Daftar Isi
Pernah merasa stuck atau terjebak dalam situasi yang sepertinya tak ada jalan keluarnya? Cerita Galendra ini bakal bikin kamu percaya bahwa setiap perjuangan, sekecil apapun, pasti ada hasilnya! Dalam artikel ini, kamu bakal diajak untuk mengikuti perjalanan hidup seorang pemuda dari desa yang berjuang keras untuk mendapatkan pendidikan dan mewujudkan impian besar.
Dari menghadapi tantangan keluarga yang sakit, hingga meraih beasiswa di kota besar, kisah ini penuh dengan perjuangan yang menginspirasi dan bisa jadi motivasi buat kamu yang lagi berjuang di jalan yang sama. Yuk, simak kisahnya dan temukan bagaimana Galendra membuktikan bahwa pendidikan bisa mengubah segalanya!
Perjuangan dan Pendidikan
Jejak di Tanah Merah
Langit pagi di lereng Bukit Rempah tak pernah benar-benar biru. Kabut tipis menggantung di antara pepohonan cengkeh yang berjejer rapi, dan suara ayam jantan saling bersahutan dari kejauhan. Tanah merah yang basah oleh embun menjadi lintasan harian bagi seorang anak lelaki kurus dengan tas sekolah tambalan kain perca.
Namanya Galendra Satwika, anak sulung dari keluarga yang sederhana, bahkan mungkin terlalu sederhana untuk ukuran manusia zaman sekarang. Rumahnya berdiri di tepi sungai kecil, berdinding bilik bambu dan hanya satu kamar untuk lima orang penghuni. Bau kayu bakar dan kapur barus jadi aroma khas di dalam rumah itu.
Setiap pagi, ibunya—Rundari—menyematkan bekal nasi goreng seiris tipis telur dadar ke dalam plastik bening dan memasukkannya ke dalam tas anaknya.
“Pelan-pelan ya jalannya. Nanti jatuh lagi kaya kemarin,” ucap Rundari sambil merapikan rambut Galendra yang sudah kering oleh angin pagi.
Galendra mengangguk, lalu melangkah keluar tanpa banyak bicara. Jalur menuju sekolah bukan jalan mulus beraspal, melainkan tanah setapak menurun, menyeberangi jembatan kayu reyot, dan melewati dua bukit kecil. Setiap hari, ia menempuh jarak hampir tujuh kilometer, bolak-balik, demi bisa duduk di bangku kayu kelas empat SD Negeri Puspasari 3.
Ayahnya, Sarmaji, adalah penjual pakan ayam keliling yang membawa karung di atas sepeda butut. Tubuhnya sudah mulai bongkok, napasnya tersengal saat menarik napas dalam-dalam. Tapi wajahnya selalu menampakkan ketegaran, meski batuk keringnya semakin sering terdengar tiap malam.
“Kamu jangan ngebantah ibumu. Sekolah itu penting, Len. Aku dulu berhenti sekolah gara-gara kakekmu sakit. Kamu jangan kaya aku,” katanya suatu malam, sambil menepuk-nepuk pundak Galendra yang tengah mengerjakan PR dengan penerangan lampu minyak.
Di sekolah, Galendra bukan anak yang paling pintar, tapi ia selalu lapar akan pelajaran. Ia duduk di depan, mencatat cepat dengan pensil yang sudah terlalu pendek, dan sering bertanya tentang hal-hal yang belum dia pahami.
“Pak Guru, kenapa gunung bisa meletus kalau bumi itu diam?” tanyanya suatu kali, membuat Pak Giono terdiam sejenak sebelum mengalihkan jawaban ke penjelasan tentang lempeng bumi. Anak-anak lain hanya tertawa, sebagian mencemooh, sebagian kagum.
Namun tidak semua anak bisa memahami ambisi diam-diam dalam diri Galendra. Di desa itu, kebanyakan anak lelaki sudah mulai diajari cara mencangkul, beternak, dan menggali tanah. Sekolah dianggap formalitas. Tidak sedikit orang tua yang menganggap sekolah hanya membuang waktu.
“Ngapain sih kamu rajin banget sekolah? Nanti juga ujung-ujungnya nyangkul,” celetuk salah satu tetangganya, seorang anak laki-laki bernama Hargo, yang lebih suka membolos dan nongkrong di warung.
Galendra hanya menunduk, senyum kecil terbit di wajahnya. Ia tahu, menjawab hanya akan membuat perdebatan panjang. Dan ia bukan tipe yang suka debat. Ia lebih suka membuktikan lewat hasil.
Malam-malam di rumah Galendra tak pernah sunyi. Jika bukan batuk ayahnya yang terdengar, maka suara mesin jahit ibunya yang menderu pelan. Rundari menjahit pakaian dari pagi sampai larut malam, terkadang sampai ketiduran di kursi kayu.
“Kamu gak usah bantuin aku malam ini. Tidur aja, besok kan sekolah,” katanya dengan suara serak.
“Aku gak ngantuk, Bu. Aku mau bantuin ngegulung benangnya aja,” jawab Galendra sambil duduk di lantai, memegang gulungan benang warna hitam.
Itulah malam-malam mereka. Sunyi, sederhana, tapi penuh kehangatan. Tak ada ponsel pintar, tak ada TV layar datar. Hanya buku bekas sumbangan dari guru dan impian kecil yang tumbuh perlahan.
Namun cobaan datang ketika Galendra memasuki kelas enam. Ayahnya mulai sering batuk darah. Sarmaji dilarikan ke puskesmas terdekat, lalu dirujuk ke rumah sakit kabupaten. Biaya pengobatan membuat ibunya terpaksa menjual perhiasan satu-satunya—cincin kawin—dan meminjam uang ke koperasi desa.
Beberapa malam, Galendra mendengar percakapan lirih antara ibunya dan bibinya.
“Dar, kalau memang gak sanggup, mungkin Galendra bisa kerja dulu. Toh nanti bisa sekolah lagi…”
“Ndak. Aku gak mau dia ikut capek kaya kita. Aku udah janji sama almarhum bapaknya, anak ini harus sekolah sampai lulus.”
Kalimat itu menusuk. Galendra berpura-pura tidur, tapi hatinya tidak tenang. Sejak malam itu, ia mulai memulung botol plastik di perjalanan pulang. Hasilnya memang tak seberapa, tapi cukup untuk membeli alat tulis atau sekadar menambah lauk di rumah.
Hari-hari berjalan seperti itu. Pagi sekolah, sore membantu ibunya, malam belajar sambil menahan kantuk. Ketika kelulusan SD diumumkan, Galendra menjadi lulusan terbaik. Ia tidak menangis, tapi Rundari menangis diam-diam saat membaca pengumuman yang tertempel di papan kayu sekolah.
“Kamu bisa lebih dari ini, Nak…” ucapnya sambil mengusap kepala anaknya.
Tapi mereka tahu, perjuangan baru saja dimulai. SMP berada lebih jauh, dua kecamatan dari rumah. Biaya transportasi dan seragam tidak murah. Namun Galendra tidak pernah bilang tidak. Ia hanya menatap cakrawala dari atas bukit, berharap langit tak selalu kelabu untuk dirinya.
Dan pada suatu pagi yang dingin dan berkabut, ia berdiri di tepi jalan desa, mengenakan seragam SMP bekas yang sudah disesuaikan ukurannya. Rambutnya disisir rapi, sepatunya bolong di bagian sol, dan ranselnya tetap yang sama: tambalan perca di sana-sini. Tapi di matanya, ada api yang tak bisa padam—api yang dibawa dari jejak-jejak kecil di tanah merah tempat ia memulai segalanya.
Tepi Jurang dan Janji Ibu
Pagi itu, Galendra berangkat lebih awal dari biasanya. Langit gelap, hujan gerimis membasahi jalanan tanah merah yang licin, namun ia tak peduli. Ia harus mencapai halte bus, tempat ia biasa menunggu angkutan yang membawanya menuju SMP. Jalanan desa yang biasanya sepi kini mulai ramai dengan para petani yang berangkat ke kebun. Ia melangkah cepat, menunduk agar wajahnya tak basah oleh hujan.
Di rumah, ibunya sudah bangun lebih dulu. Rundari tak pernah tidur lama, meskipun terkadang tubuhnya lelah sekali. Setelah membereskan segala urusan rumah tangga, ia akan duduk di kursi kayu, menjahit pakaian untuk dijual atau memperbaiki barang yang rusak. Namun pagi itu, matanya terlihat lebih lelah dari biasanya. Setiap kali menatap Galendra, ada sesuatu di matanya yang membuat hati anak itu teriris.
“Ibu… kenapa tadi malam gak tidur?” tanya Galendra saat ia hendak keluar rumah, melihat ibunya duduk dengan punggung membungkuk.
“Ada yang perlu dikerjakan, Nak. Bukan apa-apa. Kamu pergi hati-hati, ya?” Rundari membalas, mencoba tersenyum meski bibirnya kaku.
“Pasti, Bu. Aku berangkat dulu, ya,” jawab Galendra sambil menarik tas ransel yang sudah berisi buku pelajaran dan beberapa makanan ringan yang dibungkus dengan kain.
“Berdoa supaya sehat dan selamat,” ucap Rundari, mengusap kepala Galendra dengan lembut.
Galendra bergegas keluar rumah, menembus kabut pagi. Semakin ia melangkah, semakin berat langkahnya, seolah ada sesuatu yang menghambat. Perasaan yang tak bisa dijelaskan, seperti ada sesuatu yang buruk akan terjadi. Ia mengabaikan perasaan itu dan terus berjalan, hanya berpikir tentang sekolah dan bagaimana caranya agar ia bisa lulus dengan nilai terbaik.
SMP yang ia tuju memang jauh. Butuh dua kali angkutan umum untuk mencapainya. Sesampainya di sana, ia langsung menuju kelas. Meski kondisinya tidak sebaik anak-anak lain yang memiliki sepeda atau kendaraan pribadi, ia tak pernah merasa malu. Ia sudah terbiasa.
Namun hari pertama di SMP kelas satu itu terasa sangat berat. Beberapa teman baru mulai mengolok-olok, mempertanyakan mengapa ia tidak seperti anak-anak lain yang lebih ‘normal’. Galendra hanya tersenyum tipis, melangkah menuju kursi yang selalu ia pilih di depan, dekat dengan papan tulis. Di dalam dirinya, ia berjanji bahwa ia akan buktikan segalanya lewat perjuangan.
Minggu pertama berjalan lancar, meski tak mudah. Namun suatu sore, segalanya berubah. Sarmaji, ayahnya, yang sebelumnya hanya mengeluhkan batuknya yang makin parah, akhirnya jatuh pingsan di tengah hari. Rundari panik, mencoba membangunkan suaminya yang tak sadarkan diri. Galendra yang baru saja pulang sekolah langsung berlari menuju rumah. Wajah ibunya yang pucat membuat hatinya berdegup cepat.
“Ibu, apa yang terjadi? Ayah kenapa?” Galendra bertanya terbata, sambil menahan perasaan cemas yang menggulung dalam dada.
“Ayah… dia… dia sakit parah, Len,” suara ibunya tersekat-sekat. Rundari menggenggam tangan anaknya dengan erat. “Kita harus bawa dia ke rumah sakit.”
Kondisi keluarga semakin sulit. Rundari meminjam uang dari tetangga dan koperasi desa untuk membawa Sarmaji ke rumah sakit. Namun, biaya pengobatan yang tinggi membuat mereka semakin terdesak. Untuk pertama kalinya, Galendra merasakan keputusasaan yang dalam. Ujian tengah semester semakin dekat, namun pikirannya terkunci pada ayah yang terbaring lemah di rumah sakit.
Namun di balik kepedihan, ada tekad yang semakin tumbuh dalam diri Galendra. Ia tidak bisa menyerah. Ia tahu bahwa mimpinya untuk mengubah nasib tak bisa terkubur begitu saja hanya karena kesulitan. Setiap malam, setelah mengurus ayah, ia kembali ke rumah dan menyelesaikan tugas sekolah. Ia berjanji pada dirinya sendiri: Ia akan melanjutkan sekolah, apapun yang terjadi.
Di sekolah, ia semakin rajin belajar, meski harus berjuang lebih keras daripada teman-temannya. Banyak dari mereka yang menganggapnya aneh karena tak pernah ikut bermain bola atau berkumpul bersama mereka di warung. Galendra lebih memilih menyendiri di pojokan taman, memegang buku pelajaran sambil mencoba menghafal materi.
“Eh, Galendra… lo gak capek apa, sih? Lihat tuh, yang lain pada main bola, lo malah baca buku!” ujar Dewa, salah satu teman sekelas yang kerap menyindirnya.
“Capek sih enggak, asal nanti ada hasilnya,” jawab Galendra singkat, tak banyak berpikir. Ia tahu jika ia bisa lulus dan mendapat nilai tinggi, maka peluang untuk mendapat beasiswa akan lebih besar. Beasiswa adalah kunci. Hanya itu yang ada di benaknya.
Hujan deras datang pada suatu sore setelah ujian tengah semester. Galendra pulang terlambat karena harus membantu ibunya di rumah. Saat kembali ke rumah, ia melihat ibunya tengah duduk di meja makan, tampak lelah. Sarmaji masih terbaring lemah di tempat tidur. Rundari melihat Galendra datang dengan wajah cemas.
“Ibu, ayah gimana?” tanya Galendra dengan suara bergetar, berdiri di depan ibunya yang memandangnya lemah.
“Dokter bilang… ayah harus operasi. Tapi kita gak punya uang, Nak. Aku gak tahu harus gimana,” Rundari berkata dengan suara bergetar. Ia menatap anaknya, wajahnya penuh kerisauan.
Galendra menggenggam tangan ibunya, menatapnya dengan tekad yang keras. “Aku akan cari cara, Bu. Aku janji, aku akan bawa uang itu, walau harus kerja apapun.”
“Len…” suara ibunya hampir tak terdengar. Namun Galendra tahu, ini bukan saatnya untuk ragu. Ini adalah waktunya untuk melangkah maju, lebih keras dari sebelumnya. Ia tidak boleh mundur.
Kota Asing, Mimpi yang Diuji
Pagi itu, langit Kota Malang tidak terlalu cerah. Angin sepoi-sepoi berhembus dari arah timur, membawa hawa sejuk yang berbeda dari udara panas desa yang biasa ditemui Galendra. Setelah berjam-jam menempuh perjalanan dengan bus antar kota, akhirnya ia tiba di kota yang sama sekali asing baginya. Ia menginjakkan kaki di terminal yang penuh hiruk-pikuk, diselimuti perasaan cemas, sekaligus penuh harapan.
Kehidupan di kota ini tampak begitu berbeda. Suara kendaraan yang tak pernah berhenti, gedung-gedung tinggi yang menjulang, serta orang-orang dengan pakaian modern membuat Galendra merasa begitu kecil. Ia menatap sekeliling dengan sedikit kebingungan, meskipun tak lama kemudian ia menyadari bahwa langkah pertama menuju impian yang sudah lama dirancang baru saja dimulai.
“Ini bukan waktu untuk ragu,” ia mengingatkan dirinya sendiri sambil meremas erat tas ransel yang terpakai sepanjang perjalanan. Semua yang ia bawa hanya beberapa helai pakaian, buku-buku pelajaran, dan harapan besar yang lebih berat daripada beban fisiknya.
Galendra langsung menuju alamat yang diberikan oleh guru pembimbingnya di sekolah sebelumnya, sebuah kos sederhana di daerah selatan kota, tempat ia akan tinggal selama melanjutkan sekolah di SMA. Ia sempat terkejut ketika mengetahui bahwa kos tersebut hanya terdiri dari kamar-kamar kecil yang sesak, dengan fasilitas seadanya. Namun, tidak ada pilihan lain. Ini adalah harga yang harus dibayar untuk mengejar pendidikan yang lebih baik.
“Selamat datang di kos! Semoga betah, ya!” sambut Pak Arif, pemilik kos yang sudah setengah tua dengan tubuh sedikit gemuk, tapi wajahnya selalu ceria. “Kamar kamu yang nomor lima, sebelah sana.”
Galendra hanya mengangguk dan berterima kasih. Ia berjalan menuju kamarnya, yang hanya cukup untuk meletakkan tempat tidur dan meja belajar kecil. Tak ada lemari pakaian, hanya beberapa gantungan yang ia gunakan untuk menggantung bajunya. Namun ia merasa, ini adalah langkah yang harus ia jalani untuk mencapai mimpinya.
Di malam pertama, ia duduk di pinggir tempat tidur, merenung. Di luar, suara hiruk-pikuk kota masih terdengar jelas meskipun sudah lewat tengah malam. Semuanya terasa begitu asing. Galendra merasa sedikit takut, tetapi rasa takut itu segera hilang saat ia mengingat kata-kata ibunya, yang selalu mengingatkannya untuk tak pernah menyerah.
“Aku harus kuat. Untuk ibu, untuk ayah, untuk masa depan…” pikirnya, sembari memejamkan mata.
Keesokan harinya, ia mengikuti orientasi di SMA yang sudah menantinya. Begitu memasuki gerbang sekolah, Galendra merasa terintimidasi oleh keramaian siswa yang sudah berkumpul di depan. Mereka tampak lebih modern, lebih terbiasa dengan segala hal yang ada di kota besar. Beberapa di antaranya mengenakan pakaian yang jauh lebih keren dibandingkan dengan pakaian yang dipakainya—seragam sekolah yang agak kusut dan sepatu yang mulai aus.
Namun, ia mencoba untuk tidak terlalu mempermasalahkan hal itu. Di dalam dirinya, ada dorongan kuat untuk membuktikan bahwa ia bisa sukses meski dari kondisi yang jauh berbeda.
Di kelas, ia bertemu dengan beberapa teman baru, salah satunya Beni, seorang siswa yang tampaknya lebih santai dan tidak terlalu memperhatikan perbedaan antara dirinya dan Galendra.
“Eh, lo dari mana? Kayaknya baru banget ya masuk sini?” tanya Beni, sambil melirik Galendra yang baru saja duduk di kursi.
“Dari desa. Baru pindah kemarin,” jawab Galendra dengan suara pelan.
Beni tertawa kecil. “Oh, desa ya? Gak apa-apa, kita semua juga dulu awalnya ngerasain hal yang sama kok. Gak usah terlalu dipikirin.”
Meski di luar Beni tampak santai, Galendra bisa merasakan kalau Beni sebenarnya cukup memperhatikan keadaan sekitarnya. Dia pasti tahu bagaimana rasanya menjadi anak yang ‘berbeda’ dari teman-temannya.
Hari-hari pertama di SMA berjalan penuh tantangan. Pelajaran di kota jauh lebih cepat dan sulit dibandingkan dengan yang pernah ia pelajari di desa. Tugas-tugas menumpuk, ujian tengah semester semakin dekat, dan Galendra merasa kesulitan mengikuti ritme kelas. Ia sering berlatih lebih lama setelah pulang sekolah, bahkan ketika kelelahan mulai menghampirinya.
Namun, masalah terbesar datang ketika ia mendapat kabar dari rumah. Ayahnya kembali jatuh sakit dan harus dirawat di rumah sakit. Rundari, ibunya, meneleponnya dengan suara panik dan menangis. Galendra tidak bisa menahan air matanya mendengar suara ibunya yang bergetar, memberitahunya bahwa biaya pengobatan Sarmaji semakin tinggi, dan mereka hampir tidak bisa lagi bertahan.
“Aku gak tahu harus gimana, Len. Ayah… dia terus batuk darah, dan biaya rumah sakit… kita gak punya uang lagi. Ibu juga mulai sakit karena terlalu capek,” suara ibunya terdengar putus asa.
Galendra terdiam sejenak, mencoba menenangkan diri sebelum akhirnya menjawab dengan suara keras. “Bu, aku akan cari cara. Aku akan terus sekolah, dan aku akan kirim uang, kok. Jangan khawatir.”
Di malam hari, saat kota mulai sunyi, Galendra merenung sendirian di kamarnya yang sempit. Ia tak tahu bagaimana cara mengatasi semua ini. Namun, satu hal yang ia tahu: ia harus terus melangkah. Mimpi untuk mengubah nasibnya dan keluarga tidak bisa berhenti di tengah jalan.
Ia memutuskan untuk ikut dalam beberapa lomba dan mencari peluang beasiswa. Setiap hari, sepulang sekolah, ia pergi mencari informasi tentang beasiswa di berbagai tempat, bahkan berbicara dengan beberapa orang yang mungkin bisa membantunya. Ketika ia kembali ke kos, lelah dengan segala upaya yang telah ia lakukan, ada rasa harapan yang perlahan tumbuh dalam dirinya.
“Jika aku bisa bertahan di sini, pasti ada jalan,” pikirnya, sambil menatap langit malam melalui jendela kecil kamarnya.
Mentari di Balik Jembatan
Malam itu, langit kota Malang tampak lebih terang dari biasanya. Bintang-bintang seolah menyaksikan setiap langkah Galendra menuju titik terpenting dalam hidupnya. Sebulan berlalu sejak ia merantau ke kota ini, dan meski banyak rintangan yang datang, ia tak menyerah. Ia selalu teringat pada janji yang ia buat pada ibunya—bahwa ia akan membawa mereka keluar dari kesulitan.
Hari-hari di SMA penuh dengan kegiatan ekstra, kompetisi, dan ujian yang hampir tidak ada habisnya. Galendra semakin menyadari bahwa ia harus lebih dari sekadar pintar; ia harus cerdas dalam memanfaatkan kesempatan. Satu per satu, ia mulai mengikuti lomba-lomba ilmiah dan olahraga, menggali peluang yang mungkin bisa mengubah nasibnya.
Suatu hari, kepala sekolah mengumumkan bahwa mereka akan mengadakan lomba penulisan esai tingkat provinsi. Galendra, yang selama ini merasa tertinggal dalam hal berbicara dan bergaul dengan teman-temannya, memutuskan untuk ikut serta. “Ini kesempatan,” pikirnya. “Jika aku menang, ini akan memberi harapan baru bagi keluarga.”
Malam-malamnya kini lebih sering dihabiskan di depan laptop tua yang ia pinjam dari sekolah. Ia menulis esai tentang pendidikan, tentang bagaimana seorang anak dari desa bisa meraih cita-cita besar. Setiap kata yang ia tulis, seakan ia menuliskan harapan untuk masa depan yang lebih cerah.
Pagi ketika pengumuman pemenang lomba esai itu datang, hati Galendra berdebar kencang. Di dalam kelas, teman-temannya berkumpul menunggu hasilnya. Wajah Beni yang selalu tampak santai pun kali ini terlihat tegang, seolah ia tahu bahwa persaingan dalam lomba ini sangat ketat.
“Nih, pemenangnya… Galendra!” suara guru membelah kesunyian ruangan.
Tak ada suara, hanya keheningan yang mencekam. Galendra terkejut, matanya terbelalak tak percaya. Selama ini, ia tak pernah merasa seberuntung ini. Tangan kirinya gemetar saat ia menerima sertifikat dan hadiah yang diberikan. Hatinya bergejolak, antara bangga dan terharu. Ini adalah titik baliknya.
Setelah lomba, berita tentang keberhasilan Galendra mulai tersebar. Beberapa hari kemudian, sebuah surat datang ke kosnya. Itu adalah undangan untuk menghadiri acara pemberian beasiswa dari sebuah yayasan pendidikan besar. Galendra tidak pernah menyangka bisa sampai di sini—sebuah beasiswa yang akan membantunya melanjutkan pendidikan ke universitas yang ia impikan. Semua kerja kerasnya membuahkan hasil. Namun, di balik kebahagiaannya, ada perasaan berat yang mengisi dadanya. Ayahnya masih belum sembuh total, dan biaya pengobatan masih membengkak.
Galendra memutuskan untuk tetap bekerja keras di sekolah, mengurus ayahnya yang semakin menua, dan tetap mengirimkan uang setiap bulan untuk membantu ibunya. Namun kali ini, ia sudah tidak lagi merasa sendirian. Ia merasakan dukungan yang nyata dari orang-orang di sekitarnya, terutama dari Beni yang mulai melihatnya dengan rasa hormat.
Suatu sore, setelah pengumuman bahwa ia diterima beasiswa di universitas impian, Galendra berdiri di atas jembatan di pinggir kota, menatap cakrawala yang luas. Angin sore berhembus lembut, membawa rasa lega yang telah lama ia nantikan. Di sana, ia berdiri mengingat segala perjuangan yang telah dilalui.
“Aku berhasil… untuk keluarga,” bisiknya pada dirinya sendiri.
Tidak ada jalan yang mudah menuju sukses. Setiap langkah penuh dengan keraguan, perjuangan, dan ketidakpastian. Namun, dengan tekad yang kuat dan hati yang tak pernah menyerah, Galendra akhirnya membuktikan bahwa sukses adalah hasil dari perjuangan tanpa henti. Dan meskipun perjalanan ini baru dimulai, ia tahu bahwa ini adalah awal dari sebuah babak baru yang lebih cerah, bukan hanya untuk dirinya, tetapi juga untuk ibunya, ayahnya, dan seluruh keluarga yang ia cintai.
Galendra akhirnya berhasil mewujudkan impian yang dulu hanya bisa ia bayangkan. Dan meski dunia masih penuh dengan tantangan, ia tahu satu hal: Mentari pasti akan terbit di balik setiap jembatan yang dilalui.
Tamat.
Kisah Galendra mengajarkan kita bahwa meskipun perjalanan menuju sukses tidaklah mudah, setiap langkah yang kita ambil dengan tekad dan kerja keras pasti akan membuahkan hasil. Tidak ada perjuangan yang sia-sia, apalagi ketika kita melakukannya untuk orang yang kita cintai dan masa depan yang lebih baik.
Sebagai generasi muda, kita semua punya kesempatan untuk meraih impian melalui pendidikan dan ketekunan. Jika Galendra bisa mengubah nasibnya dengan segala tantangan yang ada, kamu juga bisa! Jangan pernah berhenti berjuang, karena setiap usaha pasti akan menemukan jalannya. Terus maju, dan raihlah impianmu, karena masa depan cerah menanti mereka yang berani melangkah.