bangku taman yang dulu sering mereka tempati. Tanpa sadar, matanya menatap ke arah kursi kosong di sebelahnya. Tempat itu seakan menanti, berharap Dara akan muncul kembali dan duduk di sampingnya, seperti yang selalu terjadi dulu. Namun kursi itu tetap kosong, dan Kiran tahu, itu adalah kenyataan yang harus ia terima.
Pikirannya melayang pada hari-hari yang sudah berlalu. Kiran teringat ketika pertama kali mereka bertemu—Dara yang ceria, selalu penuh tawa, dan seolah hidupnya tak pernah kekurangan warna. Dia ingat bagaimana Dara selalu membuatnya merasa nyaman dengan kehadirannya, bahkan ketika Kiran sendiri merasa ragu dan terjebak dalam dunia yang penuh kebingungan. Dara selalu ada untuknya, memberi semangat di saat-saat terburuk, menenangkan saat dia merasa cemas dan tidak tahu harus berbuat apa.
Tapi kini, semua itu hanya tinggal kenangan. Kiran merasakan sesuatu yang berat di dadanya. Kenangan-kenangan itu semakin membebani, tak bisa dilupakan, dan tidak mungkin kembali. Waktu yang terus berjalan semakin membuatnya sadar bahwa Dara tidak akan kembali lagi.
Kiran menarik napas panjang dan memejamkan mata sejenak. Ketika membuka matanya, dia melihat sebuah kertas kecil yang terjatuh dari dalam saku jaketnya. Kertas itu, yang sebenarnya telah lama dia simpan, mengingatkannya pada kata-kata yang pernah ditulis Dara beberapa bulan lalu—sebuah surat yang tertulis dengan tangan Dara yang begitu indah, penuh harapan dan impian tentang masa depan mereka berdua.
Dia membuka surat itu perlahan, membacanya sekali lagi, meski kata-kata itu sekarang terasa berbeda.
“Kiran,
Kadang aku berpikir, apakah kita bisa selalu bersama, mengarungi segala hal yang ada di depan kita? Aku tahu perjalanan hidup nggak selalu mudah, dan aku nggak akan janji akan selalu ada di sini. Tapi aku ingin kamu tahu, kalau aku selalu ada untuk kamu. Kamu adalah orang yang membuat aku merasa di rumah. Aku nggak tahu apa yang akan terjadi di masa depan, tapi aku ingin kita berjuang bersama. Jangan pernah takut untuk bermimpi, karena kamu selalu punya aku yang akan menemani.”
Tangan Kiran menggigil saat membaca surat itu. Air mata yang ditahannya sejak perpisahan itu akhirnya jatuh juga. Dara yang dulu begitu penuh harapan dan percaya pada masa depan mereka, kini sudah pergi. Dan Kiran, yang dulu merasa segalanya mungkin, sekarang harus belajar menerima kenyataan bahwa tidak semua mimpi bisa terwujud.
Ketika Kiran meletakkan surat itu kembali ke dalam sakunya, matanya menatap ke langit yang perlahan mulai mendung lagi. Hujan mungkin akan turun lagi, seperti hujan senja yang terakhir kali mereka rasakan bersama.
Namun, ada sesuatu yang berbeda. Kiran merasa, meskipun Dara telah pergi, kenangan mereka tidak akan pernah hilang. Meskipun tubuh Dara tidak lagi di sini, hatinya masih ada di setiap bagian dari hidupnya. Dara telah memberikan banyak hal dalam hidupnya—kenangan indah, pelajaran berharga, dan yang lebih penting, cinta yang tak pernah benar-benar bisa hilang.
Dia bangkit dari bangku taman itu dan melangkah pelan. Setiap langkahnya terasa seperti perpisahan yang tidak pernah selesai. Mungkin itu benar—perpisahan yang tidak pernah benar-benar ada akhir. Tapi yang pasti, Kiran tahu satu hal: dia tidak akan pernah lupa Dara. Dan di setiap hujan yang turun, ia akan selalu mengingat kenangan itu, kenangan yang akan terus hidup dalam hatinya selamanya.
Di bawah hujan yang mulai turun perlahan, Kiran merasakan sesuatu yang baru—sebuah ketenangan yang datang seiring dengan perasaan kehilangan yang menggelayuti. Mungkin, hanya mungkin, ada cara untuk melanjutkan hidup meskipun segala yang pernah ada sudah berubah.
Langkah Tanpa Dara
Pagi itu Kiran berjalan menyusuri jalanan yang familiar. Setiap langkahnya terasa terjal, seperti mendaki bukit yang tiada habisnya. Dunia di sekelilingnya masih sama, tapi baginya, semuanya terasa asing. Setiap wajah yang ia temui di sepanjang jalan, setiap suara yang terdengar, seolah berlalu tanpa makna. Dara sudah pergi, dan meskipun ia mencoba meyakinkan dirinya bahwa hidup harus tetap berjalan, tetap ada lubang besar di hatinya—sebuah kekosongan yang tak bisa diisi dengan apa pun.
Setelah kepergian Dara, Kiran mencoba untuk melanjutkan rutinitasnya, bekerja, berinteraksi dengan teman-temannya, tetapi ada sesuatu yang hilang. Sesuatu yang dulu selalu ada di setiap sudut kehidupannya. Sesuatu yang membimbingnya, memberi semangat dan membuatnya merasa bahwa hidup ini berarti. Semua itu kini telah hilang. Seperti hujan yang menghapus jejak kaki di tanah, kenangan akan Dara perlahan memudar, tapi tetap meninggalkan bekas yang dalam.
Hari-hari berlalu dengan lambat. Kiran tidak tahu harus bagaimana, apakah harus melupakan segalanya atau terus bertahan dengan kenangan itu. Dalam beberapa kesempatan, ia merasa seperti merangkak di dalam kegelapan, berusaha mencari cahaya yang sudah lama padam. Setiap malam yang ia habiskan sendirian di kamarnya, kenangan tentang Dara datang menghampiri, seperti bayangan yang tak pernah mau pergi.
Tapi suatu pagi, di tengah kesunyian yang semakin menyesakkan, Kiran mendapat sebuah pesan yang membuatnya berhenti sejenak. Itu adalah pesan dari Dara. Kiran merasa jantungnya berhenti sejenak saat melihat nama itu muncul di layar ponselnya.
Dara: “Kiran, aku tidak pernah bermaksud membuatmu merasa kehilangan seperti ini. Aku tahu, aku sudah membuat keputusan yang membuat semuanya jadi rumit, tapi aku berharap suatu hari nanti, kamu bisa memaafkanku. Aku tahu aku bukan yang terbaik untukmu, tapi aku selalu ingin kamu bahagia. Maafkan aku.”
Kiran membaca pesan itu berulang kali. Kata-kata Dara terasa begitu berat, seperti serpihan kaca yang menembus hati. Dara tidak pernah berhenti mencintainya, itu yang Kiran rasakan dari setiap kata yang tertulis. Meskipun Dara pergi, ia masih meninggalkan bagian dari dirinya di dalam pesan itu—sebuah pengakuan yang tidak bisa ia terima, namun sekaligus membuatnya merasa lebih berat.
Kiran membalas pesan itu dengan tangan yang gemetar. “Dara, kamu tidak perlu minta maaf. Kamu sudah membuat pilihanmu, dan aku harus belajar untuk menerima itu. Tapi aku tidak bisa berjanji kalau aku akan bisa melupakan semuanya. Aku akan selalu mengingatmu.”
Tapi setelah mengirimkan pesan itu, Kiran merasa seolah ada sesuatu yang berat mengganjal di tenggorokannya. Ada perasaan campur aduk—rindu, kesal, bingung. Mungkin ini adalah saat yang tepat untuk benar-benar melepaskan Dara. Tetapi bagaimana caranya jika perasaan itu masih ada? Bagaimana bisa ia menghapus kenangan indah yang telah mereka bagi?
Siang itu, Kiran memutuskan untuk pergi ke tempat yang dulu sering mereka kunjungi—taman kecil di pinggir kota yang selalu penuh dengan bunga berwarna-warni. Ia tidak berharap menemukan apa pun yang berbeda, hanya ingin merasakan sedikit kedamaian di tempat yang dulu memberi begitu banyak kenangan bahagia.
Saat tiba di taman, Kiran duduk di bangku yang pernah mereka duduki bersama. Udara terasa lebih segar dari yang ia ingat. Daun-daun pohon bergoyang tertiup angin, seolah menyambut kedatangannya. Tapi ketika ia menatap ke depan, tempat yang dulu selalu dipenuhi tawa Dara, kini terasa sunyi. Kiran bisa merasakan kehadiran Dara, meskipun hanya dalam bentuk kenangan.
Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. Kiran menutup mata, membiarkan angin menerpa wajahnya. Sesaat, dia merasakan kehangatan yang dulu sering ia rasakan saat Dara ada di dekatnya. Kenangan itu datang begitu jelas—suara tawa Dara, matanya yang cerah, senyumnya yang bisa mengubah dunia menjadi lebih baik.
Namun, dalam kedamaian itu, Kiran juga merasa sebuah pertanyaan yang tak kunjung terjawab. Apakah Dara benar-benar pergi karena dia harus mengejar kebahagiaannya? Atau ada sesuatu yang lebih dalam yang tidak pernah diungkapkan? Sesuatu yang Kiran tidak tahu.
Tiba-tiba, ponsel Kiran bergetar lagi. Sebuah panggilan masuk dari nomor yang tidak dikenalnya. Kiran ragu sejenak, tapi akhirnya ia mengangkat telepon itu.
“Hallo?” Suara di ujung telepon terdengar cemas, “Kiran? Ini aku, Dara.”
Kiran terdiam. Detak jantungnya terasa semakin cepat. Dara? Apa yang dia lakukan di sini? Kenapa dia menelepon?
“Dara?” Kiran akhirnya bisa bersuara. Suaranya hampir tidak terdengar, seperti napas yang terputus.
“Ada yang harus aku jelaskan, Kiran. Aku nggak bisa hidup dengan kebohongan ini lagi. Bisa nggak kita ketemu? Aku butuh bicara sama kamu,” suara Dara terdengar putus-putus, seperti ada sesuatu yang sedang membuatnya cemas.
Kiran menghela napas panjang. Apakah ini saatnya? Apakah ia siap untuk bertemu Dara lagi setelah semua yang terjadi? Semua perasaan itu datang bersamaan—rindu, marah, bingung.
“Apa yang ingin kamu jelaskan?” Kiran bertanya dengan suara pelan.
“Bertemu langsung, Kiran. Aku butuh itu. Aku butuh kamu mendengarkan aku,” jawab Dara, suaranya penuh dengan keraguan dan harapan.
Kiran menundukkan kepalanya, menatap tanah di bawahnya. Sejenak dia terdiam, berpikir panjang. Namun pada akhirnya, dia tahu apa yang harus ia lakukan.
“Baiklah,” jawab Kiran akhirnya. “Kita akan bertemu.”
Dia meletakkan ponselnya dan berdiri. Hujan mungkin akan turun lagi, dan mungkin itu adalah hal terbaik yang bisa terjadi—setidaknya untuk menutupi air mata yang ia rasa tak bisa lagi disembunyikan.
Namun, di balik itu semua, Kiran tahu bahwa ini adalah langkah pertama untuk menghadapinya—langkah pertama untuk menghadapi kenyataan yang selama ini ia hindari.
Di Bawah Hujan Senja
Hari yang telah lama dinanti itu tiba. Kiran berdiri di depan kafe kecil tempat mereka sepakat untuk bertemu. Hujan masih mengguyur kota, menciptakan tirai air yang menyelimuti segala sesuatu dalam kabut. Suasana kota terasa sendu, seperti sebuah lukisan yang dilukis dengan warna kelabu dan biru. Udara dingin dan basah menyentuh kulitnya, namun itu tidak bisa mengusir rasa cemas yang mengendap di dadanya.
Kiran melangkah masuk ke dalam kafe, suasana hangat langsung menyambutnya. Lampu temaram di dalam ruangan memberi kesan suram, cocok dengan perasaan yang tengah ia rasakan. Meja di sudut kafe itu telah disiapkan, dan di sana, di ujung meja, duduk Dara, tampak begitu berbeda dengan yang ia ingat. Matanya yang dulu cerah kini tampak lelah, senyumnya pun redup, seperti seseorang yang membawa beban berat yang tak bisa diungkapkan.
Kiran mendekat, setiap langkahnya terasa seperti beban yang lebih berat daripada sebelumnya. Dara menatapnya dengan mata yang penuh penyesalan, seolah mencoba mengatur kata-kata yang akan keluar dari bibirnya.
“Aku datang,” Kiran membuka percakapan, suaranya hampir tenggelam oleh dentingan hujan yang terus mengguyur.
Dara mengangguk pelan. “Aku tahu kamu pasti bingung. Maaf kalau aku membuatmu merasa seperti ini. Aku nggak tahu harus mulai dari mana.” Dara memandang ke luar jendela, memperhatikan hujan yang mengalir deras di kaca, seolah memberi ruang bagi pikirannya untuk lebih teratur.
Kiran duduk di hadapannya, menatap Dara dengan hati yang kacau. Dia ingin bertanya, ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi, apa yang membuat semuanya berubah begitu cepat, namun ada rasa takut yang menghalangi. “Kenapa, Dara?” Kiran akhirnya bertanya, suaranya hampir bisu. “Kenapa semua ini terjadi? Kenapa kamu pergi? Aku nggak pernah bisa mengerti.”
Dara terdiam lama, memandangi cangkir kopi yang ada di depannya, seperti sedang mencari keberanian dalam keheningan itu. “Kiran,” jawabnya akhirnya, “kadang kita terjebak dalam keputusan yang kita buat. Aku pikir, aku bisa menghindari kenyataan, bisa melarikan diri dari perasaan yang sebenarnya aku rasakan. Tapi semakin lama, semakin aku sadar, aku hanya melukai kamu, dan itu bukan yang aku inginkan.”
Kiran memejamkan mata, merasakan luka yang semakin dalam dengan setiap kata Dara. “Jadi, kamu meninggalkan aku karena itu? Karena kamu nggak mau melukai aku? Dara, itu bukan alasan yang aku harapkan.” Suara Kiran terdengar serak, seperti ada batu besar yang menghalangi tenggorokannya.
Dara menghela napas, matanya mulai berkaca-kaca. “Aku nggak mau kamu merasa terjebak, Kiran. Aku tahu aku mencintaimu, dan itu mungkin yang membuatku semakin merasa sulit untuk memilih. Tapi aku sadar, aku harus pergi. Karena kamu pantas bahagia, Kiran. Bukan dengan aku yang seperti ini.”
Kiran menatapnya dalam-dalam. Ada sesuatu yang berbeda di mata Dara. Ada kebesaran hati yang tak bisa ia pungkiri, tetapi itu juga yang membuatnya semakin hancur. “Kenapa baru sekarang kamu bicara tentang semua ini?” Kiran bertanya, suaranya lebih rendah dari sebelumnya.
Dara menggigit bibirnya, mencoba mengontrol air mata yang hampir jatuh. “Karena aku takut, Kiran. Aku takut kalau aku semakin dekat denganmu, aku akan semakin menyakitimu. Aku tahu, aku sudah melukai kamu jauh sebelum aku pergi.”
Hujan di luar semakin deras, seakan mengiringi percakapan mereka dengan kesedihan yang lebih dalam. Kiran merasa kepalanya berat, dan hatinya semakin terpuruk. Kenapa harus seperti ini? Mengapa segala sesuatunya harus berakhir begitu cepat?
“Aku ingin kamu tahu satu hal, Kiran,” Dara melanjutkan dengan suara yang bergetar. “Aku akan selalu mencintaimu. Itu takkan pernah berubah. Tapi aku tahu, ini saatnya kita berpisah. Bukan karena aku nggak cinta, tapi karena aku nggak ingin kamu terjebak dalam cinta yang tak bisa kita jalani.”
Setiap kata Dara seakan menambah berat beban di hati Kiran. Rasanya seperti ada sesuatu yang hancur di dalam dirinya. Semua kenangan mereka, semua yang pernah mereka rasakan bersama, tiba-tiba terasa seperti debu yang diterbangkan angin.
Kiran menundukkan kepala, berusaha mengumpulkan kekuatannya. “Aku nggak tahu apa yang harus aku katakan, Dara. Aku nggak tahu bagaimana cara melepaskanmu.”
Dara meraih tangan Kiran, menyentuhnya dengan lembut. “Kiran, aku berharap suatu hari nanti, kamu bisa memaafkanku. Dan mungkin, suatu saat kita akan menemukan jalan masing-masing untuk bahagia.”
Kiran mengangguk pelan, tetapi di dalam dirinya, ia merasa hampa. Ada kekosongan yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Hujan terus turun, dan waktu seolah melambat, memberi kesempatan bagi keduanya untuk merasakan detik-detik terakhir bersama.
“Aku akan berusaha,” Kiran akhirnya berkata, meskipun ia tahu bahwa melepaskan Dara bukanlah sesuatu yang mudah. “Aku akan berusaha, Dara. Aku akan mencoba untuk menerima ini.”
Dara tersenyum dengan air mata yang sudah tak tertahankan lagi. “Terima kasih, Kiran. Aku akan selalu mengingatmu.”
Di bawah hujan senja yang tak pernah berhenti, dua jiwa yang saling mencintai, akhirnya saling melepaskan. Kiran tahu, bahwa kenangan tentang Dara akan selalu ada di dalam dirinya, seperti hujan yang tak pernah berhenti turun, mengalirkan segala rasa yang telah mereka bagi. Dan meskipun hati Kiran hancur, ia tahu bahwa hidup harus tetap berjalan, meskipun perpisahan ini terasa seperti akhir dari segalanya.
Hujan terus turun, dan Kiran perlahan meninggalkan kafe itu, membawa kenangan yang tak akan pernah ia lupakan.
Kadang, ada cinta yang memang nggak bisa dipertahankan, meskipun kita berusaha sekuat tenaga. Seperti hujan senja yang datang dan pergi, perpisahan itu selalu meninggalkan jejak.
Kiran dan Dara mungkin nggak bersama lagi, tapi kenangan mereka akan selalu ada, seperti hujan yang nggak pernah berhenti mengalir. Mungkin suatu saat nanti, mereka akan menemukan jalan masing-masing untuk bahagia. Tapi sampai saat itu tiba, hujan senja ini akan terus mengingatkan mereka pada cinta yang pernah ada.