Perjuangan Hidup Orang Miskin: Dari Jalanan ke Warung Sukses

Posted on

Hidup itu keras, guys! Apalagi kalau lahir di bawah garis kemiskinan. Makan aja susah, apalagi mimpi tinggi-tinggi? Surya dan Rian tahu banget rasanya. Dulu mereka cuma bocah jalanan yang tidur di emperan, dihina orang, diusir ke sana-sini.

Tapi siapa sangka, hidup mereka bisa berubah total? Ini bukan cerita biasa soal orang miskin yang menderita terus—ini cerita tentang perjuangan, kerja keras, dan bukti kalau doa itu nggak pernah sia-sia. Penasaran gimana mereka bangkit dari nol? Yuk, baca sampai habis!

 

Perjuangan Hidup Orang Miskin

Doa di Atap Bocor

Hujan turun dengan deras malam itu. Atap rumah yang sudah tua tidak bisa lagi menahan air. Tetesannya jatuh ke lantai kayu yang sudah mulai lapuk, menciptakan suara ritmis yang menemani sunyi. Surya duduk di tikar lusuhnya, tangannya tertangkup, berdoa dalam remang cahaya lampu minyak yang redup.

Di sudut ruangan, sebuah foto berbingkai kayu berdiri di atas meja kecil. Wajah istrinya yang telah tiada masih tersenyum hangat di sana. Sejak kepergiannya lima tahun lalu, rumah ini terasa lebih dingin dari biasanya.

Dari luar, suara angin berdesir menerobos celah-celah dinding kayu. Angin membawa aroma tanah basah dan sedikit aroma sungai yang mengalir tak jauh dari rumahnya. Perutnya berbunyi pelan. Sejak pagi, Surya hanya makan sepotong singkong rebus yang ia dapat dari seorang pedagang di pasar.

Pintu rumahnya diketuk pelan. Suara rapuh itu membuat Surya bangkit, berjalan dengan langkah hati-hati ke pintu. Saat dibuka, seorang bocah laki-laki berdiri di ambang pintu, tubuhnya basah kuyup.

“Pak Tua, hujan deras. Aku nggak punya tempat berteduh.”

Surya menghela napas. Bocah ini, Rian namanya. Anak seorang pengemis yang sering tidur di emperan toko. Sudah beberapa kali dia datang ke rumahnya saat hujan deras mengguyur.

“Masuk, jangan banyak omong,” ujar Surya sambil bergeser memberi ruang.

Rian menyeringai kecil lalu melangkah masuk, duduk di dekat lampu minyak sambil mengusap kedua tangannya yang kedinginan. Bajunya kuyup, rambutnya basah menempel di dahinya.

“Kamu udah makan?” tanya Surya sambil mengambil kain untuk mengeringkan kepala bocah itu.

“Belum.”

Surya menghela napas, lalu berjalan ke sudut ruangan, membuka penutup panci kecil. Hanya ada nasi sisa kemarin dan sedikit garam. Ia mengambilnya, lalu menuangkan air panas ke dalam mangkuk kayu untuk membuatnya sedikit lebih lunak.

“Udah, makan aja. Nggak ada lauk.”

Rian mengambil mangkuk itu tanpa ragu. “Makasih, Pak Tua.”

Surya hanya diam, menatap bocah itu yang dengan lahap menyuapkan nasi ke mulutnya.

Di luar, hujan semakin deras. Suara gemuruh petir sesekali menggetarkan rumah reyot itu.

“Pak Tua, kamu nggak takut hidup sendirian?” tanya Rian tiba-tiba, suaranya sedikit tertahan karena mulutnya penuh makanan.

Surya tersenyum kecil, menatap foto istrinya yang masih berdiri tegak di atas meja.

“Hidup sendirian itu nggak menakutkan. Yang lebih menakutkan itu kalau kamu udah berusaha, tapi dunia nggak kasih kamu kesempatan.”

Rian terdiam, merenungi kalimat itu.

Hujan masih belum menunjukkan tanda-tanda akan reda. Surya bangkit, mengambil beberapa ember untuk menampung air hujan yang bocor dari atap. Dia sudah terlalu sering menghadapi malam seperti ini. Dingin, lapar, dan kesepian sudah menjadi bagian dari hidupnya.

Namun, ada satu hal yang selalu ia jaga.

Doa.

Setiap malam, tanpa absen, Surya selalu berdoa. Bukan meminta kekayaan, bukan meminta kehidupan yang lebih mudah, tetapi meminta satu hal—kekuatan untuk bertahan.

Ia duduk kembali, melipat kedua tangannya, lalu berbisik pelan.

“Ya Tuhan, jika memang aku harus terus berjuang, jangan biarkan aku menyerah…”

Di sudut ruangan, Rian yang sudah selesai makan menatapnya diam-diam. Ada sesuatu di dalam dirinya yang mulai berubah.

Hujan di luar belum berhenti. Tapi di dalam hati, harapan masih menyala.

 

Hujan yang Membawa Luka

Pagi datang tanpa banyak perubahan. Atap masih bocor, tikar masih basah, dan perut Surya masih keroncongan. Rian sudah pergi sejak subuh, katanya dia harus mencari uang dengan mengamen di perempatan lampu merah.

Surya duduk di depan rumahnya yang kecil dan reyot, menatap tanah becek di halaman. Langit masih mendung, seolah-olah hujan semalam belum puas mengguyur bumi.

Sementara itu, di kejauhan, suara bising pasar mulai terdengar. Pedagang meneriakkan dagangannya, ibu-ibu menawar harga dengan nada tinggi, dan suara klakson becak saling bersahutan. Surya menghela napas panjang lalu bangkit. Perut kosongnya tak akan terisi kalau dia cuma duduk diam.

Dia berjalan menuju pasar dengan langkah pelan. Di sana, dia biasa menawarkan tenaga untuk mengangkat barang belanjaan atau membersihkan kios. Tak selalu ada yang mau membayar, tapi dia tetap mencoba.

Saat baru tiba di pasar, seorang pedagang sayur tua yang sudah kenal dengannya melambai.

“Surya! Bisa bantu angkat karung sayur?”

Tanpa banyak bicara, Surya langsung menghampiri dan mengangkat karung-karung berat itu ke dalam kios. Tangannya sudah terbiasa dengan pekerjaan kasar seperti ini.

Setelah selesai, pedagang itu menyodorkan sekeping uang logam dan sebungkus nasi.

“Ini buat kamu,” katanya.

Surya tersenyum kecil. “Makasih, Pak.”

Dia berjalan ke sudut pasar, duduk di atas peti kayu kosong, lalu membuka bungkusan nasi itu. Hanya nasi putih dan sedikit tempe goreng, tapi bagi Surya, itu sudah lebih dari cukup.

Saat dia hendak menyuapkan sesuap nasi ke mulutnya, terdengar suara ribut dari arah lain pasar.

“Lepasin aku! Aku nggak nyolong!”

Surya menoleh. Di tengah kerumunan orang, dia melihat Rian ditarik oleh seorang pria berbadan besar, pemilik toko kelontong.

“Kamu pikir bisa lari setelah nyolong di tempat gue?” bentak pria itu, mengguncang bahu Rian dengan kasar.

“Aku nggak nyolong, sumpah! Aku cuma lihat-lihat!” Rian meronta, tapi tangannya dicekal erat.

Surya langsung bangkit, menghampiri mereka.

“Ada apa ini?” tanyanya.

“Anak ini nyolong roti di toko saya!” teriak pemilik toko.

“Itu nggak benar! Aku cuma pengen lihat!” Rian masih berusaha menjelaskan, suaranya bergetar.

Kerumunan mulai berbisik-bisik.

“Udah jelas dia anak jalanan, pasti maling.”
“Anak kayak gini harus dikasih pelajaran.”
“Kasih ke polisi aja biar kapok!”

Surya melihat wajah Rian yang ketakutan. Bocah itu gemetar, kotor, dan basah kuyup sejak tadi malam. Apakah mungkin dia benar-benar mencuri?

“Kalau kamu nggak nyolong, terus kenapa lari?” tanya Surya, menatap mata Rian.

Bocah itu menunduk. “Aku takut, Pak Tua… Aku takut orang bakal nuduh aku walaupun aku nggak salah.”

Surya menghela napas. Dia tahu bagaimana rasanya hidup dalam tuduhan, dicurigai hanya karena miskin.

Dia menoleh ke pemilik toko. “Gimana kalau saya yang gantiin harga rotinya?”

Pria itu melipat tangan di dada, menatap Surya dari ujung kepala sampai kaki. “Kamu mau bayarin? Bisa bayar?”

Surya merogoh saku bajunya yang lusuh. Hanya ada beberapa keping uang logam, hasil upah angkat barang tadi.

Pemilik toko mendengus. “Kalau nggak bisa bayar, jangan sok jadi pahlawan!”

Salah satu pedagang lain, seorang ibu tua yang sering menjual pisang di pasar, tiba-tiba melangkah maju dan menyodorkan beberapa lembar uang.

“Ini, biar aku yang bayar rotinya.”

Semua orang terdiam.

“Kita semua tahu anak itu nggak pernah bikin masalah di pasar. Kasih dia kesempatan,” lanjut ibu itu.

Pemilik toko mendecak kesal, lalu melepas tangan Rian dengan kasar. “Pergi kalian! Jangan pernah datang ke toko saya lagi!”

Surya meraih tangan Rian dan menariknya menjauh dari kerumunan. Mereka berjalan keluar pasar tanpa berkata apa-apa. Hujan mulai turun lagi, gerimis kecil membasahi jalanan tanah.

Setelah mereka cukup jauh, Surya berhenti dan menatap bocah itu.

“Kamu nyolong, nggak?” tanyanya pelan.

Rian menggeleng cepat. “Demi Tuhan, aku cuma lihat-lihat.”

Surya menatapnya beberapa detik, lalu menghela napas. “Jangan pernah lari kalau kamu nggak salah.”

Rian menunduk, menggigit bibirnya. “Aku takut, Pak Tua…”

Surya mengacak rambut bocah itu pelan. “Orang miskin kayak kita emang selalu dicurigai. Makanya kita harus buktiin kalau kita bukan sampah.”

Rian mengangguk pelan.

Hujan makin deras.

Surya tahu, perjuangan mereka masih panjang.

 

Warung Kecil, Harapan Besar

Surya dan Rian sampai di rumah dalam keadaan kuyup. Hujan deras mengguyur tanpa ampun, membuat gubuk reyot mereka semakin dingin dan basah. Atap bocor tak banyak membantu—air menetes dari segala arah, membentuk genangan kecil di lantai tanah.

Surya menghela napas panjang. Dia sudah terlalu lelah untuk mengeluh. Di sudut ruangan, Rian menggosok kedua tangannya yang kedinginan.

“Aku lapar,” gumam bocah itu.

Surya meraih bungkusan nasi yang tersisa dari tadi pagi. Dia menyodorkannya ke Rian tanpa ragu.

“Kamu makan dulu,” katanya.

“Tapi Pak Tua—”

“Makan aja. Aku masih kuat nahan.”

Rian terdiam sejenak, lalu mulai menyuap nasi itu perlahan. Surya hanya menatapnya. Hidup memang keras, tapi dia tak akan membiarkan bocah itu kelaparan.

Hening. Hanya suara hujan di luar yang terdengar.

Lalu tiba-tiba, Rian angkat kepala. “Pak Tua, aku nggak mau terus-terusan gini.”

Surya mengangkat alis. “Maksudmu?”

“Aku nggak mau selamanya ngamen, diusir, dicurigai. Aku mau kita punya tempat sendiri buat cari uang. Kayak warung, gitu.”

Surya menatap bocah itu lama. Ide itu terdengar… mustahil. Mereka bahkan nyaris tak punya uang untuk makan, apalagi buka warung.

Tapi Rian melanjutkan dengan semangat, “Lihat deh, tiap pagi orang-orang di pasar nyari kopi, nyari gorengan, nyari sarapan. Kalau kita jualan, pasti laku. Daripada kita ngamen dan ditendang sana-sini, mendingan kita punya usaha sendiri.”

Surya masih terdiam. Dia menimbang-nimbang. Benar, kalau hanya mengandalkan pekerjaan serabutan, hidup mereka tak akan pernah stabil.

“Tapi kita nggak punya modal.”

Rian menggigit bibirnya. “Kalau kita nabung dari sekarang, dari hasil ngamen atau kerja di pasar, mungkin bisa terkumpul.”

Surya mendengus kecil. “Berapa lama? Setahun? Dua tahun? Apa kamu sabar?”

“Aku lebih sabar nabung daripada kelaparan setiap hari,” jawab Rian tegas.

Jawaban itu membuat Surya terdiam. Anak ini benar.

Hari-hari berikutnya, mereka mulai bekerja lebih keras dari sebelumnya. Surya tetap bekerja di pasar, membantu mengangkat barang dan membersihkan kios. Rian tetap mengamen, tapi kali ini dia lebih berhati-hati agar tidak diusir atau dipukuli.

Setiap malam, mereka menghitung receh-receh yang berhasil dikumpulkan. Uang itu mereka simpan dalam kaleng bekas yang dikubur di sudut rumah agar tak dicuri orang.

Seminggu… dua minggu… sebulan…

Uang mereka masih jauh dari cukup, tapi perlahan bertambah.

Namun, hidup tak pernah semulus yang mereka harapkan.

Suatu malam, saat Surya pulang dari pasar, dia menemukan rumah mereka dalam keadaan berantakan. Kaleng uang mereka terbuka. Kosong.

Hilang.

Semua hasil jerih payah mereka lenyap dalam semalam.

Rian duduk di sudut, wajahnya merah dan matanya berair.

“Siapa yang nyuri?” suara Surya terdengar dingin.

Rian menggeleng, menggigit bibirnya. “Aku nggak tahu… aku tadi pergi sebentar, pas pulang udah gini.”

Surya mengepalkan tangan. Seluruh tubuhnya gemetar, bukan karena dingin, tapi karena marah.

Mereka sudah susah payah mengumpulkan uang itu. Mereka sudah berusaha keluar dari lingkaran kemiskinan. Dan sekarang? Semua kembali ke nol.

Hujan turun lagi. Deras.

Surya duduk di tanah, menatap dinding rumahnya yang penuh lubang. Rian masih menangis dalam diam.

Mereka sudah kalah sebelum sempat memulai.

Atau… belum?

Surya menatap bocah itu, lalu menarik napas panjang. Dia tak bisa menyerah.

“Bisa kita mulai lagi, ‘kan?” tanyanya pelan.

Rian mengangkat kepala, matanya yang sembab menatap Surya dengan ragu.

“Kita kerja lagi, kita nabung lagi. Kita nggak boleh nyerah,” lanjut Surya.

Rian mengusap air matanya dengan kasar. “Tapi… kalau dicuri lagi?”

“Kali ini kita simpan lebih baik. Kita lebih hati-hati. Tapi kita nggak boleh berhenti.”

Bocah itu masih terdiam. Lalu, perlahan, dia mengangguk.

Mereka akan mulai dari nol lagi.

Tak peduli seberapa kali mereka jatuh, mereka akan bangkit lagi.

 

Cahaya di Ujung Terowongan

Hari-hari setelah kehilangan tabungan mereka menjadi lebih berat. Surya dan Rian harus bekerja lebih keras, bukan hanya untuk bertahan hidup, tapi juga untuk kembali mengumpulkan modal. Tidak ada waktu untuk mengeluh atau bersedih terlalu lama.

Setiap pagi, Surya berangkat lebih awal ke pasar, berharap mendapatkan lebih banyak pekerjaan dari biasanya. Rian juga mulai melakukan pekerjaan tambahan selain mengamen—mengangkut barang untuk pedagang, membantu menyapu jalanan, bahkan kadang mencuci piring di warung orang.

Mereka lebih waspada kali ini. Tidak ada lagi menyimpan uang di rumah. Surya meminta tolong seorang pedagang tua di pasar, Pak Darto, untuk menyimpankan tabungan mereka.

“Mau buka warung, ya?” tanya Pak Darto suatu hari, saat Surya menyerahkan sekumpulan uang lusuh padanya.

Surya mengangguk. “Aku nggak mau selamanya gini, Pak.”

Pak Darto mengamati Surya lama, lalu tersenyum kecil. “Kalau kamu benar-benar niat, aku ada satu lapak kosong di belakang warungku. Kecil sih, tapi cukup buat mulai usaha.”

Mata Surya membelalak. “Serius, Pak?”

Pak Darto mengangguk. “Aku cuma bisa bantu kasih tempat. Modal buat isi warungnya, ya kalian yang usaha.”

Surya tidak bisa berkata apa-apa. Ini lebih dari yang dia harapkan.

Beberapa bulan kemudian, di sudut pasar, berdirilah warung kecil dengan papan sederhana bertuliskan “Warung Surya & Rian”. Mereka mulai dari yang paling sederhana—kopi, gorengan, nasi bungkus. Surya belajar membuat kopi yang enak dari salah satu pedagang tua, sementara Rian menjadi pelayan yang cekatan.

Hari pertama, pelanggan hanya satu-dua orang.

Hari kedua, bertambah sedikit.

Hari ketiga, mereka mulai mendapat pelanggan tetap—tukang becak, buruh pasar, dan pedagang kecil yang butuh tempat istirahat sejenak.

Surya dan Rian bekerja dari subuh hingga malam. Tidak ada lagi tidur di emperan atau kelaparan berhari-hari.

Mereka bukan lagi pengamen jalanan yang diusir sana-sini.

Mereka punya warung. Mereka punya harapan.

Suatu sore, Rian duduk di bangku kayu di depan warung, menatap keramaian pasar. Hujan baru saja reda, meninggalkan aroma tanah yang khas.

Surya datang membawa dua gelas kopi. Dia duduk di sebelah Rian dan menyodorkan satu gelas padanya.

“Kita berhasil, Pak Tua,” gumam Rian, mengaduk kopinya pelan.

Surya tersenyum kecil. “Belum berhasil. Masih panjang jalannya.”

“Tapi setidaknya, kita nggak kelaparan lagi.”

Surya tertawa pelan. Dia menatap warung kecil mereka, yang meskipun sederhana, sudah cukup untuk mengubah hidup mereka.

Dulu, mereka sering diusir.

Dulu, mereka sering dicemooh, diremehkan.

Tapi sekarang, orang-orang mulai menghargai mereka.

Surya menarik napas panjang. Dia masih ingat malam-malam saat mereka tidur di emperan, saat hujan turun tanpa ampun, saat mereka kehilangan segalanya.

Tapi mereka bangkit. Mereka tidak menyerah.

Dan kini, mereka tahu—mereka tidak harus selamanya menjadi orang yang dipandang sebelah mata.

Sebab selama ada usaha, selama mereka tak berhenti berjuang…

Selalu ada cahaya di ujung terowongan.

 

Gila, kan? Dari tidur di trotoar sampai punya warung sendiri di pasar. Nggak ada yang instan dalam hidup, kecuali mi instan. Surya dan Rian bukan orang kaya sekarang, tapi setidaknya mereka nggak kelaparan lagi, nggak dipandang sebelah mata lagi.

Mereka buktiin kalau kemiskinan itu bukan takdir yang harus diterima mentah-mentah. Selama masih mau usaha, masih mau bangkit setiap kali jatuh, pasti ada jalan! Jadi, kalau lagi ngerasa hidup berat, ingat cerita ini—mereka aja bisa, kenapa kita nggak?

Leave a Reply