Perjuangan Menggapai Mimpi: Dari Nol Hingga Sukses

Posted on

Pernah nggak sih ngerasa dunia ini nggak adil? Udah kerja keras, udah jungkir balik, tapi tetep aja rasanya kayak jalan di tempat?

Nah, cerita ini bakal kasih kamu bukti kalau selama kamu nggak nyerah, selalu ada jalan buat mimpi kamu terwujud. Ini bukan kisah ajaib yang tiba-tiba sukses dalam semalam, tapi tentang keringat, air mata, dan keberanian buat terus maju, walau rasanya pengen nyerah.

 

Dari Nol Hingga Sukses

Langit yang Terlalu Jauh

Di sebuah desa yang dikelilingi perbukitan hijau, suara ayam jantan membangunkan pagi. Matahari baru saja muncul, mewarnai langit dengan semburat jingga yang indah. Udara segar menyelimuti rumah-rumah kecil beratap ilalang, termasuk rumah sederhana milik Arelis.

Di dalam rumah itu, suara sendok beradu dengan piring terdengar dari dapur. Ibunya, Lestari, sedang menyiapkan sarapan dengan cekatan, sementara Arelis duduk di lantai kayu yang mulai menua, membaca buku tebal dengan penuh konsentrasi. Jemarinya yang kasar karena pekerjaan ladang membalik halaman dengan hati-hati.

“Jangan terlalu serius, nanti malah lupa makan,” suara ibunya memecah keheningan.

Arelis menoleh dan tersenyum tipis. “Aku nggak lupa, Bu. Cuma baca sebentar sebelum berangkat ke ladang.”

Lestari meletakkan sepiring nasi dan sayur di depannya. “Kalau kamu terus-terusan baca buku, kapan kamu bisa bantu bapakmu? Kita ini butuh tenaga buat panen.”

Arelis terdiam sejenak. Ia tahu ibunya tidak berniat menghalanginya, hanya saja keadaan keluarga mereka memang sulit. Ia pun mengangguk, lalu mulai makan.

Tak lama, ayahnya datang dari luar, wajahnya penuh peluh meski hari masih pagi. “Habis makan langsung ke ladang, ya,” katanya tanpa basa-basi.

Arelis mengangguk lagi. Tapi ada sesuatu yang ingin ia sampaikan hari ini. Sebuah keberanian yang sudah ia kumpulkan sejak lama.

“Pak,” suaranya terdengar hati-hati, “aku mau kuliah di kota.”

Ayahnya, Darwan, yang sedang meneguk air, hampir tersedak. Lestari pun menoleh dengan dahi berkerut.

“Kuliah?” Darwan mengulang kata itu seakan tak percaya. “Pakai apa? Pakai daun?”

Arelis menghela napas. Ia sudah menduga reaksi ini. “Ada beasiswa, Pak. Aku bisa coba daftar.”

Darwan menggeleng tegas. “Dengar, Nak. Bapak nggak mau kamu buang-buang waktu buat mimpi yang nggak jelas. Lihat sekelilingmu. Orang-orang di sini? Mereka kerja di ladang, bukan jadi sarjana!”

“Tapi aku nggak mau selamanya di ladang, Pak.”

Suasana mendadak hening.

Lestari menghela napas, lalu duduk di sebelah Arelis. “Nak, kami nggak mau menghalangi kamu. Tapi kehidupan di kota itu berat. Kamu yakin bisa bertahan di sana?”

Arelis mengangguk mantap. “Aku yakin, Bu.”

Darwan mengusap wajahnya, terlihat gusar. “Kamu tahu nggak? Bapak dulu juga pernah punya mimpi. Tapi kenyataan nggak selalu ngasih jalan. Kalau kamu nanti gagal, kamu siap pulang dengan tangan kosong?”

“Aku nggak akan gagal.”

Jawaban itu membuat Darwan terdiam. Ada sesuatu dalam tatapan Arelis yang membuatnya tahu anaknya ini berbeda.

Lestari menyentuh bahu suaminya. “Mungkin kita harus kasih dia kesempatan, Pak.”

Darwan hanya menghela napas panjang. Ia belum bisa menerima, tapi ia juga tahu kerasnya kepala anaknya.

Hari itu, Arelis berangkat ke ladang dengan langkah yang lebih ringan. Ia tahu ini bukan akhir dari perdebatan. Tapi satu hal yang pasti, langkah pertamanya menuju mimpi sudah dimulai.

 

Cahaya di Balik Gelap

Malam di desa selalu datang dengan sunyi. Angin berembus lembut melewati celah-celah dinding bambu rumah Arelis. Lampu minyak kecil menerangi sudut ruangan, menciptakan bayangan bergerak di dinding.

Di atas meja kayu sederhana, Arelis menatap kertas formulir beasiswa yang sudah ia isi dengan hati-hati. Satu-satunya jembatan menuju mimpinya kini ada di tangannya.

Lestari duduk di tikar, memperhatikan putranya yang terus menghela napas. “Kamu masih ragu?”

Arelis menoleh, lalu tersenyum kecil. “Bukan ragu, Bu. Cuma mikir… kalau aku pergi, aku ninggalin kalian di sini. Ayah pasti tambah marah.”

Lestari mengusap lengan anaknya dengan lembut. “Bapakmu nggak marah karena kamu mau pergi, dia cuma takut kamu kecewa kalau semuanya nggak berjalan sesuai harapan.”

Arelis menatap api kecil di lampu minyak. “Tapi kalau aku nggak coba, aku pasti lebih kecewa.”

Lestari tersenyum tipis. “Kalau itu yang kamu yakini, kejar. Kamu punya hak buat berjuang.”

Keesokan harinya, Arelis pergi ke kantor desa untuk mengirim formulirnya. Sepanjang jalan, ia merasakan tatapan orang-orang.

“Arelis katanya mau kuliah di kota, ya?” bisik seorang ibu pada tetangganya.

“Kasihan orang tuanya, pasti bangkrut kalau maksain anaknya sekolah tinggi,” balas yang lain dengan nada sinis.

Arelis menundukkan kepala, berusaha tidak peduli. Tapi di dalam hatinya, kata-kata itu seperti duri yang menusuk.

Saat ia tiba di kantor desa, seorang pria paruh baya dengan kemeja lusuh menyambutnya. “Arelis, sudah yakin mau kirim formulir ini?”

Arelis mengangguk mantap. “Iya, Pak. Aku harus coba.”

Pria itu tersenyum. “Bagus. Banyak anak muda di sini nggak berani mimpi setinggi itu.” Ia menerima formulir Arelis dan memasukkannya ke dalam amplop besar. “Kita lihat nanti hasilnya.”

Hari-hari berlalu dengan lambat. Arelis kembali bekerja di ladang sambil menunggu jawaban. Ayahnya masih enggan membahas soal beasiswa itu, tapi tak lagi melarang.

Hingga suatu sore, ketika ia sedang mencangkul, seorang petugas desa datang ke rumahnya dengan membawa sepucuk surat berstempel resmi.

“Arelis! Surat dari kota!” seru petugas itu.

Jantung Arelis berdegup kencang. Ia segera mencuci tangan dan menerima surat itu dengan tangan gemetar. Lestari berdiri di sampingnya, ikut menahan napas.

Dengan hati-hati, Arelis membuka amplop dan membaca isinya. Beberapa detik kemudian, matanya membesar, lalu berkaca-kaca.

“Aku diterima, Bu…” suaranya bergetar.

Lestari langsung menutup mulutnya dengan tangan, matanya ikut berkaca-kaca.

Tapi di belakang mereka, Darwan hanya diam, menatap anaknya dengan ekspresi sulit ditebak.

Arelis berhasil mendapatkan beasiswa, tapi itu baru permulaan. Perjuangannya baru akan dimulai.

 

Jalan Terjal Menuju Kota

Fajar menyingsing, membawa serta angin dingin yang menusuk kulit. Di halaman rumah kecil itu, Arelis berdiri dengan ransel lusuh di punggungnya. Hanya ada beberapa potong baju, sebuah buku catatan, dan sepasang sepatu yang sudah menipis solnya. Itu saja yang bisa ia bawa ke kota.

Di hadapannya, Lestari sibuk membungkus beberapa lauk kering dalam daun pisang. “Buat bekal di perjalanan. Di sana belum tentu kamu bisa makan enak setiap hari,” ucapnya, suaranya terdengar bergetar.

Arelis mengangguk, menerima bungkusan itu dengan hati berat. “Terima kasih, Bu.”

Tak jauh dari mereka, Darwan berdiri dengan kedua tangan disilangkan. Tatapannya tajam, tapi ada sesuatu dalam matanya yang sulit diartikan.

“Kamu yakin nggak mau naik bus dari desa? Lebih gampang,” kata Lestari, mencoba mengulur waktu.

Arelis tersenyum kecil. “Aku mau jalan dulu ke kota terdekat, Bu. Dari sana baru naik bus. Biar aku tahu rasanya berjuang sejak langkah pertama.”

Lestari mengangguk paham, meskipun hatinya berat melepas anaknya pergi sejauh itu.

Ketika Arelis hendak melangkah, suara berat Darwan akhirnya terdengar.

“Kamu mau pergi ke kota dengan baju itu?” tanyanya, lalu melemparkan sesuatu ke arah Arelis.

Arelis menangkapnya—sebuah jaket tua milik ayahnya.

“Di kota, pagi bisa lebih dingin dari di sini,” lanjut Darwan tanpa menatap anaknya langsung.

Arelis merasakan dadanya menghangat. Ia mengenakan jaket itu dengan rapi, lalu menundukkan kepala. “Makasih, Pak.”

Tanpa menunggu jawaban, Arelis melangkah pergi. Jalanan tanah di depannya panjang dan tak pasti, tapi ia melangkah dengan tegap.


Perjalanan menuju kota bukanlah hal yang mudah. Dengan uang yang terbatas, Arelis harus berjalan kaki melewati beberapa desa sebelum mencapai terminal. Sepanjang perjalanan, ia bertemu berbagai macam orang—ada yang menatapnya penuh curiga, ada yang mengasihaninya, dan ada juga yang tak peduli sama sekali.

Ketika matahari mulai condong ke barat, ia tiba di sebuah pasar kecil di pinggir desa terakhir sebelum kota. Perutnya berbunyi pelan, tapi ia menahan diri. Bekalnya harus cukup sampai nanti.

Namun, baru saja ia hendak melanjutkan perjalanan, terdengar suara keras di belakangnya.

“Hei, anak itu mencuri roti!”

Arelis menoleh. Seorang bocah kurus dengan pakaian dekil berlari tergopoh-gopoh, menggenggam sepotong roti di tangannya. Di belakangnya, seorang pedagang bertubuh besar mengejar dengan wajah merah padam.

Tanpa berpikir panjang, Arelis melangkah cepat, menghampiri bocah itu yang hampir tersandung. Ia menangkap tubuh kurus itu sebelum jatuh.

“Hei, kamu nggak apa-apa?” tanyanya.

Bocah itu mengangguk ketakutan, tapi tangannya masih erat menggenggam roti yang tadi dicuri.

“Hei, kalian!” suara pedagang semakin dekat.

Arelis hanya punya satu pilihan. Dengan cepat, ia mengeluarkan beberapa lembar uang receh dari sakunya—sisa uang perjalanan yang sangat berharga baginya—dan menyerahkannya pada si pedagang.

“Ini, aku bayar rotinya,” katanya cepat.

Pedagang itu mengerutkan dahi, menatap uang di tangan Arelis lalu melihat bocah kurus itu. Setelah beberapa detik yang menegangkan, ia mengembuskan napas kasar dan mengambil uangnya. “Jangan biarkan anak ini mencuri lagi!” bentaknya sebelum pergi.

Arelis menghela napas, lalu menoleh ke bocah yang masih berdiri kaku di sampingnya.

“Kamu nggak punya uang buat makan?” tanyanya pelan.

Bocah itu menggeleng. “Aku… aku nggak punya siapa-siapa.”

Arelis terdiam. Ia tahu bagaimana rasanya berjuang sendirian.

“Kalau gitu, ayo makan dulu sebelum aku pergi ke kota,” katanya sambil tersenyum tipis.

Bocah itu menatapnya dengan mata berbinar. “Kamu baik banget, Kak…”

Arelis hanya tersenyum. Ia tahu, meski perjalanannya ke kota belum dimulai sepenuhnya, ia sudah belajar satu hal—berbagi dengan orang yang lebih membutuhkan tidak akan pernah membuatnya miskin.

Malam itu, ia akhirnya naik bus menuju kota. Dengan tekad yang semakin kuat, ia bersiap menghadapi dunia baru yang lebih keras dari yang pernah ia bayangkan.

 

Menggapai Cahaya di Ujung Jalan

Lampu-lampu kota berkedip seperti bintang buatan, menyambut kedatangan Arelis yang turun dari bus dengan langkah mantap. Gedung-gedung tinggi berdiri gagah di hadapannya, jauh berbeda dari rumah-rumah kayu di desanya. Jalanan penuh dengan kendaraan yang melintas tanpa henti, dan orang-orang berjalan cepat seolah waktu tak pernah cukup bagi mereka.

Arelis menarik napas dalam. Ia benar-benar ada di sini. Di tempat yang dulu hanya bisa ia lihat dari gambar di buku dan layar televisi.

Namun, kenyataan segera menyapanya dengan dingin.

Di saku jaketnya, hanya tersisa sedikit uang. Tempat tinggal? Belum ada. Pekerjaan? Belum jelas. Kota ini bisa menjadi gerbang kesuksesan atau justru jurang kehancuran, tergantung seberapa kuat ia bertahan.

Hari pertama di kota menjadi ujian. Arelis menghabiskan malam di emperan sebuah bangunan kosong, beralaskan ranselnya sendiri. Angin malam menggigit kulit, dan perutnya terus berbunyi minta diisi.

Tapi ia tak boleh menyerah.

Keesokan harinya, ia mulai mencari pekerjaan. Ia mendatangi berbagai toko, restoran, dan kafe. Jawaban yang ia dapat berulang kali sama:

“Maaf, kami tidak menerima pekerja baru.”

“Kamu punya pengalaman?”

“Kami butuh seseorang yang sudah paham kerja di kota.”

Setiap penolakan terasa seperti pukulan, tapi Arelis menolak mundur.

Siang itu, saat kakinya mulai lelah melangkah, ia menemukan sebuah warung makan kecil di sudut jalan. Pemiliknya, seorang pria tua bernama Pak Seno, sedang kerepotan melayani pelanggan.

Arelis segera melangkah masuk. “Pak, saya bisa bantu?”

Pak Seno menatapnya ragu, tapi melihat banyaknya pesanan yang belum disajikan, ia mengangguk. “Kalau kamu mau bantu cuci piring, silakan.”

Tanpa ragu, Arelis menggulung lengan bajunya dan mulai bekerja. Tangannya lincah membersihkan tumpukan piring kotor, menyapu lantai, bahkan membantu menata meja.

Saat warung mulai sepi, Pak Seno mengamatinya dengan mata penuh pertimbangan. “Kamu kerja cepat.”

Arelis tersenyum lelah. “Saya butuh pekerjaan, Pak. Apa saya boleh bekerja di sini?”

Pak Seno terdiam sejenak, lalu akhirnya mengangguk. “Gaji nggak besar, tapi kamu bisa makan gratis di sini.”

Bibir Arelis melengkung lega. Ini mungkin bukan pekerjaan impiannya, tapi ini adalah langkah pertama.

Bulan berganti, dan Arelis mulai beradaptasi dengan kehidupan kota. Di sela pekerjaannya di warung, ia menyempatkan diri mencari kursus gratis untuk belajar lebih banyak. Ia tahu, jika ingin menggapai mimpinya, ia harus terus berkembang.

Suatu hari, saat sedang membantu di warung, seorang pelanggan wanita paruh baya terus memperhatikannya.

“Kamu pekerja di sini?” tanya wanita itu tiba-tiba.

Arelis mengangguk. “Iya, Bu. Ada yang bisa saya bantu?”

Wanita itu tersenyum tipis. “Kamu pernah berpikir untuk bekerja di kantor?”

Arelis terdiam. “Saya… belum punya pengalaman, Bu.”

“Kalau kamu mau belajar, aku bisa membantumu. Perusahaanku sedang butuh asisten administrasi. Tidak butuh pengalaman, hanya butuh kerja keras dan kemauan belajar.”

Hati Arelis berdebar. Ini adalah kesempatan yang selama ini ia cari. Dengan mata berbinar, ia mengangguk mantap. “Saya mau, Bu!”

Hari demi hari berlalu, dan kehidupan Arelis mulai berubah. Dari seorang gadis desa yang tak punya apa-apa di kota, ia kini memiliki pekerjaan di sebuah kantor kecil, belajar banyak hal baru, dan mulai membangun masa depan yang ia impikan.

Namun, ia tak pernah melupakan awal perjalanannya. Saat pertama kali ia melangkahkan kaki ke kota ini, ia hanyalah seorang anak dengan mimpi besar dan keberanian kecil.

Kini, ia tahu—mimpi bukan hanya tentang keberuntungan.

Mimpi adalah tentang kerja keras. Tentang bertahan meski jatuh. Tentang tidak menyerah meskipun dunia seolah menolak kehadiranmu.

Dan Arelis telah membuktikan, jika seseorang cukup kuat untuk terus melangkah, cahaya di ujung jalan akan selalu ada menanti.

 

Jadi, masih mikir buat nyerah? Hidup emang nggak gampang, tapi mimpi juga nggak bakal ngejar kamu kalau kamu cuma diem aja.

Lihat Arelis, dari nol, dari nggak punya apa-apa, dia bisa ngebuktiin kalau usaha nggak pernah ngianatin hasil. Sekarang tinggal kamu, mau tetep rebahan atau mulai langkah pertama kamu? Yang jelas, sukses nggak datang buat mereka yang cuma nunggu.

Leave a Reply