Pernik Terakhir Ayah: Kisah Mengharukan tentang Cinta dan Pengorbanan yang Abadi

Posted on

Pernik Terakhir Ayah membawa kita pada perjalanan emosional Raka, seorang anak yang menemukan makna cinta dan pengorbanan melalui peninggalan terakhir ayahnya, sebuah pernik perak sederhana. Dalam kisah yang penuh detail dan kehangatan ini, kita diajak melihat bagaimana pengorbanan seorang ayah mampu mengubah hidup anaknya, bahkan setelah ia tiada. Siapkan hati Anda untuk sebuah cerita yang akan menggugah jiwa dan mengingatkan kita akan nilai kebaikan yang tak lekang oleh waktu.

Pernik Terakhir Ayah

Surat di Meja Tua

Pagi itu, sinar matahari pagi merembes melalui celah-celah jendela kayu yang sudah lapuk di rumah kecil di pinggir desa. Rumah itu sederhana, dengan dinding bata yang catnya sudah mengelupas dan atap genting yang sedikit bocor saat musim hujan. Di dalam ruang tamu yang sempit, sebuah meja tua berdiri di sudut, penuh dengan goresan dan noda waktu. Di atas meja itu, sebuah surat kusut terletak di samping secangkir kopi yang sudah dingin, seolah menunggu seseorang untuk membukanya.

Raka, seorang pemuda berusia 27 tahun, berdiri di depan meja itu dengan tangan gemetar. Rambutnya yang hitam sedikit berantakan, dan matanya merah karena kurang tidur. Ia baru saja tiba di rumah ini setelah mendapat kabar bahwa ayahnya, Pak Surya, meninggal dunia tadi malam. Raka tak sempat melihat ayahnya untuk terakhir kali; ia terlalu sibuk dengan pekerjaannya sebagai teknisi di kota, dan telepon dari tetangga datang terlambat. Kini, ia hanya bisa menatap barang-barang peninggalan ayahnya, mencoba mencari jejak kehangatan yang dulu pernah ada.

Raka mengambil surat itu dengan hati-hati, seolah takut kertas itu akan hancur di tangannya. Tulisan tangan ayahnya terlihat di sampulnya, rapi meski sedikit gemetar: Untuk Raka, anakku. Air mata Raka mulai menggenang, tapi ia menahannya, tak ingin menangis sebelum membaca apa yang ayahnya tulis. Ia duduk di kursi kayu tua yang berderit, membuka surat itu perlahan, dan mulai membaca.

“Raka, anakku sayang, kalau kamu baca surat ini, mungkin Ayah sudah nggak ada. Maafkan Ayah karena nggak bilang apa-apa soal sakit Ayah. Ayah nggak mau kamu khawatir. Kamu tahu, hidup Ayah sederhana, tapi Ayah selalu bangga punya anak seperti kamu. Ada sesuatu yang Ayah tinggalin buat kamu, di laci meja ini. Buka, dan ingat apa yang Ayah pernah bilang: hidup itu soal memberi, bukan cuma mengambil.”

Raka menutup surat itu sejenak, dadanya terasa sesak. Ia teringat ayahnya, seorang petani sederhana yang selalu tersenyum meski hidup mereka penuh kekurangan. Pak Surya adalah ayah yang tak banyak bicara, tapi setiap kata yang keluar dari mulutnya selalu penuh makna. Raka teringat malam-malam ketika ia kecil, saat ayahnya menceritakan dongeng di bawah lampu minyak, atau saat mereka bekerja bersama di sawah, tertawa meski matahari membakar kulit mereka.

Dengan tangan yang masih gemetar, Raka membuka laci meja tua itu. Di dalamnya, ia menemukan sebuah kotak kayu kecil yang sudah usang, dengan ukiran sederhana berbentuk bunga di tutupnya. Kotak itu terasa ringan, tapi bagi Raka, rasanya seperti memegang beban seumur hidup ayahnya. Ia membukanya perlahan, dan di dalamnya, ia menemukan sebuah pernik kecil berwarna perak, sederhana namun berkilau lembut di bawah sinar matahari pagi.

Pernik itu membawa Raka pada kenangan pahit. Ia teringat hari ketika ibunya meninggal, sepuluh tahun lalu, karena penyakit paru-paru. Saat itu, ayahnya memberikan pernik itu kepada ibunya di ranjang rumah sakit, sebagai tanda cinta terakhir. “Ini pernik kita waktu nikah dulu,” kata Pak Surya saat itu, suaranya parau. “Aku janji bakal jaga kamu, meski cuma di hati.” Ibunya tersenyum lemah, memegang tangan ayahnya, sebelum akhirnya menutup mata untuk selamanya.

Raka memegang pernik itu erat-erat, air matanya akhirnya jatuh. Ia tak tahu mengapa ayahnya meninggalkan pernik ini untuknya, tapi ia merasa ada cerita yang belum selesai, sebuah pesan yang ingin ayahnya sampaikan. Di luar, angin pagi bertiup lembut, membawa aroma tanah basah dan bunga-bunga liar dari halaman. Raka menatap pernik itu, dan di dalam hatinya, ia berjanji untuk mencari tahu apa yang ayahnya inginkan darinya—meski ia tahu, perjalanan ini akan penuh dengan kenangan yang menyakitkan sekaligus indah.

Jejak di Sawah Tua

Hari itu, langit di atas desa tampak cerah, tapi ada hawa sejuk yang menyelinap di sela-sela angin pagi, membawa aroma rumput basah dan tanah yang baru dibajak. Raka berdiri di tepi sawah tua yang dulu menjadi sumber kehidupan keluarganya. Sawah itu kini tampak lebih kecil dari yang ia ingat, mungkin karena pohon-pohon di sekitarnya telah tumbuh lebih tinggi, atau mungkin karena pandangan seorang anak selalu membuat segalanya terasa lebih besar. Pematang sawah yang berlumpur masih sama seperti dulu, dengan jejak-jejak kaki yang membekas di tanah liat, seolah menyimpan cerita-cerita lama yang tak pernah benar-benar pergi.

Raka menggenggam pernik perak itu di saku celananya, jari-jarinya sesekali menyentuh permukaannya yang dingin, seolah mencari keberanian dari benda kecil itu. Ia memutuskan untuk pergi ke sawah ini setelah membaca surat ayahnya, karena tempat ini adalah bagian terbesar dari kenangannya bersama Pak Surya. Di sini, mereka pernah bekerja bersama, menanam padi di bawah terik matahari, mencabut rumput liar sambil bercanda, atau hanya duduk diam di pematang sambil memandang matahari terbenam. Sawah ini adalah saksi bisu dari cinta ayahnya, bukan hanya untuk keluarga, tapi juga untuk tanah yang memberi mereka kehidupan.

Di kejauhan, seorang pria tua dengan topi caping berjalan perlahan di pematang, tangannya memegang cangkul yang sudah usang. Itu Pak Minto, tetangga sekaligus sahabat lama Pak Surya. Raka mengenali langkahnya yang pelan tapi pasti, dan tanpa sadar ia melangkah mendekat. “Pagi, Pak Minto,” sapa Raka, suaranya sedikit serak karena udara pagi yang dingin.

Pak Minto menoleh, matanya yang sudah keruh menyipit sebelum akhirnya tersenyum lebar. “Raka, ya? Subhanallah, udah gede aja kamu. Kapan dateng?” Suaranya hangat, tapi ada nada sedih yang tak bisa disembunyikan.

“Semalem, Pak,” jawab Raka, mencoba tersenyum meski hatinya masih berat. “Saya… saya nggak sempet ketemu Ayah buat terakhir kali.”

Pak Minto mengangguk pelan, topi capingnya sedikit bergoyang tertiup angin. “Ayahmu orang baik, Nak. Dia nggak pernah cerita soal sakitnya, takut bikin orang khawatir. Terakhir ketemu dia di sawah ini, seminggu lalu. Dia bilang, ‘Minto, kalau aku pergi, tolong jaga sawah ini. Aku mau Raka inget tempat ini sebagai bagian dari hidupnya.’”

Kata-kata itu membuat Raka terdiam. Ia menatap hamparan sawah yang kini ditanami padi muda, daun-daun hijau yang bergoyang lembut tertiup angin. Ia teringat betapa keras ayahnya bekerja di sini, bagaimana tangannya yang kasar karena cangkul selalu lembut saat mengelus kepalanya. “Ayah… Ayah bilang gitu, Pak?” tanyanya, suaranya bergetar.

“Iya,” jawab Pak Minto. “Dia juga bilang, dia tinggalin sesuatu buat kamu. Katanya, kamu bakal ngerti kalau lihat benda itu.”

Raka merogoh saku celananya, mengeluarkan pernik perak itu, dan menunjukkannya pada Pak Minto. “Ini, Pak. Pernik yang dulu Ayah kasih ke Ibu pas nikah. Ayah tinggalin ini buat saya, tapi… saya nggak tahu maksudnya.”

Pak Minto memandang pernik itu dengan mata penuh kenangan. “Itu pernik yang Surya beli dengan susah payah, Nak. Waktu itu, dia jual dua kuintal padi, padahal kami lagi susah. Dia bilang, ‘Aku mau kasih yang terbaik buat istriku, meski cuma pernik sederhana.’ Dia orang yang cinta keluarganya lebih dari apa pun.”

Raka menatap pernik itu, air matanya mulai menggenang lagi. Ia teringat betapa ayahnya selalu mengorbankan dirinya demi keluarga. Setelah ibunya meninggal, Pak Surya bekerja lebih keras, mengambil pekerjaan sampingan sebagai buruh bangunan di desa tetangga, hanya untuk memastikan Raka bisa sekolah. Tapi Raka, yang saat itu remaja, malah sering marah karena merasa ayahnya terlalu sibuk, tak punya waktu untuknya. Kini, penyesalan itu terasa seperti pisau yang menusuk dadanya.

“Pak Minto,” kata Raka setelah beberapa saat diam, “Ayah… Ayah pernah cerita apa lagi tentang saya?”

Pak Minto tersenyum kecil, tapi ada kesedihan di matanya. “Dia bilang, dia bangga sama kamu, Nak. Kamu kerja di kota, punya hidup yang lebih baik dari dia. Tapi… dia juga bilang, dia takut kamu lupa akar kamu. Makanya dia minta aku jaga sawah ini, supaya suatu hari kamu balik dan inget semua yang pernah kalian lalui di sini.”

Raka menunduk, air matanya jatuh ke tanah sawah yang kering. Ia merasa bersalah karena selama ini ia jarang pulang, terlalu sibuk dengan pekerjaannya di kota, sampai-sampai ia tak tahu ayahnya sakit. “Saya… saya nggak jadi anak yang baik, Pak,” katanya, suaranya parau. “Saya nggak sempet bilang terima kasih ke Ayah.”

Pak Minto meletakkan tangannya di bahu Raka, meski tangannya kasar dan penuh kapalan. “Kamu masih punya waktu buat jadi anak yang baik, Nak. Ayahmu mungkin udah nggak ada, tapi dia ninggalin pesan lewat sawah ini, lewat pernik itu. Cari tahu apa yang dia mau kamu lakuin.”

Raka mengangguk pelan, meski dadanya masih terasa sesak. Ia memandang sawah itu sekali lagi, mencoba mendengar suara ayahnya di antara desau angin. Di tangannya, pernik itu terasa lebih berat dari sebelumnya, seolah membawa semua cinta dan pengorbanan ayahnya. Dan di dalam hatinya, Raka berjanji untuk menemukan makna di balik peninggalan terakhir ayahnya, meski ia tahu perjalanan itu akan penuh dengan penyesalan dan air mata.

Bayangan di Rumah Kosong

Siang itu, matahari sudah tinggi di langit, tapi awan tipis yang berarak perlahan memberikan sedikit naungan di desa kecil itu. Raka kembali ke rumah ayahnya setelah berbicara dengan Pak Minto di sawah. Udara di dalam rumah terasa pengap, penuh dengan bau kayu tua dan debu yang sudah lama tak tersapu. Raka berdiri di tengah ruang tamu, memandang sekeliling dengan mata yang masih berkaca-kaca. Setiap sudut rumah ini penuh dengan kenangan: kursi goyang tua di sudut tempat ayahnya sering duduk sambil mendengarkan radio, dapur kecil dengan tungku tanah liat yang dulu dipakai ibunya untuk memasak, dan foto keluarga di dinding yang sudah pudar, menunjukkan senyum mereka bertiga di masa yang terasa begitu jauh.

Raka duduk di kursi goyang itu, kayunya berderit pelan di bawah beban tubuhnya. Ia mengeluarkan pernik perak dari saku celananya, memandangnya dengan penuh tanya. Kata-kata Pak Minto masih bergema di kepalanya: “Cari tahu apa yang dia mau kamu lakuin.” Tapi Raka merasa buntu. Ia tak tahu apa yang ayahnya inginkan, dan rasa bersalah karena tak sempat mengucapkan terima kasih atau meminta maaf membuatnya semakin terpuruk. Ia menutup mata, mencoba mengingat-ingat momen terakhirnya bersama ayahnya.

Itu terjadi setahun lalu, saat Raka pulang sebentar ke desa untuk merayakan ulang tahun ayahnya. Pak Surya saat itu terlihat lebih kurus dari biasanya, tapi senyumnya tetap sama—hangat dan penuh keikhlasan. Mereka duduk di beranda rumah, makan nasi kuning sederhana yang dibuat oleh tetangga. “Raka,” kata ayahnya malam itu, suaranya pelan tapi tegas, “Ayah nggak minta banyak dari kamu. Hidup di kota itu berat, Ayah tahu. Tapi jangan lupa, Nak, hidup ini bukan cuma soal duit. Kadang, yang paling berharga itu yang nggak bisa dibeli— kayak waktu, kayak kebersamaan.”

Raka saat itu hanya mengangguk, tapi pikirannya sibuk dengan proyek di kantor. Ia tak benar-benar mendengarkan, dan keesokan harinya ia buru-buru kembali ke kota tanpa banyak bicara. Kini, mengingat momen itu, Raka merasa seperti ditampar. Ia membenci dirinya sendiri karena terlalu sibuk, karena menganggap ayahnya akan selalu ada. “Ayah… maafkan aku,” gumamnya, suaranya tenggelam dalam keheningan rumah kosong.

Tiba-tiba, suara ketukan di pintu depan memecah lamunannya. Raka menghapus air matanya dengan cepat dan berjalan membuka pintu. Di depan rumah, seorang wanita paruh baya berdiri dengan senyum ramah. Itu Bu Tini, tetangga yang dulu sering membantu ibunya saat Raka masih kecil. Ia membawa sebuah panci kecil, aroma ayam kecap yang hangat tercium dari dalamnya. “Raka, aku dengar kamu pulang. Ini buat kamu, makan ya, Nak,” katanya, suaranya lembut tapi penuh perhatian.

“Terima kasih, Bu,” jawab Raka, mencoba tersenyum meski hatinya masih berat. Ia menerima panci itu dan mengundang Bu Tini masuk. Mereka duduk di ruang tamu, dan untuk beberapa saat, mereka hanya diam, seolah sama-sama merasakan kekosongan yang ditinggalkan Pak Surya.

“Ayahmu orang baik, Raka,” kata Bu Tini akhirnya, memecah keheningan. “Dia selalu bantu orang, meski dia sendiri susah. Dua bulan lalu, dia bantu anaknya Pak Joko yang kena banjir. Dia bawa beras dari gudang, padahal itu stok terakhirnya. Aku bilang, ‘Surya, kamu sendiri butuh,’ tapi dia cuma bilang, ‘Tini, kalau kita punya lebih, kenapa nggak bagi?’”

Raka mendengarkan dengan dada yang semakin sesak. Ia tahu ayahnya selalu seperti itu—selalu memikirkan orang lain sebelum dirinya sendiri. Tapi mendengar cerita itu, ia merasa semakin kecil. “Bu, saya… saya nggak tahu Ayah sakit. Saya nggak ada di sini buat dia,” katanya, suaranya bergetar.

Bu Tini memandang Raka dengan mata penuh pengertian. “Ayahmu nggak mau kamu tahu, Nak. Dia bilang, ‘Raka udah sibuk di kota, aku nggak mau dia tinggalin kerjaannya cuma buat jaga aku.’ Dia bangga sama kamu, meski dia sering bilang kangen.”

Kata-kata itu seperti pisau yang menusuk lebih dalam. Raka menunduk, air matanya jatuh ke lantai. Ia teringat betapa jarang ia menelepon ayahnya, betapa sering ia menunda pulang dengan alasan pekerjaan. “Bu, Ayah tinggalin pernik ini,” katanya sambil menunjukkan pernik perak itu. “Saya nggak tahu maksudnya. Ayah bilang saya bakal ngerti, tapi… saya buntu.”

Bu Tini memandang pernik itu, matanya penuh kenangan. “Itu pernik yang paling berarti buat ayahmu, Nak. Dia selalu bilang, pernik itu lambang janji—janji dia buat jaga keluarganya. Mungkin… dia mau kamu inget janji itu, Nak. Janji buat hidup dengan hati, bukan cuma dengan pikiran.”

Raka terdiam, mencoba mencerna kata-kata Bu Tini. Ia memandang pernik itu lagi, dan untuk pertama kalinya, ia merasa ada sedikit kejelasan. Mungkin ayahnya ingin ia hidup dengan cara yang sama seperti yang ia lakukan—dengan memberi, dengan peduli, dengan mencintai tanpa syarat. Tapi Raka tahu, untuk benar-benar memahami pesan ayahnya, ia harus melihat lebih dalam lagi, ke dalam dirinya sendiri dan ke dalam hidup yang ayahnya jalani.

Di luar, burung-burung kecil berkicau di pohon mangga di halaman, seolah mencoba menghibur kesedihan yang menyelimuti rumah itu. Raka menggenggam pernik itu erat-erat, berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia akan menemukan jawaban—untuk ayahnya, dan untuk dirinya sendiri.

Cahaya dari Janji Lama

Pukul 09:46 pagi WIB, hari Kamis, 15 Mei 2025, sinar matahari pagi memenuhi ruang tamu rumah tua Pak Surya, menciptakan pola-pola lembut di lantai kayu yang usang. Raka duduk di kursi goyang, pernik perak masih tergenggam erat di tangannya, seolah benda kecil itu adalah jembatan menuju hati ayahnya. Percakapan dengan Bu Tini semalam masih terngiang di pikirannya, terutama kalimat tentang janji—janji ayahnya untuk menjaga keluarga, janji yang kini terasa seperti beban sekaligus harapan baginya. Di luar, suara ayam berkokok dan derit sepeda tetangga menciptakan irama desa yang tenang, kontras dengan badai emosi di dalam dirinya.

Raka memutuskan untuk membuka lemari tua di sudut ruangan, tempat ayahnya menyimpan kenangan keluarga. Pintu lemari berderit keras saat dibuka, mengeluarkan aroma kayu lama yang bercampur dengan bau kapang. Di dalamnya, ia menemukan tumpukan foto-foto kuning, buku catatan kecil, dan sebuah kotak kayu yang lebih besar dari kotak pernik tadi. Dengan hati-hati, ia mengambil kotak itu dan meletakkannya di meja. Tutupnya terbuka dengan mudah, mengungkapkan isi yang membuat napasnya terhenti: surat-surat tua, beberapa lembar uang kertas lusuh, dan sebuah buku kecil berjudul Catatan untuk Raka.

Raka membuka buku itu dengan tangan gemetar. Halaman pertamanya berisi tulisan tangan ayahnya, rapi tapi sedikit bergetar, seolah ditulis saat tubuhnya sudah lemah. “Raka, anakku, kalau kamu baca ini, Ayah harap kamu udah nemuin pernik itu. Itu bukan cuma pernik, Nak, tapi lambang cinta Ayah buat keluarga kita. Ayah nulis ini pas sakit, waktu aku tahu aku nggak lama lagi. Aku nggak bilang apa-apa ke kamu, karena aku mau kamu hidup bebas, tapi aku juga takut kamu lupa darimana kamu berasal.”

Air mata Raka jatuh ke halaman itu, membasahi tinta hitam yang sudah memudar. Ia melanjutkan membaca, setiap kata terasa seperti pelukan terakhir dari ayahnya. “Di kotak ini, ada uang yang Ayah tabung dari hasil sawah. Nggak banyak, cuma cukup buat bantu kamu mulai hidup baru. Tapi yang lebih penting, Ayah mau kamu janji satu hal: pakai hidupmu buat memberi, kayak yang pernah Ayah lakuin. Jangan cuma mikir diri sendiri, Nak. Cintai orang di sekitarmu, kayak Ayah cintai kamu sama Ibumu.”

Raka membuka amplop yang berisi uang itu—beberapa lembar rupiah tua dengan total tak lebih dari dua juta rupiah. Bagi orang kota, itu tak seberapa, tapi bagi Pak Surya, itu adalah hasil bertahun-tahun pengorbanan, dari menjual padi, bekerja sebagai buruh, hingga membantu tetangga tanpa pamrih. Raka menutup matanya, membayangkan ayahnya duduk di kursi ini, menulis dengan tangan yang lemah, sambil tersenyum karena tahu anaknya akan membaca pesan ini suatu hari.

Tiba-tiba, ia teringat sesuatu. Ia bergegas ke dapur, membuka laci tempat ayahnya menyimpan alat tulis. Di sana, ia menemukan sebuah amplop lain, kali ini ditujukan ke Pak Minto dan Bu Tini. Di dalamnya, ada surat singkat yang meminta mereka menjaga sawah dan rumah ini, serta memastikan Raka tak merasa sendirian. Raka tersenyum pahit, menyadari betapa ayahnya merencanakan segalanya dengan hati yang penuh cinta, bahkan hingga akhir hidupnya.

Malam itu, Raka duduk di beranda rumah, memandang langit yang mulai bertabur bintang. Ia menggenggam pernik itu, lalu berbicara dalam hati, “Ayah, aku janji. Aku akan hidup buat memberi, kayak yang kamu ajarkan. Aku akan balik ke desa ini, jaga sawah, dan bantu orang-orang kayak kamu bantu dulu.” Ia memutuskan untuk menggunakan uang itu untuk memperbaiki sawah dan membangun tempat kecil bagi anak-anak desa yang butuh belajar, sebagai penghormatan pada pengorbanan ayahnya.

Keesokan harinya, Raka mengumpulkan Pak Minto, Bu Tini, dan beberapa tetangga lainnya. Dengan suara yang teguh, ia berbagi rencananya. “Saya mau sawah ini jadi tempat yang berguna buat kita semua. Saya juga mau buat tempat buat anak-anak belajar, pake uang yang Ayah tinggalin. Ini janji saya buat Ayah,” katanya, matanya penuh tekad.

Tetangga-tetangga itu tersenyum, beberapa di antaranya meneteskan air mata. Pak Minto memeluk Raka, berkata, “Ayahmu pasti bangga, Nak. Dia lihat kamu dari atas sana.”

Malam terakhirnya di desa, Raka duduk di kursi goyang, memandang foto keluarga di dinding. Ia menggantung pernik perak di dinding, sebagai pengingat janji yang ia buat. Di dalam hatinya, ia merasa ayahnya masih ada, tersenyum di antara bintang-bintang, menjaga janji cinta yang tak pernah padam. Dan di desa itu, dengan sawah yang mulai hijau kembali dan tawa anak-anak yang mulai terdengar, cahaya dari pengorbanan Pak Surya akhirnya bersinar terang, menerangi hidup Raka dan semua orang di sekitarnya.

Pernik Terakhir Ayah adalah lebih dari sekadar cerita—ia adalah pengingat bahwa cinta sejati hidup dalam pengorbanan dan kebaikan yang kita berikan kepada orang lain. Kisah Raka dan ayahnya mengajarkan bahwa warisan terbesar bukanlah harta, melainkan cinta yang terus bersinar melalui tindakan kita. Jadilah seperti Pak Surya, yang meski sederhana, meninggalkan jejak abadi melalui kasih sayangnya.

Leave a Reply