Perjuangan Senaru: Mengubah Tanah Gersang Jadi Harapan

Posted on

Pernah nggak sih ngerasa capek berjuang sendirian? Kayak dunia tuh keras banget, dan semua orang kayaknya lebih milih ngebiarin keadaan tetap buruk daripada berubah?

Nah, ini kisah tentang Senaru—seseorang yang nggak mau diem aja meskipun banyak yang meremehkan. Dari tanah gersang yang dianggap nggak berharga, sampai jadi hutan kecil penuh kehidupan. Gimana caranya? Simak deh cerita ini, dijamin bakal bikin kamu mikir ulang tentang arti sebuah perjuangan!

 

Perjuangan Senaru

Benih dalam Sunyi

Langgala selalu terbangun dalam dingin yang menggigit. Kabut turun rendah, menyelimuti pepohonan yang tersisa di tepi desa seperti selendang tipis yang enggan menghilang. Pagi itu, di saat kebanyakan penduduk masih terlelap atau baru saja menyalakan tungku untuk merebus air, Senaru sudah berjalan keluar rumah dengan sekantong kecil biji-bijian di tangannya.

Langkahnya ringan tapi pasti. Ia menyusuri jalan setapak yang menuju ke tanah kosong di pinggiran desa, lahan gersang yang dulu merupakan bagian dari hutan lebat. Di sana, tanah retak dan kering, hampir seperti tubuhnya sendiri yang kurus dan terbakar matahari. Namun, di matanya, lahan itu bukan sekadar tanah kosong. Itu adalah masa depan.

“Senaru!” suara berat seorang lelaki tua memanggil dari beranda rumahnya. Itu adalah Dama, seorang petani tua yang selalu bangun lebih awal untuk melihat langit dan menebak cuaca. “Mau ke mana pagi-pagi begini?”

Senaru berhenti sejenak, menoleh, dan tersenyum tipis. “Aku mau menanam pohon.”

Dama mengerutkan kening. “Sendirian?”

Senaru mengangguk.

Orang tua itu menghela napas panjang. “Dengar, Nak. Aku tahu kau punya niat baik, tapi tanah itu sudah mati. Airnya hilang, tanahnya keras. Kau pikir sebutir biji bisa tumbuh di sana?”

Senaru tidak menjawab. Ia hanya menunduk sedikit, mengangkat kantong biji-bijian itu sebagai jawaban, lalu kembali melangkah.

Dama menggelengkan kepala. “Dasar anak aneh,” gumamnya, lalu masuk ke dalam rumah.

Hari itu, Senaru menghabiskan waktunya menggali tanah dengan tangannya sendiri. Tidak ada cangkul, tidak ada alat mewah. Hanya jari-jarinya yang kotor dan kukunya yang penuh tanah. Ia menanam biji satu per satu, menutupnya dengan hati-hati, lalu menyiramnya dengan air dari kendi kecil yang ia bawa.

Dari kejauhan, beberapa anak kecil yang bermain layangan di ladang menatapnya dengan heran.

“Kenapa dia tanam-tanam di tanah kering?” bisik salah satu dari mereka.

“Dia pikir bisa jadi hutan lagi?” sahut yang lain sambil terkekeh.

Tak lama, dua pemuda desa, Banu dan Ranta, lewat sambil membawa kayu bakar di pundak mereka. Melihat Senaru sibuk menanam sesuatu, mereka berhenti dan saling melirik.

“Kau bercanda, kan?” Banu mendekat, menyipitkan mata. “Menanam pohon di tanah sekering ini? Kau pikir ini hutan ajaib yang bisa tumbuh dalam semalam?”

Ranta tertawa kecil. “Dia mungkin dengar cerita kakeknya waktu kecil dan berpikir itu benar. Senaru, ini bukan dongeng. Tanah ini mati. Kau buang-buang waktu.”

Senaru tetap diam. Ia hanya menekan tanah dengan lembut di sekitar biji terakhir yang ia tanam, lalu berdiri, menepuk-nepuk tangannya yang kotor.

“Aku tidak menanam untuk besok,” katanya akhirnya, suaranya tenang. “Aku menanam untuk bertahun-tahun yang akan datang.”

Banu mengangkat alis. “Tunggu. Jadi kau mau lakukan ini setiap hari?”

Senaru mengangguk.

Ranta kembali tertawa. “Gila! Kau gila, Senaru.”

Namun, Senaru hanya tersenyum tipis. “Mungkin.”

Banu dan Ranta pergi sambil tertawa, meninggalkan Senaru sendiri di lahan kosong itu. Tapi Senaru tidak merasa sendiri. Ia tahu, di dalam tanah, benih kecil yang ia tanam sedang memulai perjalanannya.

Saat matahari mulai turun di ufuk barat, Senaru kembali ke rumahnya. Tangannya penuh lecet, bajunya kotor, tapi hatinya tenang. Ia sadar, perubahan besar tidak datang dalam semalam. Tapi jika ia bisa menanam satu pohon setiap hari, siapa tahu, mungkin suatu saat Langgala akan kembali hijau.

Dan ia siap menunggu hari itu tiba.

 

Langkah Kecil, Harapan Besar

Musim berganti, tapi kebiasaan Senaru tidak berubah. Setiap pagi, sebelum ayam berkokok, ia sudah berjalan ke lahan kosong di pinggiran desa, membawa kantong biji-bijian dan kendi kecil berisi air. Ia menanam, menyiram, dan merawat tanah yang bagi banyak orang sudah mati.

Awalnya, hasilnya hampir tidak terlihat. Namun, setelah berbulan-bulan, beberapa tunas kecil mulai muncul. Daun-daun mungil menyembul dari tanah, berjuang melawan terik matahari dan angin kering.

Penduduk desa mulai memperhatikannya, tapi bukan dengan kekaguman—melainkan dengan heran.

“Aku tidak mengerti apa yang ada di kepalanya,” kata seorang ibu di pasar sambil mengiris singkong. “Kenapa repot-repot menanam pohon di tanah tandus?”

“Dia cuma buang-buang tenaga,” sahut seorang lelaki tua. “Lebih baik cari kerja yang jelas. Ladang butuh tenaga, bukan hutan yang entah kapan tumbuhnya.”

Namun, meskipun orang-orang terus berkomentar, Senaru tetap melanjutkan apa yang sudah ia mulai.

Suatu sore, ketika Senaru sedang menggali lubang untuk pohon berikutnya, suara langkah kaki mendekat. Ia menoleh dan melihat seorang anak laki-laki kecil berdiri beberapa meter darinya, memandangi tanah dengan wajah bingung.

“Kamu lagi apa?” tanya bocah itu dengan suara polos.

Senaru tersenyum kecil. “Menanam pohon.”

Bocah itu menatap lubang kecil di tanah, lalu menatap Senaru lagi. “Buat apa?”

“Agar tanah ini bisa kembali hijau.”

Anak itu terdiam, lalu menunduk, mengamati tanah yang sudah penuh dengan tunas kecil. “Kalau aku tanam satu juga, bakal hijau lebih cepat, ya?”

Senaru menatapnya, lalu mengulurkan biji kecil ke tangan bocah itu. “Coba saja.”

Dengan wajah penuh antusias, bocah itu menggali tanah dengan jemarinya, lalu meletakkan biji itu di dalamnya. Ia menepuk tanahnya dengan hati-hati, seperti menidurkan sesuatu yang berharga.

Dari kejauhan, seorang wanita muda berdiri dengan tangan di pinggangnya, matanya mengamati anaknya yang sedang membantu Senaru. Ia berjalan mendekat.

“Apa yang kau ajarkan ke anakku, Senaru?” suaranya terdengar ketus, meski tidak sepenuhnya marah.

Senaru berdiri dan tersenyum kecil. “Aku cuma mengajarinya menanam pohon.”

Wanita itu mendengus. “Aku tidak mau dia membuang-buang waktu seperti kamu.”

“Tidak ada waktu yang terbuang untuk hal baik,” kata Senaru pelan.

Wanita itu terdiam, lalu menarik tangan anaknya. “Ayo pulang.”

Tapi bocah itu tetap menoleh ke Senaru. “Aku boleh ikut menanam lagi besok?”

Senaru mengangguk. “Tentu saja.”

Wanita itu hanya mendengus, tetapi tidak lagi melarang. Ia pergi sambil menggandeng anaknya, sementara bocah itu terus menoleh, tersenyum kecil ke arah Senaru.

Hari berikutnya, bocah itu kembali. Dan ia tidak sendiri. Dua temannya ikut bersamanya, membawa kendi kecil berisi air dan biji-bijian yang mereka curi dari dapur ibu mereka.

Senaru tertawa kecil. “Kalian serius ingin membantu?”

“Iya!” seru mereka serempak.

“Baiklah,” kata Senaru. “Tapi kalian harus janji satu hal.”

“Apa?”

“Kalian tidak boleh menyerah, bahkan kalau orang-orang menertawakan kalian.”

Anak-anak itu saling berpandangan, lalu mengangguk penuh semangat.

Sejak hari itu, Senaru tidak lagi sendirian.

Anak-anak itu mungkin tidak banyak membantu, tapi mereka membawa sesuatu yang lebih berharga—semangat. Mereka menggali tanah dengan tangan mungil mereka, menyiram tunas kecil dengan kendi-kendi kecil mereka, dan tertawa di bawah matahari yang panas.

Dan tanpa mereka sadari, perubahan kecil itu mulai menarik perhatian orang lain.

Para orang tua yang awalnya menertawakan Senaru mulai bertanya-tanya. Jika anak-anak mereka saja tertarik, mungkin ada sesuatu yang mereka lewatkan.

Hari demi hari, semakin banyak orang yang datang, bukan lagi untuk menertawakan, tetapi untuk melihat dengan mata kepala mereka sendiri.

Dan di suatu sore yang tenang, Dama—lelaki tua yang dulu menggelengkan kepala melihat Senaru—berjalan ke tanah kosong itu, berdiri di bawah sinar matahari, dan mengamati deretan tunas yang kini mulai tumbuh lebih tinggi.

Ia menghela napas, lalu menoleh ke Senaru yang tengah menanam biji lain di tanah.

“Apa aku bisa menanam satu juga?” tanyanya pelan.

Senaru menoleh dan tersenyum. “Tentu saja.”

Dan di sanalah perubahan itu benar-benar dimulai.

 

Hijau yang Kembali

Musim hujan datang lebih awal tahun itu. Air menyerap ke dalam tanah yang selama ini kering, memberi kehidupan bagi tunas-tunas yang mulai tumbuh lebih kuat. Pohon-pohon kecil yang ditanam Senaru dan anak-anak desa mulai menjulurkan rantingnya ke langit, seolah-olah menyapa awan.

Tanah kosong yang dulunya mati, kini berubah perlahan. Masih jauh dari hutan lebat, tapi hijau-hijau kecil yang tersebar di mana-mana adalah bukti bahwa perjuangan mereka tidak sia-sia.

Senaru tidak pernah meminta orang lain untuk ikut. Tapi sejak Dama—lelaki tua yang dulu menertawakannya—mulai menanam, semakin banyak warga yang datang. Awalnya hanya beberapa, tapi kemudian jumlahnya bertambah. Ibu-ibu membawa kendi-kendi besar berisi air, bapak-bapak datang dengan cangkul di pundak, bahkan pemuda-pemuda desa yang biasanya lebih suka nongkrong di sudut jalan, kini ikut membantu menggali tanah dan menanam bibit.

Namun, perubahan tidak selalu diterima dengan mudah.

Suatu pagi, ketika Senaru tiba di lahan bersama anak-anak yang selalu setia menemaninya, ia mendapati beberapa pohon yang baru tumbuh patah. Tanah di sekitar mereka diinjak-injak. Daun-daun yang dulunya hijau kini tergeletak tak bernyawa di tanah.

Senaru berdiri diam. Hatinya mencelos.

“Siapa yang melakukan ini?” suara Dama muncul dari belakang, nada suaranya penuh kemarahan.

Tak ada yang tahu. Tak ada yang melihat. Tapi semua orang mengerti—tidak semua orang senang dengan perubahan.

Penduduk yang dulu menganggap Senaru gila mungkin mulai merasa tersaingi. Atau mungkin ada yang takut bahwa tanah kosong itu bukan lagi milik mereka sendiri.

“Tidak ada gunanya marah,” kata Senaru akhirnya. “Kalau mereka menghancurkan, kita tanam lagi.”

“Tapi kalau terus dihancurkan?” tanya seorang pemuda.

“Kita tanam lagi,” jawab Senaru mantap. “Dan lagi. Sampai mereka lelah menghancurkan.”

Hari itu, mereka mulai dari awal lagi. Membersihkan ranting yang patah, menanam bibit baru, dan menyiram tanah yang diinjak-injak dengan harapan yang lebih besar.

Namun, kejadian itu tidak berhenti di situ.

Malamnya, Senaru pulang lebih larut dari biasanya. Langkah kakinya pelan melewati jalan setapak menuju rumah kecilnya di pinggir desa. Namun, begitu sampai di depan rumah, ia melihat pintu rumahnya terbuka sedikit.

Seketika, nalurinya berteriak.

Ia berlari ke dalam.

Rak kayu yang berisi bibit-bibit yang ia kumpulkan dari perjalanan ke berbagai tempat berserakan di lantai. Kendi air yang biasa ia bawa pecah di sudut ruangan.

Dan di dinding kayu rumahnya, ada tulisan kasar yang tergores dengan arang.

“Berhenti atau kau akan menyesal.”

Senaru menghela napas panjang. Tangannya mengepal, tapi ia tidak mengatakan apa-apa. Ia mengambil sapu, mulai membersihkan pecahan kendi, lalu mengumpulkan kembali biji-biji yang berserakan di lantai.

Di luar, hujan turun perlahan.

Pagi harinya, ketika ia tiba di lahan, anak-anak sudah menunggu dengan wajah cemas.

“Senaru! Rumahmu—”

“Aku baik-baik saja,” potongnya cepat, tersenyum menenangkan.

“Apa kita tetap lanjut menanam?” tanya seorang anak dengan suara ragu.

Senaru berlutut, menatap mereka satu per satu. “Apa kalian masih ingin melihat tempat ini menjadi hijau?”

Anak-anak itu mengangguk, meski ada sedikit ketakutan di mata mereka.

“Kalau begitu, kita lanjutkan.”

Hari itu, mereka bekerja lebih keras dari biasanya.

Namun, yang tidak mereka sadari, dari kejauhan, sepasang mata mengawasi mereka. Seseorang berdiri di balik pohon, memperhatikan setiap gerakan Senaru dan kelompok kecilnya.

Dan senja itu, saat matahari perlahan tenggelam di balik bukit, orang itu melangkah pergi—membawa sesuatu di dalam hatinya yang mungkin bisa mengubah segalanya.

 

Akhir yang Baru

Senaru sudah menduga bahwa ancaman itu tidak akan berhenti hanya dengan tulisan di dinding rumahnya. Namun, bukan ketakutan yang ia rasakan—melainkan keyakinan bahwa setiap perubahan pasti menuntut harga yang harus dibayar.

Pagi itu, saat matahari mulai menampakkan sinarnya, ia kembali ke lahan bersama anak-anak dan beberapa warga yang tetap setia. Namun, sebelum mereka sempat mulai bekerja, sekelompok orang datang menghampiri.

Dama berjalan di depan, ekspresi wajahnya tegang. “Senaru, ada yang ingin bicara denganmu.”

Senaru menoleh, dan di antara kerumunan, seorang lelaki tua melangkah maju. Rambutnya sudah banyak uban, tubuhnya sedikit bungkuk, tapi sorot matanya tajam seperti pedang.

Ia adalah Kerta—tokoh tua yang paling dihormati di desa. Orang yang suaranya selalu didengar, dan keputusannya jarang dibantah.

Senaru tahu, pertemuan ini bukan hal yang sepele.

“Kau sudah membuat banyak orang resah, Senaru,” kata Kerta tanpa basa-basi. Suaranya tenang, tapi ada beban dalam setiap katanya.

Senaru tetap berdiri tegak. “Apa yang membuat mereka resah, Kek?”

“Tanah ini,” Kerta menunjuk lahan yang kini mulai hijau. “Ada yang bilang kau ingin mengambilnya. Ada yang khawatir kau akan menjadikannya milikmu sendiri.”

Senaru menghela napas panjang. Jadi ini alasan di balik semua teror yang ia terima. Rasa takut. Rasa kehilangan. Manusia memang mudah curiga pada hal yang belum mereka pahami.

“Aku tidak pernah mengklaim tanah ini sebagai milikku,” jawabnya dengan mantap. “Aku hanya ingin melihatnya hidup kembali. Aku ingin melihat anak-anak bisa bermain di bawah pohon, bukan di atas tanah gersang yang penuh debu. Aku ingin melihat hujan turun dan tanah ini mampu menampung airnya, bukan membiarkannya hanyut begitu saja.”

Orang-orang mulai berbisik. Beberapa terlihat ragu. Namun, Kerta masih menatapnya lekat-lekat, seperti mencari kepastian.

“Lalu, jika tanah ini menjadi hijau… lalu siapa yang memilikinya?” tanyanya pelan, tapi penuh makna.

Senaru tersenyum tipis. “Tanah ini milik kita semua. Pohon-pohon ini akan tumbuh bukan untukku, tapi untuk desa ini. Untuk anak-anak kita. Untuk masa depan yang lebih baik.”

Keheningan menyelimuti mereka.

Beberapa warga yang selama ini menolak diam-diam mulai menundukkan kepala, seolah baru menyadari betapa piciknya pikiran mereka selama ini.

Lalu, sesuatu yang tak terduga terjadi.

Kerta melangkah maju, mengambil segenggam tanah, lalu meremasnya di tangan. Setelah itu, ia berjalan ke salah satu lubang yang sudah disiapkan untuk bibit pohon.

Dengan kedua tangannya yang sudah menua, ia mulai menanam.

Tak ada kata-kata yang ia ucapkan, tapi tindakannya berbicara lebih dari cukup.

Dan seolah menjadi isyarat, satu per satu warga mulai ikut berlutut. Mereka yang tadinya menentang, kini mengambil cangkul. Mereka yang tadinya diam, kini ikut menggali.

Hari itu, desa menyaksikan sesuatu yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Bukan hanya sekelompok kecil orang yang menanam pohon, tapi seluruh desa.

Senaru berdiri di tengah-tengah mereka, hatinya terasa penuh. Perjuangannya selama ini bukan untuk dirinya sendiri, dan hari ini ia menyadari bahwa impiannya telah menjadi impian mereka juga.

Bertahun-tahun kemudian, hutan kecil itu tumbuh menjadi rimbun. Burung-burung kembali bersarang. Anak-anak berlarian di bawah pohon-pohon besar, tertawa tanpa takut debu dan panas membakar kulit mereka.

Dan di tengah-tengah hutan kecil itu, ada sebuah batu sederhana dengan tulisan yang diukir dengan hati-hati.

“Untuk mereka yang percaya bahwa perubahan dimulai dari satu langkah kecil.”

Senaru tidak pernah menginginkan namanya dikenang. Tapi jejaknya tertanam di dalam tanah itu—dalam setiap akar yang tumbuh, dalam setiap daun yang menari bersama angin, dalam setiap napas yang dihirup oleh anak-anak yang kini tumbuh di bawah rindangnya pohon-pohon yang dulu ia tanam dengan penuh harapan.

Akhirnya, tanah itu telah kembali hidup.

Dan perjuangan Senaru telah menemukan akhirnya.

 

Jadi, intinya… perubahan itu selalu butuh seseorang yang berani mulai duluan. Nggak perlu nunggu semua orang setuju, nggak perlu takut dibilang gila.

Kadang, satu langkah kecil bisa ngubah banyak hal. Kayak Senaru yang nggak nyerah walau diteror dan dicurigai. Sekarang, giliran kamu—mau diem aja atau mulai bergerak? Pilihannya ada di tanganmu!

Leave a Reply