Daftar Isi
Apakah Anda pernah merasakan perpisahan yang meninggalkan luka mendalam di hati? Perpisahan di Akhir Tahun membawa Anda ke dalam perjalanan emosional Zaryna Lestari, seorang gadis desa yang menghadapi kepergian sahabatnya, Jazvindra Kael, menjelang tahun baru. Berlatar di desa Cemara Tinggi yang penuh kenangan, cerita ini penuh dengan rindu, pengorbanan, dan reuni yang mengharukan. Artikel ini akan mengupas makna persahabatan sejati, kekuatan menunggu, dan pelajaran hidup yang akan menyentuh hati Anda.
Perpisahan di Akhir Tahun
Bayangan Malam Terakhir
Langit malam di desa Cemara Tinggi tampak kelam pada tanggal 31 Desember 2025, hanya diterangi oleh kilauan samar dari lentera-lentera kertas yang bergoyang di sepanjang jalan tanah. Jam di dinding rumah kayu tua menunjukkan pukul 09:15 WIB, menandakan waktu yang kian dekat menuju pergantian tahun. Di dalam kamar sederhana yang dipenuhi aroma kayu cendana, Zaryna Lestari duduk di tepi ranjangnya, menatap jendela yang sedikit terbuka. Rambutnya yang hitam legam, tergerai panjang hingga pinggang, terlihat kusut, seolah mencerminkan kekacauan dalam hatinya. Matanya, hijau keabu-abuan dengan kilau yang biasanya penuh tawa, kini dipenuhi bayang-bayang kesedihan yang tak bisa disembunyikan.
Di tangannya, ia memegang sebuah buku catatan kulit tua yang sudah usang, penuh dengan tulisan tangan dan sketsa kecil yang ia buat bersama Jazvindra Kael—Jaz, sahabatnya sejak kecil yang kini akan meninggalkannya untuk selamanya. Buku itu adalah saksi bisu dari kenangan mereka—petualangan di hutan Cemara Tinggi, tawa di tepi sungai, dan janji-janji yang pernah diucapkan di bawah langit berbintang. Tapi malam ini, buku itu terasa seperti beban berat, karena Jaz telah mengumumkan bahwa ia akan pindah ke luar negeri besok pagi, meninggalkan desa kecil yang telah membesarkannya, dan meninggalkan Zaryna tanpa kejelasan kapan mereka akan bertemu lagi.
Zaryna membuka halaman terakhir buku itu, tempat Jaz menulis pesan singkat dengan tinta hitam yang sedikit luntur: “Zary, aku harus pergi untuk impianku. Tapi janji ini tetap ada—kita akan bertemu lagi di bawah langit yang sama.” Kata-kata itu terasa seperti pisau yang menusuk jantungnya. Ia ingat malam terakhir mereka bersama, tiga hari lalu, di tepi sungai yang selalu menjadi tempat persembunyian mereka. Jaz, dengan rambut cokelatnya yang acak-acakan dan mata biru yang penuh mimpi, duduk di sampingnya, memandangi air yang berkilau di bawah bulan purnama. “Aku tidak ingin pergi, Zary,” katanya pelan, suaranya penuh keraguan. “Tapi aku harus. Ayahku sakit, dan aku harus bekerja di luar untuk membiayai pengobatannya.”
Zaryna menutup buku itu dengan keras, tangannya gemetar. Ia bangkit dari ranjang, berjalan menuju jendela, dan membiarkan angin malam menyapu wajahnya yang dingin. Di luar, desa Cemara Tinggi tampak hidup dengan suara tawa dan musik dari perayaan tahun baru yang diselenggarakan di lapangan desa. Tapi bagi Zaryna, malam ini adalah malam perpisahan, bukan perayaan. Ia merasa seperti pohon cemara yang berdiri sendirian di tengah hutan, ditinggalkan oleh angin yang pernah membelainya.
Bunyi ketukan pelan di pintu kamarnya memecah lamunan Zaryna. Ia membuka pintu dan mendapati Jaz berdiri di ambang, mengenakan jaket tebal berwarna cokelat dan membawa tas kecil di bahunya. Wajahnya yang biasanya penuh senyum kini tampak pucat, matanya penuh penyesalan. “Zary,” sapa Jaz, suaranya serak, “aku datang untuk pamit. Pesawatku jam 06:00 besok.”
Zaryna terdiam, matanya berkaca-kaca. Ia ingin memeluk Jaz, ingin memohon agar ia tinggal, tapi kata-kata itu tercekat di tenggorokannya. “Kau benar-benar pergi?” tanyanya akhirnya, suaranya bergetar. “Tanpa tahu kapan kembali?”
Jaz mengangguk pelan, tangannya meremas tali tasnya. “Aku tidak punya pilihan, Zary. Tapi aku janji, aku akan kembali. Mungkin tidak besok, mungkin tidak tahun depan, tapi aku akan kembali untukmu.” Ia melangkah mendekat, mengeluarkan sebuah liontin perak kecil dari sakunya dan menyerahkannya pada Zaryna. “Ini untukmu. Aku buat dari kayu cemara yang kita ukir bersama dulu. Simpan ini sampai kita bertemu lagi.”
Zaryna mengambil liontin itu, jari-jarinya menyentuh ukiran kecil berbentuk daun yang mereka buat bersama saat masih anak-anak. Air matanya jatuh, membasahi liontin di tangannya. “Aku tidak ingin janji, Jaz,” katanya, suaranya pecah. “Aku ingin kau di sini. Kita sudah melalui segalanya bersama—hujan pertama, musim kemarau, bahkan saat ibuku meninggal. Dan sekarang kau pergi?”
Jaz menunduk, matanya juga berkaca-kaca. “Aku tahu, Zary. Kau adalah bagian dari jiwaku. Tapi aku harus melakukan ini untuk ayahku. Aku tidak bisa membiarkan dia menderita.” Ia menghela napas, lalu menatap Zaryna dengan tatapan penuh cinta. “Aku akan menulis padamu. Setiap minggu, setiap bulan, sampai aku bisa kembali.”
Zaryna ingin membenci Jaz, ingin mengatakan bahwa janji itu tidak cukup, tapi ia tahu Jaz tidak memiliki pilihan. Ayah Jaz, Pak Kael, telah jatuh sakit parah sejak tahun lalu, dan keluarga mereka tidak mampu membiayai pengobatan di desa. Pekerjaan di luar negeri adalah satu-satunya harapan, dan Jaz, sebagai anak sulung, merasa bertanggung jawab. Tapi di dalam hati Zaryna, luka perpisahan ini terasa seperti kehilangan bagian dari dirinya sendiri.
Mereka duduk bersama di ranjang, membiarkan keheningan mengisi ruangan. Di luar, suara kembang api mulai bergema, menandakan perayaan tahun baru telah dimulai. Tapi di dalam kamar itu, waktu seolah berhenti, hanya ada dua jiwa yang saling memahami namun terpisah oleh kenyataan. Jaz menggenggam tangan Zaryna, jari-jarinya hangat namun penuh getar. “Aku akan membenci malam ini selamanya,” bisik Zaryna, air matanya terus mengalir.
Jaz mengusap pipi Zaryna dengan ibu jarinya, matanya penuh penyesalan. “Jangan membencinya, Zary. Ini malam terakhir kita bersama sebelum aku pergi. Mari kita jadikan ini kenangan indah, bukan luka.” Ia tersenyum tipis, mencoba menghibur, tapi senyum itu hanya membuat Zaryna semakin sedih.
Mereka akhirnya berjalan keluar, menuju lapangan desa di bawah langit yang dipenuhi asap kembang api. Cahaya warna-warni menyelinap di antara pepohonan, menciptakan suasana yang kontras dengan perasaan mereka. Di tengah kerumunan, mereka berdiri di bawah pohon cemara tua yang selalu menjadi saksi persahabatan mereka. Jaz mengeluarkan sebuah kamera kecil dari tasnya, meminta Zaryna untuk berfoto bersama. “Ini untuk kenangan,” katanya, suaranya penuh emosi.
Zaryna mengangguk, memaksakan senyum lebar meski hatinya terasa hancur. Mereka berfoto, berdiri berdekatan dengan pohon cemara sebagai latar belakang, cahaya kembang api menerangi wajah mereka. Tapi saat kamera mengklik, Zaryna merasa seperti kehilangan sesuatu yang tak bisa digantikan. Setelah itu, Jaz memeluknya erat, pelukan yang hangat namun penuh perpisahan. “Selamat tinggal, Zary,” bisiknya di telinga Zaryna. “Jaga dirimu.”
Zaryna tidak bisa menjawab. Ia hanya mengangguk, memeluk Jaz kembali sekuat tenaga, seolah ingin menahan waktu. Tapi saat Jaz melepaskan pelukan dan berjalan menjauh, menuju rumahnya untuk mempersiapkan kepergian besok, Zaryna tetap berdiri di bawah pohon cemara, menatap bayangan Jaz yang perlahan hilang di kegelapan malam. Kembang api terus meledak di langit, tapi bagi Zaryna, malam itu adalah bayangan terakhir dari persahabatan yang mungkin tidak akan pernah utuh lagi.
Di kamarnya, setelah kembali dengan langkah gontai, Zaryna duduk di ranjang, memandangi liontin di tangannya. Ia membukanya, menemukan foto kecil mereka berdua yang diambil tahun lalu, tersenyum bahagia di tepi sungai. Air matanya jatuh lagi, membasahi foto itu, dan untuk pertama kalinya, ia merasa kesepian yang sesungguhnya. Tahun baru 2026 akan datang dalam beberapa jam, tapi bagi Zaryna, ini adalah akhir dari sesuatu yang lebih besar—akhir dari ikatan yang telah membentuk hidupnya selama bertahun-tahun.
Di luar, suara lonceng desa berbunyi, menandakan detik-detik terakhir tahun 2025. Zaryna menutup matanya, membiarkan air mata mengalir, dan berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia akan menunggu Jaz, meski menunggu itu terasa seperti menatap bayangan malam terakhir yang kian memudar.
Gema dari Fajar yang Sunyi
Pagi di desa Cemara Tinggi terasa sunyi pada tanggal 1 Januari 2026, hanya ditemani suara burung gereja yang berkicau pelan di antara cabang-cabang cemara yang masih basah oleh embun. Jam di dinding rumah kayu tua Zaryna Lestari menunjukkan pukul 09:16 WIB, menandakan hari baru telah dimulai, namun bagi Zaryna, ini adalah hari yang terasa seperti lanjutan dari malam kelam kemarin. Cahaya matahari pagi menyelinap melalui celah-celah jendela kayu yang sedikit retak, menerangi wajahnya yang pucat di tepi ranjang. Rambut hitam legamnya yang tergerai acak-acakan, masih membawa jejak tangisan malam tadi, terasa berat di pundaknya.
Di tangannya, Zaryna memegang liontin perak kecil yang diberikan Jazvindra Kael semalam, jari-jarinya menyentuh ukiran daun cemara yang mereka buat bersama saat masih anak-anak. Dalam liontin itu, foto kecil mereka berdua tersenyum di tepi sungai, sebuah kenangan yang kini terasa seperti mimpi yang pudar. Matanya, hijau keabu-abuan yang biasanya bersinar ceria, kini redup, dipenuhi bayang-bayang perpisahan yang masih membekas. Di sudut meja kayu tua, buku catatan kulit yang mereka isi bersama terbuka di halaman terakhir, dengan pesan Jaz yang terbaca samar di bawah cahaya redup: “Kita akan bertemu lagi di bawah langit yang sama.”
Zaryna bangkit dari ranjang, langkahnya berat menuju jendela. Di luar, desa Cemara Tinggi tampak tenang, dengan asap tipis naik dari cerobong-cerobong rumah tetangga yang mulai memasak sarapan. Tapi di hatinya, ada kekosongan yang sulit diisi. Jaz telah pergi pagi tadi, menaiki mobil tua yang membawanya ke bandara kota, meninggalkan Zaryna dengan janji yang terasa seperti angin yang tak bisa digenggam. Ia ingat suara mesin mobil yang menjauh, bercampur dengan derit roda di jalan tanah, dan bagaimana ia berdiri di beranda rumah, menatap bayangan Jaz yang hilang di balik kabut pagi.
Bunyi ketukan pelan di pintu depan memecah keheningan. Zaryna membukanya dan mendapati Nyai Selvi, tetua desa yang dikenal sebagai sosok penyabar, berdiri dengan keranjang bambu berisi roti jahe hangat. “Zaryna, Nak,” sapa Nyai Selvi dengan suara lembut, matanya penuh perhatian, “aku tahu kau sedih karena Jaz pergi. Ini untukmu, agar kau punya kekuatan menghadapi hari ini.” Zaryna mengangguk pelan, menerima keranjang itu dengan tangan yang sedikit gemetar. “Terima kasih, Nyai,” bisiknya, suaranya hampir hilang.
Nyai Selvi melangkah masuk, duduk di kursi kayu tua di ruang tamu, dan mengajak Zaryna bergabung. “Jaz adalah anak baik,” kata Nyai, suaranya penuh kebijaksanaan, “tapi perpisahan ini bukan akhir, Nak. Kadang, kita harus melepaskan seseorang untuk melihat apa yang ada di depan.” Zaryna menunduk, air matanya menggenang lagi. “Tapi dia bagian dari hidupku, Nyai. Tanpa dia, aku merasa kosong.” Nyai Selvi menggenggam tangan Zaryna, jari-jarinya kasar namun hangat. “Kosong itu sementara, Zaryna. Kau akan menemukan cahaya baru, percayalah.”
Setelah Nyai Selvi pergi, Zaryna duduk di beranda rumah, memandangi ladang cemara yang bergoyang pelan di angin pagi. Ia mengambil roti jahe dari keranjang, menghirup aromanya yang manis-pedas, tapi rasanya hambar di lidahnya. Pikirannya melayang pada kenangan bersama Jaz—hari ketika mereka membangun rumah pohon kecil di hutan, malam ketika mereka menari di bawah hujan pertama tahun lalu, dan saat Jaz membantunya menanam pohon cemara baru di halaman belakang rumahnya setelah ibunya meninggal. Setiap kenangan itu seperti echo yang bergema di hatinya, meninggalkan rasa sakit yang dalam.
Sore itu, Zaryna memutuskan untuk pergi ke tepi sungai, tempat terakhir mereka bersama. Ia mengenakan jaket tebal berwarna cokelat tua dan membawa buku catatan itu, berjalan menyusuri jalan tanah yang licin akibat embun. Di sepanjang perjalanan, ia bertemu dengan anak-anak desa yang bermain layang-layang, tawa mereka kontras dengan kesedihannya. Saat sampai di sungai, ia duduk di batu besar yang selalu menjadi tempat favorit mereka, memandangi air yang berkilau di bawah sinar matahari sore.
Di tangannya, Zaryna membuka buku catatan, membaca setiap tulisan dan sketsa yang mereka buat bersama. Ada gambar pohon cemara yang ia lukis dengan pensil, ada puisi pendek yang Jaz tulis tentang langit, dan ada catatan kecil tentang impian mereka untuk bepergian keliling dunia bersama. Tiba-tiba, sebuah helai kertas jatuh dari buku itu, terbawa angin sebelum Zaryna sempat menangkapnya. Ia berlari mengikuti kertas itu, dan saat membukanya, ia menemukan tulisan tangan Jaz yang tak pernah ia lihat sebelumnya: “Zary, jika kau membaca ini, aku harap kau tahu kau adalah alasan aku bertahan. Tunggu aku, ya?”
Kata-kata itu membuat Zaryna terdiam. Air matanya jatuh lagi, tapi kali ini ada sedikit kelegaan di hatinya. Ia memeluk kertas itu ke dadanya, seolah merasa kehadiran Jaz di dekatnya. Di kejauhan, suara angin membawa gemericik air sungai, menciptakan echo yang terdengar seperti bisikan Jaz, mengingatkannya pada janji mereka. Zaryna tahu perpisahan ini sulit, tapi tulisan itu memberinya harapan—harapan bahwa ini bukan akhir, melainkan jeda dalam cerita mereka.
Malam tiba, dan Zaryna kembali ke rumah dengan langkah yang sedikit lebih ringan. Ia menyalakan lilin di meja, meletakkan liontin dan kertas itu di samping buku catatan. Di luar, suara malam desa terdengar—kodok berkotek, jangkrik bernyanyi, dan angin yang berbisik di antara pepohonan. Zaryna duduk di jendela, memandangi langit yang dipenuhi bintang, dan untuk pertama kalinya sejak Jaz pergi, ia tersenyum tipis. Ia tahu menunggu akan sulit, tapi ia juga tahu bahwa echo dari persahabatan mereka akan tetap hidup, menemaninya di setiap silent dawn yang akan datang.
Di dalam hatinya, Zaryna berjanji untuk menjalani hari-hari berikutnya dengan kekuatan baru, menulis cerita sendiri sambil menantikan hari ketika Jaz kembali. Tahun 2026 mungkin akan penuh tantangan, tapi bagi Zaryna, ini adalah awal untuk menemukan dirinya sendiri, di tengah echo dari kenangan yang tak pernah benar-benar hilang.
Surat di Antara Hujan
Pagi di desa Cemara Tinggi terasa dingin pada tanggal 15 Januari 2026, dengan udara yang masih membawa sisa-sisa hujan malam sebelumnya. Jam di dinding rumah kayu Zaryna Lestari menunjukkan pukul 09:17 WIB, menandakan hari yang mulai bergerak setelah dua minggu sejak kepergian Jazvindra Kael. Cahaya matahari pagi menyelinap melalui celah jendela kayu yang sedikit terbuka, menerangi wajah Zaryna yang duduk di meja kayu tua, dikelilingi oleh buku catatan kulit dan liontin perak yang kini menjadi teman setianya. Rambut hitam legamnya yang tergerai longgar terlihat lebih rapi hari ini, seolah mencerminkan usaha kecilnya untuk bangkit dari kesedihan.
Di depannya, sebuah amplop cokelat tua tergeletak, baru saja tiba dibawa oleh Pak Darma, kurir desa yang selalu setia mengantar surat meski dengan langkah gontai. Amplop itu bertuliskan alamat Jaz dari negeri asing, dan nama Zaryna tercetak dengan tulisan tangan yang dikenalnya—tulisan Jaz yang penuh karakter. Jantung Zaryna berdegup kencang saat ia membukanya dengan hati-hati, tangannya sedikit gemetar. Di dalam, ada selembar kertas lipat dan foto kecil yang menunjukkan Jaz berdiri di depan gedung tinggi dengan senyum tipis, latar belakang kota yang asing baginya.
Zaryna membaca surat itu perlahan, suaranya bergetar saat ia membacanya dalam hati. “Zary, aku sampai dengan selamat di sini. Kota ini sibuk, penuh lampu dan suara, tapi hatiku masih di Cemara Tinggi, bersamamu. Aku bekerja di sebuah kafe kecil, mengumpulkan uang untuk ayah. Aku rindu sungai kita, rindu pohon cemara, dan rindu tawamu. Tulis balasan untukku, ya? Alamat ini ada di amplop. – Jaz.” Kata-kata itu seperti angin sepoi-sepoi yang membawa kehangatan, tapi juga menyisakan luka karena jarak yang memisahkan mereka.
Zaryna menutup matanya, membiarkan air mata mengalir perlahan. Surat itu adalah bukti bahwa Jaz masih mengingatnya, tapi juga pengingat bahwa kehidupan mereka kini terpisah oleh lautan dan waktu. Ia menggenggam foto itu, menatap wajah Jaz yang terlihat lelah namun penuh tekad, dan merasa campuran haru dan rindu membanjiri dadanya. Di sudut meja, liontin perak bersinar samar di bawah cahaya lilin yang ia nyalakan setiap malam, seolah menjadi jembatan emosional yang menghubungkan mereka.
Sore itu, hujan kembali turun, menabrak atap rumah dengan irama yang pelan namun terus-menerus. Zaryna memutuskan untuk menulis balasan, duduk di beranda dengan payung tua di sampingnya untuk melindungi kertas dari tetesan air. Ia mengambil pena dan mulai menulis, menuangkan segala perasaan yang terpendam—kesedihannya, harapannya, dan kenangan mereka di bawah pohon cemara. “Jaz, aku rindu suaramu, rindu cerita-cerita kita. Desa ini terasa sepi tanpa kamu. Tulis padaku lagi, ya? Aku akan menunggu. – Zary.” Ia melipat surat itu, memasukkannya ke dalam amplop, dan berjalan menuju pos desa meski hujan mengguyur gaunnya yang sederhana.
Di pos desa, Pak Darma menyapa dengan senyum hangat, mengambil surat itu dari tangan Zaryna yang dingin. “Ini akan sampai, Nak. Jaz pasti senang mendengar kabar darimu,” katanya, matanya penuh pengertian. Zaryna mengangguk, lalu berjalan pulang dengan langkah yang lebih ringan, meski hujan terus membasahi wajahnya yang bercampur air mata. Di sepanjang jalan, ia melewati ladang cemara yang bergoyang pelan, dan untuk sesaat, ia merasa seperti mendengar tawa Jaz di antara gemericik hujan.
Malam tiba, dan Zaryna duduk di jendela, memandangi langit yang dipenuhi awan tebal. Suara hujan membawa echo kenangan—malam ketika mereka berlari di hujan pertama tahun lalu, tertawa sambil berlindung di bawah pohon cemara, dan saat Jaz mengajarinya bermain seruling kayu yang ia buat sendiri. Ia mengambil seruling itu dari laci, meniupnya perlahan, dan melodi sederhana yang keluar membawa perasaan campur aduk—sedih, rindu, namun juga harapan. Di dalam hatinya, Zaryna mulai menerima bahwa perpisahan ini adalah bagian dari perjalanan mereka, dan surat-surat akan menjadi jembatan yang menghubungkan mereka di tengah jarak.
Keesokan harinya, Zaryna bangun dengan perasaan baru. Ia membantu Nyai Selvi mengumpulkan kayu bakar di hutan, sebuah rutinitas yang biasanya ia lakukan bersama Jaz. Di antara pohon-pohon cemara, ia menemukan ukiran kecil di batang pohon—inisial “Z&J” yang mereka ukir tahun lalu. Ia menyentuh ukiran itu, tersenyum tipis, dan merasa seperti Jaz masih ada di dekatnya. Di saku jaketnya, ia menyimpan foto Jaz, membawanya sebagai pengingat akan janji mereka.
Hari-hari berikutnya berlalu dengan rutinitas yang pelan tapi penuh makna. Zaryna mulai menulis di buku catatannya lagi, menggambar pemandangan desa dan menuangkan perasaannya dalam puisi pendek. Setiap malam, ia menyalakan lilin, memandangi liontin, dan menunggu surat berikutnya dari Jaz. Hujan terus turun di Cemara Tinggi, menciptakan ritme yang menjadi latar belakang hidupnya, dan di antara tetesan itu, Zaryna merasa seperti mendengar echo dari suara Jaz, mengingatkannya bahwa perpisahan ini bukan akhir, melainkan awal dari kesabaran dan cinta yang lebih dalam.
Pada malam ke-20 Januari, saat hujan reda dan langit mulai terlihat bintang, Zaryna menerima surat kedua dari Jaz. Tulisannya penuh semangat, menceritakan tentang pekerjaannya dan rencananya untuk mengirim uang ke desa. “Zary, aku bekerja keras di sini. Aku harap kau baik-baik saja. Aku akan kembali suatu hari, dan kita akan menari di bawah hujan lagi,” tulisnya. Zaryna membaca surat itu berulang kali, air matanya jatuh lagi, tapi kali ini disertai senyum kecil. Ia tahu jarak itu sulit, tapi surat-surat itu memberinya kekuatan untuk bertahan, menjadikan hujan sebagai saksi dari harapan yang ia genggam erat di antara kesedihan.
Di dalam hatinya, Zaryna berjanji untuk terus menulis, terus menunggu, dan terus menjalani hidupnya dengan penuh makna. Perpisahan di akhir tahun telah mengubahnya, tapi juga mengajarinya bahwa cinta sejati tidak pernah benar-benar pergi—ia hanya menunggu di antara tetesan hujan, menanti saat yang tepat untuk bersatu kembali.
Kembali di Bawah Langit yang Sama
Pagi di desa Cemara Tinggi terasa hangat pada tanggal 31 Desember 2026, dengan matahari bersinar lembut di langit yang jernih, menandakan pergantian tahun yang penuh harapan. Jam di dinding rumah kayu Zaryna Lestari menunjukkan pukul 09:18 WIB, Selasa, 1 Juli 2025—hari yang secara tak sengaja menjadi tonggak baru dalam hidupnya, seolah alam ikut merayakan momen yang telah ia nantikan selama setahun. Zaryna berdiri di beranda rumahnya, rambut hitam legamnya yang kini diikat rapi dengan jepit kayu peninggalan ibunya bergoyang pelan tertiup angin. Matanya, hijau keabu-abuan yang pernah redup oleh kesedihan, kini bersinar dengan campuran harap dan kegugupan.
Di tangannya, ia memegang amplop terakhir dari Jazvindra Kael, yang tiba kemarin sore dibawa oleh Pak Darma dengan senyum lebar. Surat itu berbeda dari yang lain—tebal, dengan tulisan tangan Jaz yang terlihat tergesa-gesa, dan sebuah tiket pesawat yang terselip di dalamnya. Zaryna membukanya lagi, membaca kalimat yang membuat hatinya bergetar: “Zary, aku akan pulang pada 31 Desember ini. Tunggu aku di tepi sungai, di bawah pohon cemara tua, seperti janjiku. Aku rindu tawamu. – Jaz.” Tiket itu menunjukkan jadwal kedatangan pukul 08:00 pagi dari kota, dan Zaryna tahu Jaz mungkin sudah berada di jalan menuju desa sekarang.
Sejak kepergian Jaz setahun lalu, Zaryna telah menjalani hari-harinya dengan campuran kesabaran dan kekuatan baru. Surat-surat Jaz menjadi cahaya di tengah malamnya, menceritakan tentang kerja kerasnya di kafe asing, perjuangannya mengirim uang untuk ayahnya, dan rindu yang tak pernah padam. Zaryna membalas setiap surat, menuangkan cerita tentang desa, puisi yang ia tulis, dan harapan untuk pertemuan kembali. Liontin perak yang selalu ia kenakan kini terasa seperti janji yang hidup, dan buku catatan kulitnya penuh dengan sketsa dan kata-kata yang mencerminkan perjalanan emosionalnya.
Sore itu, Zaryna memutuskan untuk pergi ke tepi sungai lebih awal. Ia mengenakan jaket cokelat tua yang pernah dipinjamkan Jaz, membawa buku catatan dan seruling kayu yang ia pelajari mainkan sendiri. Jalan tanah menuju sungai dipenuhi jejak musim hujan yang telah berlalu, dengan bunga liar yang bermekar di sisi jalan, menciptakan suasana damai yang kontras dengan degup jantungnya yang kencang. Di sepanjang perjalanan, ia bertemu Nyai Selvi, yang tersenyum penuh arti. “Kau kelihatan bahagia hari ini, Zaryna,” kata Nyai, matanya berbinar. Zaryna tersenyum, mengangguk, tapi tidak menjelaskan—ia ingin kejutan ini tetap menjadi miliknya hingga saatnya tiba.
Saat sampai di tepi sungai, Zaryna duduk di batu besar di bawah pohon cemara tua, tempat pertama kali mereka bertemu sebagai anak-anak. Air sungai berkilau di bawah sinar matahari sore, dan angin membawa aroma tanah basah yang menenangkan. Ia membuka buku catatan, membaca ulang puisi yang ia tulis untuk Jaz: “Di bawah langit yang sama, aku menunggu echo tawamu, hingga waktu membawamu kembali.” Air matanya menggenang, tapi ia menahannya, ingin menyambut Jaz dengan senyum, bukan tangisan.
Jam menunjukkan pukul 17:00 WIB ketika suara langkah kaki di rerumputan mengagetkannya. Zaryna menoleh, dan di sana berdiri Jaz, dengan rambut cokelatnya yang sedikit memutih di ujung, matanya biru yang penuh kelelahan namun bersinar cerah. Ia mengenakan jaket tebal yang sedikit lusuh, tas kecil di bahunya, dan senyum tipis yang membuat hati Zaryna bergetar. “Zary…” panggil Jaz, suaranya serak namun penuh emosi.
Zaryna bangkit, langkahnya gemetar menuju Jaz. Mereka berpandangan, dan tanpa kata, Zaryna melangkah maju, memeluk Jaz erat. Pelukan itu hangat, penuh dengan tahun-tahun rindu dan perjuangan. “Kau kembali…” bisik Zaryna, suaranya pecah oleh air mata yang tak bisa ditahan. Jaz mengangguk, mengusap rambut Zaryna dengan lembut. “Aku janji, bukan? Aku harus bekerja keras, tapi aku selalu memikirkanmu.”
Mereka duduk di batu besar, berbagi cerita di bawah pohon cemara. Jaz menceritakan tentang kota asing yang penuh tekanan, tentang ayahnya yang kini membaik berkat uang yang ia kirim, dan rencananya untuk tinggal di desa sementara waktu. Zaryna menceritakan tentang surat-suratnya, tentang bagaimana ia belajar bermain seruling, dan tentang pohon cemara baru yang ia tanam di halaman rumahnya sebagai simbol harapan. Di tangan Jaz, ia memegang seruling itu, meniupnya perlahan, dan melodi sederhana yang keluar membawa mereka kembali ke masa kecil.
Malam tiba, dan mereka berjalan kembali ke desa, diiringi suara kembang api yang mulai meledak di langit, menandakan perayaan tahun baru. Di lapangan desa, kerumunan warga menyambut Jaz dengan tawa dan pelukan, tapi bagi Zaryna dan Jaz, momen itu adalah milik mereka berdua. Di bawah pohon cemara tua di tengah lapangan, mereka berdiri bersama, memandangi langit yang dipenuhi cahaya warna-warni. Jaz mengeluarkan liontin perak dari sakunya—yang ternyata ada pasangannya—and memberikan yang lain pada Zaryna. “Sekarang kita punya set yang lengkap,” katanya, tersenyum lebar.
Zaryna mengenakan liontin itu, merasa seperti lingkaran hidup mereka telah tertutup. Tapi di dalam hatinya, ia tahu ini bukan akhir—ini adalah awal baru. Mereka menari di bawah kembang api, langkah mereka sederhana namun penuh makna, seperti echo dari persahabatan yang kini berubah menjadi ikatan yang lebih dalam. Di sekitar mereka, warga desa bernyanyi, tapi bagi Zaryna dan Jaz, suara itu hanyalah latar belakang dari reuni yang telah lama ia nantikan.
Saat jam menunjukkan tengah malam, lonceng desa berbunyi, menandakan tahun 2027 telah tiba. Zaryna dan Jaz saling memandang, lalu tertawa bersama, air mata bahagia mengalir di wajah mereka. “Selamat tahun baru, Zary,” kata Jaz, memegang tangan Zaryna erat. “Selamat tahun baru, Jaz,” balas Zaryna, merasakan kehangatan yang hilang selama setahun terakhir.
Malam itu, di bawah langit yang sama, Zaryna tahu perpisahan di akhir tahun lalu telah membawanya pada kekuatan untuk menunggu, dan kini, kembali Jaz di bawah cahaya bintang adalah hadiah terindah yang ia terima. Di dalam hatinya, ia berjanji untuk menjaga ikatan ini, menjalani hari-hari dengan cinta dan harapan, sambil menatap masa depan yang kini terasa penuh kemungkinan di bawah langit Cemara Tinggi yang luas.
Perpisahan di Akhir Tahun bukan hanya tentang kehilangan, tetapi juga tentang harapan yang bersemi di tengah rindu. Kisah Zaryna dan Jaz mengajarkan bahwa cinta sejati dapat bertahan melalui jarak dan waktu, menawarkan inspirasi untuk tetap teguh dalam menantikan momen bahagia. Jangan lewatkan cerita ini yang akan membawa Anda pada perjalanan emosional yang mendalam dan memotivasi.
Terima kasih telah menikmati ulasan tentang Perpisahan di Akhir Tahun. Semoga cerita ini menginspirasi Anda untuk menghargai setiap momen bersama orang tersayang dan tetap berharap di masa sulit. Sampai jumpa di artikel menarik berikutnya, dan jangan lupa bagikan kisah ini kepada teman yang membutuhkan sentuhan hati!


