Daftar Isi
Kamu pernah merasa terjebak dalam keputusan besar yang dibuat orang lain untukmu? Gak cuma soal pekerjaan, tapi juga soal siapa yang harus kamu nikahi? Kalau iya, cerpen “Perjodohan Jadi Cinta” bakal bikin kamu mikir ulang tentang arti cinta sejati.
Kisah antara Ares dan Aelita ini nggak hanya soal perjodohan yang dipaksakan, tapi juga tentang bagaimana mereka menemukan kebahagiaan dan cinta setelah berjuang bersama. Yuk, ikuti perjalanan mereka yang penuh drama, keputusan besar, dan akhirnya menemukan kebahagiaan yang ternyata bisa datang dari tempat yang nggak terduga!
Perjodohan Jadi Cinta
Makan Malam Tanpa Selera
Restoran Amaretti di jantung kawasan Senopati malam itu tak lebih dari panggung pertunjukan keluarga kaya—kursi empuk beludru marun, lilin-lilin ramping di atas meja marmer, dan pelayan yang berjalan seperti sedang menyelinap di atas panggung opera. Tapi di salah satu ruangan privat dengan dinding kaca setengah buram, dua keluarga tengah duduk berhadapan, menyusun masa depan dengan suara lembut yang menyimpan tekanan.
Ares Mahendra duduk diam, menyentuh gelas anggurnya tanpa benar-benar menyesap. Matanya fokus ke pola-pola abstrak pada taplak meja, mencoba mengalihkan diri dari kenyataan bahwa malam itu bukan sekadar jamuan keluarga.
Di seberangnya, Aelita Wijaya sedang mengaduk-aduk salad dengan garpu seolah mencari jawaban di antara daun selada dan keju parmesan. Ia datang dengan dress hitam sederhana dan blazer putih yang menggambarkan kesan tegas, tapi matanya menyimpan rasa curiga yang belum menemukan bentuk.
“Ares, Aelita,” Dimas Mahendra membuka pembicaraan sambil tersenyum penuh arti. “Kalian berdua pasti sudah tahu kenapa kita semua ada di sini malam ini.”
Arya Wijaya, ayah Aelita, langsung menimpali. “Kami sudah bicara dengan Dimas dan Ratna cukup lama. Kerja sama bisnis kita udah berjalan luar biasa. Tapi kita semua sepakat, akan jauh lebih baik kalau dua keluarga ini bisa jadi satu.”
Kalimat itu menggantung seperti asap dupa yang tak pernah benar-benar hilang. Pelayan datang membawa menu utama, tapi tak satu pun tangan bergerak mengambil garpu.
Ares menoleh pelan ke arah Aelita. Mata mereka bertemu untuk pertama kali, tapi tak ada percikan apa pun selain keengganan yang sulit disembunyikan.
“Jadi… kalian pengin aku dan dia… nikah?” suara Aelita terdengar datar, tapi tajam. Ia menatap ke arah ayahnya, lalu ke Dimas.
“Bukan pengin,” jawab Ratna, ibu Ares, dengan suara yang terdengar seperti nada bujukan. “Tapi ini adalah langkah baik buat masa depan kalian berdua. Kalian dewasa, sukses, dan dari keluarga yang sudah saling percaya. Apa yang salah?”
Aelita tertawa kecil, tapi tanpa tawa. “Apa yang salah? Mungkin karena aku bahkan belum tahu suara dia kayak gimana. Atau fakta kalau kalian semua baru bilang soal ini tadi pagi.”
Ares menurunkan garpunya dan akhirnya bicara. “Aku juga baru tahu tadi pagi. Jadi ya… kita sama-sama dikagetin, kayaknya.”
Mendengar itu, Aelita menyandarkan tubuhnya ke kursi, menyilangkan tangan. “Kamu nggak kelihatan kaget sama sekali.”
“Aku emang nggak terlalu suka menunjukkan ekspresi,” jawab Ares pelan.
Arya menepuk-nepuk tangan putrinya. “Nak, ini bukan paksaan. Ini cuma… usulan dari orang tua yang tahu betul apa yang terbaik buat anak-anaknya.”
“Usulan yang dibungkus dalam bentuk makan malam mewah dan tatapan penuh harap, ya?” sindir Aelita. Ia bangkit dari kursi, tapi belum benar-benar pergi.
Dimas Mahendra mencoba menenangkan. “Aelita, sayang… dengar dulu. Kita tahu ini mendadak. Tapi kita nggak minta kalian nikah minggu depan. Cuma… kenalan dulu. Ketemu. Ngobrol. Lihat apakah mungkin hubungan ini jalan.”
Aelita menatap Ares sekali lagi, seolah mencoba membaca isi kepalanya. Tapi Ares tetap sama seperti saat pertama duduk—tenang, terlalu tenang. Ia tidak menolak, tidak juga menyambut.
“Kamu diem aja dari tadi,” ucap Aelita, kali ini lebih pelan. “Apa kamu setuju dengan ini semua?”
Ares mengangkat bahu. “Aku nggak terbiasa ikut campur keputusan orang tua. Tapi kalau kamu nanya apakah aku mau nikah sama orang asing… ya, tentu aja enggak.”
Jawaban itu membuat suasana tambah dingin. Tapi anehnya, Aelita justru tersenyum tipis.
“Setidaknya kita sepakat soal itu.”
Setelah makan malam selesai, mereka berdua berdiri berdampingan di lobi restoran. Keluarga masing-masing sudah naik ke mobil, memberi mereka waktu ‘berdua’ yang lebih terasa seperti bagian dari strategi.
“Denger-denger kamu arsitek ya?” tanya Aelita, memecah keheningan.
“Iya. Baru balik dari London tahun lalu.”
“Hebat. Aku kira kamu bakal jadi pengacara atau anak finance kayak kebanyakan pria dari keluarga tajir.”
Ares memasukkan tangan ke saku celananya. “Aku lebih suka bangun bangunan daripada argumen.”
Aelita mengangguk pelan. “Cocok sih. Kamu kayaknya tipe yang kalo debat milih diem daripada menang.”
“Mungkin,” jawab Ares singkat.
Hening lagi. Lalu Aelita menarik napas.
“Kalau mereka nyuruh kita ketemu lagi, kamu bakal datang?”
Ares memandang lurus ke depan, lalu menjawab tanpa menoleh. “Aku bakal datang. Tapi bukan karena mereka. Aku cuma penasaran, kira-kira cewek sekeras kamu bisa berubah jadi partner bisnis yang menarik atau nggak.”
Aelita menoleh, matanya menyipit. “Partner bisnis?”
“Ya. Ini kan semua awalnya tentang bisnis, kan?” Ares menoleh dan menatapnya langsung. “Kalau ternyata kamu lebih dari itu, ya… kita lihat nanti.”
Mobil hitam berhenti di depan mereka. Sopir membuka pintu untuk Aelita. Sebelum masuk, ia berkata pelan tapi jelas.
“Kamu tahu? Aku juga penasaran, apakah pria se dingin kamu punya sisi manusiawi atau cuma penuh logika.”
Pintu mobil tertutup. Ares tetap berdiri di situ, memperhatikan mobil itu menjauh ke jalan yang basah oleh gerimis malam.
Dan entah kenapa, untuk pertama kalinya, malam itu terasa sedikit… rumit.
Dingin yang Tak Bisa Dibicarakan
Beberapa minggu setelah makan malam yang penuh ketegangan itu, kehidupan Ares dan Aelita kembali berlanjut seperti biasa—meskipun ada satu perbedaan. Keduanya mulai menghabiskan lebih banyak waktu bersama. Bukan karena mereka ingin, melainkan karena orang tua mereka yang terus-menerus mengatur pertemuan dengan alasan “mempererat hubungan”.
Pagi itu, Ares duduk di salah satu kafe di kawasan SCBD, menunggu Aelita yang baru saja memberitahunya lewat pesan singkat bahwa ia akan datang terlambat. Ares tidak mengeluh. Justru, ia merasa nyaman dengan keterlambatan Aelita yang hampir selalu datang tepat di saat-saat ia sudah menyelesaikan secangkir kopi hitam dan sepotong croissant. Aelita adalah tipe orang yang datang dengan langkah cepat dan ekspresi serius, seolah dunia sedang menunggunya untuk segera bergerak.
Aelita masuk dengan jaket kulit hitam dan tas selempang besar. Ia melihat Ares yang sudah duduk di meja pojok, tak berubah sedikit pun—tenang, serius, dan tak banyak bicara. Mereka berdua sudah melalui beberapa pertemuan seperti ini, yang selalu berakhir dengan percakapan yang kaku dan membosankan.
“Aku kira kamu sudah pergi,” ujar Aelita dengan nada acuh, sambil duduk di hadapannya.
“Aku tahu kamu bakal terlambat,” jawab Ares dengan senyum tipis, namun tidak ada kehangatan dalam tatapannya. “Kau bisa duduk.”
Aelita membuang pandangannya ke luar jendela. Sejak pertemuan pertama mereka, ia merasa setiap kali berada di dekat Ares, ada jarak yang tak bisa dijembatani. Tidak ada percakapan ringan yang bisa mengalir begitu saja. Ada semacam dinding tak terlihat di antara mereka.
Pelayan datang dan menyajikan pesanan mereka. Kopi hitam untuk Ares, dan chai latte untuk Aelita. Aelita mengaduk minumannya, menatap Ares yang sudah menghabiskan separuh kopinya tanpa kata-kata.
“Aku tahu kamu nggak suka perjodohan ini,” Aelita memulai, suara rendah namun tegas.
Ares mengangkat alis, tidak terkejut. “Kamu juga nggak suka, kan?”
Aelita tersenyum tanpa humor. “Memangnya siapa yang suka kalau dipaksa seperti ini? Tapi aku rasa, kita nggak punya pilihan. Jadi, kita jalanin aja.”
“Jalanin aja?” Ares tertawa pelan, namun tidak sepenuhnya terhibur. “Aku nggak yakin itu cara yang tepat.”
Mereka terdiam sejenak. Kedua tangan Aelita terlipat di atas meja, sedangkan Ares hanya menyentuh cangkirnya dengan lembut. Lalu, Aelita mengalihkan pandangannya ke luar jendela lagi, seolah mencari jawaban di balik hiruk pikuk kota yang tidak pernah berhenti.
“Kamu tahu, aku bisa mengerti kenapa orang tua kita ingin kita menikah,” ujar Aelita akhirnya, suaranya lebih tenang daripada sebelumnya. “Mereka punya alasan untuk itu. Keluarga kita sudah dekat, dan kita saling melengkapi dalam bisnis. Tapi aku tidak mau menikah hanya karena alasan itu.”
“Aku juga nggak mau,” Ares menjawab cepat, tanpa ragu. “Aku nggak mau menikah cuma karena ini ‘tugas’. Kalau memang kita harus melakukannya, itu karena ada alasan yang lebih kuat. Bukan hanya karena mereka ingin kita melakukannya.”
Aelita menatapnya tajam. “Jadi, apa yang kamu inginkan? Apa yang bisa membuatmu merasa ini bukan sekadar kewajiban?”
Ares terdiam. Ia memandang kosong ke luar jendela. “Aku ingin sesuatu yang… nyata. Sesuatu yang nggak dibuat-buat.”
Aelita mengangkat bahu. “Kamu pikir aku ini apa? Apakah kamu melihatku hanya sebagai… tugas, Ares?”
“Bukan begitu,” jawab Ares dengan suara lebih dalam, lebih serius. “Aku cuma merasa kita… terjebak dalam peran yang orang tua kita buat. Aku nggak tahu bagaimana bisa merasa nyaman dengan semua ini. Ini bukan soal kamu atau aku. Ini soal ekspektasi.”
Aelita menarik napas panjang. “Aku tahu apa yang kamu rasakan. Aku nggak pernah merasa bebas di sini, di keluarga ini. Setiap langkahku selalu ada yang menilai, ada yang memantau. Entah ayah, entah ibu, atau bahkan orang-orang di luar sana. Kadang aku merasa seperti boneka yang cuma bisa ikut aturan mereka.”
Ares menatapnya lebih dalam. Meskipun suaranya dingin dan sikapnya tegas, ada sesuatu dalam kata-katanya yang membuat Aelita merasa lebih terhubung dengannya.
“Kita nggak bisa lari dari ini, Aelita,” kata Ares perlahan. “Tapi aku nggak akan memperlakukanmu seperti boneka. Aku nggak suka kalau orang dipaksa jadi sesuatu yang mereka nggak inginkan. Dan aku juga nggak suka berada di dalam perjodohan yang dipaksakan.”
Aelita menatapnya sejenak, kemudian tersenyum tipis. “Jadi, apa yang kamu inginkan? Apakah kita harus terus duduk di sini, saling bicara tentang betapa nggak nyamannya kita berdua?”
Ares menggelengkan kepala. “Aku ingin kita coba melihat satu sama lain, bukan sebagai perjodohan atau sebagai orang yang terpaksa bekerja sama. Aku ingin kita berdua bisa mengenal satu sama lain tanpa tekanan. Jika kita bisa melakukan itu, baru kita bisa bicara tentang apa yang sebenarnya kita inginkan.”
Aelita memandang Ares dengan tatapan yang lebih lembut. Meskipun mereka berdua masih merasa canggung, ada benih-benih pengertian yang mulai tumbuh di antara mereka. Mungkin, hanya mungkin, mereka bisa menemukan cara untuk menatap masa depan yang tidak sepenuhnya dikendalikan oleh orang tua mereka.
“Aku nggak tahu apakah ini akan berhasil,” kata Aelita pelan. “Tapi aku akan coba. Hanya jika kamu janji untuk nggak membuatku merasa seperti bagian dari permainan yang orang tua kita buat.”
“Aku janji,” jawab Ares dengan tegas.
Dan untuk pertama kalinya sejak pertemuan mereka, Aelita merasa sedikit lebih tenang. Mungkin ini bukan perjodohan yang sempurna, tapi setidaknya ada percikan harapan di balik kata-kata yang baru saja mereka ucapkan.
Mereka berdua duduk diam, menikmati secangkir kopi dan teh dalam keheningan yang tidak lagi terasa begitu canggung. Mungkin ini adalah awal dari sesuatu yang tak terduga—atau mungkin ini hanya awal dari perjalanan panjang yang masih penuh dengan ketidakpastian.
Namun, satu hal yang pasti: mereka tidak lagi merasa terjebak dalam permainan orang tua mereka.
Hujan di Ubud, Luka yang Sama
Perjalanan bisnis mereka ke Bali sudah direncanakan sejak lama, namun baru kali ini Ares dan Aelita merasakannya sebagai hal yang lebih dari sekadar formalitas. Semua orang tua mereka sudah lebih dulu tiba, berbaur dengan para klien dan kolega bisnis di villa mewah yang terletak di Ubud. Namun, Ares dan Aelita, yang sepertinya tidak terikat oleh apapun selain kontrak yang mereka bawa, justru memilih untuk pergi ke sebuah tempat yang lebih tenang, jauh dari riuhnya pesta dan obrolan dunia bisnis.
Mereka berdua berada di salah satu café kecil yang tersembunyi di dalam hutan, tempat yang tidak banyak diketahui orang. Sebuah tempat dengan langit-langit terbuka, pemandangan lembah hijau, dan suara gemericik air dari sungai kecil yang mengalir. Seperti biasa, Aelita datang terlambat—tapi kali ini, rasanya ada sesuatu yang berbeda dalam dirinya. Mungkin karena udara Bali yang sedikit lebih lembut, atau mungkin karena mereka berdua sudah mulai terbiasa dengan kebersamaan yang terpaksa ini.
Ares sudah duduk di meja yang terletak di sudut, menatap pemandangan dengan ekspresi yang sulit dibaca. Hujan mulai turun perlahan, menambah suasana menjadi lebih sepi dan hening. Aelita, yang datang dengan jaket kuning cerah dan rambut tergerai, duduk di hadapannya tanpa berkata apa-apa. Ia mengambil napas panjang, menatap jendela yang mulai berkabut.
“Aku kira kamu lebih suka tempat-tempat mewah,” kata Ares tanpa menoleh, memecah keheningan.
Aelita mengangkat bahu. “Terkadang, hal yang mewah itu… cuma ilusi. Tempat seperti ini, meski sederhana, lebih terasa nyata. Kita bisa lebih fokus dengan apa yang ada di sini, bukan apa yang harus kita tunjukkan ke orang lain.”
Ares tersenyum kecil. “Kamu lebih dari sekadar yang aku kira.”
Aelita menatapnya tajam, lalu menurunkan pandangannya ke secangkir teh yang baru saja disajikan. “Apa kamu pikir aku ini cewek yang penuh kepalsuan? Atau, kamu cuma mencoba mencari sisi baikku supaya nggak terlihat terlalu buruk di depan orang tua kita?”
Ares memiringkan kepala. “Kita berdua nggak tahu apa yang terjadi ke depan, kan? Semua ini belum pasti. Tapi aku rasa, kalau kita jujur satu sama lain, mungkin kita bisa tahu apakah ini cuma kebetulan atau ada alasan yang lebih besar.”
Aelita mengangkat alis. “Kamu sudah mulai bicara seperti orang yang percaya bahwa ini bisa berhasil, ya?”
“Tidak. Aku cuma ingin mencoba… agar nggak ada lagi yang dipaksakan.”
Suasana semakin hening. Hujan yang semakin deras di luar seolah memisahkan mereka dari dunia luar. Keduanya terjebak dalam kenyataan bahwa mereka tidak bisa hanya berpura-pura—bahwa di balik setiap percakapan ini, ada perasaan yang mulai terbentuk.
Malam itu, setelah hujan reda, Ares mengajak Aelita untuk berjalan-jalan ke luar villa. Udara Bali yang sejuk dan tenang membuat mereka sedikit lebih santai. Mereka berjalan tanpa tujuan, hanya mengikuti jalan setapak yang mengarah ke sawah-sawah hijau yang luas.
“Aku nggak pernah tahu Bali bisa seindah ini,” kata Aelita, menatap langit yang kini mulai cerah. “Aku biasanya hanya datang untuk bisnis, jadi nggak pernah merasakan sisi lain dari tempat ini.”
Ares menatapnya sekilas. “Kita terlalu sibuk mengejar apa yang orang lain inginkan, sampai lupa menikmati apa yang kita miliki.”
“Aku nggak tahu apa yang aku inginkan,” jawab Aelita pelan. “Dulu, aku pikir aku tahu. Tapi sekarang, aku merasa bingung. Semua yang aku lakukan, semua yang aku kejar, rasanya nggak memberikan kepuasan. Apalagi setelah tahu ada banyak harapan orang lain yang harus aku penuhi.”
Ares menundukkan kepala, mendengarkan setiap kata yang keluar dari mulutnya. “Kita berdua punya banyak beban yang nggak harus kita tanggung. Tapi kadang, kita nggak punya pilihan selain menerima itu.”
Aelita berhenti berjalan dan menatap Ares. “Kamu tahu, aku merasa seperti… ada yang hilang. Seperti aku terus berlari mengejar sesuatu, tapi nggak pernah sampai. Aku nggak pernah bisa jadi siapa diri aku sendiri.”
“Aku juga merasa begitu,” jawab Ares, tak ingin hanya menjadi pendengar. “Kita berdua nggak pernah memilih jalannya. Orang tua kita sudah mengatur semuanya. Kadang aku merasa terjebak dalam harapan mereka yang besar.”
Aelita melangkah mendekat, hanya beberapa inci dari Ares. “Lalu, kalau kita sama-sama merasa terjebak, kenapa kita nggak coba bebasin diri kita?”
Ares mengangguk, matanya bertemu dengan matanya Aelita untuk pertama kalinya tanpa ada ketegangan. Ada sesuatu di sana, meskipun masih samar. Sebuah pengertian yang tumbuh di tengah kebingungannya sendiri.
“Kita coba, ya?” Ares akhirnya berkata.
Aelita mengangkat bahu. “Coba apa? Kalau kita nggak tahu apa yang kita inginkan?”
Ares tersenyum tipis. “Coba nggak menganggap segala sesuatu ini sebagai beban. Kita jalani aja, tanpa harus memikirkan orang lain.”
Aelita menatapnya beberapa detik, lalu berkata, “Mungkin itu adalah satu-satunya jalan keluar. Kalau kita bisa belajar untuk nggak terjebak dalam apa yang orang lain harapkan.”
Mereka berdiri diam, mendengarkan suara angin yang mengalir di antara pepohonan, dan gemericik air yang kembali mengalir setelah hujan.
Di tengah kebisuan itu, Aelita merasakan ada sesuatu yang perlahan tumbuh dalam dirinya—sesuatu yang bukan lagi sekadar rasa ingin tahu atau kebosanan, tetapi lebih pada sesuatu yang lebih dalam. Di sisi lain, Ares juga merasa ada semacam perubahan dalam dirinya. Mungkin bukan cinta yang langsung meletus, tapi satu hal yang pasti—mereka mulai melihat satu sama lain lebih dari sekadar dua orang yang terikat oleh perjodohan.
Namun, apakah ini benar-benar awal dari sesuatu yang lebih besar? Atau apakah ini hanya kebetulan yang terjadi di antara dua jiwa yang terikat oleh janji keluarga mereka?
Malam itu, ketika mereka kembali ke villa, ada perasaan aneh yang menghinggapi mereka. Mungkin perjalanan ini akan membawa mereka lebih dekat. Atau mungkin, ini adalah titik awal dari perjalanan yang lebih panjang dan penuh lika-liku.
Tapi satu hal yang pasti, mereka sudah mulai merasa bahwa kebersamaan ini tidak lagi sekadar kewajiban.
Taman di Rumah yang Mereka Pilih Sendiri
Beberapa bulan setelah perjalanan mereka ke Bali, Ares dan Aelita merasa dunia mereka telah berubah dengan cara yang tidak mereka duga. Terkadang, kehidupan memberikan kejutan yang tak terduga, dan bagi keduanya, perasaan yang semula terasa jauh dan penuh ketegangan, kini mulai mekar menjadi sesuatu yang lebih lembut, lebih bisa diterima. Mungkin ini yang dimaksud dengan cinta yang tumbuh perlahan—bukan cinta yang meledak begitu saja, tetapi yang muncul seperti tanaman yang tumbuh di dalam hati, meskipun tidak terlihat dari luar.
Hari itu, mereka duduk di taman belakang rumah yang baru mereka beli bersama. Taman itu sederhana, dengan pohon-pohon kecil yang tumbuh subur, bunga-bunga yang mulai bermekaran, dan sebuah bangku kayu yang menghadap ke kolam kecil. Aelita duduk di bangku itu, menatap kolam yang airnya beriak lembut tertiup angin. Ares berdiri di sampingnya, menatapnya tanpa kata-kata. Udara sore yang segar dan hangat membuat mereka berdua merasa lebih santai daripada sebelumnya.
“Aku nggak pernah membayangkan bakal ada hari seperti ini,” kata Aelita pelan, memecah keheningan. “Hari ketika kita duduk bersama tanpa beban, tanpa orang tua yang mengatur langkah kita. Hari yang… benar-benar kita pilih sendiri.”
Ares menatapnya dengan senyum yang lebih tenang dari biasanya. “Aku juga nggak pernah tahu kalau akhirnya kita bakal sampai di titik ini. Kalau dulu aku harus menjalani ini hanya untuk memenuhi harapan orang tua kita, sekarang… aku merasa ini adalah pilihan kita. Bukan hanya sekadar kewajiban.”
Aelita menundukkan kepalanya, menatap jari-jarinya yang saling bertaut di pangkuan. “Kadang aku merasa takut, Ares. Takut kalau semuanya ini cuma kebetulan, atau kalau kita hanya membuat keputusan berdasarkan apa yang orang lain ingin lihat.”
Ares duduk di sebelahnya, kemudian meraih tangannya yang terlipat. “Aku nggak mau kamu merasa takut. Kita sudah sampai sejauh ini karena kita memilih untuk melangkah bersama. Memang nggak mudah, tapi aku yakin kita bisa.”
“Apa kamu yakin kita bisa?” Aelita bertanya, dengan sedikit keraguan di matanya.
Ares memandangnya dengan penuh keyakinan. “Aku yakin. Aku tahu ini bukan hal yang mudah, tapi kita sudah berubah. Kita sudah mulai melihat satu sama lain lebih dalam. Ini bukan hanya soal perjodohan atau ekspektasi orang tua lagi. Ini soal kita berdua, apa yang kita inginkan, dan bagaimana kita membangun hidup bersama.”
Aelita menoleh padanya, matanya lembut. “Apa yang kita ingin bangun, Ares? Apa itu cinta? Atau hanya kenyamanan karena kita sudah terlanjur terikat?”
Ares menarik napas panjang. “Aku nggak bisa menjawab pertanyaan itu sekarang. Tapi aku tahu satu hal: aku ingin kita menjalani hidup ini dengan cara yang kita pilih, bukan dengan cara yang dipaksakan. Cinta itu bisa tumbuh, bahkan dari tempat yang paling tak terduga sekalipun. Aku tahu kita belum sempurna, dan banyak hal yang harus kita pelajari, tapi aku ingin melakukannya bersamamu.”
Aelita terdiam, lalu tersenyum kecil. “Kita memang nggak sempurna. Tapi mungkin itu yang membuat kita manusia. Cinta itu bukan soal menemukan seseorang yang sempurna, tapi tentang menerima ketidaksempurnaan satu sama lain.”
Ares tertawa pelan, menyadari bahwa Aelita benar. Mungkin selama ini mereka terlalu fokus pada kesempurnaan dan ekspektasi, sampai melupakan hal yang lebih penting—menerima kenyataan dan perjalanan yang mereka buat bersama.
Di tengah taman itu, di bawah sinar matahari yang mulai redup, keduanya merasakan kedamaian yang tidak pernah mereka bayangkan sebelumnya. Mereka tidak lagi merasa terjebak, tidak lagi merasa seperti bagian dari perjodohan yang dibuat orang tua mereka. Mereka bukan lagi dua orang yang dipaksa untuk hidup dalam peran yang sudah ditentukan.
Mereka mulai memahami bahwa cinta itu tidak selalu datang dengan ledakan dramatis atau kisah penuh perasaan. Terkadang, cinta datang dalam bentuk yang lebih sederhana—seperti kepercayaan, kenyamanan, dan keberanian untuk melangkah bersama menuju masa depan.
“Aku ingin kita membangun rumah ini bersama,” kata Ares, memecah keheningan dengan kata-kata yang terasa berat namun penuh harapan.
Aelita menatapnya dengan tatapan lembut. “Bukan hanya rumah ini, Ares. Aku ingin kita membangun kehidupan yang benar-benar milik kita.”
Mereka duduk bersama di bangku itu, menikmati ketenangan yang hanya bisa ditemukan setelah perjalanan panjang. Dunia luar tetap berjalan seperti biasa—perusahaan, klien, orang tua yang masih berharap—tapi di sini, di dalam taman sederhana ini, mereka merasa bahwa mereka akhirnya menemukan rumah mereka yang sesungguhnya.
Rumah yang tidak dibangun dari batu dan semen, tetapi dari kepercayaan, dari perjuangan bersama, dan dari kenyataan bahwa mereka memilih satu sama lain, bukan karena kewajiban, tetapi karena sebuah pilihan yang mereka buat dengan sepenuh hati.
Dan untuk pertama kalinya sejak pertemuan pertama mereka, Ares dan Aelita merasa bahwa mereka tidak lagi terjebak. Mereka bebas—bebas untuk mencintai, bebas untuk menjadi diri mereka sendiri, dan bebas untuk membangun masa depan mereka bersama.