Daftar Isi [hide]
Perjuangan Menjelang UNBK
Langkah Menuju Penentuan
Malam semakin larut, dan cahaya dari layar laptop masih menyinari wajah Arzachel. Beberapa buku tebal terbuka di meja belajarnya, penuh coretan stabilo warna-warni. Ia menggerakkan pensil mekaniknya dengan gelisah, mengetukkan ujungnya ke buku catatan seakan mencari jawaban dari kebingungannya sendiri.
Sudah seminggu terakhir ia begadang demi latihan soal UNBK. Meskipun rasa kantuk mulai menyerang, otaknya tetap memaksanya untuk bertahan. Di luar, suara jangkrik bersahutan, mengiringi ketegangan yang menggelayuti dadanya.
Dari balik pintu, Ibunya, Bu Santi, mengetuk pelan sebelum masuk.
“Kamu belum tidur, Nak?” tanyanya lembut.
Arzachel menghela napas, menutup layar laptopnya sebentar. “Belum, Bu. Masih banyak yang harus kupelajari.”
Bu Santi duduk di tepi tempat tidur, menatap anak laki-lakinya dengan penuh kasih. “Jangan terlalu memaksakan diri. Badanmu juga butuh istirahat.”
Arzachel tersenyum kecil, meski matanya mulai terlihat lelah. “Aku nggak mau gagal, Bu. Aku harus bisa.”
Bu Santi mengusap rambut anaknya dengan lembut. “Kamu udah berusaha keras. Ibu yakin hasilnya nggak akan mengecewakan.”
Arzachel hanya mengangguk. Dalam hatinya, ia ingin percaya pada kata-kata ibunya, tapi rasa takut gagal masih terus menghantuinya.
Pagi di Sekolah
Di sekolah, suasana jauh lebih riuh dari biasanya. Kelompok-kelompok kecil siswa berkumpul di berbagai sudut kelas, membahas soal-soal latihan. Beberapa terlihat panik, yang lain berusaha tetap tenang meskipun wajah mereka tidak bisa menyembunyikan kegugupan.
Di sudut kelas, Arzachel duduk di bangkunya sambil mengulas kembali catatan yang ia buat sendiri. Huruf-huruf kecil tertata rapi, ditemani beberapa diagram dan rumus penting.
“Kamu serius banget sih, Zachel?” suara Nabil tiba-tiba terdengar, membuatnya mendongak. Teman sebangkunya itu menarik kursi lalu duduk dengan santai.
“Besok ujian, Bil. Masa aku santai?” jawab Arzachel tanpa mengalihkan pandangan dari catatannya.
Nabil tertawa kecil. “Iya sih, tapi kamu udah belajar terus dari kemarin. Aku yakin kalau otakmu bisa protes, dia pasti udah teriak minta libur.”
Arzachel terkekeh. “Otakku harus kuat. Kalau nggak, aku yang rugi.”
Nabil menyandarkan tubuhnya ke kursi, lalu mengeluarkan selembar kertas dari saku celananya. “Eh, aku dapet bocoran kisi-kisi dari bimbel terkenal. Mau lihat?”
Arzachel menatap lembaran itu sesaat, tapi kemudian menggeleng. “Aku percaya usahaku sendiri. Kalau ternyata kisi-kisi ini nggak akurat, kamu mau gimana?”
Nabil mengangkat bahu. “Ya setidaknya aku punya gambaran soal nanti.”
“Aku lebih suka belajar yang pasti-pasti aja,” jawab Arzachel santai.
Nabil hanya tertawa kecil sebelum memasukkan kembali kertas itu ke sakunya. “Terserah kamu, sih. Tapi besok kita lihat siapa yang paling siap.”
Arzachel tersenyum tipis. Ia tahu bahwa tidak semua orang berpikiran sama dengannya. Tapi satu hal yang pasti, ia tidak mau mempertaruhkan masa depannya hanya karena kata-kata ‘bocoran’ yang belum tentu benar.
Lonceng Terakhir
Bel sekolah akhirnya berbunyi, menandakan akhir dari hari yang panjang. Para siswa mulai berkemas, beberapa masih sibuk bertanya kepada guru mengenai hal-hal yang belum mereka pahami.
Saat keluar dari kelas, Arzachel merasakan udara sore yang hangat menerpa wajahnya. Ini hari terakhir sebelum UNBK. Besok, semuanya akan ditentukan.
Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan pikirannya. Ia sudah berusaha sebaik mungkin. Sekarang, yang ia butuhkan adalah keberanian untuk menghadapi hari esok.
Dan itu adalah langkah terakhir menuju penentuan.
Bayangan Ketakutan
Malam itu, langit tampak lebih gelap dari biasanya. Bulan bersembunyi di balik awan, menyisakan kegelapan yang terasa semakin menekan dada Arzachel. Ia sudah berbaring di tempat tidur sejak satu jam yang lalu, tapi matanya tetap terbuka, menatap langit-langit kamar tanpa ekspresi.
Berbagai pikiran memenuhi kepalanya. Apa yang terjadi kalau besok ia tiba-tiba lupa semua yang sudah dipelajari? Bagaimana kalau soal-soalnya jauh lebih sulit dari latihan yang ia kerjakan? Bagaimana kalau… ia gagal?
Ia membalikkan tubuh, mencoba memejamkan mata. Namun, bayangan angka, rumus, dan pertanyaan-pertanyaan sulit terus berputar di kepalanya seperti kaset yang tidak bisa dihentikan.
Mimpi yang Menyesakkan
Saat akhirnya ia tertidur, ia justru terseret ke dalam mimpi yang aneh.
Ia duduk di ruang ujian, tapi suasananya terasa berbeda. Ruangan itu dingin dan sunyi, dengan dinding putih yang terasa semakin menyempit. Di depan meja komputernya, layar hitam menyala, menampilkan soal pertama.
Namun, saat ia mencoba membaca, huruf-huruf di layar mulai kabur. Kata-kata berubah menjadi simbol-simbol aneh yang tidak ia pahami. Tangannya mulai berkeringat, jari-jarinya menekan tombol keyboard, tapi tidak ada yang terjadi.
Waktu di layar terus berjalan mundur. 00:59:00… 00:45:00… 00:30:00…
Tidak! Ini terlalu cepat! Ia belum menjawab apa pun!
Ia mencoba berteriak, tapi suaranya tidak keluar. Ia menoleh ke sekeliling, mencari bantuan, tapi semua orang di ruangan itu tidak memiliki wajah. Hanya sosok-sosok samar yang menatap layar mereka tanpa ekspresi.
Ketika ia kembali menatap layarnya, satu pesan besar muncul:
WAKTU HABIS. ANDA GAGAL.
Seketika, ruangan itu runtuh. Lantai di bawahnya menghilang, dan ia jatuh ke dalam kegelapan.
Bangun dalam Kepanikan
Arzachel terbangun dengan napas terengah-engah. Tubuhnya basah oleh keringat, jantungnya berdebar kencang. Ia langsung duduk, mencoba memahami apa yang baru saja terjadi.
Itu hanya mimpi.
Tapi kenapa terasa begitu nyata?
Ia mengusap wajahnya dengan kedua tangan, mencoba menenangkan diri. Namun, rasa takut itu masih ada.
Ketukan pelan terdengar di pintu. Tak lama kemudian, Ibunya masuk dengan wajah penuh kekhawatiran.
“Kamu kenapa, Nak? Mimpi buruk?”
Arzachel menatap ibunya, lalu mengangguk pelan. “Aku takut, Bu…” suaranya lirih.
Bu Santi duduk di tepi tempat tidur, meraih tangan anaknya. “Takut kenapa?”
“Aku takut gagal…” Arzachel menunduk, menggenggam ujung selimutnya erat-erat. “Kalau aku nggak bisa jawab soal? Kalau aku nge-blank di depan komputer?”
Bu Santi tersenyum lembut, lalu mengusap punggung Arzachel dengan tenang. “Takut itu wajar, Nak. Tapi kamu harus percaya, kamu udah berusaha sebaik mungkin. Gagal atau berhasil, itu bagian dari perjalanan.”
Arzachel terdiam. Kata-kata ibunya memang menenangkan, tapi ketakutan itu belum sepenuhnya hilang.
“Nggak ada yang tahu hasil akhirnya,” lanjut Bu Santi, “tapi Ibu percaya, usaha yang kamu lakukan nggak akan sia-sia.”
Arzachel menghela napas panjang. Ia ingin mempercayai ibunya, tapi suara kecil di dalam kepalanya masih berbisik, meragukan semuanya.
Persiapan Terakhir
Setelah ibunya kembali ke kamar, Arzachel menatap meja belajarnya. Buku-buku masih terbuka, pena masih berserakan, dan layar laptopnya masih menyala, menampilkan kumpulan soal terakhir yang ia kerjakan.
Ia tahu ia harus tidur agar bisa segar besok. Tapi ia juga tahu, pikirannya tidak akan membiarkannya tenang.
Dengan tekad baru, ia meraih buku catatannya dan mulai membaca ulang poin-poin penting.
Besok, ia harus menghadapi ketakutannya.
Besok, ia tidak boleh kalah.
Ujian Terakhir
Pagi datang lebih cepat dari yang Arzachel kira. Matahari baru saja merangkak naik, tetapi rumah sudah dipenuhi hiruk-pikuk persiapan. Di dapur, Ibunya menyiapkan sarapan sederhana—nasi goreng dan telur mata sapi—meskipun Arzachel sendiri merasa perutnya terlalu penuh dengan kegugupan untuk makan.
Ia duduk di meja makan, memainkan sendoknya tanpa benar-benar berniat menyuap makanan. Ibunya menatapnya dari balik kompor, lalu berjalan mendekat sambil meletakkan segelas susu di depannya.
“Kamu harus makan, Nak. Nggak bisa ujian dengan perut kosong,” kata Bu Santi lembut.
Arzachel menghela napas, lalu akhirnya mengambil sesuap kecil nasi goreng. Rasanya enak seperti biasa, tapi tetap saja sulit ditelan dengan tenang.
“Kamu masih takut?” tanya ibunya, menatapnya penuh perhatian.
Arzachel mengangguk pelan. “Iya, Bu. Aku takut nge-blank atau soalnya susah banget…”
Bu Santi tersenyum dan mengusap pundaknya. “Takut itu normal, tapi jangan sampai ngalahin kamu. Percaya aja, kamu pasti bisa.”
Arzachel menarik napas dalam-dalam, mencoba menyerap kekuatan dari kata-kata ibunya. Ia tahu bahwa ini adalah saatnya untuk berhenti meragukan diri sendiri.
Langkah ke Medan Pertempuran
Sesampainya di sekolah, suasana terasa lebih tegang dari biasanya. Siswa-siswa berkumpul dalam kelompok-kelompok kecil, ada yang sibuk membaca buku, ada yang berdebat soal materi terakhir, dan ada juga yang hanya duduk diam sambil menenangkan diri.
Di depan ruang ujian, Nabil menepuk bahu Arzachel dengan semangat. “Gimana, bro? Siap?”
Arzachel tersenyum tipis. “Siap atau nggak, tetep harus jalan.”
Nabil tertawa kecil. “Itu baru namanya petarung.”
Tak lama kemudian, seorang guru keluar dari ruang ujian dan mulai memanggil nama-nama siswa. Satu per satu mereka masuk ke dalam ruangan, duduk di depan komputer masing-masing.
Arzachel melangkah masuk, mengambil tempat di kursinya. Layar komputer menampilkan halaman login ujian. Tangannya sedikit berkeringat saat mengetikkan username dan password.
Dalam hitungan detik, soal pertama muncul di layar.
Pertarungan Dimulai
Arzachel menarik napas dalam-dalam dan membaca soal pertama. Matanya menyapu kalimat demi kalimat, mencoba memahami inti pertanyaannya.
Ia menjawab dengan hati-hati, memastikan tidak ada yang terlewat. Satu soal terjawab. Lalu dua. Lalu tiga.
Tapi kemudian, ia sampai pada soal yang membuatnya terdiam.
Sebuah soal matematika dengan angka-angka rumit.
Jantungnya berdetak lebih cepat. Ia menatap layar, mencoba mengingat rumus yang pernah ia pelajari. Otaknya terasa kosong sesaat, bayangan dari mimpi buruknya tadi malam muncul kembali.
Tapi tidak.
Ia menggenggam tangannya erat, menenangkan diri.
“Aku udah belajar ini,” gumamnya dalam hati.
Ia mengambil napas panjang, mengingat kembali cara menyelesaikan soal seperti ini. Perlahan, ia mulai menulis perhitungan di kertas buram yang diberikan. Langkah demi langkah, jawabannya mulai terbentuk.
Ketika akhirnya ia mengetikkan jawaban di layar, ia tersenyum kecil. Satu rintangan terlewati.
Soal berikutnya muncul. Kali ini lebih mudah, dan ia mulai menemukan ritmenya. Tangannya bergerak lebih cepat di keyboard, kepercayaan dirinya mulai kembali.
Waktu terus berjalan. Satu per satu soal ia selesaikan. Tidak semuanya mudah, tapi ia tidak membiarkan rasa takut menguasainya lagi.
Hingga akhirnya, jam di layar menunjukkan 00:05:00.
Lima menit terakhir.
Arzachel menelusuri kembali jawabannya, memastikan tidak ada yang salah. Ia memperbaiki satu jawaban yang terasa meragukan, lalu akhirnya menghembuskan napas panjang.
00:01:00… 00:00:30… 00:00:10…
Ketika waktu habis, layar menampilkan tulisan UJIAN SELESAI.
Arzachel bersandar di kursi, menatap layar kosong di depannya. Rasanya seperti baru saja melewati pertarungan panjang.
Ia tidak tahu bagaimana hasilnya nanti. Tapi satu hal yang pasti—ia telah memberikan yang terbaik.
Saat ia keluar dari ruangan, Nabil sudah menunggunya di depan pintu.
“Gimana, bro?” tanya Nabil dengan cemas.
Arzachel tersenyum tipis. “Aku nggak tahu hasilnya, tapi aku nggak nyesel.”
Dan untuk pertama kalinya dalam beberapa bulan terakhir, ia merasa lebih ringan.
Hasil dari Perjuangan
Hari-hari setelah UNBK terasa lebih tenang, tapi juga penuh dengan ketegangan yang berbeda. Tidak ada lagi begadang mengerjakan latihan soal, tidak ada lagi buku-buku berserakan di meja belajar, tidak ada lagi diskusi penuh kecemasan di sekolah. Namun, kini ada sesuatu yang lain—penantian.
Hasil ujian akan diumumkan hari ini.
Pagi itu, Arzachel duduk di ruang tamu dengan ponsel di tangan. Ibunya duduk di sampingnya, menatapnya penuh harapan.
“Kamu siap?” tanya Bu Santi lembut.
Arzachel menatap layar ponselnya. Jari-jarinya berkeringat, meskipun udara pagi cukup sejuk. Ia membuka laman pengumuman, mengetikkan nomor ujian dengan hati-hati, lalu menekan tombol enter.
Layar memuat sebentar, lalu hasilnya muncul.
Matanya menelusuri angka-angka di layar, membaca dengan saksama. Dan kemudian, sesuatu yang hangat mengalir dalam dadanya.
“Ibu… aku lulus,” katanya dengan suara hampir berbisik.
Bu Santi tersenyum lebar, matanya berbinar penuh kebanggaan. “Ibu tahu kamu bisa, Nak.”
Arzachel menghembuskan napas panjang, seolah semua beban yang selama ini menghimpitnya menguap begitu saja. Ia melihat kembali angka-angka di layar. Nilainya tidak sempurna, tetapi cukup tinggi untuk membuatnya bangga pada dirinya sendiri.
Ia tidak hanya lulus. Ia berhasil membuktikan bahwa usahanya tidak sia-sia.
Euforia di Sekolah
Saat tiba di sekolah, suasana penuh dengan teriakan, tawa, dan beberapa tangisan haru. Siswa-siswa saling berbagi hasil, ada yang melompat kegirangan, ada yang menangis lega di pelukan teman-temannya.
Nabil berlari ke arah Arzachel, wajahnya penuh senyum. “Zachel! Gimana hasilnya?”
Arzachel mengangkat ponselnya, memperlihatkan nilainya. Nabil mengangguk kagum. “Gila, bro! Aku tahu kamu bakal dapet nilai bagus!”
“Kamu sendiri gimana?” tanya Arzachel.
Nabil mengangkat bahu. “Nggak sebagus kamu, tapi aku lulus. Dan itu yang penting.”
Mereka saling menepuk pundak, merayakan kemenangan mereka masing-masing.
Lebih dari Sekadar Angka
Di perjalanan pulang, Arzachel menatap langit biru yang terbentang luas. Rasanya aneh, kini semua perjuangan dan ketakutannya telah berlalu.
Namun, ia menyadari sesuatu.
Selama ini, ia terlalu takut gagal, terlalu cemas tentang angka di layar. Tapi yang benar-benar penting bukanlah nilainya—melainkan perjalanan yang telah ia lalui.
Semua begadang, semua keringat dingin, semua rasa takut yang ia lawan—semua itu yang membentuk dirinya menjadi lebih kuat.
Ia tersenyum kecil.
Hari ini, ia belajar sesuatu yang lebih besar dari sekadar pelajaran sekolah.
Ia belajar bahwa keberhasilan bukan hanya tentang angka, tetapi tentang bagaimana seseorang berjuang untuk mencapainya.
Dan ia telah berjuang.
Sampai garis akhir.