Daftar Isi
Pernikahan itu nggak selalu tentang gaun pengantin mewah atau resepsi besar-besaran, kan? Kadang, kebahagiaan sejati datang dari hal-hal yang paling sederhana. Dalam cerita “Langkah Ketujuh di Jalan Lurus Terakhir”, kita diajak melihat bagaimana dua orang yang awalnya tidak ada rencana untuk berkomitmen, justru menemukan cinta dalam cara yang tak terduga.
Mulai dari bengkel motor hingga bunga liar, kisah cinta ini mengajarkan kita bahwa pernikahan yang bahagia bisa dimulai dari hal-hal kecil yang penuh arti. Penasaran dengan perjalanan Ivara dan Jaska? Yuk, simak cerita lengkapnya dan temukan inspirasi pernikahan yang penuh makna tanpa harus mengikuti standar masyarakat!
Pernikahan Tak Terduga
Hujan Pertama dan Kap Mesin yang Terbuka
Langit sore itu tampak seperti lembar kanvas kelabu yang diguyur tinta air. Hujan turun tidak lewat gerimis pelan, tapi langsung seperti curahan ember besar dari langit. Daun-daun pisang di pinggir jalan membungkuk lemas, dan suara rintik menghantam aspal memantul menjadi irama kacau yang memenuhi udara.
Di tengah jalan provinsi yang lengang itu, sebuah mobil klasik berwarna oranye tua berdiri diam seperti tugu, kontras dengan suasana yang bergerak cepat karena angin dan hujan. Lampunya masih menyala, meskipun mesinnya sudah mati sejak lima belas menit lalu. Kabut tipis memenuhi kaca depan, seolah mobil itu sedang menghela napas panjang setelah kalah bertarung dengan usia.
Di dalam mobil, seorang perempuan duduk bersandar dengan kedua tangan melipat di atas setir. Wajahnya datar, bukan marah, bukan juga panik. Ia sudah menelpon bengkel tiga kali, tak ada sinyal. Ia sudah mencoba starter berkali-kali, hanya mendapat batuk dari mesin yang kelelahan. Tangan kirinya sesekali mengusap embun dari kaca, sementara tangan kanan menggenggam ponsel yang hanya menampilkan tulisan “Searching…”
Bibirnya bergumam, “Kenapa juga aku bawa mobil tua ke acara nikahan orang…”
Dari balik kabut dan air hujan, muncul seberkas cahaya—bukan dari lampu mobil, melainkan senter bengkel model lama yang menggantung dari tangan seseorang. Sosok itu muncul dari arah kebun karet, memakai hoodie gelap, celana yang sedikit basah di ujungnya, dan sepatu yang tampak seperti baru dipakai menyeberang sungai.
Ia mengetuk pelan kaca jendela pengemudi. Suaranya tertutup hujan, tapi ketukannya terdengar jelas.
Perempuan itu menurunkan kaca sedikit. Hujan masuk, membasahi sebagian pundaknya. Tapi ia tak bergeming.
“Kamu butuh bantuan?” tanya suara dari luar. Dalam cahaya redup, terlihat wajah laki-laki berambut ikal sebahu, mata tajam tapi tidak menghakimi.
“Aku kira kamu cuma ilusi dari sisa kopi sore tadi,” jawab perempuan itu, tanpa ekspresi geli maupun takut.
Laki-laki itu tertawa pelan. “Kalau aku ilusi, berarti aku yang datang dari kopi robusta yang basi.”
Ia menyorotkan lampunya ke kap mobil. “Boleh aku lihat?”
Perempuan itu mengangguk. “Kalau kamu orang jahat, aku sudah siap bacok pakai kunci roda.”
“Kita hidup di negara yang penuh kejutan, jadi itu tindakan yang bijak,” jawabnya, membuka kap mesin sambil menggelar handuk kecil yang ia keluarkan dari ransel lusuh di punggungnya.
Tangannya bergerak lincah. Cahaya senter yang diikat ke bahunya bergoyang seiring gerakan tubuhnya yang membungkuk dan meneliti tiap bagian mesin. Sesekali terdengar gumaman, entah kutukan kecil atau dialog internal antara dia dan mobil itu.
“Ini Datsun 280Z kan?” tanyanya tanpa menoleh.
“Iya. Warisan almarhum ayahku,” jawab si perempuan, keluar dari mobil dan berdiri di sampingnya sambil memegangi payung kecil.
“Mobil tua itu kayak kakek-kakek. Kalau udah nggak dikasih perhatian, dia ngambeknya parah.”
“Aku rawat, kok. Tapi dia tetap mogok.”
“Berarti dia ngambek karena kamu kurang dengerin keluhannya.”
Perempuan itu mendengus. “Kamu tukang servis mobil atau psikolog mesin?”
“Kadang-kadang aku jadi keduanya. Tergantung siapa yang butuh diselamatkan duluan: pemiliknya atau kendaraannya.”
Ia terus bekerja. Suara hujan tetap deras, tapi di bawah kap mesin, dunia seperti menyusut jadi dua orang dan satu mesin tua.
“Aku Jaska, by the way,” katanya, menyelipkan tangannya ke sela-sela kabel.
“Ivara.”
Jaska berhenti sebentar, menoleh ke arah perempuan itu. “Nama kamu keren.”
“Nama kamu juga… agak nyeleneh.”
“Terdengar seperti judul novel remaja yang gagal diterbitin?”
“Lebih kayak tokoh mitologi lokal yang kerja sambilan di bengkel.”
Jaska tertawa kecil, lalu memasang kembali selang kecil yang nyaris copot dari intake manifold. Tangannya penuh noda hitam, tapi gerakannya terukur, seperti penari yang hafal panggungnya.
“Coba starter,” katanya, mundur sedikit.
Ivara masuk lagi ke mobil, memutar kunci, dan dalam sekali nafas mesin tua itu menyala—kasar, berat, tapi hidup.
“Luar biasa,” katanya sambil tersenyum lebar, suara mesinnya mengalahkan nada datarnya tadi.
Jaska mengangkat dua jempol. “Masih bisa jalan sampai ke bulan kalau kamu sabar.”
“Aku cukup sabar buat orang yang muncul dari balik kebun dan benerin mobil orang asing.”
“Berarti kamu juga cukup sabar buat hidup.”
Mereka saling tatap dalam jeda kecil yang tidak canggung. Hujan masih turun, tapi lebih ringan. Langit seperti sedang menarik napas panjang.
“Aku harus lanjut jalan,” kata Ivara akhirnya. “Sahabatku nikah hari ini. Aku nggak yakin bisa nyusul acara resepsinya kalau nungguin truk derek.”
“Semoga kamu nyampe tepat waktu.”
Ia mengangguk. Tapi sebelum menutup kaca, ia berkata pelan, “Kapan-kapan, kalau mobilku rusak lagi… semoga kamu yang nemu.”
Jaska tak menjawab. Ia hanya berdiri sambil memasukkan lap ke saku celana. Lampu bengkelnya masih menyala samar.
Mobil Datsun oranye itu melaju pelan, meninggalkan percikan air di belakang, sementara Jaska berdiri di pinggir jalan yang mulai sepi. Di saku celananya, ponsel tua berbunyi pelan. SMS masuk.
Dari nomor tak dikenal, hanya berisi satu baris:
“Terima kasih, Jaska. Dari Ivara yang nggak percaya kebetulan.”
Percakapan Tanpa Janji, Pertemuan Tanpa Janjian
Tiga bulan berlalu tanpa suara. Tak ada kabar, tak ada pesan. Seperti hujan malam itu hanyalah fragmen kecil dalam hidup dua orang yang sibuk dengan dunianya masing-masing. Tapi semesta kadang menyimpan kejutan dalam bentuk yang terlalu santai untuk disebut takdir.
Siang hari di pekan pertama bulan Juni, matahari terlalu semangat menyala. Di bengkel kecil yang berdiri miring di sudut jalan—tempat oli bocor lebih sering ketimbang uang masuk—Jaska sedang jongkok di samping motor tua yang knalpotnya ngambek.
Sebuah suara tiba-tiba memecah hiruk pikuk mesin:
“Ini tempatnya, ya?”
Jaska menoleh, lalu berdiri dengan gerakan setengah ragu, setengah yakin. Di depan pintu bengkel berdiri seorang perempuan dengan kemeja hitam digulung sampai siku dan kacamata hitam bertengger di kepala. Ivara.
Dia tidak menunggu sapaan. Langsung melangkah ke dalam bengkel, memandangi rak-rak penuh peralatan, lalu duduk di kursi plastik biru yang satu kakinya lebih pendek.
“Kamu beneran kerja di sini?”
“Bukan tempat paling elegan di kota ini, tapi cukup buat bayar utang dan ngopi tiap sore.”
Ivara menatap sekeliling. “Aku nganterin temanku servis motor. Pas dia sebut ‘bengkel kecil di dekat warung soto tiga kursi’, aku langsung ngerasa aneh.”
“Semesta ngajak reuni?” Jaska meletakkan kunci pas ke meja.
“Atau kamu yang kebanyakan dosa, makanya aku dikirim buat ngingetin.”
“Kalau kamu utusan semesta, kenapa kamu gayanya kayak debt collector?”
Mereka tertawa kecil. Hangat. Tidak kikuk. Seperti dua orang yang pernah hidup di dunia yang sama, tapi lupa saling sapa.
“Gimana mobilmu?” tanya Jaska, mengambil dua botol teh manis dari kulkas kecil di pojok.
“Masih hidup. Tapi dia kayak manusia juga—mood-nya naik turun.”
Jaska menyerahkan satu botol ke Ivara. “Berarti kamu udah belajar dengerin keluhannya.”
“Aku juga belajar ngomong sama dia. Kadang dia cuma butuh dimengerti.”
“Kadang yang rusak itu bukan mesinnya, tapi perhatian pemiliknya.”
“Aku harus bayar berapa buat kata-kata bijak itu?”
“Gratis. Tapi kalo kamu mau, traktir aku makan soto tiga kursi nanti juga boleh.”
Ivara menatapnya sejenak, lalu mengangguk. “Kapan kamu selesai?”
“Motor ini cuma pura-pura rusak. Yang rusak itu dompet pemiliknya. Setengah jam lagi juga beres.”
Mereka menghabiskan waktu di antara bau oli, suara kunci beradu, dan sesekali tawa kecil yang muncul tanpa sebab. Tidak ada yang membahas masa lalu, tidak juga menyinggung tentang pertemuan sebelumnya. Seperti dua rel kereta yang bertemu lagi setelah lama berjalan sejajar di sisi berbeda.
Sore itu, mereka makan di warung kecil yang bahkan tak punya nama. Hanya ada tiga kursi, satu kipas angin yang tak berputar sempurna, dan seorang ibu paruh baya yang hafal nama pelanggan dari nada napasnya saja.
“Aku nggak nyangka kamu bakal datang lagi,” ujar Jaska, menyendok soto.
“Aku juga nggak nyangka kamu masih jadi kamu.”
“Maksudnya?”
“Biasanya orang berubah. Apalagi setelah ketemu cewek di tengah hujan dan nolongin mobil mogok. Mereka jadi dramatis. Bikin akun Instagram quotes.”
“Untung aku nggak punya Instagram.”
“Berarti kamu masih manusia.”
Obrolan mereka tidak pernah melompat terlalu jauh, tapi juga tidak diam di tempat. Seperti berjalan kaki sore hari—tidak buru-buru, tapi terasa sampai.
Malamnya, sebelum berpisah, Ivara berdiri sebentar di depan bengkel. Matanya menatap pintu kayu yang sudah lapuk di sudut kanan.
“Kamu tahu, kadang aku mikir…” katanya tiba-tiba.
“Mikir apa?”
“Kalau waktu itu mobilku nggak mogok… mungkin aku nggak pernah ketemu kamu.”
Jaska tidak menjawab. Ia hanya berdiri diam, tangan dimasukkan ke saku celana.
“Tapi kadang hal kecil itu yang justru ngubah arah.”
“Kayak mur kecil yang nahan satu ban tetap di tempat?”
“Persis.”
Hening sebentar. Angin lewat, membawa sisa bau oli dan debu aspal yang belum disapu.
“Aku nggak janji bakal sering ke sini,” kata Ivara pelan.
“Aku juga nggak janji bakal nungguin,” balas Jaska, sama pelannya.
“Tapi kalau aku datang lagi, aku harap kamu masih jadi kamu.”
Jaska mengangguk, senyumnya tipis. “Dan kalau kamu datang lagi, semoga aku belum berubah jadi mitos.”
Ivara tersenyum, lalu naik ke motor bersama temannya yang sudah menunggu. Motor itu melaju pelan meninggalkan suara knalpot tua dan percikan kecil di aspal yang sudah mulai gelap.
Dari balik pintu bengkel, Jaska masih berdiri, diam. Lalu pelan-pelan, ia kembali ke dalam, mematikan lampu gantung satu per satu. Tapi sebelum menutup pintu, ia menatap langit yang mulai berbintang.
Tidak semua orang kembali.
Tapi beberapa memang tidak pernah benar-benar pergi.
Laporan Aneh Bernama Lamaran
Ivara tidak tahu pasti kapan pikirannya mulai terombang-ambing di antara dua pilihan: kembali ke rutinitas biasa atau menghadapi sesuatu yang lebih besar dari sekadar hujan atau mesin yang mogok. Dalam beberapa bulan setelah pertemuan di bengkel itu, ia merasa hidupnya mulai dipenuhi hal-hal kecil yang aneh dan tidak terduga, seolah-olah dunia menganggapnya seorang penulis skenario untuk drama yang tidak bisa ditebak.
Ada satu momen yang sangat membekas: ketika ia kembali mengunjungi bengkel di sore yang cerah, hanya untuk menemukan Jaska sedang duduk di atas mesin mobil yang tak lagi berfungsi, menghisap rokok dengan pandangan kosong. Tidak ada percakapan panjang, hanya tatapan yang saling berbicara.
Itulah pertama kalinya Ivara berpikir untuk mengunjungi Jaska lagi, tanpa alasan apa-apa, selain untuk memastikan ia baik-baik saja. Mereka tidak bertemu terlalu sering, tidak ada pesan-pesan panjang, tidak ada telepon yang mengganggu rutinitas masing-masing. Tapi Ivara merasa, jika ada satu hal yang bisa ia lakukan untuk dirinya sendiri, itu adalah memilih untuk datang. Pilihannya itu tidak membebani.
Beberapa minggu kemudian, ketika hari sudah mendekati penghujung musim kemarau, Ivara merasa sesuatu dalam dirinya mulai menggeliat, meminta perhatian. Ia sudah terlalu lama menjalani hidup dengan perasaan yang terikat pada “status quo”. Ia bekerja, makan, tidur, dan sesekali datang ke bengkel untuk melihat Jaska. Sesekali, ia mengingat pertemuan pertama mereka—hujan, mobil mogok, dan percakapan tanpa rencana. Percakapan itu yang mengikatnya. Percakapan yang membawanya ke sini.
Dan di satu malam yang tak terduga, dengan perasaan yang tak bisa ia jelaskan, Ivara berdiri di depan bengkel Jaska.
“Jaska…” suara Ivara terdengar lebih serius dari biasanya. Jaska, yang tengah sibuk mengutak-atik ban motor, menghentikan pekerjaannya dan menoleh.
Ivara berdiri di pintu dengan ekspresi yang lebih tenang daripada biasanya, memegang kunci mobil yang sudah lama ia simpan. Kunci yang sudah seminggu ini tidak pernah lepas dari tangannya.
“Ada apa?” tanya Jaska, mengelap keringat di dahinya dengan kain lap yang terlihat sudah tak berbentuk lagi.
“Aku mau menikah,” kata Ivara, dan kalimat itu keluar begitu saja dari mulutnya, tanpa direncanakan sebelumnya. Tanpa ada persiapan. Tanpa ada basa-basi.
Jaska menatapnya, matanya sedikit menyipit. “Kamu serius?”
Ivara mengangguk pelan. “Iya.”
Mereka berdua berdiri dalam diam yang terlalu panjang. Hanya terdengar suara deru mobil yang lewat di luar. Jaska memandang Ivara seperti ada yang hilang dari kata-katanya. Mungkin ia berpikir bahwa ini hanya lelucon atau mungkin… ia mencoba mencari makna di balik kalimat itu.
“Siapa yang akan kamu nikahi?” tanya Jaska, suara keras dan datar, tapi ada sedikit kekhawatiran yang tak terucap di sana.
“Bukan itu maksudku,” jawab Ivara, menyentuh dadanya. “Aku mau kamu.”
Jaska terdiam. Untuk sesaat, dunia di sekitar mereka seperti berhenti. Semua mesin yang berbunyi, semua suara yang membahana di bengkel, hilang begitu saja.
“Aku?” Jaska tertawa, agak terkejut. “Kenapa harus aku?”
Ivara memutar kunci mobil di tangan. “Karena aku nggak bisa membayangkan hidup tanpa kamu di dalamnya. Tidak ada alasan lain.”
Jaska menatapnya lama sekali, mencoba membaca ekspresi di wajah perempuan yang baru beberapa bulan ini ia kenal. Perempuan yang datang dengan mobil tua dan hujan deras. Perempuan yang selalu punya cara untuk membuat hidupnya lebih aneh dan lebih indah.
Lalu, perlahan, senyum kecil muncul di wajah Jaska. Ia melangkah maju dan menyentuh bahu Ivara. “Aku nggak janji banyak hal. Tapi kalau kamu serius, aku nggak akan pergi. Aku akan tetap di sini. Jadi, ya…” Ia terdiam sebentar, lalu menambahkan, “…ayo kita coba.”
Ivara tersenyum lebar, dan sesuatu yang telah lama tersembunyi dalam dirinya mulai muncul. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, tapi untuk pertama kalinya, ia merasa lega. Ia merasa bebas. Ia merasa seperti menemukan jawaban untuk semua pertanyaan yang selama ini mengendap dalam dirinya.
“Jadi ini lamaran?” tanya Ivara, sedikit bercanda, walaupun hatinya penuh dengan perasaan yang tak terungkapkan.
Jaska tertawa pelan. “Kalau gitu, aku yang harus bilang, ‘Aku terima lamaranmu.’”
Dan mereka berdua tertawa, tertawa lebih lama daripada yang mereka kira. Tertawa seperti dua orang yang baru menemukan sesuatu yang lebih penting daripada apa pun: keberanian untuk bersama, tanpa janji dan tanpa rencana, hanya mengikuti arus kehidupan yang mengalir dengan cara yang tak terduga.
Resepsi di Bengkel dan Janji yang Tak Pernah Dibungkus Mewah
Hari itu, matahari terbenam dengan warna oranye yang lembut, hampir serupa dengan warna mobil Datsun tua milik Ivara yang masih setia menemani perjalanan hidupnya. Namun, hari ini ada satu hal yang berbeda. Bengkel kecil itu—tempat yang sudah menjadi rumah kedua bagi Jaska—berubah menjadi sebuah panggung, meskipun tidak ada tenda besar atau lampu-lampu mewah. Tidak ada dekorasi bunga yang disusun dengan teliti, dan tidak ada tamu dengan pakaian formal. Hanya ada dua kursi plastik, beberapa teman dekat, dan sebuah meja kayu sederhana yang penuh dengan hidangan lokal favorit mereka.
Jaska berdiri di dekat pintu bengkel, mengenakan kemeja hitam yang sedikit kusut dan celana jins yang sudah tidak lagi hitam pekat. Di tangannya ada seikat bunga yang bukan bunga langka atau mahal, hanya beberapa bunga liar yang ia petik di pinggir jalan. Di belakangnya, Ivara menunggu dengan senyum tipis, mengenakan gaun sederhana yang terasa sempurna untuknya—tidak ada pita besar, tidak ada aksesoris berlebihan. Ia merasa, jika ia berpura-pura menjadi sesuatu yang bukan dirinya, maka semuanya akan terasa salah. Ia lebih suka menjadi dirinya sendiri di sini, di tempat ini, dengan orang yang tepat.
“Siap?” tanya Ivara, menatap Jaska dengan penuh arti.
Jaska tersenyum lebar. “Siap. Kalau kamu siap.”
Mereka tidak tahu kenapa mereka memutuskan untuk melakukan ini dengan cara yang tak biasa. Tentu saja, mereka tahu bahwa banyak orang akan merasa aneh, bahkan mungkin menganggap pernikahan mereka bukanlah sesuatu yang sesuai dengan norma. Namun, bagi mereka, ini adalah perayaan yang paling benar. Mereka berdua tahu bahwa hidup ini terlalu singkat untuk terjebak dalam ekspektasi orang lain. Apa yang mereka butuhkan bukanlah kemewahan atau perhatian. Mereka hanya butuh satu sama lain dan janji sederhana.
Satu per satu, orang-orang yang datang mulai memasuki bengkel. Mereka semua adalah orang-orang yang sudah cukup mengenal Jaska dan Ivara, teman-teman yang pernah memberi dukungan selama perjalanan hidup mereka, tanpa pernah menilai apapun dengan cara yang berbeda. Beberapa duduk di kursi plastik, beberapa berdiri dengan cangkir kopi yang disiapkan oleh ibu bengkel yang selalu tahu kapan harus datang dengan secangkir hangat.
Pesta ini berlangsung sederhana—tanpa keterlaluan, tanpa sambutan megah, hanya tawa dan cerita lama yang kembali diceritakan. Mereka tidak membutuhkan banyak kata. Semuanya sudah tercatat di dalam hati mereka. Beberapa orang duduk di meja kayu dengan irisan kue sederhana, sementara yang lainnya ngobrol di sudut bengkel, seolah tempat itu adalah dunia mereka yang paling nyaman.
Ketika Jaska dan Ivara berdiri di depan meja, tanpa kotak cincin atau dokumen pernikahan resmi, mereka hanya bertukar pandang. Hanya ada kedamaian di antara mereka. Jaska memberikan bunga liar yang ia petik di pinggir jalan. Ivara menerima dengan senyum yang lebih dalam, dan tanpa kata-kata berlebihan, mereka saling berjanji.
“Ivara, aku terima kamu dengan semua yang ada padamu. Tanpa drama, tanpa syarat,” kata Jaska dengan tulus. “Aku ingin menghabiskan sisa hidupku bersamamu. Bukan karena kita harus, tapi karena kita memilih ini.”
Ivara menatapnya dengan mata yang sedikit berkaca-kaca, lalu berkata, “Aku terima kamu, Jaska. Tidak ada yang lebih penting bagi aku selain bisa menjalani hari-hari ini bersamamu. Kita tidak perlu banyak kata untuk itu. Kita hanya perlu saling ada.”
Ketika mereka saling bertukar pandang, dunia di sekitar mereka seolah berhenti sejenak. Tidak ada lonceng pernikahan atau tepuk tangan. Hanya ada dua orang yang memilih untuk melangkah bersama—tanpa hiasan, tanpa ekspektasi besar, hanya dengan janji yang sederhana namun kuat.
Dan saat itu juga, mereka saling mengikat janji dengan senyum yang tidak pernah pudar, seperti bengkel yang menjadi saksi bisu dari perjalanan mereka—tempat yang dulu hanya berisi mesin dan oli kini menjadi tempat untuk membangun kehidupan baru yang penuh makna.
Tidak ada pernikahan besar yang dipenuhi dengan semua kemewahan, tidak ada cerita romantis yang berlebihan. Hanya ada dua hati yang berjanji untuk berjalan bersama, mengikuti arus kehidupan yang tak pernah bisa diprediksi, tetapi penuh dengan kebahagiaan yang sederhana. Dan itu, bagi mereka, adalah segalanya.
Dengan berakhirnya Bab 4, kisah Ivara dan Jaska berakhir dengan manis dan penuh arti. Mereka tidak butuh banyak hal untuk merasa bahagia—hanya satu sama lain dan perjalanan yang terus berlanjut. Terima kasih sudah mengikuti cerita ini dari awal sampai akhir! Semoga kamu menikmati setiap bagian ceritanya!