Daftar Isi
Apakah Anda pernah merasakan luka mendalam dari cinta yang dikhianati? Dalam novel pendek Pernikahan yang Ku Benci, pembaca diajak menyelami perjalanan emosional Vionara Elsera, seorang wanita muda yang menghadapi realitas pahit ketika cinta pertamanya, Kaelvion Ardhana, memilih menikahi wanita lain. Dengan latar desa Serayung yang penuh kenangan dan pohon kelahiran sebagai saksi bisu, cerita ini menggambarkan pergulatan batin antara cinta, kehilangan, dan keberanian untuk bangkit. Artikel ini akan mengupas keindahan narasi, emosi mendalam, dan pelajaran berharga dari kisah yang akan mengguncang hati Anda.
Pernikahan yang Ku Benci
Janji di Bawah Pohon Kelahiran
Di bawah naungan pohon kelahiran yang berdiri kokoh di tepi desa kecil bernama Serayung, angin membawa aroma tanah basah dan kenangan yang tak pernah pudar. Pohon itu, dengan ranting-rantingnya yang menjuntai seperti jemari tua yang penuh cerita, menjadi saksi bisu bagi janji-janji yang pernah diucapkan di bawahnya. Di antara dedaunan yang bergoyang pelan, seorang wanita muda bernama Vionara Elsera duduk di atas akar yang menonjol dari tanah, memandang cakrawala yang mulai memerah di ujung hari. Matanya, cokelat tua dengan kilau yang penuh rahasia, menatap kosong ke arah bukit-bukit yang memeluk desa itu seperti pelukan seorang ibu.
Vionara, atau yang lebih sering dipanggil Vio, bukanlah wanita biasa. Rambutnya yang hitam legam, selalu diikat dengan pita biru tua yang sudah usang, menyimpan cerita tentang ibunya yang pergi terlalu cepat. Ia dikenal di desa sebagai gadis yang berjiwa liar, yang lebih suka berlari di antara ladang jagung daripada menghadiri acara-acara formal di balai desa. Tapi hari ini, di usianya yang baru menginjak 25 tahun, ia merasa seperti burung yang sayapnya dipotong. Di tangannya, sebuah undangan pernikahan dengan embos emas berkilauan terasa seperti batu yang menekan dadanya. Nama yang tertera di sana—Kaelvion Ardhana—adalah nama yang ia cintai sekaligus benci dengan segenap jiwanya.
Kaelvion, atau Kael, adalah pria yang tumbuh bersamanya di bawah pohon kelahiran itu. Mereka pernah berbagi mimpi, tawa, dan rahasia di tempat yang sama ini. Kael, dengan senyumnya yang selalu membawa kehangatan, dulunya adalah rumah bagi Vio. Tapi itu dulu, sebelum semuanya berubah tiga tahun lalu, ketika Kael pergi ke kota tanpa sepatah kata, meninggalkan Vio dengan luka yang tak pernah sembuh. Kini, Kael kembali—bukan untuk meminta maaf, bukan untuk menjelaskan, tapi untuk mengundang Vio ke pernikahannya dengan seorang wanita yang bahkan tak pernah Vio dengar namanya: Liravelle Syanita.
Vio memejamkan mata, mencoba mengusir bayangan masa lalu yang datang tanpa diundang. Ia masih ingat malam ketika mereka berdua berbaring di bawah pohon kelahiran, menatap bintang-bintang yang berkelip di langit Serayung. Kael, dengan suaranya yang lembut namun penuh keyakinan, pernah berkata, “Vio, jika suatu hari aku menikah, itu hanya akan denganmu. Pohon ini akan jadi saksi kita.” Janji itu terasa begitu nyata, begitu suci, hingga Vio mempercayainya dengan seluruh hatinya. Tapi kini, janji itu hanyalah serpihan kenangan yang menusuk seperti beling.
Angin membawa suara langkah kaki yang mendekat. Vio membuka mata dan mendapati Kael berdiri di depannya, masih dengan wajah yang sama yang pernah ia hafal setiap detailnya: mata hijau zamrud yang selalu penuh misteri, rambut cokelat yang kini dipotong rapi, dan senyum yang kini terasa asing. Ia mengenakan kemeja putih yang sedikit kusut, seolah baru saja kembali dari perjalanan panjang. Vio merasakan jantungannya berdegup kencang, tapi ia menahannya, menyembunyikan badai emosi di balik wajah datarnya.
“Vio,” sapa Kael, suaranya masih sama, hangat namun kini terasa seperti pisau. “Aku tahu kau di sini.”
Vio menoleh, menatapnya dengan dingin. “Jadi, kau masih ingat tempat ini,” katanya, nada sarkastiknya tak bisa disembunyikan. “Aku kira kau sudah lupa segalanya tentang Serayung.”
Kael menghela napas, duduk di samping Vio tanpa meminta izin. Jarak di antara mereka hanya beberapa inci, tapi terasa seperti jurang yang tak bisa dijembatani. “Aku tidak pernah lupa, Vio. Tidak pernah.”
“Jangan bohongi aku lagi, Kael,” potong Vio, suaranya bergetar. “Tiga tahun tanpa kabar, tanpa alasan. Dan sekarang kau muncul dengan undangan pernikahan? Apa yang kau harapkan dariku? Ucapan selamat?”
Kael memandang ke tanah, tangannya meremas-remas ujung kemejanya. “Aku ingin menjelaskan semuanya, Vio. Tapi… aku tidak tahu dari mana harus mulai.”
“Mungkin dari kenapa kau pergi tanpa pamit,” balas Vio, matanya berkaca-kaca. “Atau kenapa kau memilih wanita lain, padahal kau tahu… kau tahu apa yang pernah kita janjikan di sini.”
Kael terdiam, wajahnya penuh penyesalan. Untuk sesaat, Vio berharap Kael akan mengatakan bahwa pernikahan itu hanyalah kesalahan, bahwa ia masih mencintainya. Tapi harapan itu pupus ketika Kael akhirnya berbicara, suaranya pelan namun tegas. “Liravelle… dia baik, Vio. Dia membantu aku melewati masa-masa tersulitku di kota. Aku berutang padanya.”
“Berutang?” Vio tertawa pahit, air matanya akhirnya jatuh. “Jadi, kau menukar janji kita dengan utang budi? Kau menjual hati kita untuk apa, Kael? Posisi di kota? Uang? Atau hanya karena kau lelah dengan gadis desa seperti aku?”
“Itu tidak benar!” Kael bangkit, suaranya meninggi. “Kau tidak tahu apa yang aku alami di sana, Vio! Aku pergi karena aku harus, bukan karena aku ingin! Aku ingin kembali untukmu, tapi… semuanya berubah.”
Vio juga berdiri, menatap Kael dengan mata penuh amarah dan luka. “Kau yang mengubah semuanya, Kael. Kau yang memilih pergi. Kau yang memilih dia. Jangan salahkan dunia atas keputusanmu sendiri.”
Hening menyelimuti mereka. Hanya suara angin dan gemerisik daun yang terdengar, seolah pohon kelahiran itu ikut meratapi apa yang telah hilang. Vio merasa hatinya terkoyak, tapi ia menolak untuk menunjukkan kelemahannya lebih jauh. Ia mengambil undangan itu dari akar pohon, meremasnya hingga kusut, lalu melemparkannya ke arah Kael.
“Ambil ini,” katanya, suaranya serak. “Dan jangan pernah muncul di depanku lagi. Aku akan datang ke pernikahanmu, Kael. Tapi bukan untuk merayakan. Aku datang untuk mengubur semua kenangan kita.”
Kael memungut undangan itu, wajahnya pucat. “Vio, tolong… jangan benci aku.”
“Benci?” Vio tersenyum getir. “Aku tidak membencimu, Kael. Aku membenci diriku karena pernah mempercayaimu.”
Dengan itu, Vio berbalik, meninggalkan Kael di bawah pohon kelahiran. Langkahnya berat, setiap tapak terasa seperti menyeret seluruh masa lalunya. Di kejauhan, desa Serayung mulai diterangi lampu-lampu kecil, namun bagi Vio, dunia terasa gelap gulita. Ia tahu pernikahan Kael akan menjadi akhir dari segalanya—atau mungkin, awal dari sesuatu yang jauh lebih menyakitkan.
Di dalam hatinya, Vio berjanji pada dirinya sendiri: ia akan menghadiri kakak pernikahan itu, bukan sebagai tamu, tapi sebagai seseorang yang akan mengakhiri babak ini dengan caranya sendiri. Apa pun yang terjadi, pohon kelahiran akan tetap menjadi saksi—bukan hanya janji yang pernah diucapkan, tapi juga luka yang kini terukir dalam jiwa Vionara Elsera.
Bayang-Bayang di Rumah Tua
Malam menyelimuti desa Serayung dengan selimut kelam, hanya diterangi oleh titik-titik lampu dari rumah-rumah kayu yang berderet di sepanjang jalan tanah. Vionara Elsera, atau Vio, berjalan menyusuri lorong sempit menuju rumah tua yang dulu menjadi tempatnya berlindung dari dunia. Rumah itu, dengan dinding kayu yang mulai lapuk dan atap genting yang beberapa sudah retak, berdiri di ujung desa seperti penutup dari sebuah buku cerita yang tak pernah selesai. Di tangannya, ia memegang pita biru tua peninggalan ibunya, jari-jarinya mengelus kain itu seolah mencari kekuatan dari kenangan yang telah memudar.
Vio mendorong pintu kayu yang berderit, aroma kayu basah dan debu langsung menyapa hidungnya. Di dalam, ruang tamu yang sederhana menyambutnya dengan keheningan yang berat. Meja makan kecil di sudut, tempat ia dan ibunya dulu sering berbagi cerita sambil menikmati sup kacang merah, kini dipenuhi debu. Kursi-kursi tua tampak seperti menunggu tamu yang tak pernah datang. Vio menyalakan lampu minyak di dinding, cahayanya yang redup menerangi foto keluarga yang tergantung miring di dinding—gambar dirinya saat masih kecil, ibunya yang tersenyum lembut, dan ayahnya yang sudah lama menghilang dari hidup mereka.
Ia berjalan menuju kamar kecilnya di ujung rumah, tempat yang dulu menjadi bentengnya dari dunia luar. Di sana, di atas meja kayu yang penuh goresan, tergeletak sebuah kotak kecil dari kayu cendana yang ia buat bersama Kaelvion Ardhana—Kael—ketika mereka masih remaja. Kotak itu sederhana, diukir dengan motif bunga-bunga liar yang tumbuh di bukit Serayung, tapi baginya, kotak itu adalah kapsul waktu yang menyimpan serpihan masa lalu. Dengan tangan yang sedikit gemetar, Vio membuka kotak itu. Di dalamnya, ada gelang tali anyaman yang pernah Kael buat untuknya, sebuah kertas tua dengan tulisan tangan Kael yang berbunyi “Selamanya di bawah pohon kelahiran,” dan sehelai daun kering dari pohon itu sendiri, yang entah bagaimana masih utuh setelah bertahun-tahun.
Vio merasakan sesak di dadanya. Ia ingin membenci Kael, ingin melupakannya, tapi setiap sudut rumah ini, setiap benda di dalamnya, seolah bersekongkol untuk mengingatkannya pada pria itu. Ia duduk di tepi ranjang, memandangi gelang itu, dan tanpa sadar air matanya mulai jatuh. “Kenapa kau kembali hanya untuk menghancurkan semuanya lagi, Kael?” bisiknya pada kehampaan.
Tiba-tiba, ketukan pelan di pintu depan memecah kesunyian. Vio mengusap wajahnya dengan cepat, mencoba menyembunyikan jejak air mata, lalu berjalan menuju pintu. Di ambang pintu berdiri seorang wanita yang asing baginya. Wanita itu memiliki rambut pirang yang dikuncir rapi, matanya biru seperti langit pagi, dan senyumnya lembut namun penuh rahasia. Ia mengenakan gaun sederhana berwarna krem, namun ada aura anggun yang tak bisa disembunyikan, seolah ia berasal dari dunia yang jauh berbeda dari Serayung.
“Vionara Elsera?” tanya wanita itu, suaranya halus namun tegas.
Vio mengangguk, mencoba menahan rasa curiga yang muncul di hatinya. “Ya, saya Vio. Anda siapa?”
Wanita itu tersenyum kecil, mengulurkan tangan. “Saya Liravelle Syanita. Tunangan Kael.”
Kata-kata itu terasa seperti petir yang menyambar di malam yang sunyi. Vio merasakan dunia seolah berhenti berputar. Wanita di depannya ini adalah Liravelle, wanita yang akan menikahi Kael, wanita yang telah mengambil tempatnya dalam hidup pria yang pernah ia cintai. Vio menatap tangan yang diulurkan itu, tapi ia tak menggenggamnya. Sebaliknya, ia melangkah mundur, menjaga jarak.
“Apa yang kau inginkan?” tanya Vio, suaranya dingin, meskipun di dalam dadanya badai emosi sedang berkecamuk.
Liravelle menurunkan tangannya, seolah tak terkejut dengan sikap Vio. “Aku tahu ini aneh, datang ke sini begitu saja. Tapi aku ingin bertemu denganmu. Kael banyak bercerita tentangmu, tentang desa ini… tentang pohon kelahiran.”
Mendengar nama pohon itu dari mulut Liravelle membuat darah Vio mendidih. “Jadi, kau datang untuk apa? Pamer? Memastikan aku tidak akan mengacaukannya?” Nada Vio penuh sarkasme, tapi Liravelle hanya menggeleng pelan.
“Bukan itu,” kata Liravelle, suaranya tetap tenang. “Aku ingin memahami. Kael… dia tidak pernah benar-benar meninggalkan tempat ini, meskipun tubuhnya ada di kota. Aku tahu ada bagian dari hatinya yang masih di sini, bersamamu.”
Kata-kata itu seperti pisau yang menusuk tepat di jantung Vio. Ia ingin berteriak, ingin mengatakan bahwa Liravelle tak punya hak atas cerita mereka, atas pohon kelahiran, atas kenangan yang hanya miliknya dan Kael. Tapi di saat yang sama, ada sesuatu dalam nada Liravelle yang membuat Vio ragu—kelembutan yang tulus, namun juga kerapuhan yang tersembunyi.
“Kalau kau tahu itu, kenapa kau masih ingin menikahinya?” tanya Vio, suaranya bergetar. “Kalau kau tahu hatinya tidak sepenuhnya milikmu?”
Liravelle menunduk, tangannya meremas ujung gaunnya. “Karena aku mencintainya,” jawabnya pelan. “Dan karena dia membutuhkanku. Tapi aku tidak bodoh, Vio. Aku tahu aku bukan pilihannya yang pertama. Aku hanya… orang yang ada di sisinya ketika dia kehilangan segalanya.”
Vio terdiam. Ada sesuatu dalam kata-kata Liravelle yang membuatnya ingin tahu lebih banyak, namun luka di hatinya menolak untuk mendengar. “Jadi, kau datang untuk meminta simpati?” tanyanya, suaranya kembali tajam. “Atau kau pikir aku akan menyerahkan Kael begitu saja?”
Liravelle menggeleng lagi, matanya kini berkaca-kaca. “Aku tidak meminta apa-apa, Vio. Aku hanya ingin kau tahu bahwa aku tidak pernah bermaksud mengambil apa yang bukan milikku. Tapi Kael… dia memilih untuk melangkah maju. Aku harap kau juga bisa.”
Kata-kata itu terasa seperti tamparan. Vio merasakan amarah, kesedihan, dan kebingungan bercampur menjadi satu. Ia ingin membenci Liravelle, tapi wanita di depannya ini tidak seperti musuh yang ia bayangkan. Liravelle tampak rapuh, hampir seperti cerminan dirinya sendiri—seseorang yang berjuang melawan bayang-bayang masa lalu.
“Pergi,” kata Vio akhirnya, suaranya serak. “Aku tidak ingin mendengar apa pun lagi. Kau dan Kael… lakukan apa yang kalian mau. Tapi jangan harap aku akan merestui kalian.”
Liravelle mengangguk pelan, lalu berbalik tanpa kata. Langkahnya ringan namun penuh beban, meninggalkan Vio di ambang pintu dengan hati yang semakin terpecah. Malam itu, setelah Liravelle menghilang di ujung jalan, Vio kembali ke kamarnya, menggenggam gelang anyaman itu erat-erat hingga jari-jarinya memutih. Ia tahu pernikahan Kael semakin dekat, dan setiap hari yang berlalu terasa seperti menghitung mundur menuju akhir dari dirinya sendiri.
Di sudut kamar, bayang-bayang rumah tua seolah ikut berbisik, mengingatkannya pada janji-janji yang telah dilupakannya, dan luka-luka yang kini harus ia hadapi sendirian. Tapi di dalam hatinya, Vio merasakan bara kecil yang mulai menyala—bukan bara cinta, melainkan tekad untuk menghadapi pernikahan itu, bukan sebagai korban, tapi sebagai seseorang yang akan mengambil kendali atas ceritanya sendiri.
Malam Sebelum Badai
Malam di desa Serayung terasa lebih dingin dari biasanya, seolah alam ikut merasakan pergolakan yang mengguncang hati Vionara Elsera. Cahaya bulan purnama menyelinap melalui celah-celah jendela rumah tua, menerangi wajah Vio yang pucat di sudut kamarnya. Ia duduk di lantai kayu yang berderit, punggungnya bersandar pada dinding yang dingin, sementara gelang anyaman dari Kaelvion Ardhana masih tergenggam erat di tangannya. Kotak cendana di sampingnya terbuka, memperlihatkan kertas tua dengan tulisan “Selamanya di bawah pohon kelahiran” yang kini terasa seperti ejekan. Pertemuan dengan Liravelle Syanita tadi malam masih bergema di pikirannya, setiap kata wanita itu seperti duri yang menancap lebih dalam ke luka yang sudah ada.
Vio menarik napas panjang, mencoba menenangkan badai di dadanya. Ia tahu pernikahan Kael akan berlangsung besok, di balai desa yang telah dihias dengan bunga-bunga liar dan lampu-lampu kecil yang berkelap-kelip seperti kunang-kunang. Desa kecil ini sudah ramai sejak pagi, dengan para tetangga berbisik tentang kedatangan Liravelle, wanita kota yang anggun, dan Kael, anak desa yang kini kembali dengan aura yang berbeda. Vio bisa mendengar suara tawa dan obrolan dari kejauhan, namun baginya, semua itu hanyalah kebisingan yang mempertegas kesepiannya.
Ia bangkit, berjalan menuju cermin kecil yang tergantung di dinding kamar. Pantulan wajahnya terlihat asing—matanya sembab, rambutnya yang biasanya terikat rapi kini berantakan, dan pita biru tua peninggalan ibunya terlepas di lantai. “Kau harus kuat, Vio,” bisiknya pada dirinya sendiri, tapi suaranya terdengar rapuh, seperti daun kering yang mudah hancur. Ia tahu ia harus menghadiri pernikahan itu, bukan karena ingin, tapi karena ia merasa harus—harus melihat akhir dari cerita yang pernah ia tulis bersama Kael, harus mengubur kenangan itu dengan tangannya sendiri.
Vio mengambil gaun sederhana berwarna abu-abu dari lemari tua, gaun yang dulu ibunya buat untuk acara-acara khusus. Gaun itu sederhana, dengan potongan lurus dan sedikit renda di ujung lengan, namun bagi Vio, gaun itu membawa kenangan tentang ibunya yang selalu tersenyum meski hidup penuh luka. Ia mengenakan gaun itu, merapikan rambutnya, dan mengikatkan kembali pita biru tua di kepalanya. Di cermin, ia melihat seorang wanita yang bukan lagi gadis liar yang berlari di ladang jagung, melainkan seseorang yang bersiap menghadapi pertempuran terakhirnya.
Malam itu, Vio memutuskan untuk berjalan ke balai desa, tempat persiapan pernikahan sedang berlangsung. Ia ingin melihat, ingin tahu, mungkin juga ingin memahami mengapa Kael memilih jalan ini. Jalanan desa yang biasanya sepi kini dipenuhi orang-orang yang sibuk membawa keranjang bunga dan lentera. Di kejauhan, balai desa tampak seperti istana kecil, diterangi lampu-lampu yang bergoyang tertiup angin. Vio berhenti di dekat pagar kayu yang mengelilingi balai, bersembunyi di balik pohon akasia yang daunnya rimbun. Dari sana, ia bisa melihat Kael.
Kael berdiri di tengah kerumunan, mengenakan setelan jas sederhana berwarna biru tua yang membuatnya terlihat lebih dewasa dari yang Vio ingat. Ia sedang berbicara dengan beberapa tetua desa, senyumnya lebar namun terasa dipaksakan. Di sampingnya, Liravelle tampak anggun dalam gaun putih sederhana, rambut pirangnya terurai lembut, dan tangannya sesekali menyentuh lengan Kael dengan penuh kasih. Vio merasakan sesak di dadanya, seperti ada tangan tak terlihat yang meremas jantungnya. Ia ingin berbalik, ingin lari, tapi kakinya terpaku di tempat.
Tiba-tiba, Kael menoleh ke arahnya, seolah merasakan kehadirannya. Mata mereka bertemu, hanya untuk sesaat, namun cukup untuk membuat dunia Vio berputar. Ada sesuatu di mata Kael—penyesalan, mungkin, atau kerinduan yang terkubur dalam-dalam. Tapi sebelum Vio bisa memahami, Liravelle menarik perhatian Kael kembali, dan momen itu pun hilang. Vio menunduk, mencoba menahan air mata yang mengancam jatuh. Ia tahu ia tidak seharusnya ada di sini, tidak seharusnya menyiksa dirinya sendiri, tapi ada bagian dari dirinya yang masih mencari jawaban.
Saat ia hendak pergi, sebuah suara memanggilnya. “Vio?” Itu suara Nyai Suri, seorang tetua desa yang dulu sering merawatnya ketika ibunya sakit. Wanita tua itu mendekat, wajahnya yang penuh keriput dipenuhi kehangatan, namun matanya penuh kekhawatiran. “Kau di sini malam-malam begini? Besok adalah hari besar, kau seharusnya istirahat.”
Vio tersenyum tipis, mencoba menyembunyikan kegelisahannya. “Aku hanya ingin melihat, Nyai. Hanya… ingin tahu seperti apa semuanya.”
Nyai Suri menggenggam tangan Vio, jari-jarinya yang kasar terasa menenangkan. “Aku tahu ini berat untukmu, Nak. Kael… dia anak baik, tapi dia membuat pilihan yang menyakitimu. Tapi kau, Vio, kau lebih kuat dari ini. Jangan biarkan luka ini menentukan siapa dirimu.”
Kata-kata itu terasa seperti pelukan, namun juga seperti tamparan. Vio ingin percaya bahwa ia kuat, tapi setiap kali ia memikirkan Kael, setiap kali ia melihat Liravelle di sisinya, ia merasa seperti gadis kecil yang ditinggalkan di bawah pohon kelahiran. “Nyai,” katanya pelan, suaranya hampir tenggelam oleh suara angin, “apakah salah jika aku masih mencintainya?”
Nyai Suri menghela napas, matanya penuh kasih sayang. “Cinta bukan salah, Nak. Tapi kadang, kita harus belajar mencintai diri kita sendiri lebih dulu. Kael sudah memilih jalannya. Sekarang, kau harus memilih jalannya.”
Vio terdiam, kata-kata Nyai Suri bergema di pikirannya. Ia tahu wanita tua itu benar, tapi hatinya menolak untuk melepaskan. Ia mengangguk pelan, lalu berpamitan, berjalan kembali ke rumah tua dengan langkah yang lebih berat dari sebelumnya. Di sepanjang jalan, bayang-bayang pohon-pohon desa seolah menari, mengikuti irama kesedihannya.
Kembali di kamarnya, Vio duduk di tepi ranjang, memandangi gelang anyaman yang kini terasa seperti beban. Ia tahu besok akan menjadi hari yang akan mengubah segalanya—hari ketika ia harus menghadapi Kael, Liravelle, dan kenangan yang telah menghantuinya selama bertahun-tahun. Tapi di dalam hatinya, ada sesuatu yang mulai berubah. Bara kecil yang ia rasakan setelah pertemuan dengan Liravelle kini mulai membesar, bukan lagi sekadar tekad, melainkan api yang menuntut keadilan—bukan untuk Kael, bukan untuk Liravelle, tapi untuk dirinya sendiri.
Malam itu, saat bulan purnama mencapai puncaknya, Vio berjanji pada dirinya sendiri. Ia akan menghadiri pernikahan itu, bukan sebagai korban dari cinta yang dikhianati, melainkan sebagai wanita yang akan menutup babak ini dengan kepala tegak. Apa pun yang terjadi besok, ia akan menghadapinya dengan caranya sendiri, meski itu berarti harus menghadapi badai yang telah lama mengintai di hatinya.
Abu Janji di Bawah Pohon Kelahiran
Hari pernikahan tiba di desa Serayung dengan langit yang cerah, seolah alam ingin merayakan apa yang bagi Vionara Elsera adalah akhir dari sebuah mimpi. Matahari pagi menyelinap melalui celah-celah jendela rumah tua, menerangi gaun abu-abu yang tergantung di dinding, pita biru tua yang terikat rapi di rambutnya, dan wajahnya yang kini memancarkan keteguhan yang baru. Vio berdiri di depan cermin kecil, menatap pantulannya. Matanya yang sembab semalam kini terlihat tajam, seolah telah menemukan tujuan. Gelang anyaman peninggalan Kaelvion Ardhana terletak di meja kayu, namun ia memilih untuk tidak memakainya hari ini. “Ini bukan tentangmu lagi, Kael,” bisiknya pada cermin, suaranya penuh tekad. “Ini tentang aku.”
Balai desa sudah ramai sejak pagi. Bunga-bunga liar dari bukit Serayung dihias dengan pita-pita berwarna krem, lentera-lentera kecil bergoyang tertiup angin, dan aroma kue-kue tradisional yang dipanggang oleh para tetangga memenuhi udara. Vio berjalan menuju balai dengan langkah yang mantap, meski setiap tapak terasa seperti menyeret beban kenangan. Di tangannya, ia membawa kotak cendana kecil yang berisi kertas tua dengan tulisan Kael dan daun kering dari pohon kelahiran. Ia belum tahu apa yang akan dilakukannya dengan benda-benda itu, tapi ia merasa membawanya adalah bagian dari perjalanan ini.
Saat tiba di balai, Vio disambut oleh kerumunan warga desa yang mengenakan pakaian terbaik mereka. Ada Nyai Suri, yang menatapnya dengan campuran kekhawatiran dan kebanggaan, dan anak-anak kecil yang berlarian dengan tawa riang, seolah tak menyadari badai yang berkecamuk di hati Vio. Di tengah balai, sebuah pelaminan sederhana telah disiapkan, dihiasi dengan kain putih dan bunga-bunga liar yang sama yang pernah ia dan Kael petik bersama di masa kecil. Pemandangan itu membuat dadanya sesak, tapi ia menolak untuk menunduk.
Kael berdiri di dekat pelaminan, tampak gagah dalam jas biru tua yang sama yang ia kenakan malam sebelumnya. Di sampingnya, Liravelle Syanita tampak seperti malaikat dalam gaun pengantin putih yang sederhana namun anggun, rambut pirangnya dihiasi bunga-bunga kecil. Mereka berdua tampak seperti lukisan yang sempurna, namun bagi Vio, pemandangan itu adalah lukisan yang salah—lukisan yang seharusnya memuat dirinya, bukan Liravelle.
Upacara dimulai dengan doa dari tetua desa, diikuti oleh nyanyian tradisional yang mengalun lembut. Vio memilih berdiri di barisan belakang, di bawah naungan pohon akasia yang sama tempat ia bersembunyi malam sebelumnya. Ia bisa merasakan tatapan sesekali dari warga desa, beberapa penuh simpati, beberapa penuh rasa ingin tahu. Tapi Vio tidak peduli. Matanya tertuju pada Kael, pada senyumnya yang terlihat dipaksakan, pada tangannya yang sesekali meremas lengan Liravelle seolah mencari pegangan.
Ketika tiba saatnya untuk janji pernikahan, Vio merasakan jantungannya berdegup kencang. Suara tetua desa menggema, meminta Kael dan Liravelle untuk mengucapkan ikrar mereka. Kael berbicara lebih dulu, suaranya tenang namun ada getar halus yang hanya Vio yang bisa menangkap. “Aku, Kaelvion Ardhana, berjanji untuk mencintai dan melindungi Liravelle Syanita, dalam suka maupun duka, hingga akhir waktu.” Kata-kata itu terasa seperti pisau yang menusuk hati Vio, namun ia tetap berdiri tegak, menolak untuk runtuh.
Liravelle berbicara selanjutnya, suaranya lembut namun penuh keyakinan. “Aku, Liravelle Syanita, berjanji untuk mendampingi Kaelvion Ardhana, menjadi rumah baginya, dalam segala keadaan.” Vio memejamkan mata, mencoba menahan gelombang emosi yang mengancam menenggelamkannya. Ia ingin berteriak, ingin menghentikan semuanya, tapi ia tahu itu bukan jalannya. Ia bukan lagi gadis yang dulu menangis di bawah pohon kelahiran. Ia adalah Vionara Elsera, wanita yang akan menutup babak ini dengan caranya sendiri.
Setelah upacara selesai, para tamu bergerak menuju meja-meja yang dipenuhi makanan, sementara musik tradisional mulai mengalun. Vio melihat Kael dan Liravelle berjalan ke tengah balai untuk tarian pertama mereka sebagai pengantin. Mereka bergerak dengan anggun, namun Vio bisa melihat ketegangan di wajah Kael, matanya yang sesekali melirik ke arah kerumunan, seolah mencari seseorang. Ketika mata mereka bertemu lagi, Vio tidak lagi menghindar. Ia menatap Kael dengan tatapan yang penuh makna—bukan amarah, bukan kesedihan, melainkan perpisahan.
Vio berjalan menjauh dari kerumunan, meninggalkan balai desa menuju tempat yang selalu menjadi pelariannya: pohon kelahiran. Angin sore membelai wajahnya, membawa aroma tanah basah dan kenangan yang kini terasa jauh. Ia duduk di akar pohon yang sama, membuka kotak cendana yang ia bawa. Di dalamnya, kertas tua dengan tulisan Kael dan daun kering itu tampak seperti relik dari kehidupan lain. Vio mengambil kertas itu, membacanya sekali lagi: “Selamanya di bawah pohon kelahiran.” Ia tersenyum pahit, lalu merobek kertas itu perlahan, membiarkan potongan-potongannya terbawa angin.
Dari kejauhan, ia mendengar langkah kaki yang mendekat. Kael muncul, masih mengenakan jas pengantinnya, wajahnya penuh keresahan. “Vio,” panggilnya, suaranya serak. “Aku tahu kau akan di sini.”
Vio tidak menoleh, matanya tertuju pada daun-daun yang bergoyang. “Selamat, Kael,” katanya, suaranya datar. “Kau akhirnya menepati janji pernikahanmu. Hanya saja, bukan denganku.”
Kael melangkah mendekat, tapi Vio mengangkat tangan, menghentikannya. “Jangan,” katanya tegas. “Jangan membuat ini lebih sulit dari yang sudah ada.”
“Aku tidak ingin menyakitimu, Vio,” kata Kael, suaranya penuh penyesalan. “Aku pergi karena aku harus. Kota… itu menghancurkanku. Liravelle menyelamatkanku. Tapi kau… kau selalu menjadi bagian dari diriku.”
Vio akhirnya menoleh, matanya penuh api. “Jangan katakan itu, Kael. Kau tidak punya hak lagi untuk mengatakan itu. Kau memilih jalannya, dan aku harus menghormati itu. Tapi aku juga memilih jalanku sekarang.”
Ia mengambil daun kering dari kotak cendana, meremukkannya di tangannya hingga menjadi debu. “Janji kita sudah mati, Kael. Biarkan ia terkubur di sini, di bawah pohon ini.”
Kael terdiam, wajahnya pucat. Untuk pertama kalinya, Vio melihat kerapuhan di matanya, sesuatu yang tidak pernah ia lihat selama bertahun-tahun. Tapi ia tidak lagi merasa iba. Ia bangkit, menatap Kael untuk terakhir kalinya. “Aku datang ke pernikahanmu bukan untuk merayakan, tapi untuk mengucapkan selamat tinggal. Hidup bahagia, Kael. Aku akan menemukan kebahagiaanku sendiri.”
Dengan itu, Vio berbalik, meninggalkan Kael di bawah pohon kelahiran. Langkahnya ringan, seolah beban yang selama ini ia pikul telah terlepas. Di kejauhan, suara musik dari balai desa masih terdengar, namun bagi Vio, itu hanyalah latar belakang dari babak baru dalam hidupnya. Pohon kelahiran, yang selama ini menjadi saksi janji dan luka, kini menjadi saksi kebebasannya.
Saat matahari tenggelam di cakrawala, Vio berjalan menuju rumah tua, hatinya penuh dengan campuran kesedihan dan harapan. Ia tahu luka itu tidak akan sembuh dalam semalam, tapi ia juga tahu bahwa ia lebih kuat dari yang ia kira. Pernikahan yang ia benci telah berakhir, dan kini, di bawah langit Serayung yang luas, Vionara Elsera siap menulis cerita baru—cerita tentang dirinya sendiri, tentang keberanian, dan tentang cinta yang akan ia temukan, bukan di masa lalu, tapi di masa depan.
Pernikahan yang Ku Benci bukan sekadar cerita tentang patah hati, melainkan sebuah cerminan kekuatan untuk melepaskan masa lalu dan merangkul masa depan. Kisah Vionara mengajarkan kita bahwa, di tengah luka terdalam, selalu ada harapan untuk menemukan diri sendiri. Jangan lewatkan novel pendek ini yang akan membawa Anda pada perjalanan emosional tak terlupakan, penuh dengan pelajaran tentang cinta dan keberanian.
Terima kasih telah menyimak ulasan tentang Pernikahan yang Ku Benci. Semoga kisah ini menginspirasi Anda untuk menemukan kekuatan dalam setiap luka dan melangkah maju dengan penuh harapan. Sampai jumpa di artikel berikutnya, dan jangan lupa bagikan cerita ini kepada mereka yang membutuhkan sentuhan emosi dan motivasi!


