Perjalanan Seorang Desainer: Dari Hobi Jadi Passion yang Mengubah Hidup

Posted on

Siapa sih yang nggak pengen punya pelajaran favorit yang beneran bisa jadi jalan hidup? Nah, ini cerita tentang seorang anak yang awalnya cuma iseng di kelas desain grafis, tapi malah jatuh cinta beneran sama dunia digital art.

Dari yang awalnya cuma main-main dengan warna dan efek, sampai akhirnya bisa bikin desain yang ngomong tanpa perlu banyak kata. Gimana sih perjalanannya? Yuk, baca sampai habis!

Perjalanan Seorang Desainer

Titik Awal Garis Mimpiku

Di sebuah aula sekolah yang ramai, suara musik menggema dari panggung utama. Para siswa berkumpul, bertepuk tangan, dan bersorak menyaksikan berbagai pertunjukan dalam acara pentas seni tahunan. Namun, di sudut ruangan yang lebih sepi, ada sesuatu yang menarik perhatian Riksa—seorang kakak kelas sedang duduk di depan laptop, tangannya cekatan menggerakkan mouse dan tablet grafis.

Layar laptop itu menampilkan sebuah desain poster dengan warna-warna mencolok, font yang tertata rapi, dan elemen grafis yang menyatu sempurna. Mata Riksa terpaku. Itu bukan sekadar gambar biasa, tapi sesuatu yang terasa hidup.

“Kak, ini kakak yang buat?” tanya Riksa, tanpa bisa menyembunyikan ketertarikannya.

Kakak kelas itu—Tama namanya—menoleh sekilas, lalu mengangguk sambil tetap sibuk mengatur layer-layer desainnya. “Iya. Kenapa?”

“Kerennya…” gumam Riksa, hampir tanpa sadar.

Tama akhirnya berhenti sejenak dan tersenyum kecil. “Kamu suka desain?”

Riksa tidak langsung menjawab. Sebenarnya, ia belum pernah benar-benar mencoba mendesain sesuatu. Ia hanya merasa… ada sesuatu yang menarik dari apa yang baru saja ia lihat. “Aku nggak tahu, sih. Tapi ini keliatan keren banget.”

Tama terkekeh. “Kalau penasaran, coba aja belajar. Banyak kok tutorial di internet. Awal-awalnya mungkin susah, tapi kalau udah nemu feel-nya, bakal ketagihan.”

Riksa mengangguk pelan. Ada ketertarikan aneh yang tiba-tiba muncul di hatinya. Saat itu, ia tidak tahu bahwa momen kecil ini akan menjadi awal dari sesuatu yang besar dalam hidupnya.

Hari-hari berlalu, dan rasa penasaran itu terus mengganggu pikirannya. Sampai akhirnya, Riksa memutuskan untuk mencoba sendiri.

Di kamar kecilnya, ia membuka laptop yang sudah mulai tua. Ia mencari-cari software desain gratis di internet dan mencoba membuat sesuatu, apa saja. Tapi, setiap kali mencoba, hasilnya tidak pernah seperti yang ia bayangkan. Warna-warnanya berantakan, bentuknya kaku, dan ia bahkan tidak tahu bagaimana cara mengatur font agar terlihat menarik.

“Kenapa susah banget, sih?” gumamnya frustrasi.

Sore itu, ia duduk di teras rumah dengan wajah masam. Layar laptopnya masih menyala, menampilkan desain pertamanya yang—jujur saja—buruk sekali.

Tiba-tiba, suara familiar terdengar dari pagar. “Lagi ngapain?”

Riksa menoleh dan melihat sahabatnya, Dipa, berdiri dengan satu alis terangkat.

“Nyoba desain,” jawab Riksa malas.

Dipa mendekat dan mengintip layar laptop. Dalam hitungan detik, ia tertawa. “Ini seriusan desainnya? Kok kayak—“

“Sumpah, jangan lanjut,” potong Riksa cepat.

Dipa masih tertawa, tapi kemudian ia menepuk bahu sahabatnya. “Eh, santai. Namanya juga baru belajar. Waktu pertama kali aku main gitar, suara petikannya kayak ayam dikagetin. Semua butuh waktu.”

Riksa hanya menghela napas. Ia tahu Dipa ada benarnya, tapi tetap saja… rasanya frustrasi.

Setelah beberapa saat terdiam, Dipa akhirnya berkata, “Kamu beneran suka ini?”

Riksa menatap layar laptopnya. Tangannya mengetuk-ngetuk touchpad pelan, lalu ia mengangguk. “Kayaknya iya.”

Dipa tersenyum. “Ya udah, belajar aja terus. Aku bakal jadi orang pertama yang liat kalau nanti kamu bikin desain keren.”

Malam itu, setelah Dipa pulang, Riksa kembali menatap layar laptopnya. Ia menarik napas dalam, lalu menggerakkan mouse, mencoba sekali lagi. Kali ini, ia tidak berharap hasilnya langsung bagus. Ia hanya ingin belajar, sedikit demi sedikit.

Dan tanpa ia sadari, saat itu juga, ia sudah mengambil langkah pertama menuju dunia yang akan ia cintai selamanya.

Kanvas Digital, Jiwaku yang Berbicara

Hari-hari berlalu, dan kini layar laptop Riksa selalu dipenuhi coretan warna-warni. Apa yang dulu terasa rumit, kini perlahan menjadi lebih familiar. Ia mulai mengenal berbagai tools, memahami cara kerja layer, dan bermain dengan kombinasi warna yang semakin terlihat lebih enak dipandang.

Tentu saja, masih ada banyak yang belum ia pahami. Tapi yang jelas, ia semakin menikmati prosesnya.

“Aku udah bisa bikin tulisan pakai efek glow,” katanya suatu siang saat duduk di kantin bersama Dipa.

Dipa yang sedang mengunyah gorengan langsung menelan makanannya dengan cepat. “Serius? Mana, liatin!”

Dengan bangga, Riksa membuka galeri desain di ponselnya dan menunjukkan hasil eksperimennya. Sebuah tulisan bertuliskan “Create Your Own Art”, dengan font tebal dan efek cahaya biru neon yang menyala di tengah latar belakang gelap.

Dipa menatapnya beberapa detik, lalu mengangguk-angguk. “Oke, oke. Ini udah jauh lebih keren dibanding yang dulu.”

Riksa tertawa. “Ya iyalah, kalau nggak berkembang aku udah berhenti dari kemarin.”

Dipa tersenyum, lalu menyikut bahunya. “Tapi tetap kurang, sih.”

“Nah, kan.”

“Tapi serius, ini masih terlihat kayak efek yang asal ditempel. Kalau pengen lebih keren, kamu harus mulai belajar tentang komposisi. Biar semua elemen di desainmu nyatu, nggak kayak bagian-bagian yang ditempel sembarangan.”

Riksa mendesah. Dipa memang bukan seorang desainer, tapi entah kenapa, komentarnya selalu masuk akal.

Riksa semakin sering menghabiskan waktunya di depan layar laptop, mencoba memahami semua teori yang ia temukan di internet. Desain bukan sekadar memberi efek atau memilih warna keren—ia adalah seni menyusun elemen agar terlihat harmonis.

Suatu hari di kelas Desain Grafis, Pak Adibrata, guru mereka, memberikan tugas membuat poster bertema “Kreativitas Tanpa Batas”.

Mata Riksa berbinar. Ini kesempatan untuk benar-benar menunjukkan hasil belajarnya.

Saat jam pelajaran berakhir, ia tetap tinggal di kelas, masih sibuk dengan laptopnya. Beberapa teman sudah pulang, tetapi ia masih menggali ide.

“Kamu belum pulang?” suara seseorang mengejutkannya.

Ia menoleh dan melihat seorang siswi berdiri di dekat pintu. Namanya Nayara, salah satu murid yang dikenal jago menggambar secara manual, tetapi jarang berbicara banyak.

“Belum, masih nyari konsep,” jawab Riksa.

Nayara melangkah mendekat dan melirik layar laptopnya. “Udah ada gambaran?”

“Belum terlalu. Aku pengen bikin sesuatu yang benar-benar ‘ngomong’ tanpa harus dijelasin pakai kata-kata.”

Nayara tersenyum kecil. “Desain yang bagus emang harus bisa begitu.”

Ia duduk di kursi kosong di sebelah Riksa dan membuka bukunya. Ternyata, isinya adalah sketsa tangan. Mata Riksa langsung tertarik.

“Kamu bikin sendiri?”

“Iya.” Nayara membalik beberapa halaman, memperlihatkan berbagai sketsa wajah, tangan, dan bahkan beberapa desain logo. “Aku lebih suka gambar pakai tangan, tapi desain digital juga keren. Bedanya, kalau gambar manual, aku bisa langsung ngerasain teksturnya. Kalau digital, aku harus lebih sabar buat cari feel-nya.”

Riksa mengangguk pelan. Ia tidak menyangka akan berdiskusi tentang seni dengan Nayara.

“Aku pengen bikin poster yang… nyeritain gimana seseorang nemuin passion-nya,” ujar Riksa akhirnya.

Nayara menutup bukunya dan menatapnya. “Coba pikirin, apa yang bikin kamu suka desain?”

Riksa terdiam. Apa, ya?

Ia menatap layar laptopnya yang masih kosong, lalu mengingat bagaimana ia dulu pertama kali tertarik pada dunia ini. Bagaimana ia terinspirasi dari Tama. Bagaimana ia terus belajar meski awalnya sulit. Bagaimana ia merasa senang setiap kali berhasil membuat sesuatu yang lebih baik dari sebelumnya.

Tiba-tiba, ia tahu.

Ia membuka software desainnya, lalu mulai membuat sketsa kasar. Sebuah tangan menggenggam pensil digital, dengan percikan warna-warna yang muncul dari ujungnya, membentuk dunia penuh ide. Di bawahnya, sebuah bayangan samar menampilkan seorang anak kecil yang sedang menggambar dengan krayon di lantai.

Sebuah representasi dari perjalanan seorang seniman—dari sekadar coretan kecil, hingga akhirnya menjadi sesuatu yang bermakna.

Nayara tersenyum melihatnya. “Bagus. Kamu udah nemu cerita dalam desainmu.”

Riksa tersenyum kecil. Kali ini, ia merasa desainnya benar-benar bisa ‘berbicara’.

Warna-Warna dalam Tantangan

Hari penilaian tugas Desain Grafis akhirnya tiba. Kelas terasa lebih hidup dari biasanya. Semua murid menatap layar proyektor di depan kelas, di mana satu per satu poster mereka ditampilkan.

Riksa duduk dengan tangan mengepal di atas meja. Jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya. Ia sudah bekerja keras untuk tugas ini, menghabiskan malam-malam panjang hanya untuk memastikan setiap elemen dalam desainnya terasa benar. Tapi tetap saja, ada rasa cemas yang sulit ia kendalikan.

Pak Adibrata berdiri di depan kelas, melihat karya salah satu murid yang baru saja ditampilkan. “Desain ini memiliki konsep yang cukup jelas, tapi masih perlu dipoles dalam pemilihan warna. Ingat, warna bukan sekadar dekorasi, tapi juga elemen komunikasi. Kalau terlalu banyak warna mencolok tanpa keseimbangan, pesan yang ingin disampaikan bisa hilang.”

Beberapa murid mengangguk, ada juga yang tampak berpikir keras.

Lalu, file berikutnya muncul di layar.

Poster milik Riksa.

Sebuah tangan menggenggam pensil digital, mengeluarkan percikan warna yang membentuk dunia penuh ide. Di bawahnya, bayangan samar seorang anak kecil yang sedang menggambar dengan krayon, mencerminkan perjalanan seorang seniman menemukan passion-nya.

Kelas hening sejenak.

Pak Adibrata mendekat ke layar, menatap desain itu dengan serius. “Menarik.”

Riksa menahan napas.

“Ini adalah contoh desain yang memiliki narasi kuat. Tidak ada teks berlebihan, tapi pesan yang ingin disampaikan tetap jelas,” lanjut Pak Adibrata. “Namun…”

Napas Riksa tercekat.

“Keseimbangan warna di bagian bawah masih terasa terlalu berat. Bayangan anak kecilnya seharusnya dibuat sedikit lebih subtle, agar tidak terlalu mendominasi. Tapi secara keseluruhan, ini adalah desain yang berbicara.”

Seketika, ada kelegaan besar dalam hati Riksa. Ia tidak peduli dengan kritik kecil itu—yang penting, ia berhasil menyampaikan cerita dalam desainnya.

Beberapa teman mulai berbisik.

“Gila, ini keren banget.”

“Kayak ngeliat perjalanan hidup seseorang dalam satu gambar.”

“Bisa aja sih nanti menang lomba desain…”

Riksa menunduk, sedikit tersenyum. Ia tidak pernah berpikir sejauh itu. Ia hanya ingin membuat sesuatu yang berarti.

Saat jam pelajaran berakhir, Nayara menghampirinya di luar kelas.

“Selamat, desainmu dipuji,” katanya sambil menyilangkan tangan di dada.

“Masih ada kurangnya, sih.”

“Namanya juga belajar,” Nayara terkekeh. “Tapi jujur, desainmu bagus. Aku suka cara kamu bikin elemen-elemen di dalamnya punya makna.”

Riksa hanya mengangguk kecil. Ia merasa senang, tapi ia tahu, ini bukan akhir. Masih banyak yang harus ia pelajari.

Lalu tiba-tiba, ponselnya bergetar di dalam saku.

Sebuah pesan masuk di grup kelas Desain Grafis.

“Sekolah kita akan ikut lomba poster digital tingkat nasional. Bagi yang berminat, bisa daftar ke Pak Adibrata.”

Riksa menatap layar ponselnya cukup lama.

Lomba?

Dipa, yang kebetulan baru keluar dari kelas, menepuk bahunya. “Udah lihat pengumumannya?”

Riksa mengangguk pelan.

“Daftar, dong!” seru Dipa bersemangat. “Kamu udah jago, sayang kalau nggak ikut.”

Riksa masih ragu. Ini bukan sekadar tugas kelas—ini kompetisi. Apa dia cukup bagus untuk bersaing?

Nayara, yang berdiri di sampingnya, ikut menimpali. “Aku juga mau daftar.”

Riksa menoleh kaget.

“Aku nggak jago desain digital, tapi aku pengen nyoba. Jadi…” Nayara menatapnya serius. “Kalau kamu daftar juga, kita bisa sama-sama belajar dan lihat seberapa jauh kita bisa berkembang.”

Riksa terdiam. Ada sesuatu dalam perkataan Nayara yang membuatnya berpikir.

Bukan soal menang atau kalah.

Tapi soal seberapa jauh ia berani melangkah dalam dunia yang ia cintai.

Ia menghela napas, lalu mengetik balasan di grup.

“Aku daftar.”

 

Garis yang Menghubungkan Mimpi

Hari perlombaan akhirnya tiba. Riksa duduk di depan meja dengan layar monitor besar di depannya. Jarinya sudah siap di atas tablet grafis, tapi pikirannya masih dipenuhi berbagai kemungkinan.

Puluhan peserta dari sekolah-sekolah terbaik ikut berpartisipasi dalam kompetisi ini. Mereka semua terlihat percaya diri, sibuk dengan sketsa masing-masing. Di sampingnya, Nayara juga bersiap, wajahnya terlihat lebih serius dari biasanya.

Tema lomba baru saja diumumkan: “Masa Depan yang Kita Ciptakan”.

Riksa menarik napas panjang. Ini bukan sekadar tentang menggambar sesuatu yang futuristik—ini tentang bagaimana cara ia melihat masa depan.

Lomba pun dimulai.

Riksa menatap layar kosongnya, pikirannya berputar cepat.

Masa depan?

Tiba-tiba, ia mengingat perjalanan yang telah ia lalui. Dari pertama kali ia melihat desain Tama, saat ia frustrasi dengan karya pertamanya, saat ia mulai memahami arti keseimbangan warna, dan sekarang—ia berada di sini, di antara para peserta yang memiliki mimpi yang sama.

Tangan Riksa mulai bergerak. Ia membuat sebuah sketsa kasar: dua tangan, satu di atas dan satu di bawah, saling terhubung oleh garis-garis digital yang bersinar. Di latar belakang, ada perpaduan warna-warna yang melambangkan perubahan, perpaduan antara dunia nyata dan dunia digital.

Masa depan bukan tentang teknologi semata. Masa depan adalah tentang bagaimana kita menciptakan sesuatu yang menghubungkan kita.

Waktu berjalan cepat. Lima menit sebelum batas waktu, Riksa menatap desainnya untuk terakhir kali. Ia memeriksa setiap elemen, memastikan semuanya terasa tepat.

Di sampingnya, Nayara juga baru saja menyelesaikan desainnya—sebuah gambaran kota impian yang penuh dengan seni dan kreativitas. Mereka saling menatap, lalu tersenyum kecil.

“Kamu puas?” tanya Nayara.

Riksa mengangguk. “Iya. Kali ini, aku benar-benar merasa desainku bisa ‘bicara’.”

Beberapa hari kemudian, pengumuman pemenang pun tiba. Seluruh peserta berkumpul di aula besar, jantung mereka berdegup kencang menanti hasilnya.

“Juara ketiga…”

Bukan nama Riksa.

“Juara kedua…”

Masih bukan.

Hingga akhirnya, saat juara pertama diumumkan, Riksa hampir tidak percaya saat mendengar namanya dipanggil.

Ia berjalan ke depan panggung, menerima piala dan sertifikat dengan tangan gemetar. Di antara sorakan teman-temannya, di antara ucapan selamat yang datang bertubi-tubi, ia menyadari satu hal:

Desain grafis bukan lagi sekadar pelajaran favoritnya.

Ini adalah bagian dari dirinya.

Ini adalah jiwanya.

Dan perjalanan ini baru saja dimulai.

 

Dari sekadar tugas sekolah sampai akhirnya menang kompetisi, siapa sangka perjalanan di dunia desain grafis bisa sejauh ini? Tapi satu hal yang pasti—passion nggak akan berhenti di satu titik. Selalu ada warna baru yang bisa dieksplor, selalu ada garis baru yang bisa ditarik. Karena dalam dunia desain, setiap goresan punya cerita, dan setiap cerita bisa jadi awal dari sesuatu yang lebih besar!

Leave a Reply