Daftar Isi
Pernah nggak sih, kamu ngerasa kayak udah berusaha keras banget, tapi rasanya semua itu cuma sia-sia? Itu yang dirasain Aksara, seorang wanita yang punya mimpi jadi dosen.
Dari kegagalan pertama sampai hampir menyerah, perjalanan Aksara penuh dengan lika-liku, tapi juga penuh pelajaran hidup yang nggak ternilai harganya. Cerita ini bakal bikin kamu ngerasa, bahwa semua usaha keras itu nggak pernah sia-sia, meskipun kadang jalan yang kita pilih nggak semulus yang kita bayangin.
Perjuangan Menjadi Dosen
Langkah Pertama dalam Bayangan
Malam itu, Aksara terjaga di atas meja kayu di kamar kostnya yang sempit, dengan tumpukan buku dan kertas berserakan di sekelilingnya. Di luar jendela, kota yang tak pernah tidur terus bersinar dengan lampu jalan yang berkelap-kelip, namun baginya, malam ini terasa hening—penuh dengan kegelisahan yang menggelayuti setiap sudut pikirannya.
Sambil mengusap wajahnya yang lelah, Aksara menatap selembar kertas yang baru saja dia terima. Seleksi dosen di universitas impiannya, yang sudah ia perjuangkan sejak lama, berakhir dengan sebuah kata yang membuat dadanya sesak. “Tunggu, apa benar?” Ia membaca ulang hasil seleksinya, yang tertera jelas dengan kata “gagal” di bawah tanda tangan dekan.
Pintu kamar terbuka pelan, dan muncul sesosok wanita yang sudah cukup dikenal oleh Aksara. Namanya, Lira, teman sekamarnya yang lebih banyak berbicara daripada dia. Lira sudah terbiasa melihat Aksara dengan wajah lelah, namun malam ini, ada sesuatu yang berbeda—sesuatu yang lebih berat.
“Gagal lagi?” Lira bertanya, duduk di pinggir tempat tidur Aksara tanpa perlu bertanya lebih lanjut.
“Aku nggak tahu harus gimana, Lir,” jawab Aksara dengan suara serak, sedikit putus asa. “Aku sudah habis-habisan, segala cara sudah aku coba. Kenapa rasanya seperti nggak ada jalan keluar?”
Lira memandangnya dengan tatapan yang sulit dijelaskan. “Kamu udah berusaha keras, Aksara. Tapi mungkin ini waktunya untuk berhenti sebentar, tarik napas, dan lihat lagi dari awal. Kamu pikir, gimana kalau nggak terus-terusan maksa diri?”
“Apa? Maksud kamu berhenti? Gak mungkin!” Aksara menatap Lira dengan mata yang seolah tak percaya. “Aku udah habiskan lima tahun belajar, berjuang, ngorbanin banyak hal, dan sekarang malah suruh berhenti?”
Lira menyandarkan tubuhnya pada dinding kamar, menatap Aksara dengan serius. “Aku nggak bilang berhenti selamanya, Aksara. Aku cuma bilang, mungkin kamu perlu lihat lagi, apakah cara kamu udah benar. Kamu pikir, kenapa nggak ada yang lihat usaha kerasmu? Kenapa mereka lebih memilih orang lain? Kamu pikir cuma kamu yang pernah merasa gagal?”
“Apa kamu nggak ngerti, Lir?” Aksara berdiri, melangkah mendekati jendela dan menatap keluar. “Aku nggak mau jadi salah satu yang hanya jadi pengikut. Aku harus jadi dosen. Itu mimpi aku sejak dulu. Aku gak bisa cuma jadi asisten terus.”
Lira bangkit, berjalan menuju Aksara, dan menepuk bahunya dengan lembut. “Aku ngerti banget. Mimpi kamu tuh besar banget. Tapi, kadang mimpi itu harus dilihat lagi, lebih bijak. Jangan sampe kamu kehilangan dirimu hanya untuk mengejar sesuatu yang akhirnya buat kamu sakit.”
Aksara terdiam. Kata-kata Lira memang menyentuh, tapi hatinya masih terasa berat. Ia tahu Lira hanya mencoba menenangkannya, tapi dia sendiri merasa berada di ujung jurang—antara menyerah dan terus berjuang.
“Aku gak bisa kayak kamu, Lir. Kamu gampang banget tersenyum, keliatan selalu santai,” Aksara berujar, suaranya penuh keraguan. “Aku merasa kalau aku nggak jadi dosen sekarang juga, semua perjuangan itu sia-sia.”
Lira tertawa pelan, meski tatapannya penuh pengertian. “Gitu ya? Tapi aku tahu kamu kuat, Aksara. Kadang, kita perlu lebih dari sekadar semangat. Kita butuh waktu. Kalau kamu terus-terusan begini, kamu cuma akan kelelahan tanpa hasil. Ingat, nggak ada yang langsung sukses tanpa berproses.”
Aksara terdiam, mencoba meresapi setiap kata yang keluar dari mulut Lira. Ia tahu temannya itu benar. Di satu sisi, ia merasa terus tertinggal, sementara di sisi lain, ia takut jika menyerah berarti ia berhenti mengejar impiannya yang sudah lama terpendam.
“Lalu, apa yang harus aku lakukan?” tanya Aksara akhirnya, suaranya hampir terdengar putus asa.
Lira memiringkan kepala, matanya berbinar. “Gini aja. Jangan dulu putus asa. Coba ambil waktu sejenak untuk merenung. Lihat lagi apa yang sudah kamu pelajari, apa yang bisa kamu perbaiki. Kalau kamu benar-benar ingin jadi dosen, jalan itu nggak akan pernah berakhir.”
Malam itu, Aksara duduk kembali di mejanya. Setelah beberapa saat berbicara dengan Lira, perasaan kosong itu sedikit mereda. Ia membuka laptopnya, mencari jurnal terbaru untuk penelitian. Walaupun rasa frustasinya belum sepenuhnya hilang, tapi kata-kata Lira memberikan secercah harapan.
Aksara tahu, jalan menuju mimpinya tak akan mulus. Tapi ia juga tahu, ia tidak bisa terus berlarut-larut dalam kegagalan. Ia harus bangkit, terus maju, dan mencari cara yang lebih baik untuk mencapai tujuan yang sudah ia tentukan.
Untuk malam ini, itu cukup. Untuk malam ini, ia akan melangkah perlahan. Tetapi besok, ia akan kembali mengejar mimpi yang belum tergapai.
Tengah Malam di Perpustakaan
Pagi hari datang begitu cepat, membawa kesibukan yang baru. Aksara membuka matanya, menyadari bahwa semalam ia terlelap di atas meja kerjanya. Lampu kamar masih menyala, menandakan ia terjaga semalaman. Buku-buku yang semalam dibiarkan berserakan kini terlipat rapi. Sebelum ia sempat mengingat kembali mimpinya yang semalam terasa begitu jauh, ia mendengar suara ketukan di pintu.
“Aksara, kamu belum sarapan?” Lira berdiri di ambang pintu, membawa nampan berisi roti dan teh hangat.
Aksara mengangkat bahu, merasa tubuhnya kaku akibat duduk terlalu lama. “Aku nggak lapar,” jawabnya, meski sebenarnya perutnya sudah mulai menuntut perhatian. Namun, pikirannya tetap terpaku pada tugas yang ada di depan mata. Seleksi dosen di tempat lain akan segera dibuka, dan Aksara merasa harus mempersiapkan diri lebih matang kali ini.
“Ayo, kamu nggak bisa terus begini. Makanan itu penting, biar otakmu bisa lebih jernih,” Lira membujuk dengan lembut, meletakkan nampan itu di meja. “Kamu nggak bisa cuma hidup dengan jurnal dan tesis.”
Aksara menghela napas, tapi ia tetap tidak bisa menahan senyum tipis. Ia tahu Lira benar. Setelah beberapa suapan, rasa lapar itu mulai reda, tetapi pikirannya tetap bergejolak. Ia sudah terlalu lama tenggelam dalam kegagalan, dan sekarang ia perlu bangkit dengan cara yang lebih bijak, seperti yang dikatakan Lira.
Siang itu, ia memutuskan untuk pergi ke perpustakaan kampus. Tempat itu selalu memberi ketenangan yang sulit didapatkan di dunia luar yang penuh dengan keramaian. Ia memilih meja di pojok yang sepi, jauh dari keributan dan suara orang berbicara. Aksara membuka laptopnya dan mulai mencari referensi untuk tesis terbaru yang akan ia kirimkan ke universitas tempat ia mendaftar.
Saat mencari, pikirannya masih berkecamuk. Bagaimana jika ia gagal lagi? Bagaimana jika ternyata ia bukan orang yang tepat untuk menjadi dosen?
“Aksara?” Sebuah suara lembut memanggil dari belakang.
Ia menoleh, dan terlihatlah Damar, teman sekelasnya semasa sarjana dulu. Damar adalah orang yang selalu bersemangat dan ceria, sering sekali mengingatkan Aksara untuk tidak terlalu keras pada diri sendiri.
“Kamu ngapain di sini?” Damar tersenyum lebar, duduk di meja yang ada di sebelah Aksara. “Lagi susah tidur atau memang senang kerja lembur?”
Aksara mengangkat bahu, mencoba tersenyum meski perasaan di dalamnya penuh keraguan. “Kedua-duanya, mungkin,” jawabnya pelan.
Damar menatapnya dengan cermat, seolah bisa membaca apa yang sedang terjadi di pikiran Aksara. “Kamu nggak perlu terlalu keras, Aksara. Kamu udah berusaha keras. Kalau pun kali ini nggak berhasil, itu bukan akhir dari segalanya.”
Aksara menatap layar laptopnya, mencoba mengabaikan tatapan Damar yang penuh makna. “Aku tahu. Tapi aku nggak bisa berhenti sekarang. Ini tentang lebih dari sekadar impian, Damar. Aku nggak bisa terus begini tanpa melakukan sesuatu yang lebih.”
Damar terdiam sejenak, lalu tersenyum. “Aku paham, Aksara. Tapi ingat, kadang kita perlu melihat ke belakang, bukan hanya terus mengejar sesuatu yang di depan. Ada banyak cara untuk meraih mimpi.”
Aksara memandang Damar sejenak, kata-katanya mulai menyentuh hati. Ia merasa seolah ada yang hilang dalam usahanya selama ini—sebuah cara yang lebih bijak untuk mengejar mimpinya, bukan hanya dengan kerja keras tanpa henti.
Perpustakaan mulai sepi, tanda bahwa waktu sudah berjalan begitu cepat. Aksara menutup laptopnya dan menyandarkan tubuh di kursi, menatap jendela yang semakin gelap. Damar berdiri dan mengangguk pelan, “Jangan terlalu banyak berpikir, Aksara. Mimpi itu harus dilihat dengan hati, bukan hanya dengan mata.”
Aksara mengangguk, meski hatinya masih penuh dengan ketidakpastian. “Terima kasih, Damar. Aku akan coba… melihatnya dari sisi yang berbeda.”
Saat Damar pergi, Aksara duduk lebih lama, membiarkan pikiran-pikirannya berputar. Ia tahu bahwa perjalanan ini tidak mudah, dan ia tak bisa terus berjalan dengan cara yang sama. Harus ada perubahan. Ia memutuskan untuk menyusun kembali strateginya. Membuka kesempatan baru.
Di luar jendela, malam semakin larut. Namun, Aksara merasa sedikit lebih ringan dari sebelumnya. Ia tahu langkah pertama menuju mimpinya adalah menerima kenyataan bahwa kadang, untuk melangkah lebih jauh, ia perlu berhenti sejenak dan merencanakan langkah yang lebih bijak.
Tidak ada yang mudah, tetapi ia tahu, ia akan terus berjuang.
Kegagalan yang Menyulut Semangat
Pagi itu, Aksara melangkah keluar dari kostnya dengan langkah yang sedikit lebih ringan dibandingkan hari-hari sebelumnya. Meski masih ada keraguan yang bersarang dalam hatinya, ada sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang mulai membuka pandangannya, mengingatkan pada tujuan yang lebih besar daripada sekadar ingin menjadi dosen.
Aksara memutuskan untuk mengikuti saran Lira, dan melihat dari perspektif yang berbeda. Ia tidak lagi terburu-buru mengejar setiap kesempatan, melainkan mulai menyusun rencana yang lebih matang. Tesis yang semula membuatnya tertekan kini ia anggap sebagai tantangan untuk memperdalam pemahamannya. Ia memutuskan untuk mencari riset baru yang lebih segar, lebih mendalam, dan lebih sesuai dengan tren terkini di dunia pendidikan.
Sore itu, Aksara duduk di perpustakaan kampus, menyaring berbagai jurnal dan artikel yang berkaitan dengan dunia pendidikan. Ia tenggelam dalam dunia baru yang begitu memikatnya. Tanpa disadari, waktu berlalu begitu cepat. Ia sudah terbiasa dengan kerumitan penelitian, namun kali ini ada semangat baru yang membuatnya semakin penasaran untuk menggali lebih dalam.
Sementara itu, di luar gedung perpustakaan, Aksara mendengar suara langkah kaki yang tak asing. Lira datang menghampirinya dengan wajah yang cerah, membawa dua cangkir kopi dari kedai favorit mereka.
“Ayo, jangan terlalu keras sama diri sendiri, Aksara,” Lira berkata sambil meletakkan cangkir kopi di meja. “Kamu sudah melangkah jauh, jangan sampai kehilangan arah.”
Aksara menatap cangkir kopi itu, lalu tersenyum kecil. “Aku rasa kali ini, aku benar-benar ingin melangkah lebih jauh, Lir. Aku tahu aku bisa. Ini bukan hanya soal gagal atau berhasil, tapi tentang apa yang aku pelajari selama prosesnya.”
Lira duduk di sampingnya, mengangguk perlahan. “Aku bisa lihat itu. Semangat kamu beda, Aksara. Tapi ingat, jangan terlalu terburu-buru. Mimpi itu bukan sesuatu yang harus dikejar dengan tergesa-gesa.”
Aksara mengangkat cangkir kopinya, menyeruput perlahan. Ia merasa lebih tenang. Keputusan untuk berhenti sejenak, untuk merenung, ternyata memberi pengaruh yang besar. Kini, ia merasa lebih siap untuk menghadapi tantangan yang ada di depan mata.
Tiba-tiba, sebuah notifikasi muncul di ponselnya. Sebuah email dari universitas tempat ia mendaftar sebagai calon dosen. Aksara menahan napasnya sejenak sebelum membuka email tersebut. Ternyata, itu adalah undangan untuk wawancara tahap kedua.
“Apa itu?” Lira bertanya, penasaran melihat ekspresi Aksara yang berubah seketika.
“Aku dapat undangan wawancara tahap dua,” jawab Aksara dengan suara sedikit bergetar, campuran antara kegembiraan dan ketegangan.
Lira tertawa kecil, menyentuh bahu Aksara. “Lihat kan? Aku bilang kamu bisa! Ini baru awal, Aksara. Sekarang waktunya untuk buktikan semuanya.”
Aksara merasakan semangat yang membara kembali mengalir dalam dirinya. Ini adalah kesempatan yang tidak boleh disia-siakan. Ia tahu, jalan menuju mimpinya tidak mudah, namun ia sudah siap untuk menapaki setiap langkah dengan penuh keyakinan.
Wawancara itu tidak hanya akan menjadi ajang untuknya menunjukkan kemampuan, tetapi juga menjadi pembuktian bahwa ia sudah lebih dari siap. Aksara mulai menyusun segala sesuatunya, merencanakan jawaban dengan hati-hati, mengingat kembali setiap riset yang telah ia lakukan, dan mempersiapkan diri untuk menghadapi kemungkinan terburuk sekalipun.
Hari yang dinanti pun tiba. Aksara mengenakan jas formal yang baru dibeli beberapa hari lalu. Ia menatap dirinya di cermin, menyadari bahwa bukan hanya penampilannya yang berbeda, tetapi juga sikapnya. Ada keteguhan dalam matanya, ada semangat yang tidak lagi mudah padam.
Saat memasuki ruang wawancara, Aksara merasa sedikit gugup. Namun, ia berusaha untuk tetap tenang, mengingat apa yang telah ia pelajari. Wawancara itu dimulai dengan pertanyaan yang sederhana, namun seiring berjalannya waktu, semakin sulit. Mereka menanyakan segala hal tentang riset, tentang visinya sebagai seorang dosen, tentang kontribusinya dalam dunia pendidikan.
Satu jam berlalu dengan begitu cepat, dan akhirnya wawancara itu berakhir. Aksara melangkah keluar dengan perasaan campur aduk. Ia merasa puas dengan penampilannya, namun juga masih ada rasa was-was yang menggelayuti pikirannya.
“Apa kamu merasa sudah cukup baik?” Lira bertanya dengan senyum nakal saat Aksara kembali ke kost.
Aksara mengangkat bahu, lalu duduk di tempat tidurnya. “Aku nggak tahu. Aku rasa aku sudah melakukan yang terbaik.”
Lira duduk di sampingnya, menepuk punggung Aksara. “Lihat, kan? Kamu sudah melakukan lebih dari yang kamu kira. Dan yang lebih penting, kamu nggak menyerah. Itu yang paling berharga.”
Aksara tersenyum, meski hatinya masih belum bisa sepenuhnya tenang. Tapi ia tahu satu hal: ia sudah melakukan yang terbaik. Dan itu cukup untuk membawa dirinya lebih dekat pada mimpinya. Kini, yang bisa ia lakukan hanyalah menunggu dan berharap bahwa segala perjuangan dan usaha yang telah ia lakukan tidak akan sia-sia.
Langkah Baru yang Terbuka
Aksara duduk di bangku taman kampus, memandangi langit yang sedikit mendung. Beberapa hari telah berlalu sejak wawancara itu, dan meski ia berusaha untuk tetap tenang, hatinya tetap berdebar. Setiap detik terasa begitu panjang, seolah waktu sengaja memperlambat alurnya. Ia berusaha untuk sibuk, mengikuti aktivitas lain, namun bayangan surat hasil wawancara itu selalu mengintai.
Lira duduk di sampingnya, menawarkan sebotol air mineral yang terasa ringan di tangan. “Aku tahu kamu pasti merasa cemas,” kata Lira, memecah kesunyian. “Tapi ingat, apa pun yang terjadi, kamu sudah melangkah jauh, Aksara. Jangan biarkan satu hasil membuatmu meragukan diri sendiri.”
Aksara menatap Lira dengan mata yang penuh rasa terima kasih. Ia tahu Lira benar. Selama ini, ia telah dibebani oleh harapan dan ekspektasi yang terlalu tinggi, tanpa memberi ruang untuk menikmati proses. Ia merasa terjebak dalam ambisi yang terlalu besar, sehingga terkadang lupa untuk merayakan pencapaian kecil yang telah ia raih.
“Tapi aku berharap bisa memberikan lebih,” Aksara berkata pelan, suaranya hampir tidak terdengar. “Aku tahu aku sudah berusaha keras, tapi kadang aku merasa belum cukup.”
Lira mengangkat bahu. “Semua orang pasti merasa begitu. Tapi percayalah, langkahmu sudah lebih dari cukup. Tidak ada yang sia-sia dalam perjuangan ini, Aksara.”
Saat itu, ponsel Aksara bergetar. Sebuah email baru masuk. Ia menatap layar dengan ragu, sebelum akhirnya membuka pesan tersebut.
“Selamat, Aksara. Anda diterima sebagai dosen di Fakultas Pendidikan Universitas Mulya.”
Aksara terdiam sejenak, mencoba mencerna apa yang baru saja ia baca. Seluruh tubuhnya seperti terhenti sejenak. Benarkah ini? Apakah ini benar-benar terjadi?
Lira menyentuh bahunya, dan Aksara menoleh dengan mata yang berkaca-kaca. “Aku… aku diterima, Lir. Aku diterima jadi dosen!”
Lira tersenyum lebar, memeluk Aksara erat. “Aku tahu kamu bisa, Aksara! Kamu sudah membuktikan kalau kamu pantas ada di sini. Sekarang, inilah waktumu untuk mengubah dunia.”
Aksara hanya bisa terdiam dalam pelukan Lira, matanya penuh haru. Ia merasa seperti beban yang selama ini ada di pundaknya akhirnya terangkat. Perjuangan panjang, kegagalan, kebimbangan, semuanya kini terbayar. Mimpi yang ia kejar selama ini, yang sempat terasa begitu jauh, kini ada dalam genggamannya.
“Ini bukan akhir, kan?” tanya Aksara dengan suara yang sedikit gemetar.
Lira melepaskan pelukannya dan tersenyum. “Ini justru awal dari semuanya. Kamu akan menghadapi lebih banyak tantangan, tapi aku yakin kamu akan menghadapinya dengan kekuatan yang baru. Selalu ingat, Aksara—jangan pernah menyerah.”
Aksara mengangguk pelan, menghapus air matanya yang hampir tumpah. Ada rasa syukur yang begitu mendalam dalam dirinya. Ia tahu, perjalanan ini baru saja dimulai. Tidak semua jalan akan mulus, tetapi ia merasa lebih siap menghadapi setiap lika-liku yang datang.
Setelah itu, Aksara berdiri, menatap kampus yang kini terasa lebih berarti. Ada semangat baru yang mengalir dalam dirinya. Sebagai dosen, ia tidak hanya ingin mengajar, tetapi juga ingin memberi inspirasi kepada generasi mendatang. Ia ingin menjadi contoh, bahwa perjuangan itu bukan hanya soal hasil, tetapi juga tentang apa yang kita pelajari di sepanjang perjalanan.
Saat matahari mulai tenggelam, Aksara merasakan angin yang sejuk menerpa wajahnya. Tiba-tiba, ia merasa lebih ringan, lebih hidup. Mimpi yang semula tampak begitu jauh kini ada di hadapannya. Dengan langkah pasti, ia melangkah ke depan, siap menghadapi dunia yang menanti.
Mimpi itu memang tak mudah dicapai, tetapi ia sudah membuktikan satu hal—bahwa tidak ada yang tidak mungkin jika kita tidak pernah berhenti berusaha.
Gimana, udah ngerasa semangat lagi, kan? Karena perjalanan Aksara nggak cuma tentang jadi dosen, tapi lebih dari itu—tentang gimana dia nggak pernah berhenti berusaha, walaupun pernah hampir menyerah.
Jadi, kalau kamu lagi ngerasain hal yang sama, inget aja, yang penting terus maju dan belajar dari tiap langkah. Mimpi itu nggak harus instan, kok. Kadang, yang kita butuhin cuma waktu dan tekad.