Pernikahan yang Tak Diinginkan: Kisah Cinta, Pengorbanan, dan Keberanian

Posted on

Apakah Anda pernah terjebak dalam pilihan yang memaksa Anda menentang hati? Pernikahan yang Tak Diinginkan mengajak Anda menyelami perjalanan emosional Dinda Wulandari, seorang gadis desa yang dipaksa menikah dengan Reno Santoso, sementara cintanya pada Bayu masih membara. Berlatar di kampung Tanjung Sari yang penuh kenangan, cerita ini penuh dengan konflik batin, pengorbanan, dan akhir yang tak terduga. Artikel ini akan mengupas makna cinta sejati, keteguhan hati, dan pelajaran hidup dari kisah yang akan membuat Anda terpikat hingga akhir.

Pernikahan yang Tak Diinginkan

Bayang di Balik Jendela

Hujan turun dengan lembut di kampung kecil Tanjung Sari, menaburkan tetesan-tetesan kecil yang memantul di atap rumah kayu Dinda Wulandari. Di dalam kamar yang sederhana, aroma kayu basah bercampur dengan wangi lilin yang menyala redup di sudut meja. Dinda, seorang gadis berusia 24 tahun dengan rambut hitam panjang yang selalu diikat rendah dengan jepit kayu peninggalan ibunya, duduk di tepi ranjang tua yang berderit setiap kali ia bergerak. Matanya, cokelat tua dengan kilau yang sering kali menyembunyikan kesedihan, menatap kosong ke arah jendela kayu yang sedikit retak. Di luar, pohon pisang bergoyang pelan, seolah ikut meratapi suasana hati yang membelitnya.

Di tangannya, sebuah surat lipat dari kertas kasar terasa seperti beban berat. Surat itu datang pagi tadi, dibawa oleh seorang kurir tua dari desa sebelah, dan isinya membuat dunianya bergetar. “Kau akan dinikahkan dengan Reno Santoso,” begitu tulis ayahnya, Pak Harjo, dengan tulisan tangan yang tegas namun penuh otoritas. Pernikahan itu dijadwalkan dalam dua minggu ke depan, sebuah keputusan yang dibuat tanpa persetujuannya, tanpa mempedulikan hati yang telah lama ia jaga untuk seseorang yang lain. Dinda menggenggam surat itu erat, jari-jarinya meninggalkan bekas lipatan baru, seolah ingin menghapus kata-kata yang tertera di sana.

Reno Santoso, nama yang asing baginya, adalah pria yang katanya baru pindah ke Tanjung Sari beberapa bulan lalu. Ia dikenal sebagai pemuda yang pendiam, dengan rambut hitam acak-acakan dan mata tajam yang selalu tampak menyelami sesuatu. Dinda pernah melihatnya dari kejauhan, saat Reno membantu tetangga memperbaiki atap rumah setelah badai dua bulan lalu. Tubuhnya tinggi dan kekar, tapi ada kesan kesepian yang menempel padanya, sesuatu yang membuat Dinda bertanya-tanya tentang masa lalunya. Namun, baginya, Reno hanyalah wajah asing yang kini dipaksa menjadi bagian dari hidupnya oleh paksaan keluarga.

Dinda meletakkan surat di meja, lalu berjalan menuju jendela. Hujan kini mulai reda, meninggalkan jejak genangan di halaman depan rumah. Di sudut taman kecil, tanaman kembang sepatu yang ia rawat bersama ibunya—yang telah tiada dua tahun lalu—terlihat layu, seolah mencerminkan perasaannya. Ibunya, Bu Sari, adalah satu-satunya orang yang selalu mendengarkan keluh kesahnya, yang mengajarinya untuk percaya pada cinta yang tulus. Kini, tanpa kehadiran ibunya, Dinda merasa seperti burung yang sayapnya dipotong, terjebak dalam keputusan yang bukan pilihannya.

Pikiran Dinda melayang pada Bayu, pria yang telah mencuri hatinya sejak mereka bertemu di pasar desa dua tahun lalu. Bayu, dengan senyumnya yang hangat dan tangannya yang selalu siap membantu, adalah cahaya dalam hidupnya yang sederhana. Mereka sering menghabiskan malam di tepi sungai, berbagi mimpi tentang masa depan bersama—rumah kecil dengan taman bunga, anak-anak yang berlarian, dan tawa yang tak pernah usai. Tapi Bayu pergi enam bulan lalu, meninggalkan surat pendek yang menyatakan ia harus mengejar impiannya di kota, tanpa janji untuk kembali. Dinda masih menyimpan surat itu di bawah bantalnya, membacanya setiap malam sambil menahan air mata.

Bunyi pintu depan yang terbuka memecah lamunan Dinda. Ia berbalik dan melihat Pak Harjo masuk, wajahnya yang keras dan penuh kerutan tampak lelah setelah bekerja di sawah seharian. Pria itu, dengan seragam lusuh dan tangan kasar yang penuh callus, adalah sosok yang Dinda hormati tapi juga takut. “Dinda,” panggilnya, suaranya dalam dan penuh otoritas, “kenapa kau masih di kamar? Ayah sudah bicara dengan keluarga Reno. Mereka setuju. Ini untuk kebaikanmu.”

Dinda menelan ludah, mencoba menahan emosi yang menggelegak. “Ayah,” katanya pelan, suaranya bergetar, “aku tidak ingin menikah dengannya. Aku tidak kenal Reno. Aku… aku masih mencintai Bayu.”

Pak Harjo mengerutkan kening, matanya menyipit dengan tatapan yang penuh kekecewaan. “Bayu? Dia sudah pergi, Dinda! Dia tidak peduli padamu. Reno adalah pilihan yang tepat. Keluarganya kaya, mereka bisa memberi kita tanah baru untuk sawah. Ini soal masa depan, bukan soal perasaanmu yang bodoh!”

Kata-kata itu seperti tamparan bagi Dinda. Ia merasakan panas di pipinya, tapi ia menahan diri untuk tidak menangis di depan ayahnya. “Aku bukan barang yang bisa ditukar dengan tanah, Ayah,” balasnya, suaranya mulai meninggi. “Aku punya hati, aku punya mimpi!”

Pak Harjo melangkah mendekat, jari telunjuknya menunjuk wajah Dinda dengan marah. “Jangan berani membantah ayah! Kau tinggal di rumah ini karena aku! Kau makan karena aku bekerja! Sekarang, kau akan menikah dengan Reno, dan itu bukan permintaan, itu perintah!”

Dinda mundur selangkah, jantungnya berdegup kencang. Ia ingin berteriak, ingin melawan, tapi tatapan ayahnya membuatnya terdiam. Dengan langkah berat, Pak Harjo berbalik dan meninggalkan kamar, membanting pintu di belakangnya. Suara itu bergema di telinga Dinda, seolah menandakan penutup harapannya. Ia jatuh duduk di ranjang, tangannya meraih jepit kayu di rambutnya dan memeluknya erat, seolah jepit itu adalah sisa pelukan ibunya.

Malam itu, Dinda tidak bisa tidur. Ia duduk di jendela, memandangi bulan purnama yang tersembunyi di balik awan tipis. Bayangan pohon pisang di halaman depan tampak seperti siluet raksasa yang menari-nari, mengingatkannya pada malam-malam bersama Bayu. Ia teringat saat Bayu menyanyikan lagu daerah untuknya, suaranya lembut namun penuh perasaan, dan bagaimana tangannya hangat saat menggenggam tangannya di tepi sungai. “Aku akan kembali untukmu, Dinda,” janji Bayu saat itu, tapi janji itu kini terasa seperti angin yang lenyap tanpa jejak.

Pagi hari berikutnya, Dinda dipaksa menemui Reno di rumah tetangga yang menjadi perantara keluarga mereka. Rumah itu sederhana, dengan dinding bambu dan lantai tanah yang disapu rapi. Reno duduk di bangku kayu, mengenakan kemeja putih yang sedikit kusut dan celana hitam yang terlihat baru. Matanya tajam menatap Dinda saat ia masuk, tapi ada kelembutan yang tersembunyi di sana, sesuatu yang membuat Dinda bingung. “Dinda,” sapa Reno, suaranya dalam namun pelan, “aku tahu ini tidak mudah untukmu. Aku juga tidak memilih ini dengan sepenuh hati.”

Dinda terdiam, matanya mencari kebenaran di wajah Reno. “Kalau begitu, kenapa kau setuju?” tanyanya, suaranya penuh tantangan.

Reno menghela napas, tangannya meremas ujung kemejanya. “Karena aku tidak punya pilihan. Keluargaku… mereka butuh aku untuk ini. Tapi aku janji, aku tidak akan memaksamu menjadi apa yang kau tidak inginkan.”

Kata-kata itu membuat Dinda terdiam. Ada ketulusan di suara Reno, tapi juga keputusasaan yang ia pahami. Untuk sesaat, ia merasa ada persamaan di antara mereka—dua jiwa yang terjebak dalam pernikahan yang tak diinginkan. Namun, hati Dinda masih penuh dengan Bayu, dan bayangan cinta yang hilang itu membuatnya sulit menerima kenyataan di depannya.

Setelah pertemuan itu, Dinda kembali ke rumah dengan pikiran yang kacau. Ia duduk di jendela lagi, memandangi langit yang mulai gelap. Di tangannya, jepit kayu ibunya terasa dingin, dan untuk pertama kalinya sejak surat itu datang, ia menangis—air mata yang membasahi pipinya adalah luapan dari luka yang ia pendam. Ia tahu pernikahan ini akan datang, tapi di dalam hatinya, ia berjanji untuk mencari cara melawan, untuk mempertahankan cinta yang pernah ia miliki, atau setidaknya menemukan kebebasan dari bayang-bayang yang kini mengintai di balik jendela rumahnya.

Cahaya di Ujung Sungai

Pagi hari di Tanjung Sari menyapa dengan udara segar yang membawa aroma tanah basah setelah hujan semalam. Matahari baru saja muncul di ufuk timur, menaburkan sinar keemasan di atas padi-padi yang bergoyang pelan di ladang. Dinda Wulandari berdiri di ambang pintu rumah kayu tua, jepit kayu peninggalan ibunya yang kini terpasang rapi di rambutnya bergetar sedikit tertiup angin. Matanya yang cokelat tua masih menyimpan sisa kesedihan dari malam sebelumnya, namun ada tekad baru yang mulai menyelinap di hatinya. Di tangannya, ia memegang secarik kertas kecil—surat dari Bayu yang selalu ia bawa kemanapun ia pergi, seolah menjadi jangkar emosional yang menahannya agar tidak tenggelam dalam keputusasaan.

Hari ini, Dinda memutuskan untuk pergi ke sungai yang menjadi saksi cinta pertamanya dengan Bayu. Sungai itu, dengan airnya yang jernih dan suara gemericik yang menenangkan, terletak di ujung kampung, dikelilingi oleh pepohonan rindang dan bunga liar yang tumbuh subur. Ia berjalan menyusuri jalan tanah yang licin, sepatu karetnya meninggalkan jejak kecil di lumpur. Di sepanjang perjalanan, ia bertemu dengan beberapa tetangga yang menyapa dengan ramah, namun ada tatapan aneh di mata mereka—campuran simpati dan rasa ingin tahu tentang pernikahannya yang akan datang dengan Reno Santoso.

Saat sampai di tepi sungai, Dinda duduk di batu besar yang selalu menjadi tempat favoritnya bersama Bayu. Ia mengingat malam-malam mereka di sini, bagaimana Bayu akan memetik bunga teratai dan menyelipkannya di rambutnya, bagaimana tawa mereka bercampur dengan suara air yang mengalir. Di tangannya, ia membuka surat Bayu, membaca ulang kalimat terakhir: “Tunggu aku, Dinda. Aku akan kembali dengan segalanya yang kita impikan.” Kata-kata itu terasa seperti harapan yang pudar, namun Dinda menolak untuk melepaskannya. Ia menatap air sungai yang berkilau di bawah sinar matahari, mencoba mencari jawaban di sana.

Tiba-tiba, suara langkah kaki di rerumputan mengagetkannya. Dinda menoleh dan melihat Reno berdiri di kejauhan, mengenakan kemeja lusuh dan celana pendek yang basah di bagian bawah, seolah baru saja menyeberangi sungai. Matanya yang tajam menatap Dinda dengan ekspresi yang sulit ditebak—bukan marah, bukan ramah, tapi ada rasa ingin tahu yang dalam. “Aku tidak mengira akan menemukanmu di sini,” kata Reno, suaranya dalam namun pelan, hampir tenggelam oleh suara air.

Dinda berdiri, merasa sedikit terganggu. “Ini tempatku,” balasnya dingin. “Kau tidak perlu mengikuti aku.”

Reno mengangkat tangan, menunjukkan ia tidak bermaksud mengancam. “Aku tidak mengikuti. Aku sering ke sini sebelum fajar, untuk memancing. Ternyata kita punya tempat yang sama.” Ia melangkah mendekat, lalu duduk di batu lain beberapa meter darinya, memberi ruang yang cukup agar Dinda merasa nyaman.

Hening menyelimuti mereka untuk beberapa saat, hanya suara air dan angin yang terdengar. Dinda memandang Reno dari sudut matanya, mencoba membaca pria ini yang akan menjadi suaminya dalam waktu dekat. Ada sesuatu dalam sikap Reno yang berbeda dari apa yang ia bayangkan—bukan sosok kasar atau angkuh seperti yang ditakutkannya, melainkan seseorang yang tampak terbawa arus kehidupan seperti dirinya. “Kenapa kau setuju dengan pernikahan ini?” tanyanya tiba-tiba, suaranya penuh tantangan.

Reno menunduk, tangannya memainkan sebatang rumput kering. “Karena aku tidak punya pilihan lain,” jawabnya pelan. “Ayahku sakit, dan keluargaku butuh uang dari keluarga Harjo untuk pengobatan. Aku… aku tidak ingin menikah, tapi aku tidak bisa melihat ayahku menderita.” Ia menghela napas, lalu menatap Dinda. “Aku tahu kau tidak menginginkanku. Aku tidak akan memaksamu menjadi istri yang kau tidak ingin jadi.”

Kata-kata itu membuat Dinda terdiam. Untuk pertama kalinya, ia melihat Reno bukan sebagai musuh, melainkan sebagai korban seperti dirinya—dua jiwa yang terjebak dalam rencana keluarga. “Aku mencintai orang lain,” katanya jujur, suaranya bergetar. “Dia pergi, tapi hatiku masih menunggunya.”

Reno mengangguk, matanya penuh pengertian. “Aku juga pernah mencintai seseorang,” katanya, suaranya hampir hilang. “Dia meninggalku karena aku miskin. Mungkin ini karma bagiku, terjebak dalam pernikahan yang sama-sama tak diinginkan.”

Percakapan itu membuka pintu baru dalam hati Dinda. Ia merasa ada ikatan tak terucap dengan Reno, sebuah pemahaman yang lahir dari luka yang sama. Namun, ia tidak bisa mengabaikan Bayu. Di dalam hatinya, ia masih berharap Bayu akan kembali, akan menyelamatkannya dari nasib ini. “Aku akan menikahimu,” katanya akhirnya, suaranya tegas meski penuh beban, “tapi jangan harap aku akan mencintaimu. Aku akan hidup sebagai bayangan di rumahmu.”

Reno tersenyum tipis, penuh kepahitan. “Itu cukup bagiku, Dinda. Aku juga tidak akan memaksamu. Kita bisa hidup seperti teman, atau bahkan seperti orang asing di bawah satu atap.”

Setelah itu, mereka berpisah di tepi sungai, masing-masing membawa beban pikiran sendiri. Dinda kembali ke rumah dengan langkah berat, surat Bayu masih tergenggam erat di tangannya. Di rumah, ia menemui Pak Harjo yang sedang merokok di beranda, wajahnya penuh tekanan. “Dinda,” panggilnya, “besok kau akan bertemu keluarga Reno untuk mempersiapkan pernikahan. Jangan malukan aku.”

Dinda mengangguk pelan, tapi di dalam hatinya ia merencanakan sesuatu. Malam itu, ia menulis surat untuk Bayu, menuangkan segala perasaan yang terpendam—kesedihan, harapan, dan permohonan agar ia kembali sebelum semuanya terlambat. Ia menyelinap keluar rumah saat ayahnya tertidur, berjalan menuju pos kantor desa yang masih buka hingga tengah malam. Dengan tangan gemetar, ia menitipkan surat itu, berharap pesan itu akan sampai sebelum hari pernikahan.

Kembali di kamarnya, Dinda duduk di jendela, memandangi langit yang dipenuhi bintang. Cahaya di ujung sungai masih terbayang di pikirannya, bersama dengan wajah Reno yang penuh luka dan harapan Bayu yang pudar. Ia tahu pernikahan ini akan datang, tapi di dalam hatinya, ia berjanji untuk tidak menyerah. Jika Bayu tidak kembali, ia akan mencari cara untuk melepaskan diri dari pernikahan yang tak diinginkan, bahkan jika itu berarti melawan ayahnya dan seluruh kampung.

Malam itu, saat angin bertiup membawa aroma sungai, Dinda menutup matanya, membiarkan air mata jatuh perlahan. Ia merasa seperti perahu kecil yang terombang-ambing di lautan, mencari cahaya di ujung sungai yang kelam, tempat harapannya masih tersisa.

Surat yang Tak Kunjung Datang

Pagi di Tanjung Sari terasa berat, seolah udara pagi membawa beban yang tak terucap. Jam menunjukkan 09:09 WIB, Selasa, 1 Juli 2025, ketika Dinda Wulandari membuka jendela kayu rumahnya, menyambut sinar matahari yang mulai menyelinap di antara pepohonan. Aroma kopi dari dapur tempat Pak Harjo mempersiapkan sarapan bercampur dengan bau tanah basah yang masih tersisa dari hujan semalam. Dinda berdiri di ambang jendela, jepit kayu peninggalan ibunya yang terpasang rapi di rambutnya terasa dingin di kulitnya. Matanya yang cokelat tua kini dipenuhi bayang-bayang kecemasan, menatap ke arah jalan tanah yang mengarah ke pos kantor desa.

Sudah lima hari sejak Dinda menyelinap di malam hari untuk mengirim surat kepada Bayu, menuangkan segala harapan dan keputusasaan dalam tinta yang ia tulis dengan tangan gemetar. Setiap pagi, ia menunggu dengan harap-harap cemas, berharap kurir tua dari desa sebelah akan datang dengan balasan dari Bayu. Tapi hari ini, seperti hari-hari sebelumnya, tidak ada jejak surat yang ia nantikan. Hanya suara ayam berkokok dan gemericik air dari sungai di kejauhan yang mengisi keheningan pagi.

Di dalam hati Dinda, pernikahan dengan Reno Santoso semakin dekat—hanya tersisa satu minggu lagi. Kemarin, ia dipaksa menghadiri pertemuan keluarga dengan Reno dan orang tuanya di rumah tetangga. Rumah itu dipenuhi aroma kue tradisional dan bunga melati yang dihias di meja, tapi bagi Dinda, suasana itu terasa seperti jeruji besi yang perlahan menutup di sekitarnya. Reno duduk diam di samping ayahnya, Pak Santoso, seorang pria gemuk dengan suara keras yang terus memuji kehebatan putranya sebagai pekerja keras. Ibunya, Bu Mariani, wanita kurus dengan senyum dipaksakan, sesekali melirik Dinda dengan tatapan penuh harapan. Dinda hanya mengangguk pelan, tangannya meremas roknya di bawah meja, mencoba menahan emosi yang menggelegak.

Saat itu, Reno menatapnya sekilas, matanya yang tajam menyiratkan rasa bersalah yang tak terucap. Setelah pertemuan selesai, saat semua orang sibuk mengobrol, Reno mendekatinya di sudut ruangan. “Dinda,” bisiknya, suaranya hampir hilang di tengah kebisingan, “jika kau punya cara untuk menghentikan ini, katakan padaku. Aku tidak ingin kau menderita.” Dinda terdiam, hatinya bergetar mendengar kata-kata itu, tapi ia tidak menjawab. Ia hanya berjalan pergi, meninggalkan Reno dengan wajah penuh keraguan.

Kembali ke kenyataan pagi ini, Dinda memutuskan untuk pergi ke pos kantor desa. Ia mengenakan daster sederhana berwarna hijau tua, sepatu karet tua yang sudah lusuh, dan membawa keranjang kecil untuk menyamarkan niatnya—seolah ia hanya pergi ke pasar. Di sepanjang jalan, ia bertemu dengan Nyai Lestari, tetua desa yang dikenal bijaksana, yang sedang menyiram tanaman di halaman rumahnya. “Dinda, kau kelihatan pucat,” kata Nyai Lestari, matanya penuh perhatian. “Apa ada yang mengganggumu?”

Dinda tersenyum tipis, mencoba menyembunyikan kegelisahannya. “Hanya lelah, Nyai. Banyak persiapan untuk pernikahan,” jawabnya, suaranya datar. Nyai Lestari mengangguk, tapi tatapannya seolah menembus ke dalam jiwanya, membuat Dinda merasa telanjang. Ia bergegas melangkah, meninggalkan wanita tua itu dengan perasaan bersalah yang semakin bertambah.

Di pos kantor, Dinda bertemu Pak Darma, kurir tua yang selalu membawa surat untuk kampung. Pria itu, dengan rambut putih dan tangan gemetar, menyapa Dinda dengan senyum hangat. “Ada surat untukmu, Nak?” tanyanya, menggeledah tumpukan amplop di meja kayu. Dinda menggelengkan kepala, hatinya tenggelam. “Tidak ada dari kota?” tanyanya lagi, suaranya penuh harap. Pak Darma menghela napas, matanya penuh simpati. “Maaf, Dinda. Belum ada. Mungkin suratmu belum sampai, atau… dia terlalu sibuk.”

Kata-kata itu seperti pisau yang menusuk. Dinda mengangguk pelan, berterima kasih pada Pak Darma, lalu keluar dengan langkah gontai. Di luar, angin bertiup kencang, membawa daun-daun kering yang berterbangan, seolah mencerminkan kekacauan dalam hatinya. Ia duduk di tepi jalan, menatap langit yang mulai berawan, dan untuk pertama kalinya, ia mulai meragukan Bayu. “Apakah kau benar-benar akan kembali, Bayu?” bisiknya pada angin, air mata mengalir perlahan di pipinya.

Malam itu, Dinda kembali ke rumah dengan perasaan hampa. Pak Harjo menunggunya di beranda, wajahnya penuh ketidaksabaran. “Dinda, besok kau akan mencoba gaun pengantin. Jangan lupa datang ke penjahit,” katanya, suaranya tegas. Dinda mengangguk tanpa antusiasme, lalu masuk ke kamarnya. Di sana, ia membuka kotak kayu kecil di bawah ranjang, tempat ia menyimpan kenangan bersama Bayu—foto mereka di tepi sungai, sehelai syal yang pernah ia pinjamkan, dan surat-surat yang mereka tulis satu sama lain. Ia memandangi foto itu, wajah Bayu yang tersenyum lembut membuat hatinya terasa robek.

Tiba-tiba, bunyi ketukan pelan di pintu kamarnya mengagetkannya. Dinda membuka pintu dan melihat Reno berdiri di ambang, mengenakan jaket tua dan membawa sebuah bungkusan kecil. “Aku… aku hanya ingin memberi ini,” kata Reno, menyerahkan bungkusan itu. Di dalamnya, ada sebuah kalung sederhana dari tali dan manik-manik kayu, diukir dengan motif bunga kecil. “Ini dari ibuku,” lanjutnya, “sebagai tanda baik untuk pernikahan kita. Tapi kau tidak harus memakainya jika kau tidak ingin.”

Dinda menatap kalung itu, lalu ke wajah Reno yang penuh kerendahan hati. Untuk sesaat, ia merasa iba, tapi juga bingung. “Terima kasih,” katanya pelan, menerima bungkusan itu. Reno mengangguk, lalu berbalik pergi tanpa kata lagi. Dinda menutup pintu, memandangi kalung di tangannya. Ada kehangatan dalam pemberian itu, tapi ia tidak bisa membukakan hatinya—bukan untuk Reno, bukan untuk siapa pun, selain Bayu.

Malam itu, Dinda tidak bisa tidur. Ia duduk di jendela, memandangi langit yang kini dipenuhi awan tebal. Surat yang tak kunjung datang membuat harapannya semakin memudar, tapi di dalam hatinya, ia masih menyimpan secercah keyakinan. Ia berjanji pada dirinya sendiri bahwa jika Bayu tidak kembali sebelum hari pernikahan, ia akan mencari cara untuk melawan—mungkin dengan kabur, mungkin dengan menghadapi Pak Harjo secara terbuka. Apa pun itu, Dinda tahu ia tidak bisa menyerah pada nasib yang dipaksakan.

Di kejauhan, suara anjing menggonggong memecah keheningan malam, dan Dinda menarik napas dalam. Ia memandang kalung dari Reno yang tergeletak di meja, lalu kembali ke surat Bayu di tangannya. Di antara dua pilihan itu—harapan yang pudar dan kenyataan yang mendesak—Dinda merasa seperti berdiri di tepi jurang, menantikan cahaya yang mungkin tidak akan pernah datang.

Pilihan di Bawah Hujan

Pagi hari di Tanjung Sari, tepat pukul 09:10 WIB, Selasa, 1 Juli 2025, disambut oleh gemuruh petir yang mengguncang langit. Hujan turun deras, menabrak atap rumah kayu Dinda Wulandari dengan suara yang memekakkan, seolah alam ikut meratapi keputusan yang akan diambilnya hari ini. Hari pernikahan dengan Reno Santoso telah tiba, dan udara di dalam kamarnya terasa tebal dengan ketegangan. Dinda berdiri di depan cermin kecil yang retak di sudut, mengenakan gaun pengantin sederhana berwarna putih yang dijahit oleh penjahit desa. Gaun itu, dengan renda tipis di ujung lengan dan rok yang mengembang lembut, seharusnya menjadi simbol kebahagiaan, tapi bagi Dinda, ia terasa seperti belenggu yang menjerat lehernya.

Jepit kayu peninggalan ibunya yang terpasang di rambut hitam panjangnya terasa berat, seolah membawa beban kenangan ibunya, Bu Sari, yang selalu mendukung mimpinya. Di tangannya, ia memegang kalung manik-manik kayu dari Reno, yang kini tergantung di lehernya setelah ia memutuskan memakainya tadi pagi—bukan sebagai tanda persetujuan, melainkan sebagai penghormatan pada kebaikan Reno yang ia mulai pahami. Di meja kayu tua di sampingnya, surat dari Bayu masih tergeletak, belum ada balasan yang datang meski ia telah menunggu hingga detik terakhir. Air matanya jatuh perlahan, membasahi pipinya, tapi ia segera mengusapnya, menolak untuk menunjukkan kelemahan di hari ini.

Di luar, suara persiapan pernikahan terdengar samar di balik hujan. Balai desa telah dihias dengan bunga melati dan lentera kertas, meskipun cuaca buruk membuat suasana kurang meriah. Pak Harjo, dengan wajah tegang, berteriak memerintahkan tetangga untuk menutup meja-meja dengan terpal, sementara Nyai Lestari berdoa di sudut untuk menghindari malapetaka. Dinda tahu ayahnya sedang dalam tekanan besar—kesepakatan dengan keluarga Reno melibatkan tanah sawah yang menjadi sumber nafkah mereka, dan ia tidak bisa membayangkan kemarahan Pak Harjo jika pernikahan ini gagal.

Saat Dinda melangkah keluar rumah, hujan membasahi gaunnya, membuat renda-renda itu menempel di kulitnya yang dingin. Ia berjalan menuju balai desa dengan langkah perlahan, diiringi payung tua yang dipegang oleh adik sepupunya, Sari. Di balai, Reno sudah menunggu, mengenakan setelan jas sederhana yang sedikit basah di bagian bahu. Matanya yang tajam menatap Dinda dengan campuran harap dan ketakutan, seolah ia juga merasa terjebak dalam ritual ini. Di sampingnya, Pak Santoso dan Bu Mariani tersenyum lebar, tapi senyum itu terasa dipaksakan, mencerminkan tekanan keluarga mereka sendiri.

Upacara dimulai dengan doa tradisional yang dipimpin oleh tetua desa, suaranya nyaring namun terdengar redup di tengah suara hujan. Dinda berdiri di samping Reno, tangan mereka diikat dengan kain kuning sebagai simbol persatuan, tapi jantungnya berdegup kencang, penuh dengan keraguan. Saat tetua desa meminta mereka mengucapkan ikrar, Dinda merasa dunia berputar. “Aku, Dinda Wulandari, berjanji…” katanya, suaranya terputus, air matanya kembali mengalir. Reno menatapnya, matanya penuh pengertian, dan dengan suara pelan ia melanjutkan, “Aku, Reno Santoso, berjanji untuk menghormati dan melindungimu, dalam suka maupun duka.”

Tiba-tiba, suara deru motor mengguncang keheningan. Semua kepala berpaling ke arah jalan tanah, dan di bawah hujan deras, sebuah sosok berlari menuju balai desa. Dinda membelalak saat mengenali wajah itu—Bayu, dengan rambut basah menempel di dahinya, matanya penuh kepanikan dan cinta. Ia berhenti di ambang pintu, napasnya tersengal, dan berteriak, “Dinda! Jangan lakukan ini!”

Waktu seolah berhenti. Pak Harjo melangkah maju, wajahnya merah karena marah. “Kau siapa, berani mengganggu upacara ini?” bentaknya. Bayu mengabaikan Pak Harjo, matanya tertuju pada Dinda. “Aku baru sampai dari kota tadi malam,” katanya, suaranya parau. “Aku membaca suratmu, Dinda. Aku minta maaf karena terlambat. Aku kembali untukmu, seperti yang kujanji.”

Dinda merasa jantungnya hampir meledak. Ia menarik tangannya dari ikatan kain, melangkah menuju Bayu meski gaunnya basah kuyup. “Bayu…” bisiknya, suaranya penuh harap. Tapi sebelum ia bisa melangkah lebih jauh, Pak Harjo menarik lengannya dengan kasar. “Kau tidak akan pergi kemana-mana, Dinda! Pernikahan ini harus selesai!”

Reno, yang selama ini diam, akhirnya berbicara. “Lepaskan dia, Pak Harjo,” katanya tegas, suaranya menembus suara hujan. “Aku tidak ingin menikahi seseorang yang hatinya bukan untukku. Biarkan Dinda memilih.” Pak Santoso melotot pada putranya, tapi Bu Mariani menahan suaminya, matanya penuh air mata.

Dinda menatap Reno, lalu Bayu, lalu ayahnya. Hujan terus turun, membasahi wajahnya yang kini penuh air mata dan harapan. “Ayah,” katanya keras, menggetarkan suara, “aku mencintai Bayu. Aku tidak bisa menikah dengan Reno. Jika kau memaksaku, aku akan pergi dari kampung ini selamanya.”

Pak Harjo terdiam, tangannya gemetar. Untuk pertama kalinya, Dinda melihat keraguan di mata ayahnya. Nyai Lestari maju, suaranya bijaksana, “Harjo, dengarkan hatimu. Jangan memaksa anakmu hidup dalam penyesalan.” Di tengah tekanan, Pak Harjo akhirnya mengangguk pelan, melepaskan tangan Dinda.

Dinda berlari ke Bayu, meluncur ke pelukannya di bawah hujan. Bayu menggenggamnya erat, bisiknya penuh penyesalan, “Maafkan aku, Dinda. Aku akan melindungimu sekarang.” Reno menatap mereka dari kejauhan, lalu berbalik, wajahnya penuh kepasrahan tapi juga kelegaan. Ia berjalan menjauh, membiarkan hujan menyapu luka di hatinya.

Pernikahan itu batal, dan balai desa kembali hening, hanya diisi suara hujan yang perlahan reda. Dinda dan Bayu berjalan menjauh, meninggalkan balai dan janji yang tak pernah ia inginkan. Di tangannya, ia masih memegang kalung dari Reno, sebuah pengingat akan kebaikan yang ia temui di tengah badai. Di kejauhan, pohon-pohon di tepi sungai tampak berkilau di bawah sinar matahari yang mulai menembus awan, menandakan awal baru bagi Dinda—pilihan yang ia ambil di bawah hujan, dengan cinta yang akhirnya ia perjuangkan.

Malam itu, di rumah kecil yang ia bangun bersama Bayu, Dinda menatap langit berbintang, hatinya penuh damai. Pernikahan yang tak diinginkan telah menjadi cermin bagi kekuatannya, dan kini, di bawah cahaya bulan, ia tahu ia telah menemukan jalan pulang—bukan ke kampung, tapi ke dirinya sendiri.

Pernikahan yang Tak Diinginkan bukan hanya tentang patah hati, tetapi juga tentang keberanian untuk memilih cinta sejati di tengah tekanan. Kisah Dinda mengajarkan bahwa cinta yang tulus selalu menemukan jalan, bahkan di saat paling kelam. Jangan lewatkan cerita ini yang akan membawa Anda pada perjalanan emosional mendalam dan inspirasi untuk menghadapi pilihan hidup dengan hati terbuka.

Terima kasih telah menikmati ulasan tentang Pernikahan yang Tak Diinginkan. Semoga cerita ini membawa inspirasi bagi Anda untuk menjalani hidup dengan keberanian dan cinta. Sampai jumpa di artikel menarik lainnya, dan jangan lupa bagikan kisah ini kepada teman yang membutuhkan dorongan hati!

Leave a Reply