Perjuangan Mimpi Si Miskin: Dari Jalan Terjal Menuju Cita-Cita

Posted on

Kamu pasti pernah ngerasain gimana rasanya punya impian gede, tapi dibatasi oleh kekurangan, kan? Rasanya kayak dihadapin tembok tinggi yang nggak bisa kamu lewatin.

Tapi, kadang jalan yang paling berat itu yang bakal bikin kita lebih kuat, kan? Nah, cerita ini bakal ngasih kamu gambaran tentang perjalanan berat seorang anak miskin yang berjuang menggapai mimpinya, meskipun dunia terus-menerus ngetes sejauh mana dia bisa bertahan.

 

Perjuangan Mimpi Si Miskin

Langit yang Jauh

Pagi itu, langit tampak cerah, meskipun udara masih cukup dingin. Rakha berjalan dengan hati-hati di jalan setapak yang dipenuhi tanah berlumpur. Sepatunya yang sudah tidak berbentuk lagi hanya bisa mengucapkan keluh kesah dalam setiap langkah, tapi ia tak memperdulikan. Langkahnya mantap, meskipun langkah-langkah itu tidak lagi disertai dengan semangat yang dulu menggebu.

Di tangannya, sebuah buku catatan kecil penuh dengan gambar-gambar sketsa bangunan. Sketsa yang selalu ia gambar sejak kecil, memimpikan masa depan sebagai seorang arsitek, meskipun masa depan itu semakin terlihat seperti kabut yang tak pernah bisa disentuh. Ia berhenti sejenak, menatap beberapa orang yang bekerja di sekitar proyek bangunan yang sedang berjalan. Mesin-mesin besar berdengung, dan para pekerja terlihat sibuk, tetapi Rakha merasa seolah-olah mereka sedang berada di dunia yang berbeda.

“Rakha!” teriak salah seorang pekerja, Pak Suto, yang sudah lama mengenalnya.

“Oh, Pak Suto,” Rakha mengangguk, lalu menghampiri pria paruh baya itu. “Ada yang bisa saya bantu?”

Pak Suto menatapnya dengan mata yang tajam, seperti ingin mengatakan sesuatu, tapi akhirnya hanya menggelengkan kepala. “Kamu masih terus berjuang, Nak? Masih nggak nyerah dengan mimpi jadi arsitek itu?”

Rakha hanya tersenyum pahit, sedikit miring. “Iya, Pak. Mimpi itu nggak bisa hilang begitu aja.”

Pak Suto mengamati wajahnya, melihat kelelahan yang terpancar jelas di bawah matanya. “Coba pikir lagi, Rakha. Mungkin ini saatnya kamu realistis. Hidup nggak semudah itu, apalagi buat orang yang kayak kamu.”

Rakha tak menjawab, hanya menunduk. Ia tahu apa yang Pak Suto maksudkan. Semuanya terasa semakin sulit. Setiap kali ia mencoba mendaftar kuliah, selalu ada saja halangan—biaya yang tidak cukup, kuota beasiswa yang sudah penuh, atau kesempatan yang terlewatkan begitu saja. Tapi ia tak pernah mengaku kalah.

Namun, kini, setelah bertahun-tahun berjuang, sedikit demi sedikit impian itu mulai terasa seperti suatu kemewahan yang tak bisa diraih. Langit impiannya semakin jauh, seperti sebuah bintang yang terus menyusut hingga akhirnya hilang dari pandangannya.

“Pak, saya nggak bisa menyerah. Saya harus coba lagi tahun depan,” kata Rakha dengan suara yang hampir bergetar, namun ia berusaha menunjukkan keyakinan.

Pak Suto hanya mengangguk, seperti mengerti betul perjuangan yang ada di dalam diri pemuda itu. “Kalau kamu yakin, ya silakan. Tapi jangan lupa, hidup itu penuh pilihan. Jangan terlalu keras kepala, nanti kamu sendiri yang akan terluka.”

Rakha menghela napas, merasa kata-kata itu menyusup dalam-dalam ke hatinya. Tapi ia tak bisa menyerah. Tak bisa.

Seiring waktu, malamnya kembali datang dengan tenang. Rakha duduk di meja kayu yang sudah lapuk di rumahnya, menyalakan lampu minyak yang berpendar redup. Di hadapannya, buku catatan yang penuh gambar itu terbuka lebar. Tapi kali ini, matanya tak bisa fokus. Pikiran-pikirannya melayang, terjebak di antara mimpi yang terus mendalam dan kenyataan yang begitu keras.

Ibunya baru saja selesai menjual gorengan di pasar, dan adiknya sedang belajar di sudut ruang. “Kamu nggak ngeluh, kan, Rakha? Kamu harus kuat buat mereka,” bisik ibunya tadi, dengan senyum yang selalu penuh harapan. Tetapi Rakha tahu betul bahwa di balik senyum itu, ada kecemasan yang tak terucapkan.

Adiknya, Adit, yang masih kecil, sering bertanya tentang kuliah. “Kapan, Kak, kita bisa kuliah bareng? Kakak kan pintar, pasti bisa kuliah di kota besar.”

Mendengar itu, hati Rakha teriris. Ia berusaha tersenyum, meskipun di dalamnya ada rasa sakit yang menggerogoti. “Kita pasti bisa, Adit. Kita semua pasti bisa.” Tapi entah bagaimana, kata-kata itu terasa lebih seperti kebohongan.

Rakha menutup buku itu dan menatap langit malam dari jendela kecil di samping rumah. Bintang-bintang bersinar dengan terang, tapi ia merasa seperti langit itu begitu jauh, begitu tinggi, dan tak akan pernah bisa dijangkau. Ia merasa seolah-olah ada dinding tak terlihat yang memisahkan dirinya dengan impian itu.

Tahun demi tahun berlalu, dan semakin banyak yang ia korbankan. Beberapa kali ia hampir menyerah, tetapi ia kembali bangkit, hanya untuk dihantam kenyataan yang lebih keras. Teman-temannya yang dulu berjuang bersamanya kini sudah jauh melangkah, dengan jalan hidup yang lebih jelas. Mereka sudah kuliah, sudah bekerja di tempat yang bagus, sedang ia tetap di sini, di jalan ini, dengan harapan yang semakin luntur.

Namun, meskipun semua itu menghimpit, ia masih menulis. Ia masih menggambar. Ia masih memimpikan gedung-gedung besar yang tak pernah bisa ia bangun.

Tapi malam itu, setelah melihat bintang-bintang di langit, Rakha merasa seolah-olah ada yang hilang dalam dirinya. Mimpi itu, yang selama ini ia genggam erat, kini terasa lebih berat dari sebelumnya. Apakah ia cukup kuat untuk terus berjuang? Ataukah sudah saatnya ia melepaskannya?

Di luar, suara hujan mulai terdengar, pelan namun pasti. Seperti bisikan yang mengingatkan, bahwa tak semua hal bisa terwujud hanya dengan usaha.

Ia menatap langit satu kali lagi, lalu dengan pelan, memutar tubuhnya, melangkah menuju tempat tidur kecilnya. Impian itu, kini seperti kabut yang perlahan menghilang.

 

Patahkan Sayap Impian

Hujan yang turun malam itu tak pernah berhenti, seperti tetesan-tetesan mimpi yang terjatuh, hilang, dan tersapu waktu. Rakha duduk termenung di sudut ruang, menatap langit melalui celah jendela yang sudah berkarat. Lampu minyak yang biasanya menyala temaram kini hanya menyisakan bayangan panjang di dinding. Malam terasa begitu sepi, terlalu sunyi, seolah dunia sedang menganggapnya tak ada.

Keesokan harinya, Rakha bangun dengan rasa lelah yang lebih dari sekadar fisik. Ia merasa kosong, seperti sebuah bangunan yang dibiarkan rapuh tanpa perawatan. Langkahnya terasa berat saat ia keluar menuju tempat kerjanya di proyek bangunan, yang kembali memanggilnya seperti rutinitas yang tak pernah berhenti. Setiap pagi, ia akan melihat tumpukan semen dan pasir, serta para pekerja yang sibuk dengan alat berat mereka. Rakha merasa seperti satu bagian dari mesin besar yang berjalan tanpa arah.

Di tengah kebisingan proyek, ia melihat wajah-wajah lain yang juga penuh dengan kelelahan. Mereka mungkin tak pernah punya impian besar seperti dirinya. Mungkin mereka tak pernah bermimpi menjadi sesuatu yang lebih dari sekadar pekerja kasar. Rakha bertanya-tanya apakah mereka merasa puas dengan hidup mereka.

Sore itu, saat proyek mulai selesai dan semua orang mulai beranjak pulang, Rakha duduk sejenak di atas tumpukan batu bata yang dingin. Tanpa sadar, matanya mencari-cari sosok yang dulu selalu hadir dalam setiap langkahnya, harapannya yang dulu tak pernah padam. Tapi sekarang, semua itu seperti bayangan yang menghilang saat diterpa angin. Ia berusaha tidak berpikir tentang impian itu lagi, tetapi setiap kali ia menatap bangunan yang sedang dibangun di depannya, ia merasakan kehadiran mimpinya yang terus menggantung di sana, tak bisa ia gapai.

Pak Suto mendekatinya dengan langkah kaki yang lambat. “Rakha, kamu kenapa?” tanya pria itu, yang terlihat lebih bijaksana dari sebelumnya.

Rakha hanya mengangkat bahu, tak ada kata yang keluar dari mulutnya. Ia merasa kata-kata itu sia-sia. “Tidak apa-apa, Pak.”

Pak Suto duduk di sebelahnya, matanya memandang langit yang mendung. “Kamu tahu, Rakha, hidup ini tak selalu sesuai dengan yang kita harapkan. Ada kalanya kita harus menerima kenyataan.”

Rakha menatap tanah, berusaha menahan perasaan yang sudah menumpuk di dalam dada. “Aku tahu. Tapi itu bukan berarti aku harus berhenti, kan?” suara Rakha bergetar pelan, meskipun ia mencoba menunjukkan keyakinannya.

Pak Suto menghela napas, seolah memikirkan kata-kata yang tepat. “Kadang, berhenti bukan berarti kalah. Berhenti bisa berarti memberi kesempatan untuk sesuatu yang baru. Kamu bisa menemukan jalan lain, Rakha.”

Rakha menoleh, memandang Pak Suto dengan tatapan kosong. Ia ingin berkata sesuatu, tetapi kata-kata itu tertahan di tenggorokannya. Semua usahanya, semua waktu yang ia habiskan untuk mengejar mimpinya seolah terasa sia-sia sekarang. Ia merasa seperti burung yang mencoba terbang dengan sayap yang patah.

Ketika malam tiba, Rakha kembali ke rumah, merasa lelah secara fisik dan mental. Namun, kali ini ada sesuatu yang berbeda. Ia duduk di meja kecilnya dengan catatan yang mulai usang, mencoret-coret beberapa gambar yang sudah tidak ia sentuh selama berbulan-bulan. Setiap goresan pensil itu terasa seperti memar pada hatinya sendiri.

Ibunya datang dengan membawa teh manis hangat, mencoba memberi sedikit kehangatan pada suasana yang semakin dingin. “Kamu nggak perlu khawatir, Rakha. Kita sudah cukup bahagia dengan apa yang kita punya.”

Tapi Rakha tahu, kebahagiaan itu hanyalah kebahagiaan yang terpaksa diterima. Seperti mereka yang memandang langit dan berkata, “Tak apa, kita sudah cukup dengan yang ada.” Tapi tidak baginya.

“Apa kamu pernah merasa, Bu, kalau kita nggak pernah cukup?” tanya Rakha, suaranya pelan, seperti bisikan angin yang datang dan pergi.

Ibunya menghela napas, meletakkan teh itu di meja dan duduk di sampingnya. “Kadang hidup memang keras, Nak. Tapi kamu harus tahu, apa yang kita punya saat ini sudah lebih dari cukup. Kamu nggak perlu menjadi apa-apa untuk membuktikan sesuatu. Cukup jadi diri sendiri saja.”

Rakha menunduk, menatap cangkir teh yang sudah mulai dingin itu. Kata-kata ibunya seakan mengingatkan pada kenyataan pahit yang ia coba lupakan. Mimpi menjadi arsitek mungkin memang bukan untuknya. Mungkin impian itu hanya sebuah bayangan di dalam dirinya, yang terperangkap dalam dunia yang tak mendukungnya.

Hari-hari berlalu dengan cepat, dan setiap hari Rakha semakin merasa bahwa jalan yang ia pilih semakin sempit. Uangnya tak pernah cukup untuk kuliah, dan kesempatan untuk melanjutkan impiannya semakin sulit dicapai. Orang-orang di sekelilingnya mulai terlihat tak peduli. Mungkin mereka tidak pernah tahu seberapa besar perjuangannya. Mungkin mereka tak tahu bagaimana rasanya mengejar sesuatu yang terasa hampir bisa digapai, tapi selalu meleset.

Namun, suatu sore, saat Rakha sedang duduk di tepi jalan, menunggu angkutan umum untuk pulang, ia melihat seorang bocah kecil yang menggambar di tanah dengan batu kecil. Gambar itu adalah sebuah rumah, dengan atap yang tinggi, jendela besar, dan taman yang penuh bunga. Rakha menatap lama, seolah melihat dirinya sendiri dalam bocah itu.

“Kenapa kamu menggambar itu?” tanya Rakha, mendekat.

Bocah itu mengangkat wajahnya, tersenyum dengan mata yang cerah. “Ini rumah yang ingin aku bangun suatu hari nanti. Aku mau jadi arsitek.”

Tiba-tiba, Rakha merasa sesak di dadanya. Ia menatap gambar itu lebih lama lagi. Ada sesuatu yang membangkitkan rasa yang sudah lama ia kubur dalam-dalam. Impian itu, meskipun terasa jauh, seolah menyentuh hatinya kembali. Ia tidak bisa membiarkan semuanya berakhir begitu saja.

Ia menatap bocah itu dengan senyuman tipis. “Teruskan impianmu, Nak. Jangan pernah menyerah.”

Senyum bocah itu semakin lebar, dan dalam hati Rakha, ada sedikit harapan yang kembali tumbuh. Namun, apakah itu cukup untuk menghidupkan impiannya lagi? Ia tak tahu. Tapi satu hal yang pasti, ia tak ingin melihat mimpinya mati begitu saja, meskipun jalan itu terasa semakin gelap.

 

Pertaruhan Terakhir

Keputusan itu datang begitu saja, seperti badai yang melanda tanpa peringatan. Rakha tahu, dalam hatinya, bahwa ia tak bisa terus hidup dalam bayang-bayang mimpi yang terinjak-injak oleh kenyataan. Meskipun terasa berat, keputusan itu bukan hanya tentang mimpi, tetapi juga tentang dirinya sendiri. Ia tidak ingin melihat hidupnya habis begitu saja tanpa berjuang sedikit lagi.

Hari itu, saat pagi menyapa dengan cahaya yang lebih lembut dari biasanya, Rakha berdiri di depan pintu rumahnya, memandangi jalan raya yang sibuk. Di dalam tas ranselnya, ada beberapa dokumen yang ia harap bisa membuka jalan bagi impiannya. Ini adalah langkah terakhir yang ia ambil—mendaftar ke universitas. Tanpa uang, tanpa dukungan yang kuat, hanya dengan harapan dan keberanian yang tersisa.

Ibunya tidak tahu apa yang ia rencanakan. Selama ini, ibunya selalu mengingatkan untuk tidak berharap lebih. “Hidup itu tak selalu sesuai rencana, Rakha,” kata ibunya sering kali. Namun, Rakha tahu bahwa kali ini, dia harus menentang takdir yang sudah menantangnya.

Perjalanan ke kota memakan waktu hampir dua jam, dan setiap detiknya, rasa cemasnya semakin mendalam. Ia terus memikirkan kemungkinan kegagalan yang bisa datang. Bahkan, ia sudah membayangkan wajah para petugas pendaftaran yang akan menolaknya begitu saja. “Kamu nggak cukup punya apa-apa untuk jadi mahasiswa di sini,” suara-suara itu selalu terdengar di kepalanya.

Namun, di balik keraguan yang besar itu, ada seberkas keyakinan yang ingin ia coba buktikan. Ia ingin membuktikan bahwa meskipun ia berasal dari keluarga miskin, impian itu layak untuk diperjuangkan.

Setibanya di kampus, Rakha terpesona oleh kemegahannya. Gedung-gedung tinggi yang berkilauan, lapangan yang luas, dan suasana yang penuh dengan semangat belajar. Ia bisa membayangkan dirinya di tengah-tengah semuanya—seorang mahasiswa yang bisa berkontribusi, yang bisa menciptakan sesuatu yang lebih besar dari dirinya sendiri. Namun, perasaan cemas itu tak kunjung hilang. Mungkin semua ini hanya mimpi indah yang tak akan pernah terwujud.

Ia berdiri di depan gedung pendaftaran, menatap deretan mahasiswa yang sibuk berlalu-lalang. Rakha menarik napas panjang dan melangkah maju. Langkahnya terasa semakin berat, namun ia tahu bahwa ini adalah kesempatan terakhir yang ia punya.

“Selamat pagi, Mbak. Ada yang bisa saya bantu?” sapa seorang petugas pendaftaran dengan senyum ramah. Rakha menatap petugas itu, berusaha untuk tetap tenang meskipun hatinya berdebar kencang.

“Aku ingin mendaftar, Pak. Ke program studi arsitektur,” jawabnya dengan suara yang sedikit gemetar, namun cukup untuk menunjukkan tekad yang ada dalam dirinya.

Petugas itu memeriksa berkas pendaftaran yang dibawanya. Mata petugas itu bergerak cepat, namun Rakha bisa merasakan ketidakpastian di matanya. “Hmm… Sepertinya ada beberapa persyaratan yang belum lengkap, Mbak. Kami biasanya menerima mahasiswa dengan latar belakang yang lebih… mendukung,” kata petugas itu tanpa mengangkat pandangannya.

Rakha menelan ludah. “Tapi… saya sudah mengumpulkan segala yang saya bisa. Saya ingin belajar. Saya ingin berubah.”

Petugas itu mengangkat wajahnya, menatap Rakha sejenak. Ada sesuatu di matanya—sesuatu yang membuat Rakha merasa sedikit lebih dihargai, meskipun tidak sepenuhnya. “Saya mengerti. Namun, kami tidak bisa menjamin apa-apa. Proses seleksi akan sangat ketat. Jika Anda lulus, saya akan senang sekali melihat Anda di sini,” katanya akhirnya, memberinya secercah harapan.

Rakha mengangguk dengan hati yang penuh ketidakpastian. “Terima kasih,” jawabnya pelan, sebelum berbalik dan melangkah pergi.

Di luar gedung, Rakha merasa seperti seseorang yang baru saja melangkah ke dunia yang tak dikenal. Jalan yang ia tempuh terasa begitu sunyi, seolah dunia sedang menunggu untuk menghukumnya. Namun, ia terus berjalan. Ia tahu bahwa tidak ada yang bisa memulai sesuatu tanpa melewati rasa takut dan ketidakpastian.

Selama beberapa minggu berikutnya, Rakha menunggu hasil seleksi dengan hati yang terombang-ambing. Setiap hari, ia menatap surat yang tak pernah datang. Harapannya hampir terkikis oleh keraguan. Ia mulai merasa seperti beban bagi keluarganya, yang semakin hari semakin miskin dan tertekan oleh hidup.

Suatu pagi, ketika Rakha sedang membantu ibunya di dapur, pintu depan diketuk dengan keras. Rakha merasa seolah jantungnya berhenti sejenak. Ia tahu siapa yang datang.

“Ibu… itu pasti suratnya,” bisiknya pelan, dengan tangan gemetar.

Ibunya membuka pintu, dan seorang kurir berdiri di sana, memegang amplop besar. “Surat untuk Rakha,” katanya singkat, menyerahkan amplop itu kepada ibunya.

Ibunya mendekat, membuka surat itu dengan hati-hati, dan membaca dengan seksama. Rakha menunggu dengan cemas di sisi meja.

“Apa… apa hasilnya, Bu?” tanyanya dengan suara tercekat.

Ibunya menghela napas panjang. “Kamu diterima, Nak. Kamu diterima di program studi arsitektur,” jawab ibunya dengan suara yang hampir tak bisa dipercaya.

Rakha terdiam, tak bisa mempercayai apa yang baru saja ia dengar. Tangannya gemetar saat ia meraih surat itu dan membacanya sendiri. Hatinya berdegup kencang, seolah dunia yang tadinya terasa begitu keras kini mulai berputar dengan cara yang berbeda. Mimpi itu, yang dulu terasa terlalu jauh, akhirnya terasa begitu nyata.

Namun, di balik kebahagiaan itu, ada satu pertanyaan yang selalu mengganggu pikirannya: Apakah aku bisa bertahan di sini?

 

Harapan yang Tersisa

Rakha berdiri di depan gedung kampus, memandangnya dengan campuran kebingungan dan kekhawatiran yang mendalam. Hari pertama perkuliahannya baru saja dimulai, dan ia merasa seperti anak yang tersesat di lautan yang tak pernah ia kenal. Semua serba baru—suasana, teman-teman sekelas, dosen, bahkan buku-buku yang harus ia pelajari. Sesuatu yang terasa sangat jauh dari kenyataan hidupnya yang dulu, yang serba sederhana dan penuh perjuangan.

Namun, meskipun seberat apapun, Rakha tahu ini adalah jalan yang ia pilih. Ia sudah sampai sejauh ini, dan meskipun takut, ia tak ingin menyerah begitu saja.

Di ruang kuliah, ia duduk di bangku yang kosong, jauh dari para mahasiswa lainnya. Mereka semua terlihat begitu percaya diri, berbicara tentang proyek dan impian yang jauh lebih besar, seolah mereka sudah lahir dengan segalanya. Sementara Rakha hanya bisa diam, merasa seperti burung yang terbang terlalu rendah, tak mampu meraih langit yang lebih tinggi.

Saat dosen masuk dan mulai menjelaskan materi, Rakha berusaha keras untuk mengikuti. Namun, kepalanya terasa penuh dengan kebingungan. Setiap kalimat yang terdengar terasa seperti bahasa asing. Wajahnya memerah karena rasa malu, tapi ia berusaha menahan diri. Di luar, hujan mulai turun, seakan ikut merasakan beban yang ada di dalam hatinya.

Satu minggu berlalu, dan Rakha masih berjuang dengan segala sesuatunya. Tugas-tugas yang menumpuk, materi kuliah yang semakin rumit, dan para mahasiswa yang lebih beruntung, lebih pintar, lebih siap—semuanya menambah beban di pundaknya. Namun, Rakha tidak ingin menyerah. Ia tahu betul apa yang ia hadapi, dan ia tidak bisa kembali ke kehidupannya yang dulu. Tidak ada jalan mundur.

Suatu hari, saat sedang duduk di perpustakaan, Rakha bertemu dengan seorang teman sekelas, Lara, yang memperhatikannya dengan cermat. Lara adalah mahasiswa yang tampaknya sangat sukses, dengan penampilan yang rapi dan sikap yang percaya diri. Ia datang dari keluarga kaya, tak jauh berbeda dengan mahasiswa lainnya yang hidup dalam kenyamanan.

“Lagi sibuk dengan apa, Rakha?” tanya Lara, duduk di sebelahnya sambil tersenyum ramah.

Rakha terdiam sejenak, berpikir apakah ia harus menceritakan semua rasa khawatir dan kebingungannya. Namun, ia memilih untuk tetap berkata jujur. “Aku… aku merasa jauh tertinggal, Lara. Semua ini terasa seperti beban besar, dan aku rasa aku nggak bisa mengikuti semua ini.”

Lara menatapnya dengan penuh perhatian, lalu berkata, “Aku paham, Rakha. Kamu tahu, banyak dari kita di sini yang juga merasa seperti itu. Tapi kamu harus percaya, kalau kamu sampai di sini, itu karena kamu memang bisa. Jangan pernah ragu tentang itu.”

Kata-kata Lara terdengar begitu tulus, dan meskipun sedikit menguatkan, Rakha merasa tak bisa sepenuhnya percaya. Terkadang, meskipun orang lain memberi dukungan, hatinya tetap merasa kosong. Ia tahu dirinya berjuang sendirian. Semua yang ia lakukan terasa berat. Ia merasa seperti seorang pejuang yang terus berlari meski tak ada lagi tenaga.

Hari-hari berlalu dengan perlahan. Rakha terus mengikuti perkuliahan, meski selalu ada rasa takut dan cemas di setiap langkahnya. Ia merasa terus berjuang untuk membuktikan bahwa ia layak di sini, meski di dalam hati, keraguan selalu mengintai.

Suatu hari, saat sedang duduk di taman kampus, Rakha merenung. Hujan kembali turun, lebih deras dari sebelumnya. Ia duduk di bangku, menatap langit yang mendung, sambil menunggu angin membawa jawaban. Ia tidak tahu harus bagaimana, apakah ia harus terus berjuang, atau menyerah begitu saja.

Hidupnya kini tidak lagi sesederhana dulu. Setiap keputusan yang ia buat terasa seperti pertaruhan besar, dan ia tidak tahu seberapa banyak lagi ia bisa bertahan.

Namun, saat hujan mulai mereda, Rakha menyadari sesuatu. Tidak ada cara yang mudah untuk mencapai impian. Tidak ada jalan yang mulus, tidak ada jaminan kesuksesan. Tapi jika ia berhenti sekarang, itu berarti ia akan mengubur mimpinya selamanya. Ia mungkin tak punya banyak uang atau dukungan, tapi ia punya satu hal yang lebih berharga daripada itu: keberanian.

Rakha bangkit dari bangkunya, menggulung ujung jaketnya, dan melangkah menuju gedung kuliah dengan langkah yang lebih pasti. Meski jalan di depan masih penuh tantangan, ia tahu bahwa selama ia terus berjalan, mimpinya—meskipun terasa jauh dan tak pasti—masih layak untuk diperjuangkan.

Dan di saat itu, dengan hati yang penuh harapan, Rakha menyadari bahwa mimpi itu tidak hanya tentang mencapai sesuatu yang besar, tetapi tentang terus berjuang, meski dunia terkadang tampak menentang.

 

Jadi gini, perjalanan Rakha emang nggak gampang, penuh dengan kegagalan dan cobaan. Tapi, yang penting dia nggak berhenti dan terus berjuang, walaupun semuanya terasa nggak mungkin.

Mimpi itu memang nggak selalu datang mudah, tapi selama kita nggak menyerah, siapa tau suatu saat nanti kita bisa mewujudkannya. Jadi, jangan pernah ngerasa kecil, ya. Selama kamu punya niat dan kerja keras, nggak ada yang nggak mungkin!

Leave a Reply