Daftar Isi
Perjodohan yang Berakhir Bahagia
Perjodohan yang Tak Diinginkan
Hari itu, Kirana merasa jantungnya berdegup lebih kencang dari biasanya. Ia duduk di ruang tamu rumahnya, menunggu kedatangan orang-orang yang selama ini hanya ia kenal sebagai teman dekat orang tuanya. Tidak ada yang spesial tentang pertemuan itu, setidaknya menurut Kirana. Satu-satunya hal yang membuatnya gelisah adalah desas-desus yang beredar di sekitar desa mengenai perjodohan yang direncanakan oleh kedua keluarga—keluarga Tunggul dan keluarga Gunawan.
Kirana, dengan wajah yang masih menunjukkan ketegangan, menarik napas dalam-dalam. Ia ingin sekali membantah, ingin sekali mengatakan bahwa ia tidak setuju. Namun, kata-kata itu terasa begitu sulit untuk keluar. Orang tuanya sudah berkomitmen, dan bagi mereka, ini adalah keputusan yang terbaik. Tapi bagi Kirana, ini seperti sebuah kejamaran yang datang tiba-tiba. Ia tidak mengenal siapa Putra, anak laki-laki dari keluarga Gunawan yang kini diharapkan akan menjadi pasangannya.
“Ibu, kenapa aku harus dijodohkan?” tanya Kirana, suaranya bergetar meskipun ia mencoba sekuat tenaga untuk tetap tenang.
Ibu Kirana, seorang wanita yang bijak dan penuh kasih, menatap anaknya dengan penuh pengertian. “Kirana, ini adalah tradisi keluarga kita. Keluarga Gunawan adalah teman baik kami, dan perjodohan ini hanya sebuah langkah untuk mempererat hubungan yang sudah terjalin lama. Kamu harus melihatnya dari sisi yang lebih luas.”
Kirana meremas gelas teh yang ada di tangannya, merasa seolah-olah dunia sedang tidak berpihak padanya. Ia sudah terbiasa menjalani hidup mandiri, mengejar mimpinya, dan bahkan mulai merencanakan kariernya sendiri. Namun, semuanya terasa runtuh dalam sekejap ketika ia mendengar keputusan ini. Tidak ada ruang untuk pilihan. Tidak ada ruang untuk pendapatnya.
Tiba-tiba, pintu depan terbuka, dan suara langkah kaki terdengar mendekat. Kirana menoleh dan melihat ibu dan ayahnya berdiri menyambut tamu. Dan di antara mereka, berdiri seorang pria tinggi, mengenakan batik coklat yang tampak pas di tubuhnya. Matanya tidak terlalu besar, tetapi ada sesuatu yang tenang di balik pandangannya. Sosok ini, Putra, adalah orang yang selama ini hanya ada dalam cerita, dan kini ia harus berhadapan langsung dengannya.
Putra tersenyum, meski senyum itu tidak mampu menghilangkan keraguan yang ada di dalam hati Kirana. Ia pun menyapa dengan sopan, meskipun nada suaranya sedikit kaku. “Selamat sore, Tante, Om.”
Kirana hanya bisa memberikan senyum tipis. “Selamat sore, Putra,” jawabnya pelan.
Keduanya duduk bersama di ruang tamu yang nyaman, dengan pemandangan halaman depan yang asri. Suasana semakin canggung karena percakapan tidak mengalir dengan lancar. Ibu Kirana berusaha mencairkan suasana. “Kirana, ini Putra, anak pertama dari keluarga Gunawan. Kami sudah berbicara banyak soal perjodohan ini, dan kami rasa ini adalah langkah terbaik.”
Kirana menatap Putra sebentar. Ia tidak tahu apa yang harus dikatakan. “Kamu… tinggal di mana, Putra?” tanya Kirana, mencoba membuka percakapan.
Putra yang duduk di hadapannya, terlihat sedikit lebih santai. “Aku tinggal di desa sebelah, di sana kami mengelola usaha tani keluarga. Aku lebih banyak mengurus kebun dan ladang, kadang juga membantu ayah dengan beberapa urusan bisnis.”
“Jadi kamu lebih sering di luar, ya?” Kirana melanjutkan, meskipun dia merasa percakapan ini tidak ada artinya. Rasanya seperti berbicara dengan seseorang yang sudah ditentukan tanpa ada kesempatan untuk memilih sendiri.
“Iya, memang,” jawab Putra. “Tapi aku lebih suka hidup seperti itu. Bekerja dengan tanah, mengelola semuanya. Aku merasa lebih tenang.”
Kirana hanya mengangguk. Ia tidak bisa membayangkan dirinya harus tinggal di lingkungan seperti itu. Ia sudah terbiasa dengan kesibukan kota, dengan kegiatan yang lebih dinamis. Membayangkan kehidupannya yang akan datang terasa begitu membosankan.
Setelah beberapa saat, percakapan mereka semakin terhenti. Kirana merasa seolah-olah ada jarak yang tak terjangkau di antara mereka. Putra memang baik, tidak bisa dipungkiri, tapi dia terlalu… serius. Seperti pria yang tidak tahu bagaimana cara menikmati hidup.
“Ibu, aku pikir aku akan ke kamar sebentar,” kata Kirana akhirnya, mencoba mencari alasan untuk keluar dari ruang yang semakin terasa sempit itu.
“Ya, sayang. Silakan,” jawab ibunya dengan suara lembut, tak ada tanda kekhawatiran sedikit pun.
Kirana pun berdiri dan meninggalkan ruang tamu. Ia berjalan ke kamarnya dengan langkah terburu-buru, mencoba menenangkan dirinya. Tidak ada kata-kata yang bisa mengungkapkan betapa bingung dan terkejutnya dirinya. Ia menatap cermin di sudut kamar, mencoba melihat wajahnya yang tak berdaya. “Kenapa harus seperti ini?” pikirnya dalam hati.
Namun, meskipun perasaan itu sangat mengganggu, Kirana tahu bahwa ia tidak bisa melawan semuanya. Ia harus menjalani proses ini, mengikuti apa yang sudah ditentukan. Tidak ada ruang untuk penolakan. Mungkin dalam beberapa hari, atau minggu, semuanya akan terasa lebih baik. Atau mungkin tidak.
Namun satu hal yang pasti, perjodohan ini adalah awal dari sebuah perjalanan panjang yang akan mengubah hidupnya selamanya.
Pertemuan yang Tak Terduga
Minggu pertama setelah pertemuan itu terasa begitu hampa bagi Kirana. Setiap kali ia bertemu dengan Putra, ada rasa canggung yang tak bisa dihindari. Mereka masih bertukar sapaan singkat dan obrolan formal yang terkesan dipaksakan. Kirana berusaha untuk menahan diri, tidak ingin terlihat terlalu jauh menahan perasaan, tapi semuanya terasa jauh lebih sulit dari yang ia bayangkan.
Hari itu, seperti biasa, keluarga Tunggul mengundang keluarga Gunawan untuk makan malam bersama. Kirana mendapati dirinya harus duduk berdampingan dengan Putra, yang sejak pertama kali mereka bertemu, tidak banyak berbicara. Ia menyadari bahwa pria itu tidaklah begitu terbuka, dan sepertinya dia juga tidak tertarik untuk mengenal lebih jauh tentang dirinya. Tapi entah mengapa, ada satu hal yang mengganggu pikirannya: wajahnya. Meski cenderung pendiam, ada sesuatu dalam cara Putra memandang dunia yang membuat Kirana merasa ada yang belum ia pahami.
Setelah makan malam yang penuh dengan percakapan ringan dan tawa orang tua mereka, Kirana dan Putra berada di luar rumah, di bawah cahaya temaram dari lampu taman. Hembusan angin malam terasa menyejukkan, tapi canggungnya suasana tetap menguar.
Putra menoleh ke Kirana yang berdiri di dekat pagar, matanya seolah mencari sesuatu yang tidak terlihat. “Kirana,” katanya, suaranya pelan. “Kamu… tidak nyaman, ya, dengan semua ini?”
Kirana terkejut mendengar pertanyaan itu. “Apa maksud kamu?”
“Perjodohan ini, aku tahu. Aku juga merasa… ini bukan yang kita inginkan, bukan?” Putra melanjutkan, sedikit terbata. “Aku bisa merasakannya. Mungkin kita merasa terjebak dalam sesuatu yang besar, sesuatu yang tidak bisa kita kontrol.”
Kirana tidak tahu harus menjawab apa. Ia mengangguk pelan, menatap jalan setapak yang diterangi cahaya bulan. “Iya, aku juga merasa begitu. Aku tidak tahu kenapa semuanya terasa begitu cepat. Aku tidak pernah membayangkan akan berada di posisi seperti ini.”
Putra diam sejenak, lalu berjalan mendekat dan berdiri di sampingnya. “Aku juga tidak pernah membayangkannya. Tapi, meskipun begitu, aku pikir kita harus mencoba untuk memahaminya. Bukankah ini yang terbaik, meski kita tidak sepenuhnya setuju?”
Kirana menoleh padanya, masih mencari-cari arti dari kata-kata Putra. “Coba? Apa yang kamu maksud dengan mencoba?”
Putra mengangkat bahu ringan, ada kesan kebingungannya sendiri. “Maksudku, kita tidak tahu apa yang akan terjadi. Mungkin saja perasaan kita berubah seiring waktu. Aku hanya ingin kita mencoba melihat satu sama lain dengan cara yang berbeda.”
Kirana terdiam, berusaha menimbang-nimbang kata-kata Putra. Ia sudah begitu terfokus pada kenyataan bahwa perjodohan ini tidak sesuai dengan pilihannya, bahwa ia melupakan hal yang lebih penting: apakah perasaan itu bisa berkembang? Apakah mungkin cinta akan tumbuh meskipun tidak ada hasrat awal yang menyertainya?
Suasana menjadi hening beberapa saat, hanya terdengar suara angin yang berbisik melalui daun-daun pohon di sekitar mereka. Kirana merasa agak lega, meskipun pertanyaan-pertanyaan dalam dirinya belum terjawab.
“Aku masih merasa ragu,” Kirana akhirnya mengungkapkan. “Ragu dengan semua ini, dengan keputusan yang sudah diambil.”
Putra menatapnya dengan tatapan yang tenang, tidak memaksa, hanya memberi ruang bagi Kirana untuk berbicara. “Aku juga merasa seperti itu. Tapi aku percaya, kalau kita bisa saling mengenal, saling berbicara lebih banyak, mungkin saja perasaan ini akan berubah. Perjodohan ini mungkin hanya langkah pertama, tapi kita punya banyak waktu untuk menemukan jawabannya.”
Kirana menghela napas panjang. Ia merasa sedikit lebih ringan setelah berbicara dengan Putra. Tidak ada jaminan bahwa ini akan berakhir dengan kebahagiaan, namun ada satu hal yang bisa ia rasakan: sebuah kesempatan untuk memulai dari titik yang berbeda.
Selama minggu-minggu berikutnya, keduanya mulai lebih banyak berbincang. Tidak ada perasaan cinta yang langsung muncul, namun setiap percakapan mereka sedikit demi sedikit mengikis rasa canggung yang dulu ada. Kirana mulai mengenal lebih banyak tentang Putra, tentang pekerjaannya yang penuh dedikasi, dan bagaimana dia menjaga keseimbangan antara kehidupan pribadi dan tanggung jawab terhadap keluarga. Putra, di sisi lain, mulai terkesan dengan cara Kirana berpikir, ketegasan dan kecerdasannya dalam melihat dunia.
Suatu pagi, saat mereka bersama-sama berjalan menyusuri kebun keluarga Gunawan, Kirana merasa ada sesuatu yang berbeda. Putra yang biasanya pendiam kini terlihat lebih santai, dan mereka mulai berbicara tentang hal-hal yang lebih personal. Mereka tertawa bersama, membahas hal-hal kecil yang sebelumnya tak pernah mereka perhatikan. Kirana merasa nyaman, sesuatu yang mulai ia rasakan untuk pertama kalinya.
“Aku tidak tahu kalau bekerja di kebun bisa seseru ini,” kata Kirana sambil melihat ke arah barisan tanaman yang rapi. “Kamu punya cara yang unik dalam merawat tanaman, Putra.”
Putra tersenyum, wajahnya yang serius kini terlihat lebih lembut. “Aku belajar banyak dari ayah. Dia selalu bilang, tanaman itu seperti hubungan manusia. Butuh perhatian dan waktu untuk tumbuh.”
Kirana menatap Putra, kali ini dengan pandangan yang lebih terbuka. “Kamu tahu, itu terdengar seperti nasihat yang bagus.”
Putra mengangguk. “Kadang, kita hanya perlu memberi waktu untuk sesuatu tumbuh dengan sendirinya. Seperti halnya kita.”
Percakapan sederhana itu membuat Kirana mulai berpikir ulang. Mungkin memang ada sesuatu yang bisa tumbuh antara mereka, meskipun dia tak bisa menjamin kapan itu akan terjadi. Tetapi untuk pertama kalinya, Kirana merasa ada sebuah titik terang di ujung jalan yang tampaknya semakin jelas.
Hari itu, di antara kebun yang penuh dengan harapan dan tanah yang subur, Kirana dan Putra mulai meniti langkah mereka, langkah-langkah kecil menuju pemahaman yang lebih dalam. Dan meskipun mereka belum tahu bagaimana cerita ini akan berakhir, keduanya tahu bahwa mereka akan mencobanya.
Langkah Menuju Pemahaman
Hari demi hari berlalu, dan setiap langkah yang mereka ambil membawa Kirana dan Putra lebih dekat satu sama lain, meskipun tidak ada janji cinta yang tercipta dengan cepat. Mereka mulai memahami bahwa proses perjodohan ini bukanlah sesuatu yang bisa dipaksakan dalam sekejap. Namun, keduanya sepakat bahwa perasaan yang berkembang secara alami jauh lebih bernilai dibandingkan apa pun yang terpaksa terjadi.
Minggu berikutnya, mereka kembali bertemu, kali ini di rumah Kirana. Pagi itu, sinar matahari menyinari halaman rumah dengan lembut, dan suasana terasa begitu tenang. Putra datang untuk menjemput Kirana, seperti yang telah mereka sepakati sebelumnya, untuk membantu orang tuanya mengatur acara tradisi desa yang diadakan setiap tahun. Meskipun mereka belum benar-benar merasa seperti pasangan, namun mereka tahu bahwa inilah kesempatan untuk lebih mengenal satu sama lain.
Kirana yang baru selesai sarapan, mengenakan kebaya biru muda, dan rambutnya disanggul rapi. Di luar, Putra menunggu di bawah pohon beringin yang rindang, duduk dengan santai di atas kursi kayu. Meski tidak mengucapkan banyak kata, ada sesuatu dalam sikap Putra yang menunjukkan kenyamanan, seolah-olah dia telah menerima kenyataan perjodohan ini dengan lapang dada.
Kirana keluar dari rumah dan menghampirinya, dan tanpa banyak bicara, Putra berdiri dan membuka pintu mobil. “Selamat pagi, Kirana. Apa kabar hari ini?” tanyanya dengan senyum tipis, wajahnya tampak lebih cerah dari biasanya.
“Pagi, Putra. Baik-baik saja. Siap untuk hari yang panjang?” jawab Kirana, sedikit lebih santai dari sebelumnya.
Putra mengangguk. “Aku sudah siap, kok. Kita akan mengurus banyak hal, kan?”
Kirana mengangguk, dan mereka berdua melanjutkan perjalanan menuju desa tempat acara itu diadakan. Sepanjang perjalanan, mereka berbicara lebih banyak dari biasanya, membahas berbagai topik ringan, mulai dari makanan kesukaan mereka hingga hobi yang dimiliki masing-masing. Kirana mulai merasa lebih nyaman, tidak ada lagi rasa canggung yang mengganggu percakapan mereka.
Setibanya di lokasi acara, suasana desa terasa begitu meriah. Orang-orang berkumpul di sekitar lapangan terbuka, mempersiapkan segala sesuatu untuk upacara adat yang akan segera dimulai. Tenda-tenda warna-warni telah didirikan, dan aroma makanan khas desa menguar ke udara.
Putra dan Kirana bergabung dengan keluarga masing-masing, membantu mempersiapkan perlengkapan untuk acara tersebut. Meskipun mereka sibuk bekerja, ada sesuatu yang menyenangkan dalam kebersamaan itu. Mereka tidak lagi merasa asing satu sama lain. Ada rasa kebersamaan yang lebih alami, meskipun hubungan mereka masih terasa dalam tahap perkenalan.
Di tengah kesibukan, Kirana dan Putra berdiri bersama di bawah tenda yang dipenuhi dengan alat-alat tradisional. Kirana memperhatikan wajah Putra yang terlihat serius saat sedang membantu menyiapkan alat musik untuk acara tersebut. Ia tertawa pelan, melihat bagaimana Putra yang biasanya pendiam kini begitu fokus pada pekerjaannya.
“Kamu benar-benar serius, ya, dengan semuanya,” kata Kirana, mencoba mencairkan suasana.
Putra menoleh, lalu tersenyum tipis. “Ada banyak hal yang perlu diurus. Kalau tidak serius, siapa lagi yang akan melakukannya?”
Kirana tertawa kecil. “Aku tidak tahu kalau kamu begitu suka urusan seperti ini. Mungkin selama ini aku terlalu cepat menilai.”
Putra mengangkat bahu, tetap tersenyum. “Kadang, kita memang harus diberi kesempatan untuk menunjukkan siapa kita sebenarnya.”
Kirana terdiam sejenak, kalimat Putra mengingatkannya pada sesuatu yang penting: dia sendiri sering kali terburu-buru menilai orang lain. Mungkin ini saatnya untuk memberi kesempatan pada dirinya sendiri untuk lebih terbuka, mencoba melihat lebih dalam ke dalam sosok Putra yang selama ini hanya ia anggap sebagai orang yang tidak bisa dia pilih.
Saat acara dimulai, seluruh desa berkumpul di tengah lapangan untuk menyaksikan prosesi adat yang berlangsung khidmat. Kirana dan Putra berdiri berdampingan, melihat orang tua mereka berinteraksi dengan masyarakat setempat, berbincang dengan penuh kebanggaan atas tradisi yang telah dijaga turun temurun.
Di tengah keramaian itu, Putra melihat Kirana yang tampak lebih rileks dari biasanya. “Kirana, aku tidak tahu apakah ini akan menjadi mudah atau sulit, tapi aku merasa kita sudah melewati banyak hal bersama, meskipun hanya dalam waktu yang singkat,” ujar Putra dengan nada yang lebih serius.
Kirana menatapnya, dan untuk pertama kalinya dalam beberapa waktu terakhir, ia merasakan sesuatu yang lebih dalam dari sekadar kewajiban. Ia merasa ada sesuatu yang mulai tumbuh dalam hatinya, meskipun ia belum bisa menyebutnya sebagai cinta. “Aku merasa seperti itu juga,” jawabnya pelan, mata mereka bertemu sejenak. “Tapi kita masih punya banyak waktu, kan?”
Putra mengangguk. “Aku tidak terburu-buru. Jika ada satu hal yang aku pelajari selama ini, itu adalah kita tidak bisa memaksakan perasaan.”
Mereka terus berdiri di sana, menikmati keheningan yang tiba-tiba terasa nyaman. Beberapa waktu kemudian, upacara selesai dan seluruh desa mulai bergerak menuju tenda utama untuk makan bersama. Kirana dan Putra ikut bergabung, menikmati hidangan yang disiapkan dengan penuh kasih oleh warga desa.
Malam itu, ketika suasana mulai tenang dan orang-orang mulai beranjak pulang, Kirana merasakan sesuatu yang berbeda dalam dirinya. Meskipun hubungan mereka masih jauh dari sempurna, ia merasa ada koneksi yang lebih dalam dari sebelumnya. Putra, yang dulu hanya seorang pria asing dalam hidupnya, kini menjadi seseorang yang perlahan ia hargai. Tanpa disadari, hatinya mulai membuka, memberi ruang bagi perasaan yang belum ia ketahui sebelumnya.
Kirana dan Putra berjalan bersama menuju mobil, suasana malam yang sejuk membuat mereka merasa lebih dekat. Putra tersenyum kecil. “Terima kasih sudah menemani hari ini, Kirana. Aku senang kita bisa berbicara lebih banyak.”
Kirana mengangguk, senyum lembut menghiasi wajahnya. “Aku juga senang bisa lebih mengenal kamu, Putra.”
Malam itu, mereka pulang dengan perasaan yang lebih ringan. Meskipun tidak ada kata-kata romantis yang keluar, Kirana merasa ada harapan yang tumbuh dalam hatinya. Mungkin, hanya mungkin, ada sesuatu yang lebih indah yang sedang menanti mereka berdua.
Cinta yang Tumbuh di Tengah Tradisi
Minggu-minggu berlalu dengan cepat, dan kedekatan antara Kirana dan Putra semakin jelas terasa. Mereka tidak lagi sekadar dua orang yang terikat oleh perjodohan yang tak diinginkan, melainkan dua individu yang mulai berbagi tawa, cerita, dan keinginan mereka. Seiring berjalannya waktu, rasa canggung yang dulu ada antara mereka perlahan memudar, digantikan oleh rasa saling menghargai dan pengertian yang lebih mendalam.
Kirana mulai merasakan perubahan dalam dirinya, sesuatu yang belum pernah ia duga sebelumnya. Ia yang awalnya menutup hati terhadap Putra, kini merasakan ada sesuatu yang mengisi ruang kosong dalam dirinya. Ada kenyamanan dalam kebersamaan mereka, ada kehangatan dalam setiap percakapan yang tidak terburu-buru. Meskipun mereka belum pernah mengucapkan kata cinta, namun perasaan itu perlahan mulai tumbuh.
Suatu sore, ketika keduanya duduk bersama di taman rumah Kirana setelah seharian bekerja, Putra memecah keheningan. “Kirana,” katanya dengan suara yang lebih lembut dari biasanya, “aku ingin mengucapkan terima kasih. Untuk semua waktu yang sudah kamu beri. Aku merasa kita telah berjalan jauh, meskipun perjalanan kita baru dimulai.”
Kirana menoleh padanya, terkejut dengan ungkapan itu. “Apa maksud kamu, Putra?” tanya Kirana, sedikit bingung tapi juga penasaran.
Putra tersenyum tipis, senyum yang kali ini penuh dengan ketulusan. “Maksudku, aku tahu kita tidak bisa memaksakan perasaan. Tapi, aku merasa lebih baik setiap kali kita bersama. Aku mulai menghargai lebih banyak hal, mulai dari cara kamu berpikir, cara kamu melihat dunia… Aku rasa aku mulai mengerti lebih banyak tentang dirimu.”
Kirana terdiam, kata-kata Putra menyentuh hatinya lebih dari yang ia duga. Dalam sekejap, semua keraguan yang dulu menghantui pikirannya seakan menghilang. Ia menyadari bahwa, meskipun tidak ada cinta yang datang begitu saja, ada banyak hal yang bisa tumbuh di antara mereka.
“Aku juga merasakannya,” jawab Kirana pelan, matanya tak lepas dari wajah Putra yang tampak serius. “Aku… aku mulai merasa nyaman dengan kamu. Awalnya aku tidak tahu apa yang harus aku rasakan, tapi semakin lama aku mengenalmu, aku merasa ada sesuatu yang lebih dari sekadar perjodohan ini.”
Putra mengangguk pelan, tidak terburu-buru untuk mengucapkan kata-kata berikutnya. Mereka berdua hanya duduk bersama, menikmati keheningan yang penuh makna, seolah dunia di sekitar mereka berhenti sejenak. Tanpa kata-kata, mereka saling memahami bahwa ada sesuatu yang tumbuh di antara mereka, sebuah perasaan yang mungkin tidak langsung hadir, tapi cukup kuat untuk memberi mereka harapan.
Beberapa hari setelah percakapan itu, Putra mengajak Kirana untuk berjalan-jalan ke sebuah tempat yang sederhana, sebuah taman di tepi desa. Itu adalah tempat yang sering dikunjungi oleh orang-orang yang ingin melarikan diri sejenak dari hiruk-pikuk kehidupan. Mereka berjalan menyusuri jalan setapak yang dikelilingi pepohonan rindang, sesekali berbincang tentang hal-hal kecil yang tidak mereka perhatikan sebelumnya. Kirana merasa tenang di samping Putra, sebuah kedamaian yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.
Ketika mereka berhenti di sebuah bangku yang terletak di dekat danau kecil, Putra akhirnya berkata, “Kirana, aku tahu ini bukan perjalanan yang mudah. Tapi aku ingin kamu tahu bahwa aku menghargai setiap langkah yang kita ambil bersama. Aku mulai melihatmu bukan sebagai seseorang yang dijodohkan dengan aku, tapi sebagai seseorang yang aku kenal, yang aku hargai.”
Kirana tersenyum, matanya berkilau dengan rasa bahagia yang tidak bisa disembunyikan. “Aku juga mulai merasa seperti itu, Putra. Aku tidak tahu kapan tepatnya perasaan ini berubah, tapi aku bisa merasakannya sekarang. Aku menghargai kamu juga, lebih dari yang aku kira.”
Mereka saling memandang, dan untuk pertama kalinya dalam hubungan mereka, ada sesuatu yang lebih dalam dari sekadar kebersamaan. Ada perasaan yang mulai tumbuh, sebuah cinta yang tidak dipaksakan, tapi berkembang secara alami. Tidak ada kata-kata berlebihan, hanya kenyataan bahwa keduanya kini saling menghargai dan mulai mencintai satu sama lain.
Malam itu, ketika mereka kembali ke rumah, Putra membawa Kirana ke halaman rumahnya, tempat di mana orang tua mereka sudah menunggu untuk membicarakan rencana pernikahan yang telah lama dipersiapkan. Namun, ada sesuatu yang berbeda malam ini. Putra menatap Kirana dengan penuh keyakinan, dan dengan lembut ia memegang tangannya.
“Kirana,” katanya, suara yang lebih penuh perasaan kali ini, “aku ingin melangkah lebih jauh denganmu, jika kamu juga siap. Aku tidak ingin kita hanya terikat oleh tradisi, tapi karena kita memang saling memilih.”
Kirana terdiam, hatinya berdebar-debar, tapi kali ini bukan karena rasa cemas. Ia merasakan ketenangan yang aneh, ketenangan yang mengalir begitu alami di dalam dirinya. “Aku siap, Putra. Aku juga ingin melangkah lebih jauh bersama kamu,” jawabnya, suaranya penuh keyakinan.
Dan di bawah langit malam yang cerah, di antara keluarga dan teman-teman yang telah menyaksikan perjalanan panjang ini, Kirana dan Putra akhirnya mengambil langkah besar dalam hidup mereka. Mereka tidak hanya melangkah ke pernikahan yang telah direncanakan, tetapi juga menuju sebuah kehidupan bersama yang mereka pilih, bukan karena kewajiban, melainkan karena cinta yang telah tumbuh seiring waktu.
Di tengah tradisi yang mereka jaga, cinta yang tulus mulai mekar, dan kedua hati ini tahu bahwa mereka akan menjalani sisa hidup mereka dengan penuh harapan dan kebahagiaan. Mungkin perjodohan itu dimulai tanpa cinta, namun akhirnya, cinta itu sendiri yang menemukan jalan untuk mereka.
Perjalanan Kirana dan Putra membuktikan bahwa cinta bukanlah sesuatu yang bisa dipaksakan, melainkan sesuatu yang tumbuh dengan seiring waktu dan pemahaman. Dari perjodohan yang dimulai tanpa cinta, mereka berhasil menemukan kebahagiaan sejati dengan saling mengenal dan memberi ruang untuk perasaan berkembang.
Jadi, jangan pernah ragu untuk memberi kesempatan pada perasaan, karena siapa tahu, cinta yang tulus bisa hadir dari hal-hal yang tak terduga. Semoga kisah mereka menginspirasi kamu untuk selalu percaya bahwa cinta sejati bisa datang kapan saja, bahkan dari tempat yang paling tak terduga!