Daftar Isi [hide]
Perjuangan Menuju Sukses
Langkah Kecil di Lorong Sempit
Rakha melangkah perlahan di atas jalanan tanah yang mulai mengering setelah hujan semalam. Sandal jepitnya meninggalkan jejak samar di tanah liat yang masih sedikit lembab. Angin sore berembus pelan, membawa suara riuh anak-anak kecil yang bermain di tepi jalan, tertawa lepas tanpa beban. Rakha hanya tersenyum tipis. Ia tahu, sebagian besar dari mereka mungkin tak akan pernah merasakan duduk di bangku sekolah.
Ia menyeberangi lorong sempit di belakang rumah-rumah kayu yang catnya mulai mengelupas. Bau asap dari dapur-dapur sederhana bercampur dengan aroma tanah basah. Di depan sebuah rumah dengan anyaman bambu yang sedikit bolong di beberapa sisi, Rakha berhenti sejenak. Ibunya sedang duduk di teras kecil, tangannya lincah menenun selembar kain dengan pola sederhana. Mata wanita itu memancarkan kelelahan, tetapi senyumnya tetap hangat.
“Kamu sudah pulang, Nak?” suara lembut ibunya menyambut.
Rakha mengangguk. “Iya, Bu. Lapar banget!” ia mengusap perutnya yang sejak siang hanya diisi sepotong ubi rebus.
Ibunya tertawa kecil. “Di dapur ada nasi sama sambal terasi. Makan dulu sana, habis itu belajar.”
Rakha masuk ke dalam rumah, mengambil piring dan menyendok nasi yang masih mengepul. Hanya ada sambal dan beberapa potong tempe kering, tapi ia makan dengan lahap. Setelahnya, ia duduk di depan rumah, membuka buku lusuhnya dan mulai mencatat ulang pelajaran yang diberikan di sekolah tadi. Pensilnya hampir habis, kertasnya penuh coretan.
Tak lama, suara langkah kaki mendekat. Arga, sahabatnya sejak kecil, berdiri di depan pagar kecil rumahnya dengan senyum lebar.
“Rakha, aku baru denger dari teman-teman, katanya sekolah kita mau kirim perwakilan buat olimpiade matematika!” katanya dengan penuh semangat.
Rakha mendongak, sedikit terkejut. “Olimpiade? Yang tingkat kabupaten itu?”
Arga mengangguk antusias. “Iya! Pak Darma bilang kita butuh perwakilan. Kamu mau daftar?”
Rakha terdiam. Tentu saja ia ingin. Ia suka matematika, dan selalu mendapat nilai tertinggi di kelas. Tapi… ia juga tahu, lawan-lawannya nanti pasti berasal dari sekolah yang lebih besar, yang murid-muridnya punya buku tebal, bimbingan khusus, dan fasilitas lengkap. Sementara ia? Hanya seorang anak dari desa kecil, dengan buku yang lembarannya hampir habis.
Melihat Rakha ragu-ragu, Arga menepuk pundaknya. “Denger, kamu tuh jago. Kalau ada yang bisa menang dari sekolah kita, ya kamu!”
Rakha menatap buku di pangkuannya. Ia ingin percaya bahwa ia bisa. Tapi di sisi lain, ia juga takut kecewa.
Malamnya, saat ia sedang menyalin ulang catatan dengan cahaya lampu minyak yang temaram, ibunya mendekatinya.
“Kamu mikirin apa, Nak?” tanya ibunya lembut.
Rakha menggigit bibirnya. “Bu… kalau aku ikut lomba itu, menurut Ibu… aku bisa menang nggak?”
Ibunya menatapnya lama sebelum tersenyum. “Kamu ingat nggak, dulu waktu kamu belajar jalan, berapa kali kamu jatuh?”
Rakha mengerutkan kening. “Banyak banget.”
“Tapi kamu tetap bangkit, kan?”
Rakha diam. Ibunya melanjutkan, “Jadi, kenapa sekarang harus ragu? Kalau kamu punya kesempatan, ambil. Kalau kamu gagal, setidaknya kamu sudah mencoba. Tapi kalau kamu menang…” ibunya menatapnya dengan penuh harapan, “Kamu bisa mengubah hidup kita, Nak.”
Kata-kata itu menancap kuat di hati Rakha. Malam itu, ia memantapkan hatinya. Ia akan ikut olimpiade. Ia akan berusaha sebaik mungkin, meski ia tahu jalan yang akan ia tempuh tidak akan mudah.
Di bawah cahaya redup lampu minyak, seorang anak desa kecil sedang menanam benih impiannya.
Cahaya di Bawah Lampu Minyak
Rakha menggenggam lembaran kertas lusuh di tangannya. Di sudut kanan atas, tertera namanya sebagai salah satu peserta olimpiade matematika tingkat kabupaten. Hatinya berdebar, setengah bersemangat, setengah diliputi kecemasan.
“Kamu serius mau ikut?” tanya Arga saat mereka duduk di bawah pohon besar di halaman sekolah.
Rakha mengangguk, meski keraguan masih tersisa. “Iya, tapi aku nggak tahu gimana harus mulai belajar. Aku nggak punya buku latihan kayak anak-anak kota.”
Arga menggaruk kepalanya. “Gimana kalau kita tanya Pak Darma? Siapa tahu beliau punya soal-soal buat latihan.”
Rakha setuju. Setelah jam pelajaran selesai, mereka mengetuk pintu ruang guru. Pak Darma, yang sedang merapikan beberapa berkas, menatap mereka dari balik kacamatanya.
“Ada apa kalian ke sini?” tanyanya dengan nada datar.
Rakha menelan ludah. “Pak, saya mau minta saran soal latihan buat olimpiade. Saya ingin belajar lebih banyak.”
Pak Darma terdiam sejenak, lalu mengambil beberapa lembar kertas dari laci mejanya. “Ini kumpulan soal tahun-tahun sebelumnya. Tapi ingat, olimpiade itu bukan sekadar soal hafalan. Kamu harus paham konsepnya.”
Rakha menerima kertas itu dengan penuh rasa terima kasih. Ia tahu ini kesempatan yang tak boleh disia-siakan.
Malamnya, ia duduk di lantai rumahnya yang sempit, hanya diterangi cahaya lampu minyak. Sehelai kertas terbuka di depannya, penuh dengan angka dan simbol yang terlihat rumit. Ia menggenggam pensilnya erat, mencoba memahami soal demi soal.
Setiap kali ia menemukan pertanyaan sulit, ia mengulangnya lagi, menulis ulang rumusnya, mencari pola di antara angka-angka. Namun, semakin lama ia belajar, semakin kepalanya terasa penuh.
“Kenapa susah banget, sih?” keluhnya pelan, meletakkan kepalanya di atas meja.
Ibunya, yang sedang menenun di sudut ruangan, mendengar keluhannya. “Kamu lelah?”
Rakha menghela napas. “Iya, Bu. Aku nggak tahu bisa nggak ngerjain soal-soal ini. Rasanya berat banget.”
Ibunya tersenyum, menaruh tenunan yang setengah jadi lalu duduk di sampingnya. “Dulu waktu Ibu belajar menenun, awalnya juga susah. Benangnya kusut, polanya berantakan. Tapi lama-lama, Ibu jadi bisa karena terus mencoba. Belajar juga begitu, Nak.”
Rakha terdiam. Ia tahu ibunya benar. Jika ia menyerah sekarang, impian itu akan tetap menjadi impian.
Malam semakin larut, tapi Rakha terus belajar. Terkadang ia merasa frustrasi, tapi ia mengingat kata-kata ibunya. Ia mengerjakan soal berulang kali hingga tangannya pegal. Di atas kertas yang penuh coretan, sebuah harapan mulai terbentuk.
Saat ayam jantan berkokok di pagi buta, Rakha tersadar bahwa ia tertidur di atas bukunya. Matanya masih berat, tapi ada senyum kecil di wajahnya. Ia mungkin belum menguasai semuanya, tapi setidaknya, ia sudah berani melangkah lebih jauh.
Ia tahu, cahaya di ujung lorong masih jauh. Tapi ia juga tahu, selama ia terus berjalan, ia akan sampai ke sana.
Satu Nama di Antara Juara
Rakha berdiri di depan sekolahnya, merapikan seragam terbaik yang ia miliki—walau warnanya mulai pudar dan jahitan di lengannya sedikit longgar. Di tangannya, ada sebuah tas kecil berisi buku catatan penuh coretan dan pensil yang ujungnya sudah sangat pendek. Hari ini, ia akan berangkat ke kota bersama Pak Darma untuk mengikuti olimpiade matematika tingkat kabupaten.
“Kamu siap?” suara Arga memecah lamunannya.
Rakha menarik napas panjang. “Aku harus siap.”
Arga tersenyum dan menepuk bahunya. “Aku yakin kamu bakal bikin sekolah kita bangga.”
Beberapa teman sekelas mereka berkumpul di gerbang sekolah, ikut memberikan semangat. Rakha tersenyum tipis, meski hatinya masih dipenuhi kegugupan.
Pak Darma sudah menunggu di depan sekolah dengan sepeda motornya. “Ayo, Rakha. Kita harus berangkat sekarang kalau nggak mau terlambat.”
Rakha naik ke jok belakang, lalu motor melaju meninggalkan sekolah kecilnya.
Aula tempat olimpiade berlangsung jauh lebih besar dari yang pernah Rakha bayangkan. Langit-langitnya tinggi, lampu-lampunya terang, dan di dalamnya, puluhan siswa dari berbagai sekolah duduk rapi di kursi mereka. Beberapa mengenakan jas almamater sekolah ternama, lengkap dengan emblem kebanggaan.
Rakha merasa kecil. Ia melihat anak-anak lain membawa kalkulator canggih, beberapa sibuk membaca buku tebal. Ia hanya punya pensil dan kertas kosong.
“Kamu bisa, Rakha,” bisik Pak Darma sebelum meninggalkannya di tempat duduk peserta.
Rakha menggenggam pensilnya erat. Ia harus bisa.
Saat bel tanda mulai berbunyi, lembar soal dibagikan. Rakha menatap angka-angka di kertas itu. Jantungnya berdebar. Beberapa soal tampak mudah, beberapa terlihat rumit.
Ia menarik napas dan mulai mengerjakan.
Di meja lain, anak-anak dari sekolah elite menulis dengan cepat, seolah sudah hafal jawabannya. Rakha tak mau terintimidasi. Ia memfokuskan pikirannya, mengingat semua yang telah ia pelajari di bawah cahaya lampu minyak.
Soal pertama selesai. Ia lanjut ke soal berikutnya. Satu per satu, ia pecahkan. Waktu berjalan cepat. Tangannya terus menari di atas kertas, hingga akhirnya bel berbunyi, menandakan waktu habis.
Rakha meletakkan pensilnya, tangannya sedikit gemetar. Ia sudah melakukan yang terbaik. Sekarang, ia hanya bisa menunggu.
Dua minggu kemudian, pengumuman hasil olimpiade ditempel di papan sekolah. Murid-murid berdesakan melihat daftar nama pemenang.
Rakha berdiri agak jauh, takut kecewa.
“Rakha! Namamu ada di sana!” suara Arga tiba-tiba memecah keheningan.
Rakha tersentak. “Apa?”
Arga menarik tangannya, menyeretnya ke depan papan pengumuman. Jarinya menunjuk ke sebuah nama di posisi teratas: Rakha Andhika – Juara 1
Rakha membeku. Ia membaca namanya berulang-ulang, memastikan itu bukan ilusi. Dadanya berdegup kencang, matanya berkaca-kaca.
“Kamu menang, Rakha!” seru Arga penuh semangat.
Pak Darma, yang baru tiba, menepuk bahunya. “Aku tahu kamu bisa.”
Rakha masih sulit mempercayainya. Ia, anak desa kecil dengan buku lusuh dan pensil pendek, berhasil mengalahkan peserta dari sekolah-sekolah besar.
Di kejauhan, ia membayangkan ibunya tersenyum bangga.
Hari itu, Rakha menyadari satu hal—pendidikan bukan tentang asal usul, bukan tentang fasilitas. Pendidikan adalah tentang keberanian untuk bermimpi dan ketekunan untuk menggapainya.
Menghidupkan Cahaya untuk Orang Lain
Rakha berdiri di depan rumah kecilnya, memandangi ibunya yang tengah menyapu halaman. Ia masih mengenakan seragam sekolahnya, tetapi kini dengan dada yang lebih tegap. Berita kemenangannya di olimpiade sudah menyebar ke seluruh desa. Tetangga berdatangan untuk memberi selamat, beberapa bahkan membawa sekeranjang pisang atau beras sebagai tanda kebanggaan mereka.
Ibunya memeluknya erat, tak bisa menyembunyikan air matanya. “Kamu sudah buat Ibu bangga, Nak,” katanya lirih.
Rakha tersenyum. “Tapi ini baru permulaan, Bu.”
Dan memang benar. Beberapa minggu setelah kemenangan itu, Rakha menerima surat beasiswa penuh dari pemerintah. Ia bisa melanjutkan sekolah tanpa harus khawatir soal biaya. Beban yang selama ini menghantui keluarganya akhirnya terangkat.
Tahun-tahun berlalu. Rakha lulus dengan nilai terbaik, lalu melanjutkan kuliah di kota besar dengan jurusan yang dulu hanya bisa ia impikan—matematika. Dunia terasa jauh lebih luas dibandingkan lorong-lorong sempit di desanya. Namun, di tengah hiruk-pikuk kehidupan kota, ia tak pernah melupakan asalnya.
Setelah bertahun-tahun menempuh pendidikan, ia akhirnya kembali ke tempat di mana semuanya bermula. Namun kali ini, ia bukan lagi anak kecil yang berjalan dengan sandal jepit di jalanan tanah. Ia kembali sebagai seseorang yang ingin membawa perubahan.
Di tengah desa, berdiri sebuah bangunan sederhana dengan papan kayu di depannya bertuliskan “Rumah Belajar Cahaya”. Anak-anak desa berkumpul di sana, beberapa duduk di atas tikar, beberapa mencoret-coret buku latihan. Rakha berjalan di antara mereka, melihat wajah-wajah yang dulu mirip dengan dirinya—penuh harapan, tetapi terkadang ragu apakah mereka bisa memiliki masa depan yang lebih baik.
Seorang anak kecil menarik ujung kemejanya. “Kak, aku nggak bisa ngerti perkalian ini,” katanya pelan.
Rakha berjongkok, mengambil pensil, lalu menggambar garis-garis sederhana di atas kertas. “Coba begini, lihat polanya,” katanya dengan sabar.
Mata anak itu berbinar ketika akhirnya mengerti.
Di sudut lain, ibunya duduk memperhatikan, senyum penuh kebanggaan di wajahnya.
Rakha menatap bangunan kecil itu—tempat ia mengajarkan anak-anak desa tanpa dipungut biaya, tempat ia menanam mimpi-mimpi baru agar tak ada lagi anak yang harus memilih antara pendidikan dan keadaan.
Ia ingat bagaimana dulu ia belajar di bawah lampu minyak, mencoret-coret kertas bekas dengan pensil yang hampir habis. Sekarang, ia ingin memastikan bahwa anak-anak lain tak perlu mengalami kesulitan yang sama.
Hari itu, Rakha menyadari bahwa kesuksesan bukan hanya tentang apa yang ia capai untuk dirinya sendiri, tetapi tentang bagaimana ia bisa meneruskan cahaya bagi orang lain.
Dan di wajah anak-anak yang belajar dengan semangat, Rakha melihat masa depan yang lebih terang.