Daftar Isi
Pernahkah kamu mendengar cerita tentang perobekan bendera Belanda di Surabaya? Ini bukan hanya kisah biasa, tapi sebuah momen bersejarah yang menandakan semangat perjuangan pemuda Indonesia melawan penjajah.
Di tengah hujan deras dan ketegangan yang memuncak, dua pemuda berani—Sutanta dan Ramdan—melakukan tindakan yang tak terlupakan: merobek bendera Belanda yang berkibar tinggi di Hotel Yamato. Dalam artikel ini, kita akan membahas lebih dalam tentang kisah nyata yang menginspirasi ini, bagaimana keberanian mereka memicu semangat perlawanan yang tak pernah padam. Yuk, baca selengkapnya dan rasakan getaran semangat kemerdekaan yang membara!
Perobekan Bendera Belanda
Asap di Atas Kota Tua
Surabaya belum sepenuhnya bangkit dari luka-luka lama ketika pagi itu tiba dengan warna abu-abu. Jalanan basah, bukan karena hujan, melainkan karena bekas-bekas pertempuran kecil yang muncul di sudut-sudut kota seperti luka yang enggan sembuh. Bangunan tua di sekitar Jalan Tunjungan berdiri bisu, dindingnya menghitam terbakar amarah, jendelanya pecah bagai mata yang tak ingin lagi melihat penjajahan.
Orang-orang masih bicara dengan suara setengah berbisik, seolah kemerdekaan yang baru sebulan diumumkan itu hanya fatamorgana. Terlalu rapuh untuk dipercayai. Terlalu mudah untuk dicuri kembali.
Di sebuah gang sempit dekat Pasar Blauran, di antara bau anyir minyak tanah dan aroma tempe goreng yang belum habis digoreng, dua pemuda berdiri saling bertatapan. Baju mereka lusuh, penuh tambalan. Satu mengenakan celana kotor yang digulung sampai lutut, satu lagi bersarung setengah kusut, dengan kemeja putih dekil yang tak lagi putih.
Sutanta Wiraatmaja menyalakan rokok kretek dengan ujung korek yang sudah nyaris habis. Matanya menatap langit di atas atap rumah-rumah beratap seng. Suaranya pelan namun tajam, seperti bisikan api.
“Kamu liat, Dan? Mereka beneran pasang bendera itu di atas hotel. Merah, putih, biru. Nggak ada malunya, ya?”
Ramdan Pawestri mengangguk pelan. Tangannya mencengkeram kain lap kotor yang sejak tadi dia peras, entah karena gugup atau marah. Matanya menyipit ke arah utara, ke arah gedung Hotel Yamato yang menjulang di kejauhan, tempat bendera itu berkibar dengan pongahnya.
“Liat, Tan. Mereka ngelakuin itu siang bolong. Di tengah kota. Mereka nggak takut, karena ngerasa kota ini masih punya mereka,” gumamnya lirih.
Udara pagi terasa lebih dingin dari biasanya. Bukan karena angin, tapi karena kemarahan yang menggantung di udara. Sudah sebulan lebih sejak Soekarno dan Hatta mengumumkan kemerdekaan Indonesia. Tapi jalanan Surabaya tidak berubah banyak. Tentara Jepang belum sepenuhnya hengkang, pasukan Sekutu mulai berdatangan, dan diam-diam, Belanda ikut menyusup kembali lewat mereka.
Bendera merah-putih yang baru dikibarkan di berbagai sudut kampung kini seperti ditertawakan oleh kehadiran bendera Belanda yang menjulang di jantung kota.
Di bawah pohon asem tua, beberapa pemuda lain mulai berkumpul. Ada yang membawa kayu panjang, ada pula yang menggulung tali tambang dengan tangan gemetar. Wajah-wajah mereka muda, tapi tatapan mereka lebih tua dari umur. Wajah orang-orang yang telah kehilangan terlalu banyak untuk diam lebih lama.
Di antara mereka, Sutanta dan Ramdan adalah dua nama yang paling sering disebut. Bukan karena mereka punya senjata, tapi karena keberanian mereka sudah lama menyebar seperti gosip pasar.
“Kamu yakin mau ikut campur, Tan?” tanya Ramdan tiba-tiba. Suaranya kali ini lebih pelan, hampir seperti bisikan angin. “Kalau mereka tembak kita, habis.”
Sutanta hanya menyeringai, menarik napas dalam-dalam dari rokoknya, lalu membuang asap ke arah langit. “Kalau kita diem, kita yang habis duluan.”
Sebuah motor tua melintas cepat di ujung gang. Pengendaranya membawa koran yang digulung erat di bawah ketiak. Ketika berhenti di warung kopi kecil, ia membagikan kabar terbaru: orang-orang mulai berkumpul di depan Hotel Yamato. Massa dari kampung-kampung sekitar sudah bergerak. Bendera itu menjadi api. Dan rakyat adalah bensin yang siap terbakar.
Suasana gang itu berubah. Pembicaraan berubah jadi bisikan rencana. Wajah-wajah yang tadinya ragu mulai menegang. Pemuda yang biasanya hanya main kartu di emperan toko kini memoles bambu runcing. Gadis-gadis muda menyelipkan nasi bungkus dan pisang rebus ke dalam karung-karung kecil yang akan dibawa saat aksi.
Di salah satu sudut, seorang ibu tua dengan mata berkaca-kaca menyelipkan rosario ke kantong anaknya. “Kibarkan merah putih, Nak. Tapi pulanglah. Ibu tunggu.”
Hotel Yamato kini bukan sekadar gedung. Ia menjadi simbol perlawanan. Dan bendera yang berkibar di atapnya, jadi lambang penghinaan.
Sutanta berdiri di depan meja kayu reyot, menggambar sketsa kasar hotel itu dengan arang. Ia menghitung anak tangga, mengingat letak pintu, memperkirakan waktu yang dibutuhkan untuk naik ke atap. Ramdan duduk di sampingnya, memotong-motong kain merah dan putih, seolah ingin mengingatkan diri bahwa warna itu milik mereka, bukan penjajah.
“Kalau kita gagal, paling nggak dunia tahu kita pernah coba,” bisik Ramdan.
“Kita nggak akan gagal, Dan,” jawab Sutanta. “Bendera itu akan robek. Warna birunya bakal ilang. Kita cuma tinggal nentuin, siapa yang mau naik tiang itu.”
Dari kejauhan, langit Surabaya mulai cerah. Tapi bukan cerah karena mentari, melainkan karena bara yang mulai menyala di dada setiap pemuda.
Dan pagi itu, Surabaya tak lagi jadi kota tua yang diam. Ia menjadi nyala. Menjadi teriakan. Menjadi peluru yang siap ditembakkan ke langit penjajahan.
Hotel Yamato masih berdiri. Tapi di bawahnya, tanah mulai bergetar.
Di Balik Tembok Kali Mas
Hati Sutanta berdebar lebih kencang daripada langkah kakinya yang teratur. Kali Mas, gudang tua yang mereka pilih untuk pertemuan itu, terasa semakin sumpek. Dinding-dindingnya dipenuhi coretan, bekas sisa pertempuran yang tidak pernah diceritakan. Setiap sudut seolah menyimpan cerita yang tidak ingin dilupakan. Aroma kayu lapuk bercampur dengan bau besi berkarat. Di luar, suara riuh kendaraan dan langkah-langkah tentara masih bisa terdengar, tetapi di dalam, hanya ada gemuruh hati yang tak bisa dijelaskan.
“Sudah siap?” tanya Ramdan pelan, duduk di sudut ruangan sambil mengamati kumpulan pemuda yang sudah mulai memasang persiapan. Beberapa di antaranya terlihat cemas, beberapa lainnya bahkan tidak tahu harus berbuat apa. Mata mereka hanya tertuju pada Sutanta, seperti menunggu instruksi.
Sutanta hanya mengangguk, matanya terfokus pada peta yang terbentang di atas meja kayu. Jari-jarinya menelusuri garis-garis yang sudah diukir, mengingatkan mereka pada setiap detail yang tak boleh salah. Tiang bendera Hotel Yamato yang menjulang tinggi, tangga sempit yang harus didaki dengan hati-hati, dan jendela yang harus dilewati dengan cepat. Semua sudah dipelajari, semua sudah dipikirkan.
“Tapi kamu yakin mereka nggak akan curiga?” tanya seorang pemuda dengan suara serak. Wajahnya pucat, dan tangannya terus menggenggam tali tambang yang dipersiapkan. “Kita hanya beberapa orang. Gimana kalau mereka langsung tembak kita?”
Ramdan mengangkat wajahnya dari kain yang sedang dia pegang dan menatap pemuda itu. “Nggak ada yang namanya ‘yakin’, cuma ada ‘berani’ atau ‘tidak’. Mereka bisa tembak kita kapan saja. Tapi kita bisa pastikan kita nggak mati sia-sia. Kalau kita berhasil, kita nggak cuma dapat bendera. Kita dapat martabat.”
Kata-kata Ramdan mengalir dengan tenang, namun penuh makna. Sutanta menatapnya sejenak, lalu kembali menelusuri garis peta. Beberapa saat hening, lalu dia mengangkat kepala dan berkata dengan suara datar namun pasti.
“Jangan pikirkan soal tembak-menembak. Pikirkan soal bendera itu. Kalau kita gagal, biar orang-orang tahu kenapa kita coba. Kalau kita berhasil, kita akan beri tahu seluruh dunia kalau Indonesia tak akan pernah tunduk lagi.”
Kehidupan di luar kali ini tak jauh berbeda. Angin yang berhembus membawa kabar, namun hanya mereka yang berani yang tahu bagaimana rasanya menanggung semua yang tertahan. Di dalam gudang itu, setiap pemuda yang hadir sudah mengangkat beban yang lebih berat daripada yang bisa dipikul oleh orang dewasa sekalipun. Mereka bukan hanya berbicara tentang melawan penjajah, tetapi juga tentang harga diri yang ingin mereka tegakkan di atas tanah yang telah lama dijajah.
“Lihat, Tan,” Ramdan menunjuk ke arah jendela gudang. Di luar, langit masih mendung, tapi ada tanda-tanda bahwa hujan akan segera turun. “Mungkin ini saat yang tepat. Kalau hujan turun, mereka nggak akan terlalu waspada. Kita bisa bergerak lebih cepat.”
Sutanta menatapnya, lalu mengangguk perlahan. “Betul. Hujan akan jadi keuntungan buat kita. Kita bisa naik lewat belakang. Nggak ada yang bakal lihat kalau kita pakai selimut kabut itu.”
“Kalau gitu, siap-siap,” Ramdan berkata sambil beranjak dari tempat duduknya, merapikan tali dan beberapa potong bambu runcing. “Kita mulai dari sini. Kalau berhasil naik, kita robek bendera itu. Kalau gagal, kita nggak pernah ada di sini.”
Beberapa pemuda mulai bergerak, satu persatu, mempersiapkan alat mereka. Ada yang membawa kayu panjang yang bisa digunakan untuk memanjat, ada yang membawa kain untuk menutupi wajah, dan ada yang hanya menggenggam harapan dengan erat. Mereka tidak tahu apakah malam itu akan berakhir dengan kemenangan atau justru lebih banyak darah yang akan tumpah.
Sutanta berdiri, matanya menyapu ruang kecil itu, dan ia merasa ada ketegangan yang memuncak di setiap sudut. Tapi dia tahu satu hal, mereka tidak bisa mundur lagi. Setiap pemuda di dalam gudang itu sudah memilih sisi mereka. Ini bukan hanya tentang mencabut bendera Belanda, tetapi tentang memberi tanda bahwa kemerdekaan bukanlah sebuah mimpi. Itu adalah kenyataan yang sudah lama terbungkam.
Waktu bergerak dengan cepat. Malam semakin mendekat, dan di luar, suara langkah-langkah kaki tentara Belanda yang sedang patroli terdengar jelas. Mereka akan menuju hotel dalam beberapa jam ke depan. Sutanta dan Ramdan bergegas menuju pintu belakang gudang, tempat yang sudah mereka pilih untuk menyelinap keluar. Langkah mereka berat, namun penuh tekad. Tak ada kata mundur. Tak ada pilihan selain maju.
Di luar, langit suram mulai meredup. Hujan mulai turun dengan deras, menambah pekat suasana malam. Namun itu juga berarti satu hal: mereka punya kesempatan.
Dengan satu langkah lagi, mereka akan berada di jalur yang hanya bisa dihentikan oleh keberanian atau kematian. Bendera itu menunggu di atas sana, dan mereka tahu, apa pun yang terjadi, bendera itu tidak akan pernah lagi berkibar dengan sempurna.
Teriakan dari Atap Hotel Yamato
Malam telah turun sepenuhnya. Suasana Surabaya yang biasanya riuh kini berubah menjadi hening, hanya gemerisik hujan yang terdengar. Jalan-jalan sepi, dan hanya lampu-lampu jalan yang temaram yang menerangi jalanan. Di bawah hujan yang semakin deras, Sutanta dan Ramdan bergerak cepat, menyelinap di antara bayang-bayang, menembus gang-gang sempit yang membawanya ke jantung kota.
Hotel Yamato sudah terlihat jelas di kejauhan, bendera merah-putih-biru masih berkibar dengan gagah di puncaknya. Bendera itu seakan menantang mereka, mengingatkan bahwa perjuangan ini belum berakhir. Sutanta menggerakkan langkahnya lebih cepat, menghindari detik-detik yang semakin mendekatkan mereka pada momen yang tak bisa diundur lagi.
Di balik tembok batu tua yang melindungi sisi belakang hotel, Sutanta berhenti sejenak. Tangannya menggenggam tali tambang yang sudah disiapkan, matanya melirik ke arah Ramdan yang sudah siap dengan bambu panjang yang bisa digunakan untuk menghalangi pintu jika mereka butuh waktu untuk melarikan diri.
“Ini dia,” bisik Sutanta pelan, berusaha menyembunyikan kegugupannya. Di balik ketegangan yang meresap, ada sedikit rasa takut yang menggigit, meskipun ia berusaha menahannya. Ini bukan soal fisik lagi, tapi soal apa yang ada di dalam—apa yang mereka perjuangkan.
Ramdan menatapnya dan memberi anggukan kecil. “Maju terus, Tan. Kalau nggak sekarang, kapan lagi?”
Bersama dengan beberapa pemuda lain yang sudah bergabung, mereka mulai mendekati dinding hotel, dengan hati-hati, mencoba menghindari setiap gerakan yang bisa mengundang perhatian. Tak jauh dari mereka, beberapa tentara Belanda terlihat masih berjaga, meskipun di tengah hujan, mereka tampak lebih santai, seolah menganggap kota ini sudah sepenuhnya kembali di bawah kendali mereka.
Sutanta memeriksa tali tambangnya sekali lagi, memastikan bahwa ikatan yang mereka buat cukup kuat. “Bersiap, Ram. Kita harus memanjat lewat belakang. Waktu kita cuma sedikit,” bisiknya.
Mereka bergerak lebih cepat, dan tanpa banyak kata, Sutanta mulai memanjat dinding. Hujan yang deras membuat tangan mereka licin, tapi mereka tetap maju, menarik diri ke atas dengan penuh kehati-hatian. Setiap kali Sutanta menjejakkan kaki di atas batu yang terasa kokoh, hatinya berdegup kencang. Namun ia tahu, mundur bukan pilihan. Ini adalah kesempatan yang tidak bisa diulang.
Ramdan mengikuti di belakangnya, tubuhnya sedikit terhuyung karena licinnya permukaan dinding, tapi dia berhasil menaiki dinding dengan cekatan. Mereka sampai di lantai atas hotel, dengan atap datar yang tampak kosong, kecuali satu tiang bendera yang menjulang tinggi, membawa lambang kekuasaan yang telah lama menindas rakyat.
Puncak dari perjuangan mereka kini hanya tinggal selangkah lagi. Sutanta mendekati tiang bendera dengan hati-hati. Di atasnya, bendera merah-putih-biru berkibar angkuh. Sutanta bisa merasakan amarahnya mulai mengalir lebih deras, lebih kuat, saat matanya tertuju pada bendera itu.
“Sekarang, Tan. Kita robek itu!” Ramdan berbisik dengan suara penuh semangat. Tangan Ramdan sudah siap memegang pisau besi yang akan digunakan untuk memotong bagian biru dari bendera itu.
Sutanta menarik napas dalam-dalam, tangannya meraih pisau dengan gerakan cepat. Begitu dekat dengan tiang bendera, mereka hanya bisa berdoa agar tak ada yang mendengar atau melihat mereka. Tapi saat itu, dunia seakan hanya milik mereka berdua. Semua hal lain hilang, hanya ada tekad untuk merebut kembali simbol yang telah lama dirampas.
Dengan gerakan cepat, Sutanta mengiris bagian biru dari bendera itu, pisau meluncur dengan halus, memotong kain yang tampak begitu angkuh itu. Begitu kain biru itu terlepas, seolah langit Surabaya ikut hening. Sutanta menggenggam bagian merah-putih yang kini mengibarkan semangat baru. Namun, saat itu pula, suara keras terdengar—sebuah tembakan melesat tepat ke udara.
Sutanta menarik napas, ia terkejut, tetapi ia segera sadar bahwa tembakan itu bukan untuk membunuh, melainkan untuk memberi peringatan. Dari sudut matanya, ia bisa melihat para tentara Belanda berlari menuju mereka, suara langkah kaki mereka sudah sangat dekat.
“Ramdan, kita harus turun sekarang!” teriak Sutanta dengan panik. Namun, sebelum ia sempat berlari, Ramdan sudah lebih dulu menariknya, menyelipkan mereka kembali ke dalam bayang-bayang atap yang lebih rendah.
Tembakan berikutnya melesat, terdengar lebih dekat. Mereka bisa merasakannya, peluru yang menyisir udara hanya beberapa inci di atas kepala mereka. Tanpa berpikir panjang, mereka segera bergerak ke sisi lain atap, berlari menyusuri jalanan sempit di belakang hotel. Saat mereka melompat dari atap ke atap lainnya, Sutanta bisa merasakan darahnya berdesir, tubuhnya dipenuhi ketegangan yang tak terungkapkan.
“Ke sana!” Ramdan berteriak, menunjuk ke pintu belakang sebuah rumah yang sepi. Mereka melompat dengan gerakan cepat, berlari tanpa menoleh lagi. Hotel Yamato masih berkibar dengan bendera yang kini terpisah, dan suara kegaduhan mulai terdengar di belakang mereka. Tapi mereka sudah berhasil. Misi mereka selesai.
Namun, di dalam hati Sutanta, ada satu pertanyaan yang tak terjawab. Apakah perjuangan ini hanya untuk bendera, atau ada sesuatu yang lebih besar yang ingin mereka perjuangkan?
Warna yang Tersisa di Langit Surabaya
Langit Surabaya yang semula gelap kini mulai terang. Hujan yang deras mereda, meninggalkan kota dalam kesunyian yang mendalam. Namun, kegelisahan yang membara di dada Sutanta dan Ramdan tak mudah padam. Mereka berlari melalui jalan-jalan sempit yang hampir tidak terjamah oleh siapapun, menghindari pasukan Belanda yang semakin berlarian mencari mereka. Bendera merah-putih yang tercabik di atas Hotel Yamato kini hanya menjadi kenangan di antara debu yang menggantung di udara.
Dengan napas terengah, mereka memasuki sebuah rumah kosong di pinggir kota. Tidak ada suara selain degup jantung mereka yang berdetak cepat. Wajah mereka basah oleh keringat dan hujan yang masih menyisakan jejak, tetapi semangat mereka tak pernah surut. Mereka telah melakukan apa yang selama ini hanya bisa mereka impikan—memutuskan rantai penghinaan yang telah membelenggu negeri ini.
Namun di balik keberhasilan itu, ada rasa cemas yang tetap menggelayuti pikiran Sutanta. Meskipun mereka telah merobek bendera itu, meskipun mereka telah menunjukkan bahwa kemerdekaan tidak bisa dirampas begitu saja, apakah itu cukup? Apakah satu tindakan itu benar-benar akan mengubah segalanya?
Ramdan menatapnya, mengerti kekhawatiran yang tersirat di mata Sutanta. “Kita sudah buat mereka tahu, Tan. Mereka nggak bisa lagi merasa aman. Bendera itu nggak akan berkibar dengan sempurna lagi. Orang-orang akan ingat ini. Mereka nggak bisa cuma bilang itu ‘kecelakaan’. Kita sudah berbicara dengan tindakan.”
Sutanta mengangguk pelan. Kata-kata Ramdan seperti menenangkan kegelisahannya, namun hatinya tetap merasa ada sesuatu yang belum selesai. Masih ada jalan panjang yang harus dilalui. Mereka hanya dua pemuda di tengah peperangan besar ini. Hanya dua nama di antara ribuan yang berjuang untuk kemerdekaan. Tapi tindakan mereka, sekecil apapun itu, sudah memberi peringatan yang tak bisa diabaikan.
“Aku masih nggak bisa tenang, Ram,” kata Sutanta, menunduk, memandang bendera yang terlipat di tangannya. “Kalau aku nggak bisa berbuat lebih banyak, semua ini sia-sia.”
Ramdan mendekat, meletakkan tangan di bahu Sutanta. “Nggak ada yang sia-sia, Tan. Ini baru permulaan. Kamu dan aku, kita cuma api kecil. Tapi api kecil itu bisa jadi api besar kalau orang-orang ikut terbakar semangatnya. Ini cuma langkah pertama. Yang lain akan ikut.”
Mereka duduk di sudut rumah yang kosong, sementara di luar, udara malam yang dingin mulai menusuk tubuh mereka. Pekerjaan mereka belum selesai. Bahkan jika mereka berhasil menyelinap keluar dari kota dan menghindari tentara, perjuangan ini masih panjang. Namun, di dalam diri mereka, ada satu hal yang tak bisa diambil lagi: keberanian.
Sutanta mengangkat pandangannya ke arah langit yang kini mulai cerah. Meski baru saja merasakan hujan, langit Surabaya tampak sedikit lebih terang, sedikit lebih berwarna. Warna-warna itu, meskipun masih samar, membawa harapan.
“Apakah kita sudah benar?” tanya Sutanta, berbicara lebih kepada dirinya sendiri daripada Ramdan. “Apakah kita sudah cukup melakukan sesuatu untuk tanah ini?”
Ramdan tak langsung menjawab. Ia juga menatap langit, mencoba mencari jawaban yang tak mudah ditemukan. “Kita nggak bisa tentukan kapan kita benar atau salah, Tan. Yang kita bisa lakukan adalah tetap berjuang, sampai orang lain melihat apa yang sudah kita lakukan. Sampai orang lain merasa bahwa mereka juga harus ikut berjuang. Bendera itu hanya simbol, tapi simbol yang harus dihormati oleh kita semua.”
Malam semakin larut, dan meskipun ketegangan masih terasa, ada secercah keyakinan yang mulai tumbuh dalam dada mereka. Mereka telah merobek bendera itu, namun yang lebih penting adalah apa yang mereka lakukan setelahnya. Itu adalah awal, bukan akhir. Itu adalah suara yang tak bisa lagi dibungkam.
Keputusan untuk melawan, untuk menunjukkan bahwa Indonesia akan selalu berdiri tegak, telah tercatat dalam sejarah, meski hanya dalam bentuk tindakan kecil, di tengah kesunyian kota yang terluka.
Di luar, di langit Surabaya yang cerah, sehelai angin berbisik, membawa harapan baru, harapan yang tidak akan pernah padam.
Akhir
Dengan bab ini, cerita telah sampai pada akhir yang menggugah. Sutanta dan Ramdan mungkin hanya dua pemuda, tetapi tindakan mereka memberi sinyal bahwa perjuangan belum berakhir—bahwa setiap orang, dengan cara mereka masing-masing, bisa berkontribusi untuk perubahan. Bagaimana menurut kamu? Apa yang kamu rasakan setelah membaca seluruh cerpen ini?
Kisah perobekan bendera Belanda di Surabaya ini mengingatkan kita bahwa perjuangan untuk meraih kemerdekaan tidak selalu terlihat dari pertempuran besar, tetapi juga dari setiap tindakan berani yang dilakukan oleh individu. Sutanta dan Ramdan mungkin hanya dua pemuda di antara ribuan, tetapi semangat mereka adalah cerminan dari kekuatan seluruh bangsa Indonesia yang tak pernah menyerah.
Semoga cerita ini bisa memberi kita inspirasi untuk terus berjuang, meski dalam kondisi yang tak mudah. Kemerdekaan itu berharga, dan setiap langkah untuk mempertahankannya layak dikenang. Jangan lupa, setiap generasi punya perannya masing-masing dalam menjaga nilai-nilai perjuangan!