Perjalanan Seorang Gadis Menuju Langit: Cerita Inspiratif Nararya Jadi Astronot

Posted on

Pernahkah kamu bermimpi untuk pergi ke luar angkasa? Menjadi astronot dan meluncur ke langit yang tak terbatas? Cerita tentang Nararya, seorang gadis yang sejak kecil sudah memimpikan menjadi astronot, bisa jadi inspirasi terbesar buat kamu yang punya impian tinggi!

Dari pelatihan fisik yang keras, ujian mental yang menegangkan, hingga keberhasilan menggapai langit, perjalanan Nararya penuh dengan perjuangan yang nggak mudah. Di artikel ini, kita bakal kupas tuntas bagaimana dia berjuang dan apa yang akhirnya membuat namanya tertulis di langit! Yuk, simak kisah lengkapnya dan temukan semangat juang yang bisa kamu tiru untuk mencapai impian kamu!

Perjalanan Seorang Gadis Menuju Langit

Langit di Atas Genteng

Langit desa Trawas malam itu begitu jernih, seolah seluruh galaksi turun mendekat agar bisa disapa. Udara dingin merayap perlahan melalui celah jendela kayu rumah yang sudah puluhan tahun berdiri. Dari atas genteng yang mulai ditumbuhi lumut di bagian pinggirnya, tampak sosok kecil duduk bersila, mengenakan jaket lusuh milik ayahnya yang kebesaran dan sarung digulung di pangkuan.

Nararya Avicenna. Anak lelaki berusia delapan tahun, bertubuh kecil, berambut legam, dengan mata yang menyimpan dunia yang belum pernah disentuh siapa pun.

Genteng rumah itu adalah observatoriumnya — tempat ia menatap langit malam, menerka bintang-bintang, dan membayangkan dirinya melayang di antaranya.

Di dalam rumah, suara ibu memanggil dari dapur, “Rarya, jangan lama-lama di atas. Anginnya makin dingin, Nak.”

“Ntar lagi, Bu. Aku mau nunggu meteor jatuh. Kata Pak guru tadi malam ini langitnya bagus banget,” jawab Nararya dari atas, tanpa mengalihkan pandangannya dari rasi bintang yang tengah ia pelajari dari buku lusuh bergambar planet.

Seketika, langkah kaki terdengar menaiki tangga kayu kecil yang tersambung ke loteng. Pintu kecil di atap dibuka, dan seorang pria berkumis tipis muncul, membawa dua gelas teh hangat dalam cangkir enamel bermotif bunga.

“Ayah bawain teh. Tapi jangan bilang ibu, nanti dimarahin kita berdua,” katanya pelan sambil duduk di sebelah anaknya.

Nararya terkikik. “Tadi Ibu udah marahin aku duluan, Ayah.”

Ayahnya tertawa kecil, lalu menyodorkan teh hangat yang mengepul. Di sela uap tipis, kedua pasang mata itu memandangi langit yang sama. Jarak usia tak membuat mereka berbeda dalam rasa takjub terhadap luar angkasa.

“Kalau kamu bisa ke langit sana,” kata sang ayah pelan, “kamu mau lihat apa pertama kali?”

Nararya berpikir. Lama. Lalu dengan suara lirih ia berkata, “Aku mau lihat Bumi. Aku pengin tahu, rumah kita sekecil apa dari atas sana.”

Sang ayah menoleh padanya. “Kamu tahu, itu jawaban paling keren yang pernah Ayah dengar.”

Malam itu, percakapan mereka terhenti di antara dentingan jangkrik dan desir angin. Di antara sunyi desa yang gelap dan sunyinya bintang. Nararya menggenggam cangkirnya dengan dua tangan, menghangatkan jari-jarinya yang mulai kaku. Ia tahu, impiannya tak seperti impian anak-anak lain di desanya. Tapi di dalam dadanya, sudah tertanam satu keyakinan yang tak bisa dibantah siapa pun: suatu hari nanti, dia akan ke sana. Bukan hanya bermimpi. Tapi benar-benar pergi.

Sejak kecil, Nararya tak pernah menginginkan mainan. Ia lebih senang diajak ke toko buku bekas di kota. Setiap kali ulang tahun, ia tak pernah meminta kue, tapi selalu mengajukan satu permintaan yang sama: “Ayah, Bu, boleh minta buku baru tentang planet?”

Orang tuanya tak kaya. Ayahnya guru fisika honorer yang bekerja sambil menulis artikel ilmiah untuk koran lokal, dan ibunya menjahit pakaian di rumah. Tapi mereka tahu, anak mereka bukan anak biasa. Mereka menyimpan rasa bangga dalam diam, menyulamnya dalam tiap sapaan lembut dan pelukan hangat.

“Bu,” tanya Nararya suatu pagi saat sarapan dengan nasi goreng sederhana, “kalau aku nanti beneran bisa jadi astronot, Ibu mau nitip pesan nggak ke luar angkasa?”

Ibunya tertawa sambil menuang teh ke cangkir. “Nitip apa coba?”

“Misalnya… Ibu mau aku bawa apa dari sana? Atau Ibu mau kirim salam ke siapa, gitu?”

Ibunya terdiam sejenak, menatap wajah anaknya yang dipenuhi harapan polos.

“Ibu cuma mau kamu pulang. Jangan cuma ke langit, tapi lupa pulang ke bumi.”

Ucapan itu menancap diam-diam di dada Nararya. Mimpi boleh sejauh galaksi, tapi rumah akan selalu jadi tempat kembali. Ia mengingat itu baik-baik.

Waktu berjalan. Nararya bertambah tinggi, mulai pakai kacamata, dan mulai menggambar orbit planet dengan lebih rapi dari tulisan tangannya sendiri. Di sekolah, ia sering jadi anak yang dianggap aneh. Bukan karena nilai buruk — justru sebaliknya. Tapi karena ia lebih senang bicara soal satelit daripada ikut main gundu. Karena saat teman-temannya bercanda soal film horor, ia malah sibuk membandingkan suhu di Merkurius dan Venus.

Tak jarang ia jadi bahan olok-olokan.

“Eh si astronot! Jangan lupa pake helm pas naik sepeda!”
“Hati-hati nanti kamu nyasar ke Mars, Ra!”

Nararya hanya tersenyum. Kadang ia kesal, tapi lebih sering ia merasa… kasihan. Mereka tak pernah duduk di atas genteng rumah, tak pernah lihat Bima Sakti dari mata seorang bocah delapan tahun, tak pernah mendengar ayah mereka bertanya tentang Bumi dari atas langit. Bagaimana mereka bisa mengerti?

Namun tidak semua mengejek. Di perpustakaan kecil sekolahnya, ada seorang guru muda bernama Bu Sinta yang diam-diam sering menyisihkan waktu untuk mendampingi Nararya membaca. Kadang ia bahkan membawakan buku dari luar kota.

“Suatu saat, aku yakin kamu bisa sampai ke luar angkasa, Nar,” ucapnya suatu sore.

Nararya menatap gurunya, lalu mengangguk kecil.

“Aku juga yakin, Bu. Cuma aku belum tahu gimana caranya.”

Bu Sinta tersenyum. “Langit luas banget. Tapi kamu lebih besar dari rasa ragu yang ada di dalam dirimu.”

Suatu malam, di tahun ketika usianya menginjak dua belas, Nararya naik lagi ke atas genteng. Kali ini tanpa ayahnya. Hanya ditemani buku catatan dan senter kecil. Ia menulis daftar. Daftar panjang tentang langkah-langkah menjadi astronot. Mulai dari belajar fisika, masuk universitas teknologi, sampai ke lembaga antariksa dunia.

Di bagian paling bawah daftar itu, ia menulis satu kalimat:

“Aku mau bikin Ayah dan Ibu bangga. Bukan karena aku berhasil, tapi karena aku nggak pernah berhenti nyoba.”

Dari kejauhan, gonggongan anjing terdengar. Lampu-lampu desa mulai padam satu per satu. Langit makin hitam. Tapi di mata Nararya, hitam bukan berarti gelap. Hitam adalah kanvas raksasa tempat jutaan bintang menunggu untuk ditemui.

Ia menarik napas panjang.

Perjalanan masih jauh. Tapi malam itu, di atas genteng tua, seorang anak kecil sudah memulai langkah pertamanya ke langit.

Di Antara Rintangan dan Rencana

Langit di desa Trawas tak lagi terlihat dari balik jendela kamar Nararya. Sejak ia meninggalkan rumah untuk melanjutkan studi di Universitas Teknologi Nasional, langitnya menjadi langit kota — lebih sering tertutup polusi dan lampu jalan yang tak pernah padam. Namun, rasa ingin tahu itu tetap menyala, meskipun tidak lagi mudah menggapainya seperti dulu.

Di ruang sempit asrama, Nararya duduk di depan meja yang penuh dengan buku-buku tebal. Di atas meja itu juga tergeletak brosur beasiswa luar negeri dan formulir tes masuk lembaga antariksa yang harus ia isi. Ia tahu ini bukan sekadar ujian fisik dan teori. Ini adalah ujian ketekunan dan mental. Tidak ada ruang untuk ragu.

“Aku harus lebih pintar dari yang lain,” gumamnya, menatap daftar panjang persyaratan yang harus dipenuhi. Lulusan terbaik, tes kesehatan sempurna, pengalaman di luar angkasa — dan yang paling menantang: meyakinkan mereka bahwa ia lebih dari sekadar bocah desa yang punya mimpi besar.

Tapi rintangan pertama datang lebih cepat dari yang ia duga.

“Rarya, kamu pasti tahu kan, kalau program itu tidak mudah?” Kata-kata itu datang dari Ari, teman satu kamar yang duduk di meja sebelah, membuka buku ekonomi sambil sesekali melirik Nararya. “Maksudku, kamu nggak bisa cuma baca-baca buku tentang planet terus berharap langsung jadi astronot. Mereka nggak bakal lihat itu.”

Nararya menatap Ari, mengerutkan kening. “Kenapa? Mereka nggak bisa nilai aku cuma dari buku, kan?”

Ari tertawa kecil. “Mereka nggak cuma nilai dari buku, Rarya. Mereka lihat karakter, pengalaman, fisikmu, bahkan relasi. Kamu nggak bakal bisa bersaing dengan orang-orang dari kota besar yang udah punya banyak koneksi dan pengalaman.”

Ada sedikit rasa kesal yang tumbuh di dada Nararya. Ia tahu apa yang Ari maksud. Tetapi ia tidak ingin mengakuinya. Setiap kata itu terasa seperti batu besar yang dilemparkan ke depan, mencoba menghalangi jalannya.

“Mungkin kamu benar,” jawab Nararya akhirnya, menghela napas. “Tapi aku nggak mau berhenti. Kalau gagal, aku coba lagi.”

Ari menatapnya sebentar, lalu melanjutkan membaca tanpa berkata-kata lagi. Tetapi Nararya tahu, walaupun Ari tidak bilang apa-apa lagi, ada keraguan yang mengambang di udara. Semua orang di sini merasa seperti kompetisi ketat, bahkan untuk hal-hal yang paling sederhana.

Hari-hari berikutnya semakin padat. Selain belajar untuk ujian dan menyelesaikan proyek-proyek akademik, Nararya juga mengikuti berbagai kegiatan untuk mengasah fisik dan mental. Ia lari di taman kota setiap pagi, mengangkat beban, dan berlatih berenang. Namun, di balik ketekunannya, ada rasa ragu yang kadang muncul. Kadang ia merasa lelah, dan perasaan itu lebih kuat ketika ia melihat teman-temannya yang lebih santai dan sudah punya arah jelas untuk pekerjaan mereka di masa depan.

“Lihat, Rarya, mereka semua kayaknya lebih siap dari kamu, deh,” Ari berkomentar suatu hari ketika mereka sedang beristirahat setelah latihan fisik. “Kamu bisa lihat kan, mereka udah punya pengalaman di laboratorium internasional atau magang di perusahaan besar.”

Nararya hanya tertawa kecil, meskipun rasa cemas itu tidak hilang. “Aku cuma harus lebih keras, Ari. Mungkin aku bukan yang terbaik sekarang, tapi aku bisa jadi yang terbaik setelah ini.”

Ari hanya mengangkat bahu, tidak berkata lagi. Namun Nararya bisa merasakan, bahwa meskipun teman-temannya tidak selalu memahaminya, ada sesuatu yang lebih besar yang mendorongnya. Ini lebih dari sekadar soal kompetisi. Ini tentang impian yang sudah tertanam sejak ia masih kecil, tentang berjuang demi sesuatu yang lebih besar dari dirinya.

Namun, saat-saat penuh keraguan itu datang juga ketika Nararya menerima sebuah surat. Surat yang mengubah semuanya.

Setelah selesai makan malam di kantin kampus, ia membuka amplop itu, dan matanya membelalak ketika membaca isi surat tersebut.

Kepada Nararya Avicenna,
Terima kasih atas ketertarikan Anda untuk mengikuti program seleksi astronot kami. Namun, setelah melalui proses seleksi awal, kami dengan berat hati harus memberitahukan bahwa Anda tidak terpilih untuk mengikuti tahap selanjutnya.

Nararya duduk terdiam. Surat itu terasa seperti tamparan keras yang menghapus semua harapan yang sempat ia susun. Sungguh, ia tak tahu harus bagaimana. Ia hanya bisa menatap surat itu, merasa kehilangan arah sejenak.

Namun tak lama kemudian, telepon berdering. Di layar muncul nama ibunya.

“Rarya, kamu baik-baik saja, kan?” Suara ibu terdengar lembut, tetapi penuh perhatian.

“Baik, Bu,” jawab Nararya pelan, meskipun hatinya terisi dengan kekecewaan. “Aku cuma… baru saja dapet kabar buruk. Gagal di tahap pertama seleksi.”

Ada keheningan sejenak, sebelum ibunya berbicara lagi. “Rarya, dengar ya, kegagalan itu bukan akhir dari segalanya. Coba kamu pikir lagi. Apa yang kamu rasakan ketika pertama kali memutuskan untuk menjadi astronot? Apa itu masih sama?”

Nararya menatap kosong ke luar jendela, melihat langit malam yang gelap. Di antara bintang-bintang itu, ia merasa seolah tak ada yang benar-benar berubah, meski segalanya terasa begitu berat. “Aku masih ingin ke sana, Bu. Aku masih ingin jadi astronot.”

Ibunya tersenyum meskipun Nararya tidak bisa melihatnya. “Kalau begitu, jangan berhenti hanya karena satu kegagalan. Setiap langkah yang kamu ambil mendekatkanmu pada tujuan itu. Kamu akan lihat, masih ada banyak kesempatan lain. Jangan pernah menyerah.”

Ucapan ibunya terasa seperti angin segar yang menyentuh hatinya. Tanpa sadar, Nararya tersenyum, meskipun sedikit terlambat. Ia tahu, bahwa dalam perjalanan panjang ini, ibu dan ayahnya akan selalu menjadi penyemangat terbesar dalam hidupnya.

Malam itu, setelah percakapan singkat dengan ibunya, Nararya menulis di jurnalnya, di bagian bawah daftar yang sudah ia buat sebelumnya:

“Aku nggak boleh menyerah hanya karena satu kegagalan. Kalau aku gagal lagi, aku coba lagi. Ini baru permulaan.”

Dengan tekad yang kembali menyala, ia menatap langit malam. Tidak ada yang bisa menghalanginya untuk mengejar bintang.

Beratnya Napas dalam Pelatihan

Tahun pertama di universitas berlalu begitu cepat. Namun, bagi Nararya, tahun-tahun berikutnya adalah ujian yang jauh lebih berat. Setelah gagal di seleksi tahap pertama, ia memutuskan untuk tidak mundur. Dengan tekad yang semakin membara, ia melanjutkan perjalanannya untuk mengikuti seleksi astronot lagi, kali ini dengan lebih banyak persiapan dan strategi.

Tahun ketiga kuliah menjadi titik balik dalam hidupnya. Ia akhirnya diterima untuk mengikuti pelatihan intensif yang diadakan oleh lembaga antariksa negara. Hari itu, di sebuah ruang pelatihan dengan dinding yang dipenuhi gambar pesawat ruang angkasa dan roket, Nararya merasa dirinya benar-benar berada di tempat yang seharusnya.

Namun, apa yang ia bayangkan tentang pelatihan astronot ternyata jauh berbeda dengan kenyataan.

Pagi itu, ketika Nararya dan rekan-rekannya berkumpul di ruang briefing, instruktur utama mereka, seorang wanita dengan rambut pendek dan tatapan tajam, berdiri di depan papan tulis besar, siap memulai pelajaran.

“Selamat datang, calon astronot,” ucapnya dengan suara keras dan tegas. “Ini bukan tempat untuk orang yang mudah menyerah. Jika kalian berpikir pelatihan ini akan ringan, lebih baik kalian pergi sekarang.”

Nararya menatap wajah teman-temannya. Beberapa di antara mereka terlihat ragu, sementara yang lain tampak percaya diri. Namun, tidak ada yang bergerak. Semua orang tetap berdiri tegak, siap untuk menghadapi apa yang ada di depan.

“Pertama-tama, kita akan mulai dengan simulasi gravitasi nol. Kalian harus bisa bertahan di lingkungan yang tidak stabil dan belajar untuk tetap tenang dalam situasi yang paling ekstrim. Pelatihan ini akan menguji mental kalian, bukan hanya fisik.”

Nararya mengangguk pelan. Gravitasi nol? Ia sudah membaca banyak tentang itu. Tetapi, membaca dan mengalami langsung tentu berbeda.

Simulasi pertama dimulai di dalam sebuah kapsul besar yang dikendalikan oleh komputer. Sebagai bagian dari latihan, mereka diharuskan untuk mengenakan pakaian antariksa lengkap dan melakukan serangkaian gerakan di ruang yang dibuat tanpa gravitasi.

Begitu kapsul itu mulai berputar dan menciptakan efek gravitasi nol, Nararya merasa tubuhnya seolah melayang. Rasa tidak terkendali, tubuh yang berat, dan sensasi pusing yang luar biasa mengalir begitu saja. Semua hal yang ia bayangkan sebelumnya tentang “terbang” di luar angkasa tiba-tiba terasa sangat nyata, tetapi juga sangat menakutkan.

Di tengah putaran, ia mendengar suara instruktur yang memerintah. “Kalian harus tetap tenang dan fokus! Jangan biarkan tubuh kalian terombang-ambing tanpa kendali!”

Nararya berusaha keras untuk mengikuti instruksi itu, tapi tubuhnya seperti terlepas dari otaknya. Ia mencoba mengingat apa yang sudah dipelajari selama ini: untuk tetap stabil, kendalikan nafas, kendalikan gerakan. Namun, saat ia berusaha menggerakkan tangan, ia kehilangan keseimbangan dan hampir menabrak dinding kapsul.

“Nararya!” teriak instruktur, suaranya terdengar jauh di antara desing udara. “Jaga dirimu!”

Sakit kepala mulai muncul, dan tubuhnya terasa semakin berat, meski ia tahu ini hanya simulasi. Namun, entah mengapa, rasanya seperti dunia ini benar-benar memisahkan dirinya dari bumi. Dengan sekuat tenaga, Nararya menekan tombol untuk mengatur posisi tubuhnya kembali.

Di luar, instruktur masih memberi perintah, tetapi suara itu terasa samar di telinganya. Waktu terasa berjalan sangat lambat, dan ia merasa semakin terisolasi dalam ruang yang begitu sempit dan asing. Dalam keadaan seperti itu, Nararya menyadari betapa pentingnya untuk bisa mengontrol perasaan dan pikiran — dalam ruang angkasa, kehilangan kendali berarti risiko yang sangat besar.

Akhirnya, setelah beberapa menit yang terasa seperti berjam-jam, simulasi gravitasi nol selesai. Nararya mendarat dengan tubuh gemetar, dan para instruktur memberi isyarat agar mereka beristirahat sebentar.

Di luar ruang pelatihan, teman-temannya tampak berbicara dengan suara rendah. Beberapa wajah masih terlihat pucat, sementara yang lain tampak berusaha menenangkan diri. Nararya duduk di sudut, merasakan denyut nadi yang masih cepat. Ia menyesap air dari botol, merenung. Semua yang ia pelajari tentang antariksa, tentang gravitasi nol, seakan tak ada artinya saat ia benar-benar mengalaminya.

“Rarya, kamu oke?” suara Ardi, temannya yang dari awal terlihat lebih santai, menyapanya.

Nararya mengangguk, meskipun dalam hatinya ia merasa jauh lebih lelah dari yang ia kira. “Iya, cuma pusing sedikit. Ternyata jauh lebih susah dari yang aku bayangkan.”

“Jangan khawatir, kita semua bakal ngelewatin ini,” kata Ardi dengan senyum lebar. “Kamu cuma butuh waktu buat adaptasi. Ini cuma tahap pertama.”

Nararya menarik napas panjang. “Aku tahu. Tapi aku nggak mau kalah, Ardi. Aku nggak bisa nyerah sekarang.”

Ardi menepuk bahunya dengan ringan. “Kamu nggak akan nyerah. Aku yakin kok. Kamu udah jauh banget sampai di sini.”

Hari-hari berlalu, dan pelatihan semakin intens. Setiap simulasi, setiap latihan fisik, setiap tes medis, semua itu semakin menguji batas kemampuannya. Nararya merasa tubuhnya semakin lelah, tetapi ia juga semakin kuat. Tidak ada pilihan lain selain terus maju. Setiap kegagalan dalam pelatihan, ia anggap sebagai batu loncatan. Setiap kali ia jatuh, ia bangkit lagi, berusaha lebih keras.

Pernah sekali, ia hampir gagal saat ujian sains tentang sistem navigasi pesawat ruang angkasa. Tertinggal jauh di belakang teman-temannya yang lain, ia hampir menyerah. Tetapi ingatan akan ibu dan ayahnya, serta impian yang sudah ia pelihara selama bertahun-tahun, memberinya kekuatan untuk melangkah lebih jauh.

“Ini bukan hanya untuk aku,” katanya dalam hati, “ini untuk mereka yang sudah percaya padaku.”

Pada suatu pagi, saat Nararya sedang duduk di ruang pelatihan, instruktur memanggilnya.

“Nararya, kamu punya potensi yang besar. Kamu akan diuji lagi dalam simulasi lanjutan besok. Kalau kamu berhasil, kamu akan masuk ke tahap yang lebih tinggi.”

Nararya menatap instruktur itu, merasa ada sedikit kekhawatiran yang merayap. “Tapi… aku masih banyak kekurangan.”

Instruktur itu tersenyum tipis. “Kekurangan itu normal, Nararya. Yang penting adalah kamu terus berusaha untuk mengatasi itu. Jangan pernah berhenti mencoba. Ingat, kami di sini untuk membantu kamu.”

Malam itu, setelah latihan yang berat, Nararya berdiri di luar gedung pelatihan, menatap langit yang jauh lebih cerah daripada langit kota. Ia bisa merasakan keinginan untuk terus berjuang semakin kuat, meskipun pelatihan itu semakin sulit.

“Aku pasti bisa,” bisiknya pada diri sendiri.

Dan dengan itu, Nararya menatap langit, bukan dengan ketakutan, tetapi dengan keyakinan baru. Ini adalah perjalanan yang panjang, tapi ia tak akan pernah berhenti.

Nama yang Tertulis di Langit

Sudah hampir dua tahun sejak Nararya pertama kali memasuki dunia pelatihan astronot. Seiring waktu, tubuhnya semakin terbiasa dengan tantangan fisik dan mental yang melelahkan. Setiap hari, ia bangun dengan rasa lelah yang lebih dalam, tetapi juga dengan tekad yang semakin kuat. Kini, ia berada di titik yang sangat mendekati impian yang selama ini dikejar — menjadi bagian dari program antariksa yang sudah ia impikan sejak kecil.

Namun, meski hari-harinya penuh dengan keberhasilan kecil, Nararya tahu bahwa ujian sesungguhnya belum datang. Ada satu tahap terakhir yang harus ia lewati, tahap yang menentukan apakah ia akan benar-benar terpilih menjadi astronot atau tidak.

Hari itu, sebuah pengumuman penting diumumkan kepada semua peserta pelatihan.

“Besok pagi, kita akan melakukan simulasi terakhir,” kata instruktur yang selama ini membimbing mereka. “Simulasi ini akan menguji kemampuan kalian untuk bertahan hidup dalam situasi darurat di luar angkasa. Hanya mereka yang berhasil melewati ujian ini yang akan diterima dalam program final.”

Nararya menatap instruktur dengan serius. Bagaimana pun, ini adalah ujian terakhir. Semua yang sudah ia lakukan selama ini, latihan fisik, tes-tes teori, simulasi gravitasi nol, dan uji daya tahan, akan dipertaruhkan dalam satu kesempatan terakhir.

Pagi itu, ketika ia memasuki ruang pelatihan yang sudah disiapkan untuk simulasi darurat luar angkasa, ada rasa cemas yang menyelip di hati Nararya. Ia melihat sekeliling, mendapati dirinya bersama beberapa rekan pelatihan yang sudah banyak berjuang bersama. Semua wajah mereka tegang, tapi ada semangat yang sama yang bisa ia lihat di mata mereka.

Instruktur memberi perintah keras: “Simulasi dimulai sekarang. Kalian akan menghadapi serangkaian skenario darurat yang dapat terjadi di luar angkasa. Tujuan kalian adalah bertahan hidup dan menjaga keselamatan pesawat dan awak.”

Nararya menghela napas dalam-dalam. Baginya, ini bukan hanya soal fisik, tapi soal keberanian dan kelicikan dalam menghadapi situasi terburuk sekalipun. Tidak ada ruang untuk kesalahan.

Simulasi dimulai dengan cepat. Alarm berbunyi keras, mengindikasikan adanya kebocoran oksigen di kabin. Nararya, yang sudah mempersiapkan diri untuk skenario seperti ini, segera mengenakan masker oksigen dan memeriksa sistem peralatan dengan cermat. Setiap langkahnya dihitung, setiap detik yang berlalu adalah detik yang penuh ketegangan.

Saat simulasi berlanjut, ada beberapa masalah teknis yang terjadi, termasuk kerusakan pada sistem komunikasi dan kehilangan kontak dengan pusat kendali. Semua orang di dalam kabin terjebak dalam situasi yang menekan. Namun, Nararya tetap tenang. Ia tahu apa yang harus dilakukan.

“Periksa indikator di panel kontrol!” serunya kepada rekannya, Ardi, yang sedang mencoba memperbaiki perangkat komunikasi. “Kita harus tetap fokus!”

Dengan hati-hati, mereka memeriksa semua sistem. Nararya bekerja cepat, menganalisis data dan mencoba menemukan solusi untuk masalah yang semakin rumit. Ada beberapa kali rasa panik yang sempat muncul, tetapi ia segera mengingat kata-kata ibunya yang selalu mengingatkannya untuk tetap tenang dalam situasi apapun.

Setelah berjam-jam bertarung melawan ketidakpastian, akhirnya simulasi itu selesai. Semua peserta tampak kelelahan, termasuk Nararya. Tetapi ada rasa lega yang datang setelah semua itu berakhir.

Instruktur akhirnya memberi isyarat untuk berhenti. “Selesai. Semua simulasi telah selesai. Kami akan segera mengumumkan siapa yang akan melanjutkan ke tahap akhir.”

Nararya duduk di lantai, merasakan peluh yang menetes di dahinya. Ia tidak bisa menahan rasa lelahnya, tetapi juga tidak bisa menahan rasa cemas yang merayap. Ia tahu, ujian kali ini adalah yang terbesar. Meskipun ia merasa sudah memberikan yang terbaik, tetap ada sedikit ketakutan dalam dirinya.

Saat instruktur mulai membacakan nama-nama peserta yang berhasil lolos, Nararya mendapati dirinya hampir tidak bisa mendengar apa yang dikatakan. Waktu itu terasa berjalan begitu lambat, dan setiap nama yang disebutkan terasa seperti jeda yang tak berujung.

“Dan nama terakhir yang akan melanjutkan ke tahap final adalah…” Instrukturnya berhenti sejenak, memberi efek dramatis yang membuat seluruh ruangan menjadi sunyi.

“Nararya Avicenna.”

Suara itu membuat jantung Nararya berdebar kencang. Ia menatap instruktur dengan mata terbuka lebar, tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Nama yang disebutkan adalah namanya.

Ia merasa seolah-olah dunia berhenti sejenak. Semua perasaan campur aduk—kegembiraan, kebanggaan, dan kelegaan. Ia berhasil. Mimpi yang selama ini terasa jauh kini tampak lebih dekat dari sebelumnya. Itu bukan hanya hasil dari kerja keras, tetapi juga bukti bahwa setiap usaha yang ia lakukan, setiap rintangan yang ia hadapi, semuanya berarti.

Beberapa minggu setelah pengumuman itu, Nararya diterima di program final yang akan membawanya lebih dekat ke luar angkasa. Meski masih ada banyak ujian dan tantangan yang harus dilalui, Nararya merasa bahwa ia kini lebih siap dari sebelumnya. Di dalam hatinya, ia tahu bahwa ia akan melakukan apa saja untuk mengejar impiannya.

Suatu malam, di luar gedung pelatihan, ia menatap langit yang luas. Bintang-bintang berkilauan jauh di sana, seolah mengingatkan bahwa impian itu bukanlah hal yang mustahil. Ia tersenyum. Langit itu bukan hanya tempat untuk bermimpi, tapi tempat untuk mewujudkan segala harapan.

“Aku akan sampai di sana,” bisiknya pada dirinya sendiri. “Nama ku akan tertulis di langit.”

Dengan tekad itu, Nararya menatap bintang-bintang yang jauh, yakin bahwa di suatu hari nanti, ia akan berada di sana, terbang bersama angkasa, menuju impian yang telah ia rajut selama bertahun-tahun.

Tamat.

Perjalanan Nararya menuju luar angkasa bukan hanya tentang mengejar impian besar, tapi juga tentang ketekunan, keberanian, dan kegigihan dalam menghadapi setiap tantangan. Dari mulai pelatihan yang berat hingga akhirnya menembus batas langit, kisahnya mengingatkan kita bahwa tidak ada impian yang terlalu besar jika kita terus berusaha dan tidak menyerah.

Jadi, buat kamu yang juga punya impian tinggi, ingatlah untuk selalu berusaha, melangkah maju, dan yakin bahwa langit bukanlah batas, melainkan tujuan yang menanti untuk dicapai. Semoga kisah Nararya bisa menginspirasi perjalanan impianmu!

Leave a Reply