Daftar Isi
Pernah nggak sih, ngerasa hidup ini kayak teka-teki yang nggak ada jawabannya? Kadang, kita ngejalanin sesuatu dengan harapan nemuin kepastian, tapi malah makin bingung sendiri.
Nah, di cerita ini, ada seorang pemuda yang berangkat dalam perjalanan penuh misteri buat nyari jawaban buat dirinya sendiri. Tapi yang dia temuin… jauh lebih dari sekadar jawaban. Penasaran? Yuk, langsung baca!
Perjalanan yang Menjawab
Jejak Pertama di Jalan Takdir
Langit mulai menggelap ketika Adinata melangkahkan kaki keluar dari kota. Jalan setapak yang membentang di hadapannya masih panjang, menuntunnya ke arah utara. Angin sore berembus lembut, menggoyangkan dedaunan yang mulai menguning. Udara memiliki aroma tanah yang khas, seolah mengingatkan bahwa ia sedang berjalan menjauh dari kenyamanan yang biasa ia kenal.
Dia tidak membawa banyak barang, hanya satu tas ransel berisi pakaian, botol air, dan beberapa lembar peta lusuh yang dia dapatkan dari seorang pedagang tua di pasar. Pedagang itu menatapnya dengan tatapan tajam sebelum memberikan peta tersebut.
“Kau yakin mau pergi ke utara?” tanyanya dengan suara serak.
“Aku harus,” jawab Adinata mantap.
Pedagang itu tertawa kecil, seakan pernah mendengar jawaban yang sama berkali-kali. “Baiklah, jalan itu bukan untuk mereka yang hanya ingin berjalan. Kau akan tahu apa maksudku nanti.”
Kini, kalimat itu terus berputar di kepalanya. Jalanan semakin sunyi, hanya suara langkah kakinya yang terdengar di antara gemerisik daun yang tertiup angin.
Perjalanan belum lama dimulai ketika ia tiba di perbatasan antara kota dan hutan kecil yang harus dilewati sebelum mencapai desa pertama. Cahaya jingga matahari mulai meredup, menciptakan bayangan panjang di tanah berkerikil.
Di depan, seorang pemuda berdiri bersandar pada pohon, tampaknya sudah memperhatikannya sejak tadi. Wajahnya tirus dengan mata yang tajam, rambutnya tergerai sedikit acak-acakan. Tangannya sibuk memainkan sebilah pisau kecil, menggores-gores kulit kayu seolah tak peduli dengan kehadiran orang lain.
“Kau yang mau ke utara?” tanyanya tiba-tiba, tanpa basa-basi.
Adinata mengerutkan dahi. “Iya. Kenapa?”
Pemuda itu menyeringai, memasukkan pisaunya ke sarung kulit di pinggang. “Nggak banyak orang yang ambil jalan itu sendirian. Biasanya, mereka nyerah sebelum sampai ke desa pertama.”
“Aku bukan mereka.”
“Hah, menarik.” Pemuda itu berjalan mendekat, menepuk bahunya tanpa izin. “Nama aku Sena. Kebetulan aku juga mau ke desa pertama. Jalan bareng?”
Adinata menimbang sebentar. Berjalan dengan orang asing bukan ide yang buruk, terutama di perjalanan panjang seperti ini. “Boleh.”
Mereka berjalan berdampingan di jalan setapak yang mulai diselimuti kegelapan. Sena bukan tipe orang yang diam. Ia terus berbicara, menceritakan banyak hal mulai dari perjalanan sebelumnya, orang-orang yang pernah ia temui, hingga rumor-rumor aneh tentang jalur ke utara.
“Kau tahu nggak, beberapa orang percaya kalau di utara sana ada sesuatu yang menjaga jalan. Bukan bandit atau binatang buas, tapi sesuatu yang lebih tua. Kayak… semacam ujian buat mereka yang benar-benar ingin sampai.”
Adinata menoleh. “Ujian?”
Sena mengangkat bahu. “Katanya sih begitu. Aku nggak pernah ke sana, jadi aku nggak tahu. Tapi yang jelas, tempat itu bukan buat orang sembarangan.”
Perkataan Sena mengingatkannya pada pedagang tua di pasar. Ada sesuatu tentang perjalanan ini yang terasa berbeda dari sekadar perjalanan biasa. Tapi Adinata tidak gentar. Justru semakin ia melangkah, semakin ia merasa bahwa inilah yang harus ia lakukan.
Ketika malam semakin larut, mereka menemukan sebuah pondok kosong di pinggir jalan. Dindingnya terbuat dari kayu tua, atapnya hampir roboh di beberapa bagian. Tidak ada tanda-tanda kehidupan, tetapi cukup untuk berlindung sementara dari dinginnya malam.
“Kita istirahat di sini?” tanya Sena sambil menjatuhkan tasnya di lantai berdebu.
Adinata mengangguk. Ia duduk di salah satu sudut, melepaskan sepatu dan meregangkan kakinya yang mulai pegal. Sena menyalakan api kecil di tengah ruangan, cahaya oranye menari di wajahnya.
“Aku penasaran, kenapa kamu pergi ke utara?” tanya Sena tiba-tiba.
Adinata menatap api, lalu menjawab pelan, “Aku mencari jawaban.”
Sena mengangkat alis. “Jawaban buat apa?”
Sejenak, Adinata diam. Ia sendiri tidak tahu bagaimana harus menjelaskan.
“Aku nggak tahu pasti. Tapi ada sesuatu di sana yang harus aku temukan.”
Sena tidak langsung membalas. Ia hanya tersenyum kecil, lalu berbaring di lantai kayu yang dingin. “Yah, perjalanan ini pasti seru. Aku penasaran, kita bakal ketemu apa di depan nanti.”
Adinata menatap ke luar jendela kecil yang terbuka, ke langit yang dipenuhi bintang. Ini baru permulaan. Entah apa yang menunggunya di depan, tapi ia siap untuk mengetahuinya.
Api yang Menempa Besi
Fajar menyelinap ke dalam pondok reyot, menciptakan garis-garis cahaya di lantai kayu yang berdebu. Adinata membuka mata perlahan, merasakan tubuhnya yang masih lelah akibat perjalanan kemarin. Di seberangnya, Sena sudah duduk bersandar di dinding, sibuk mengasah pisaunya dengan batu kecil.
“Kamu tidur nyenyak?” tanya Sena tanpa mengalihkan pandangan dari pisaunya.
“Lumayan,” jawab Adinata sembari meregangkan badan.
Sena menyeringai. “Bagus. Karena hari ini kita bakal jalan lebih jauh.”
Mereka berdua melanjutkan perjalanan sebelum matahari benar-benar naik. Udara pagi masih sejuk, namun jalur yang mereka lewati semakin sulit. Tanah mulai berbatu, sesekali akar pohon mencuat dari tanah, menghalangi jalan. Beberapa kali Adinata hampir tersandung, tapi ia terus melangkah.
Setelah beberapa jam berjalan, mereka tiba di sebuah desa kecil yang terletak di lembah. Rumah-rumah kayu berjejer rapi, asap tipis mengepul dari cerobong dapur, dan suara palu bertemu besi terdengar menggema dari arah bengkel di tengah desa.
“Tempat ini menarik,” gumam Sena sambil melihat sekeliling.
Adinata setuju. Ada sesuatu yang berbeda dari desa ini. Meskipun kecil, ada kehidupan yang terasa kuat—seperti denyut nadi yang stabil di tengah ketenangan.
Mereka berjalan mendekati bengkel tempat suara palu berasal. Di dalam, seorang lelaki tua bertelanjang dada sedang menempa sebongkah besi di atas landasan baja. Otot-ototnya yang masih kuat meski usianya sudah lanjut tampak bergerak selaras dengan ritme palu yang menghantam logam panas.
Lelaki itu menoleh ketika menyadari kehadiran mereka. “Pendatang?” tanyanya dengan suara berat.
Adinata mengangguk. “Kami hanya melewati desa ini dalam perjalanan ke utara.”
Lelaki tua itu memandangi mereka lama sebelum akhirnya menaruh palunya. “Namaku Ki Gantara,” katanya, lalu menunjuk bangku kayu di dekat perapian. “Duduklah sebentar. Kalian pasti butuh istirahat.”
Tanpa ragu, Adinata dan Sena menurut. Panas dari perapian membuat tubuh mereka sedikit rileks setelah berjalan jauh.
“Kalian mau ke utara? Bukan perjalanan mudah,” kata Ki Gantara sambil menuangkan air ke dalam cangkir tanah liat.
Adinata menerima cangkir itu dan meminumnya perlahan. “Aku tahu.”
Ki Gantara menyipitkan matanya, menatap Adinata dengan penuh pengamatan. “Apa yang kau cari di sana?”
Seperti sebelumnya, Adinata tidak bisa langsung menjawab. Ia sendiri masih belum tahu jawaban pastinya.
“Aku mencari jawaban,” katanya akhirnya.
Ki Gantara tertawa pelan. “Semua orang mencari jawaban. Tapi pertanyaannya, apakah kau siap menerima apa pun jawaban yang akan kau temukan?”
Adinata diam. Ia belum pernah memikirkannya.
Ki Gantara mengambil sebilah pedang yang masih panas dari perapian. Dengan gerakan terlatih, ia menempa logam itu dengan palu besar, percikan api melayang di udara. “Kau tahu bagaimana besi menjadi pedang?” tanyanya tanpa berhenti memukul.
“Ditempa,” jawab Adinata.
“Benar. Tapi bukan hanya itu. Besi harus dibakar, dipukul berkali-kali, dilipat, lalu ditempa lagi. Proses itu menyakitkan, tetapi jika tidak dilalui, besi tetaplah besi biasa—tidak berguna.”
Ia menatap Adinata dalam-dalam. “Manusia juga begitu. Jika kau mencari jawaban, bersiaplah untuk ditempa oleh perjalananmu sendiri.”
Adinata menelan ludah. Ia memahami maksud Ki Gantara, tapi belum tahu sejauh mana ujian itu akan membentuknya.
Sena, yang sejak tadi diam, akhirnya angkat bicara. “Jadi menurutmu, perjalanan ini akan mengubahnya?”
Ki Gantara menyeringai. “Perjalanan selalu mengubah manusia. Tinggal pertanyaannya, apakah ia akan menjadi lebih kuat atau justru patah.”
Mereka berdua terdiam. Api di perapian terus membara, memantulkan cahaya oranye ke dinding bengkel.
Setelah beberapa saat, Ki Gantara meletakkan palunya dan menghela napas. “Kalian bisa bermalam di sini. Besok pagi, lanjutkan perjalanan kalian. Tapi ingat, setiap langkah yang kalian ambil adalah bagian dari proses. Jangan pernah berpikir untuk mundur.”
Malam itu, Adinata berbaring di atas tikar yang disediakan oleh Ki Gantara. Matanya menatap langit-langit kayu yang gelap, pikirannya dipenuhi kata-kata lelaki tua itu.
Ditempa.
Dibakar.
Dilipat.
Lalu ditempa lagi.
Jika memang perjalanan ini akan mengubahnya, ia hanya bisa berharap bahwa ia akan menjadi lebih kuat—bukan patah.
Menjadi Jawaban di Tengah Perjalanan
Pagi masih muda ketika Adinata dan Sena meninggalkan desa. Udara dingin menusuk kulit, sisa embun masih melekat di dedaunan. Ki Gantara tidak mengantar mereka pergi, hanya berdiri di depan bengkelnya dengan tangan bersedekap.
“Satu hal lagi,” katanya sebelum mereka benar-benar melangkah pergi. “Jangan hanya mencari jawaban. Jadilah jawaban.”
Adinata mengangguk, meski belum sepenuhnya memahami maksudnya.
Perjalanan kembali dimulai. Jalan berbatu semakin menanjak, hutan mulai menipis, digantikan oleh bukit-bukit hijau yang bergelombang di kejauhan. Matahari perlahan naik, menghangatkan tubuh yang mulai letih.
Sena berjalan di depan, sesekali bersiul pelan. Suasana sunyi di antara mereka tidak terasa canggung—mungkin karena mereka sudah terbiasa dengan kebersamaan tanpa banyak bicara.
Namun, ketenangan itu tak berlangsung lama.
Di kejauhan, terdengar suara tangis. Lirih pada awalnya, lalu semakin jelas saat mereka mendekat.
Adinata mempercepat langkah. Di balik semak tinggi, seorang gadis kecil duduk terisak di pinggir jalan setapak. Rambutnya kusut, pipinya kotor oleh debu dan air mata. Tangannya menggenggam erat boneka kain yang sudah usang.
Adinata berjongkok di depannya. “Hei, kenapa kamu di sini sendirian?”
Gadis itu mengangkat wajahnya, matanya merah dan basah. “Aku… aku tersesat.”
Sena menghela napas panjang, menoleh ke Adinata. “Kita nggak bisa ninggalin dia di sini.”
“Tentu saja tidak,” jawab Adinata tegas. “Kamu dari mana?” tanyanya lembut pada gadis itu.
Gadis itu sesenggukan sebelum menjawab, “Desa di balik bukit…”
Adinata melirik ke kejauhan. Jika benar yang dikatakan gadis itu, berarti mereka harus menunda perjalanan untuk mengantarnya pulang.
“Ayo, kita antar kamu pulang,” kata Adinata akhirnya.
Mereka bertiga mulai berjalan, kali ini dengan langkah yang lebih hati-hati. Gadis kecil itu berjalan di tengah, tangannya masih menggenggam erat bonekanya. Kadang-kadang ia melirik Adinata dengan mata penuh kepercayaan, seolah tahu bahwa ia aman bersamanya.
Setelah hampir satu jam berjalan, mereka tiba di sebuah desa kecil di balik bukit. Beberapa rumah berdiri berjajar dengan kebun sayur di belakangnya. Saat mereka masuk ke desa, seorang wanita berlari ke arah mereka dengan wajah panik.
“Laras!” serunya, langsung merengkuh gadis kecil itu dalam pelukan erat.
“Ibu!” tangis Laras pecah lagi, kali ini dalam pelukan ibunya.
Wanita itu menoleh ke Adinata dan Sena, matanya dipenuhi rasa terima kasih. “Kalian menemukan anakku? Terima kasih… terima kasih banyak!”
Adinata mengangguk sopan. “Kami menemukannya di jalan. Sepertinya dia tersesat.”
Wanita itu hampir menangis. “Aku tidak tahu bagaimana harus berterima kasih. Laras pergi tanpa bilang apa-apa, aku sudah mencarinya sejak tadi pagi…”
Beberapa warga desa mulai berdatangan, ingin tahu apa yang terjadi. Mereka memandang Adinata dan Sena dengan rasa hormat.
Seorang pria tua—mungkin kepala desa—melangkah mendekat. “Kalian telah membantu anak desa ini. Setidaknya, izinkan kami menjamu kalian sebelum melanjutkan perjalanan.”
Sena melirik Adinata. “Sepertinya kita nggak bisa nolak.”
Adinata tersenyum kecil. “Sepertinya tidak.”
Mereka akhirnya bermalam di desa itu, menerima keramahan dari para penduduk. Malamnya, saat mereka duduk di dekat api unggun bersama beberapa warga, Adinata teringat kata-kata Ki Gantara.
Jangan hanya mencari jawaban. Jadilah jawaban.
Hari ini, ia tidak menemukan jawaban untuk dirinya sendiri. Tapi ia telah menjadi jawaban bagi orang lain.
Mungkin, itu juga bagian dari perjalanan ini.
Jawaban yang Tidak Dicari, Tetapi Ditemukan
Pagi di desa itu terasa lebih hangat daripada biasanya. Adinata dan Sena bersiap untuk melanjutkan perjalanan setelah mendapatkan cukup istirahat dan bekal dari penduduk. Laras, gadis kecil yang mereka selamatkan, berdiri di depan rumahnya bersama ibunya, melambaikan tangan dengan senyum lebar.
“Terima kasih, Kakak!” seru Laras dengan suara ceria.
Adinata membalas senyuman itu, lalu bersama Sena melangkah keluar dari desa. Jalanan di depan mereka semakin menanjak, bukit-bukit bergelombang seolah mengarah ke langit. Udara mulai terasa lebih tipis, angin berembus lebih kencang.
Sena berjalan di depan, sesekali menoleh ke belakang untuk memastikan Adinata tidak tertinggal. “Kamu sadar nggak?” tanyanya tiba-tiba.
“Sadar apa?”
“Awalnya, kamu cuma mau mencari jawaban buat diri sendiri. Tapi perjalanan ini malah bikin kamu jadi jawaban buat orang lain dulu.”
Adinata terdiam, memikirkan kata-kata itu. Ia tidak bisa membantahnya. Setiap perhentian, setiap orang yang mereka temui—semua membawa pelajaran yang berbeda. Ia yang awalnya mencari jawaban untuk dirinya sendiri, justru menemukan bahwa ia bisa menjadi bagian dari jawaban untuk orang lain.
Mereka terus berjalan hingga mencapai puncak bukit. Dari atas sana, dunia tampak lebih luas. Langit biru membentang tanpa batas, awan berarak pelan di kejauhan. Lembah hijau, sungai yang berkelok, dan desa-desa kecil terlihat seperti titik-titik di kejauhan.
Adinata menghela napas panjang.
“Jadi,” kata Sena sambil menatap hamparan dunia di depan mereka. “Kamu udah nemuin jawaban yang kamu cari?”
Adinata tidak langsung menjawab. Ia mengingat semua yang sudah ia lalui—langkah-langkah berat, orang-orang yang ia temui, pelajaran yang ia dapatkan. Ia datang dengan pertanyaan besar, berharap menemukan sesuatu yang pasti. Tapi semakin jauh ia melangkah, semakin ia sadar bahwa jawaban tidak selalu datang dalam bentuk yang diharapkan.
Ia menoleh ke Sena dan tersenyum kecil. “Aku nggak nemuin jawaban yang aku cari.”
Sena menaikkan alis. “Terus?”
“Tapi aku nemuin sesuatu yang lebih dari itu,” lanjut Adinata. “Aku nemuin bahwa perjalanan ini sendiri adalah jawabannya. Semua yang kita lalui, semua yang kita lakukan, semua yang kita pelajari… itu sendiri adalah jawaban.”
Sena terdiam sejenak, lalu tertawa kecil. “Kamu mulai terdengar kayak orang tua.”
Adinata ikut tertawa. “Mungkin. Tapi nggak apa-apa.”
Ia menatap ke depan, ke jalan panjang yang masih terbentang di hadapan mereka. Mungkin ia belum selesai mencari, dan mungkin ia akan terus berjalan tanpa pernah menemukan jawaban yang benar-benar mutlak. Tapi sekarang, ia mengerti bahwa tidak semua pertanyaan butuh jawaban yang pasti.
Kadang, cukup dengan terus melangkah, cukup dengan terus menjalani.
Dan dalam perjalanan itulah, makna yang sesungguhnya akan ditemukan.
Gimana? Perjalanan Adinata bikin kamu mikir juga, kan? Kadang, kita sibuk nyari jawaban, sampai lupa kalau perjalanan itu sendiri yang ngebentuk kita. Nggak semua pertanyaan harus dijawab dengan pasti, kadang cukup dijalanin aja, dan maknanya bakal datang sendiri. Jadi, setelah baca ini, kira-kira… kamu udah nemuin jawabanmu sendiri belum?


