Daftar Isi [hide]
Jadi, bayangin deh kamu baru lulus SMA, hidup masih penuh mimpi, eh tiba-tiba harus nikah sama orang yang nggak pernah kamu pilih. Konyol, kan?
Tapi siapa sangka, pernikahan yang awalnya canggung dan serba nggak jelas malah jadi perjalanan penuh kejutan, kenangan manis, dan tentunya, cinta yang tumbuh pelan-pelan. Kalau kamu penasaran gimana rasanya jatuh cinta dengan seseorang yang awalnya cuma jadi partner bisnis, coba deh baca cerita ini. Dijamin, kamu bakal ketawa, baper, dan ikut deg-degan!
Pernikahan Perjodohan yang Romantis
Ketentuan yang Tak Terduga
Pagi itu, Karina merasa semuanya seperti mimpi yang terlalu buruk untuk menjadi kenyataan. Suasana di rumahnya begitu hening, hanya terdengar suara pelayan yang sedang membersihkan lantai. Namun, di balik kesunyian itu, ada ketegangan yang menyelimuti ruang makan yang luas. Karina baru saja selesai sarapan bersama keluarganya, namun dia tak merasa lapar. Tidak ada selera untuk makan, hanya rasa cemas yang menumpuk di dadanya.
Semuanya dimulai dengan pertemuan formal yang diadakan orang tuanya beberapa minggu lalu. Waktu itu, Karina hanya duduk diam mendengarkan, mencoba tidak mengganggu percakapan mereka yang terdengar serius. Namun, semuanya berubah saat nama Aidan, anak dari keluarga bisnis yang sudah bertahun-tahun bekerja sama dengan orang tuanya, tiba-tiba disebut. Dan, tanpa diduga, orang tuanya memutuskan bahwa dia akan menikah dengan Aidan.
“Apa?!” Karina masih terngiang suara herannya saat itu. “Nikah? Baru lulus SMA, Pa, Ma! Aku nggak siap!”
Tapi jawabannya tak pernah datang seperti yang dia harapkan. Mereka bilang ini untuk kelangsungan bisnis keluarga, untuk memperkuat posisi mereka di pasar. Meskipun masih muda, orang tua Karina merasa ini adalah langkah terbaik untuk menjaga hubungan keluarga tetap solid. Dalam sekejap, hidup Karina yang tenang berubah menjadi sesuatu yang penuh tanda tanya.
Hari ini adalah hari pertama dia bertemu Aidan setelah keputusan itu diumumkan. Mereka dijodohkan, meski tak ada satu pun dari mereka yang merasa siap. Pagi itu, Karina melangkah ke ruang makan, berusaha menahan perasaan yang bergolak di dadanya. Wajah ibunya terlihat penuh harap, sementara ayahnya tampak lebih serius dari biasanya.
“Aidan sudah sampai, Karina,” kata ibunya dengan nada lembut. “Kamu harus bertemu dengannya, kan? Ini kesempatan kita.”
Karina mengangguk pelan, tapi langkahnya terasa berat. Dia berjalan menuju ruang tamu, di mana Aidan sudah duduk dengan tenang di sofa, berbicara dengan ayahnya. Aidan tampak lebih muda dari yang dia bayangkan. Dengan rambut cokelat gelap yang disisir rapi, matanya yang agak redup, dan senyum yang tidak terlalu lebar, dia tampak seperti pria yang sulit dibaca. Tidak ada kilauan semangat yang terlihat di wajahnya, hanya ketenangan yang terasa agak dingin.
“Ah, ini dia Karina,” suara ayahnya memecah keheningan.
Karina tersenyum tipis dan melangkah mendekat. Aidan berdiri dan menatapnya, memberikan senyum yang sedikit kikuk. Karina merasa seolah-olah ada jarak yang sangat besar di antara mereka, meskipun mereka berada dalam jarak yang sangat dekat.
“Jadi… kamu yang akan jadi suami saya?” Karina bertanya, suara di bibirnya terasa agak lebih tajam dari yang dia inginkan. Tetapi, dia tak bisa menahan rasa bingung yang membuncah.
Aidan hanya mengangguk pelan. “Sepertinya begitu.”
Karina mengernyit, merasa canggung. Dia tidak tahu apa yang seharusnya dilakukan atau dikatakan. Momen ini terasa sangat konyol, seolah dunia berpihak pada orang tuanya dan meninggalkan mereka yang hanya mengikuti keputusan. Karina berusaha mengalihkan pandangannya, tetapi matanya kembali tertuju pada Aidan yang masih diam saja.
“Jadi… kita mulai dari mana?” tanya Karina, berusaha mengurangi ketegangan di antara mereka.
Aidan mengangkat bahunya. “Aku juga nggak tahu. Mungkin… kita bisa mulai dengan perkenalan biasa?”
Karina terkikik kecil, merasa ada yang lucu dari situasi ini. “Biasa? Sepertinya kita lebih seperti dua orang asing yang dipaksa berperan dalam film yang sama, kan?”
Aidan tersenyum sedikit. “Iya, mungkin begitu. Tapi, aku pikir kita harus menjalaninya.”
Karina menatapnya, agak terkejut dengan jawabannya. Aidan terlihat lebih serius dari yang dia duga. Ada kesan bahwa meskipun dia mungkin tidak setuju dengan perjodohan ini, dia berusaha untuk menjalani semuanya dengan cara yang benar. Karina merasa sedikit lega, meskipun masih ada banyak ketidakpastian di dalam hatinya.
Setelah itu, mereka duduk bersama di ruang tamu, berbicara tentang rencana pernikahan yang masih terasa sangat jauh dari kenyataan bagi Karina. Orang tua mereka sudah mulai mempersiapkan segala sesuatunya, dan Karina hanya bisa mengikuti saja. Tidak ada banyak pilihan selain berjalan dengan alur yang sudah digariskan.
“Jadi, apa yang harus kita lakukan sekarang?” tanya Aidan, suaranya terdengar sedikit cemas.
“Jujur, aku juga nggak tahu,” jawab Karina sambil menghela napas. “Tapi… kita harus berusaha untuk mengenal satu sama lain, kan? Walaupun ini nggak ideal, aku rasa kita harus mencobanya.”
Aidan mengangguk, meskipun terlihat masih agak canggung. “Iya, mungkin kita bisa mulai dengan obrolan ringan, siapa tahu lebih mudah kalau kita mulai dengan hal-hal kecil.”
Karina mengangguk setuju, merasa sedikit lebih lega. Satu hal yang dia sadari adalah, meskipun pernikahan ini dimulai dengan cara yang aneh dan konyol, mereka berdua bisa mencoba untuk menjalaninya dengan cara yang lebih manusiawi. Mereka tidak harus menjadi pasangan yang sempurna, tetapi mereka bisa berusaha untuk saling memahami.
Hari itu, meskipun penuh kecanggungan, Karina dan Aidan mulai melihat pernikahan yang dipaksakan ini dengan cara yang sedikit lebih ringan. Mungkin tidak ada cinta di awal, tetapi mereka mulai merasakan adanya benih-benih keakraban yang tumbuh pelan-pelan. Karina tahu, perjalanan mereka masih panjang, dan masih banyak yang harus mereka pelajari tentang satu sama lain.
Dua Dunia yang Bertabrakan
Hari-hari setelah pertemuan pertama itu berjalan perlahan. Karina dan Aidan tidak sering berbicara lebih dari sekadar hal-hal dasar yang mereka harus selesaikan—rencana pernikahan, tata cara formal yang harus diikuti, dan segala sesuatu yang berhubungan dengan bisnis keluarga mereka. Namun, ada hal-hal yang berubah seiring waktu. Keanehan dalam pernikahan mereka mulai memberi mereka kesempatan untuk lebih mengenal satu sama lain.
Meskipun mereka berdua sama-sama bingung dengan keadaan, ada satu hal yang pasti: Karina dan Aidan sama sekali tidak terbiasa berperan sebagai pasangan suami-istri. Hari-hari yang mereka lewati terasa seperti latihan untuk menjadi orang lain, seseorang yang mereka harap bisa diterima oleh dunia di sekitar mereka.
Pernikahan ini memang dimulai dengan niat yang sangat praktis, namun Karina merasakan sedikit perubahan dalam dirinya setiap kali bertemu Aidan. Awalnya, dia merasa seperti berurusan dengan orang asing, bahkan mungkin lebih asing daripada orang lain yang baru saja dia temui. Tetapi, seiring berjalannya waktu, Karina mulai menyadari bahwa Aidan bukanlah pria yang begitu sulit dipahami. Meskipun dia tampak dingin, ada sisi lembut dalam dirinya yang baru saja Karina mulai temukan.
Satu sore, mereka duduk bersama di teras rumah, menghadap ke taman belakang yang luas. Karina menatap bunga-bunga yang sedang bermekaran, sementara Aidan duduk di sampingnya, tampak sedikit gelisah. Tidak ada percakapan besar, hanya suara angin yang berdesir pelan dan burung-burung yang terbang rendah.
“Ada yang ingin kamu bicarakan?” tanya Karina, memecah keheningan. “Tapi, jangan bilang itu tentang bisnis lagi. Aku sudah cukup pusing dengan itu.”
Aidan tersenyum kecil, meskipun senyum itu sedikit kaku. “Aku nggak tahu. Rasanya aneh, kan? Tiba-tiba kita berdua terjebak dalam perjodohan ini. Mungkin kita harus lebih sering berbicara, ya? Supaya nggak canggung.”
Karina mendengus pelan. “Aku sudah mencoba, tapi nggak gampang. Mungkin kita cuma butuh waktu. Waktu untuk kenal lebih dalam.”
“Benar juga,” jawab Aidan, menoleh padanya dengan tatapan lembut. “Kita tidak bisa memaksakan semuanya jadi mudah. Tapi, kadang aku merasa… kita harus lebih santai dengan ini. Jangan terlalu serius.”
Karina mengerutkan kening. “Maksudmu?”
“Aku tahu kita berdua mungkin nggak menginginkan pernikahan ini, tapi bukan berarti kita nggak bisa mencoba menjalani kehidupan bersama dengan cara yang lebih… manusiawi. Maksudnya, kita bisa jadi teman dulu sebelum jadi pasangan.”
Karina terdiam sejenak, mencerna kata-kata Aidan. Ia tidak tahu harus menanggapinya bagaimana. Di satu sisi, ide itu terdengar masuk akal, tetapi di sisi lain, perasaan canggung yang terus menggelayuti mereka membuatnya sulit untuk membayangkan bahwa mereka bisa menjadi teman baik, apalagi pasangan yang penuh cinta.
“Teman dulu, ya?” Karina mengulang kata-kata itu. “Tapi, aku rasa kita butuh lebih banyak waktu, Aidan. Aku nggak tahu bagaimana melakukannya.”
Aidan tertawa kecil, melepaskan ketegangan di wajahnya. “Jangan khawatir, kita mulai saja pelan-pelan. Nggak perlu dipaksakan. Mungkin kita bisa mulai ngobrol tentang hal-hal biasa. Apa yang kamu suka lakukan, misalnya?”
Karina menghela napas panjang, merasa sedikit lebih santai dengan suasana itu. “Aku suka baca buku, terutama buku-buku klasik. Tapi, kamu mungkin nggak suka, kan?”
“Siapa bilang?” Aidan menjawab dengan nada yang lebih ceria. “Aku juga suka baca, walaupun lebih ke buku non-fiksi. Tapi siapa tahu, mungkin aku bisa coba baca yang kamu suka.”
Percakapan itu terus berlanjut dengan topik-topik ringan yang kadang lucu dan kadang juga konyol. Mereka mulai menemukan titik temu, meskipun mereka masih berada di ujung awal perkenalan yang terasa sangat kaku. Tetapi, ada satu hal yang pasti: mereka tidak lagi merasa seasing itu satu sama lain.
Beberapa hari kemudian, saat mereka kembali bertemu untuk makan malam bersama keluarga, suasana di meja makan terasa lebih hangat daripada sebelumnya. Karina merasa sedikit lebih nyaman dengan Aidan, meskipun belum ada apa-apa yang signifikan terjadi antara mereka. Namun, ada rasa yang tumbuh pelan-pelan—sesuatu yang tidak bisa diabaikan begitu saja.
“Bagaimana hari-harimu?” tanya Aidan, sesekali melemparkan senyum pada Karina saat mereka duduk bersebelahan di meja makan.
“Masih sama. Banyak urusan dengan orang tua, tapi aku mulai terbiasa,” jawab Karina sambil memandang Aidan. “Dan kamu?”
“Aku juga, sih. Banyak hal yang harus diurus. Tapi, sepertinya kita berdua punya banyak waktu untuk berpikir tentang semuanya, kan?”
Karina mengangguk pelan. “Iya, sepertinya begitu. Kadang aku merasa ini seperti takdir, Aidan. Entahlah.”
Aidan menatapnya lebih lama, dan Karina bisa merasakan ketulusan dalam tatapan itu, meskipun tidak ada kata-kata yang terucap. Ada sesuatu yang sedang berkembang di antara mereka, meskipun belum jelas apakah itu bisa disebut cinta atau sekadar kebiasaan.
Sampai malam itu tiba, Karina tahu bahwa perjalanan mereka masih jauh. Meskipun mereka belum benar-benar saling memahami, ada benih-benih yang mulai tumbuh. Dan, siapa tahu, mungkin saja mereka bisa menemukan sesuatu yang lebih besar dari sekadar perjodohan yang semula terlihat konyol.
Namun, satu hal yang pasti, mereka sedang berusaha untuk menjalani pernikahan ini dengan cara mereka sendiri—dengan cara yang lebih manusiawi, lebih canggung, dan lebih penuh dengan kejutan yang tidak pernah mereka bayangkan sebelumnya.
Tepi yang Tak Terduga
Pernikahan mereka berjalan seperti perjalanan yang penuh tikungan tajam. Karina dan Aidan mulai menyesuaikan diri dengan kebiasaan baru, tetapi ada satu hal yang selalu menonjol: perasaan canggung yang terus menggelayuti mereka. Mereka seperti dua orang asing yang terjebak dalam peran yang belum sepenuhnya mereka pahami, namun mereka melangkah maju, mencoba untuk menemukan ritme baru dalam hidup bersama.
Minggu demi minggu berlalu, dan mereka mulai berbicara lebih sering, meskipun percakapan mereka tetap terbatas pada hal-hal ringan. Kadang-kadang mereka tertawa bersama, kadang ada keheningan yang terasa canggung di antara mereka, tetapi hal itu tak menghalangi mereka untuk saling mengenal lebih dalam.
Pada suatu malam, ketika mereka duduk di ruang tamu sambil menonton film bersama, Karina merasa ada sesuatu yang berbeda. Aidan yang biasanya tampak tenang dan terkendali, kali ini tampak lebih santai. Dia tak lagi terlalu mengatur jarak antara mereka, seolah-olah ada sedikit kenyamanan yang tercipta.
“Filmnya seru ya?” Aidan bertanya tanpa menoleh, matanya masih fokus pada layar.
“Seru, sih. Tapi aku rasa ini lebih buat laki-laki deh,” jawab Karina sambil tersenyum. “Kamu suka film-film action gini, ya?”
“Kadang-kadang,” Aidan menjawab sambil mengerutkan kening, seolah merenung. “Tapi sebenarnya aku lebih suka yang lebih… ringan, seperti komedi.”
Karina menoleh padanya, terkejut. “Komedi? Kamu? Nggak kelihatan sama sekali.”
Aidan tertawa kecil. “Iya, kan? Semua orang kira aku serius terus. Tapi, terkadang aku juga butuh yang lucu-lucu.”
Karina tersenyum, merasa sedikit lebih dekat dengannya. “Aku nggak tahu kalau kamu ternyata suka yang seperti itu. Kamu punya rekomendasi nggak?”
“Komedi romantis gitu, ya? Pasti banyak yang kamu suka, deh. Tapi kalau aku, lebih suka yang agak aneh. Seperti yang nggak ada yang nyangka.”
“Anak aneh,” Karina berkata dengan gurauan, membuat Aidan tertawa lagi.
Dan itu, meskipun terlihat sederhana, adalah momen yang mereka butuhkan untuk melepas ketegangan. Percakapan itu membawa mereka ke tempat yang lebih santai, lebih manusiawi, lebih seperti pasangan yang seharusnya mereka jadi.
Namun, perasaan canggung itu tetap ada, mengambang di udara. Suatu hari, Karina merasakan ketegangan yang berbeda. Ketika mereka sedang duduk di taman belakang, duduk berdua dengan jarak yang sedikit lebih dekat dari biasanya, Aidan mulai berbicara dengan nada serius.
“Karina,” Aidan memulai dengan suara lebih dalam dari biasanya. “Aku tahu ini mungkin canggung, tapi aku merasa kita perlu bicara tentang masa depan kita.”
Karina menoleh padanya, terkejut. “Masa depan? Maksud kamu, pernikahan kita?”
“Ya, dan bukan hanya itu,” Aidan melanjutkan. “Aku merasa kita harus mulai serius dengan semuanya. Maksudnya, kita nggak bisa terus seperti ini—hidup dengan perasaan canggung yang nggak jelas.”
Karina mengangguk pelan. “Aku tahu. Aku juga merasa begitu. Tapi ini terlalu mendalam, Aidan. Kita baru kenal, bahkan kita nggak tahu apa yang sebenarnya kita inginkan.”
“Aku paham,” jawab Aidan, wajahnya tampak lebih serius dari biasanya. “Tapi kita nggak bisa terus menghindar dari kenyataan, Karina. Kita sudah terikat. Aku rasa kita harus mulai mencari tahu lebih banyak tentang diri kita sendiri, tentang siapa kita saat bersama.”
Karina diam, merasa ada sesuatu yang lebih berat di dalam kata-kata Aidan. “Jadi, kamu merasa kita harus mulai berusaha, ya?”
Aidan menatapnya dengan mata yang lebih terbuka. “Iya, kalau kita benar-benar ingin ini berhasil, kita harus lebih dari sekadar menjalani ini sebagai kewajiban. Kita harus belajar menjadi pasangan yang baik—bukan hanya untuk bisnis, tapi juga untuk diri kita sendiri.”
“Jadi, kamu nggak hanya ingin pernikahan ini jadi formalitas, gitu?”
“Aku nggak tahu, Karina. Aku rasa kita harus menemukan cara agar pernikahan ini nggak cuma soal kita menuruti perintah keluarga. Mungkin kita bisa mulai mencari apa yang membuat kita nyaman.”
Karina terdiam, menimbang kata-kata Aidan. Perasaan yang mulai tumbuh di dalam dirinya terasa seperti hal yang tidak bisa dihentikan begitu saja. Ada kekhawatiran, ada rasa takut untuk membuka diri, tapi juga ada harapan yang terpendam. Ia merasa bingung, tidak tahu harus bagaimana, namun ada satu hal yang pasti—perasaan canggung yang mereka rasakan tidak lagi menjadi satu-satunya hal yang mengikat mereka.
“Aku nggak tahu apa yang harus kita lakukan, Aidan,” kata Karina perlahan, suaranya penuh keraguan. “Tapi aku merasa kita mulai menemukan jalan, meskipun pelan-pelan.”
Aidan tersenyum tipis. “Aku juga nggak tahu, Karina. Tapi aku yakin kita bisa. Mungkin kita bisa mulai dengan hal-hal kecil dulu, kan?”
Malam itu, setelah percakapan yang mengungkapkan banyak perasaan terpendam, mereka berdua merasakan suatu perubahan—sesuatu yang mulai berkembang meskipun belum bisa mereka namakan. Mereka tahu perjalanan mereka masih panjang, dan mungkin saja tidak semuanya akan mudah. Namun, untuk pertama kalinya, mereka merasa lebih siap untuk menghadapi apa pun yang datang, bersama-sama.
Menyusun Potongan Puzzle
Waktu terus berjalan, dan perasaan yang dulu terasa asing dan canggung, kini mulai menemukan bentuknya sendiri. Karina dan Aidan tidak lagi terjebak dalam rutinitas tanpa jiwa. Mereka mulai belajar untuk saling memberi ruang, memberi waktu, dan memberi sedikit keberanian untuk membuka diri—walaupun perlahan.
Satu pagi, saat mereka duduk bersama di meja makan, suasana terasa berbeda dari biasanya. Aidan yang biasanya selalu tampak tenang dan terkendali, kali ini terlihat lebih santai, lebih terbuka. Karina yang baru saja selesai dengan rutinitas paginya, duduk di hadapannya dengan secangkir teh hangat di tangannya. Mereka tidak langsung berbicara, tetapi ada kenyamanan dalam keheningan mereka. Tanpa kata-kata, keduanya tahu bahwa sesuatu telah berubah.
“Aidan,” Karina memulai, suaranya lembut, hampir seperti sedang mencari-cari kata yang tepat. “Aku mulai merasa lebih nyaman dengan semua ini. Mungkin pernikahan kita bukan sekadar tentang apa yang orang lain inginkan. Mungkin ini tentang kita.”
Aidan menatapnya, seolah mencari kepastian dalam kalimatnya. “Kita?”
“Iya,” Karina melanjutkan, “Kita mulai bisa jadi lebih dari sekadar dua orang yang terikat oleh perjodohan. Kita mulai menemukan diri kita sendiri dalam pernikahan ini. Mungkin ini nggak sempurna, tapi aku merasa… ada sesuatu yang lebih.”
Aidan tersenyum, senyum yang penuh kehangatan. “Aku merasakannya juga, Karina. Dulu aku nggak tahu apa yang sebenarnya aku cari, tapi semakin aku mengenalmu, semakin aku merasa kita bisa jadi lebih dari sekadar pasangan.”
Karina meletakkan cangkir teh di meja, memandang Aidan dengan tatapan yang lebih dalam. “Jadi… kita nggak cuma menjalani ini untuk bisnis, kan?”
“Enggak,” jawab Aidan mantap. “Kita menjalani ini karena kita berdua ingin mencari tahu apa yang bisa kita bangun bersama. Ini bukan soal kewajiban lagi. Ini soal kita.”
Karina mengangguk pelan, bibirnya sedikit melengkung membentuk senyum kecil. “Aku nggak tahu apa yang akan terjadi ke depannya, tapi aku merasa kita sudah lebih dekat. Kita nggak bisa kembali ke masa lalu, tapi kita bisa mulai menyusun masa depan. Kita bisa mulai membangun sesuatu yang lebih kuat, lebih nyata.”
Aidan mengulurkan tangannya, menyentuh tangan Karina dengan lembut. “Aku setuju. Mungkin ini bukan cara yang mudah, tapi kita punya kesempatan untuk membangun sesuatu yang benar-benar kita inginkan. Bukan yang orang lain inginkan.”
Karina merasakan ketenangan dalam sentuhan itu. Dia merasa, dalam segala kebingungannya, mereka telah sampai pada titik yang penting—tempat di mana mereka bisa mulai saling memberi arti. Tidak ada lagi rasa takut atau canggung yang menghalangi mereka. Mereka tahu bahwa perjalanan mereka bersama masih panjang, tetapi mereka siap menghadapinya, bersama-sama.
Pernikahan mereka mungkin dimulai dari sesuatu yang tidak mereka pilih, tetapi kini mereka berdua menyadari bahwa ada lebih banyak hal yang bisa mereka pilih—bukan hanya untuk diri mereka sendiri, tetapi juga untuk hubungan yang sedang mereka bangun. Mereka belajar untuk saling memahami, memberi ruang, dan memberi kesempatan untuk tumbuh, meskipun itu tidak selalu mudah.
Ketika malam tiba, Karina duduk di balkon dengan Aidan di sampingnya. Mereka menatap langit malam yang cerah, penuh dengan bintang yang berkilau. Dalam keheningan itu, mereka merasakan kedekatan yang baru ditemukan—sebuah pemahaman bahwa perjalanan mereka bukanlah tentang mencari kesempurnaan, tetapi tentang saling mendukung untuk menjadi versi terbaik dari diri mereka sendiri, bersama-sama.
“Aidan,” Karina mulai dengan suara yang lembut, “aku rasa aku mulai mengerti. Pernikahan kita mungkin bukan tentang mendapatkan yang sempurna, tetapi tentang menciptakan kebahagiaan kita sendiri.”
Aidan menoleh padanya, tatapannya penuh dengan pengertian. “Aku setuju, Karina. Kita punya pilihan untuk membuat ini jadi lebih baik. Mungkin kita nggak akan selalu mendapatkan semuanya yang kita mau, tapi kita bisa membuat perjalanan ini berarti.”
Dengan itu, mereka duduk bersama dalam diam, tetapi tidak merasa kesepian. Mereka tahu, meskipun perjalanan ini baru dimulai, mereka sudah menemukan cara untuk berjalan bersamaan. Dan itu sudah cukup untuk mereka berdua—untuk sekarang, dan untuk masa depan yang mereka bangun bersama.
Langit malam yang penuh bintang menyaksikan mereka, dua jiwa yang tak sempurna, namun berani memilih untuk menciptakan kebahagiaan bersama. Mereka mungkin tidak tahu apa yang akan datang, tetapi satu hal yang pasti—mereka tidak lagi terjebak dalam perjodohan yang konyol dan canggung, tetapi sebuah pernikahan yang penuh dengan harapan, kasih sayang, dan kemungkinan yang tak terbatas.
Siapa sangka, sebuah pernikahan yang dimulai dengan perjodohan bisa jadi perjalanan yang penuh warna? Meskipun awalnya penuh canggung dan nggak jelas, ternyata cinta itu bisa tumbuh dari tempat yang paling tak terduga.
Kadang, hidup memang suka kasih kita kejutan-kejutan yang nggak kita duga. Jadi, siapa tahu? Mungkin perjalanan kamu juga bisa dimulai dengan cara yang nggak terduga. Yang penting, tetap terbuka untuk hal-hal baru, karena cinta bisa datang kapan aja dan dari siapa aja.