Perjalanan Sagara: Dari Gang Sempit ke Dunia Kampus Elite

Posted on

Pernah nggak sih, kalian merasa dihadapkan sama dua dunia yang berbeda? Dunia yang satu menawarkan segala kemewahan dan kebebasan, sementara yang satu lagi, dunia tempat kalian tumbuh dan belajar, penuh dengan keterbatasan dan perjuangan.

Cerpen ini bakal ngebahas tentang Sagara, seorang anak yang berjuang keras untuk menembus batasan-batasan itu, mulai dari dunia gang sempit hingga dunia kampus elite yang penuh tantangan. Gimana caranya dia bisa bertahan dan tetap jadi dirinya meskipun semuanya berubah? Simak perjalanan Sagara yang nggak cuma soal prestasi, tapi juga soal menemukan keseimbangan di antara dua dunia yang berseberangan!

 

Perjalanan Sagara

Mimpi di Gang Sempit

Gang sempit itu masih basah sisa hujan tadi malam. Bau tanah bercampur genangan air memenuhi udara, sementara anak-anak kecil berlarian tanpa peduli baju mereka belepotan lumpur. Di depan rumah berdinding kayu yang mulai lapuk, seorang pemuda duduk bersila di kursi plastik, matanya menatap langit mendung yang menggantung di atas atap-atap seng.

Sagara menunggu ibunya pulang dari rumah majikan. Seperti biasa, ibunya bekerja mencuci baju di rumah orang kaya di perumahan sebelah. Ia melirik jam di dinding rumah mereka—hampir pukul tujuh pagi. Itu berarti ibunya sebentar lagi pulang, membawa sekantong plastik berisi makanan sisa dari rumah majikannya.

Tak lama, suara langkah kaki terdengar dari ujung gang. Seorang wanita paruh baya dengan pakaian lusuh dan rambut digelung seadanya muncul sambil menjinjing kantong plastik. Sagara segera berdiri dan meraih kantong itu dari tangan ibunya.

“Kamu belum sarapan, kan?” tanya ibunya, suaranya lembut tapi penuh kelelahan.

Sagara menggeleng. “Aku nunggu Ibu pulang dulu.”

Ibunya tersenyum tipis. “Aku udah makan di rumah majikan. Makan aja dulu.”

Tanpa banyak bicara, Sagara membuka kantong plastik itu. Ada beberapa potong ayam goreng yang sudah agak dingin, satu piring nasi yang sedikit kering, dan sepotong roti dengan gigitan di sudutnya. Bagi sebagian orang, mungkin itu hanya sisa makanan, tapi bagi Sagara, itu adalah sarapan berharga.

“Aku dapet beasiswa,” ucapnya tiba-tiba sambil menyuap nasi.

Ibunya berhenti mengipas-ngipas wajah dengan kerudung lusuhnya. Matanya melebar, seolah tak yakin dengan apa yang baru saja didengarnya.

“Beasiswa?” ulangnya.

Sagara mengangguk. “Di universitas ternama. Semua biaya kuliah ditanggung.”

Sejenak, ibunya terdiam. Kedua tangannya gemetar sebelum akhirnya ia menangkup wajah anak semata wayangnya dengan penuh kebanggaan.

“Kamu benar-benar bisa kuliah, Nak…” suaranya terdengar serak, hampir seperti bisikan.

Sagara tersenyum, tapi dalam hatinya ada kegelisahan. Ia tahu kuliah bukan hanya soal biaya pendidikan. Ada banyak hal yang harus ia pikirkan—uang transportasi, buku-buku, bahkan sekadar makan sehari-hari. Tapi ia tidak ingin membuat ibunya cemas.

“Nanti aku cari kerja sambilan,” lanjutnya. “Yang penting aku bisa tetap kuliah.”

Ibunya menatapnya dengan ragu. “Jangan sampai kamu kecapekan, Nak. Kuliah itu berat.”

Sagara tertawa kecil. “Aku udah biasa capek, Bu.”


Pagi itu, kabar tentang Sagara yang mendapat beasiswa menyebar cepat di gang kecil mereka. Tetangga-tetangga mulai berdatangan, sebagian mengucapkan selamat, sebagian hanya sekadar ingin tahu.

“Anaknya Bu Rini ini memang pinter dari kecil!” ujar seorang ibu-ibu bertubuh gempal yang berdiri di depan rumah mereka. “Dari dulu aku udah bilang, dia pasti bisa sukses.”

“Tapi kuliah itu mahal, lho,” timpal seorang bapak-bapak dengan tangan bersedekap. “Beasiswa aja nggak cukup kalau nggak ada biaya buat hidup sehari-hari.”

Sagara hanya tersenyum mendengar komentar itu. Ia sudah tahu, di lingkungan ini, keberhasilan seseorang sering kali lebih banyak mengundang rasa penasaran daripada pujian tulus.

Tak lama, seorang pemuda sebaya dengan Sagara datang menghampiri. Ia mengenakan kaos lusuh dengan celana pendek dan sandal jepit yang talinya hampir putus.

“Kamu beneran mau kuliah, Ga?” tanyanya dengan nada skeptis.

Sagara mengangguk. “Iya.”

Pemuda itu tertawa pendek. “Kamu yakin bisa bertahan? Nanti kalau udah di sana, orang-orangnya beda jauh sama kita. Mereka tajir-tajir semua.”

“Aku ke sana buat belajar, bukan buat nyamain diri sama mereka.”

“Tapi tetep aja, Ga,” lanjut pemuda itu. “Hati-hati aja, nanti malah balik ke sini dengan kepala gede. Lupa sama kita-kita.”

Sagara hanya tersenyum tipis. Ia tahu, tidak semua orang akan senang dengan keberhasilannya. Dan itu tidak masalah.

Malam itu, setelah gang mulai sepi dan hanya suara jangkrik yang terdengar, Sagara duduk di kasur tipisnya. Ia menatap langit-langit rumah yang penuh bercak air akibat kebocoran. Di sampingnya, ibunya sudah tertidur, napasnya terdengar pelan dan teratur.

Sagara menatap tangan kasarnya sendiri. Ia ingat bagaimana ia tumbuh dengan terbiasa bekerja—membantu mengangkut barang di pasar, mencuci piring di warung, bahkan menjadi buruh bangunan sekali waktu.

Sekarang, dunia baru menunggunya. Dunia yang penuh tantangan, dunia yang mungkin tidak akan sehangat gang kecil ini.

Namun, ia sudah bertekad. Tidak peduli seberapa sulit jalannya, ia akan melangkah.

Sagara menarik napas dalam, lalu memejamkan mata.

Esok, hidupnya akan mulai berubah.

 

Langkah di Dunia Baru

Langit pagi di kota terasa berbeda. Di dalam bus yang penuh sesak, Sagara berdiri di pojokan dekat jendela, memegang erat ranselnya yang sudah mulai usang. Bus bergerak tersendat di antara kendaraan lain, sementara suara klakson bersahut-sahutan di luar sana.

Hari ini adalah hari pertamanya di kampus.

Sagara turun di halte dekat universitas. Saat langkahnya melewati gerbang besar dengan logo kampus yang menjulang megah, perbedaan dunia ini semakin terasa. Mahasiswa lain berjalan santai dengan pakaian rapi dan mahal. Beberapa membawa laptop terbaru, yang mungkin harganya lebih mahal dari biaya hidup Sagara dalam setahun.

Ia menarik napas dalam, menyesuaikan langkahnya.

Di dalam kelas, ia duduk di barisan tengah, cukup jauh dari mahasiswa yang saling mengobrol dengan riang. Seorang pria berkemeja putih yang duduk di sebelahnya menoleh dan tersenyum tipis.

“Baru masuk, ya?” tanyanya.

“Iya,” jawab Sagara singkat.

“Aku Adrian,” pria itu memperkenalkan diri. “Kayaknya kita satu jurusan.”

“Sagara.”

Adrian mengangguk kecil, lalu melirik ke arah sepatu Sagara yang mulai usang. Ada kerutan samar di dahinya, tapi ia tidak berkomentar.

Tak lama, seorang dosen masuk ke dalam kelas. Kuliah pertama pun dimulai, tapi bukan itu yang membuat Sagara gelisah. Di sekelilingnya, semua orang terlihat santai. Mereka berbicara dengan percaya diri, bahkan sesekali bercanda dengan dosen.

Sagara merasa terasing.

Saat istirahat, Adrian menawarinya untuk makan di kafe kampus bersama beberapa teman. Sagara menolak halus dan memilih berjalan ke taman, duduk di bangku kosong sambil membuka bekal nasi dan telur dadar yang dibawanya dari rumah.

Tepat saat ia mulai makan, dua orang mahasiswa melintas di depannya.

“Kamu lihat tadi? Ada yang bawa bekal sendiri di kampus ini,” kata salah satu dari mereka dengan nada mengejek.

“Haha, serius? Gila, ini universitas, bukan sekolah dasar,” balas temannya sambil tertawa.

Sagara tidak menoleh. Ia hanya mengunyah perlahan, pura-pura tidak peduli.

Hari-hari berikutnya tidak jauh berbeda. Sagara sibuk dengan kuliah dan tugas-tugasnya, sementara teman-temannya mulai membentuk kelompok sendiri.

Adrian tetap menjadi satu-satunya orang yang sering mengajaknya bicara. Suatu sore, saat mereka berjalan keluar dari kelas, Adrian tiba-tiba bertanya, “Kamu kerja sambilan, ya?”

Sagara menoleh. “Kok tahu?”

“Aku sering lihat kamu pulang buru-buru,” jawab Adrian santai. “Dan kadang matamu merah pas pagi.”

Sagara mengangguk pelan. Ia bekerja sebagai petugas kebersihan di sebuah perpustakaan kecil. Pekerjaannya sederhana—menyapu, mengepel, merapikan rak buku. Uang yang didapat memang tidak banyak, tapi cukup untuk membayar ongkos bus dan sesekali membeli buku yang dibutuhkan.

“Kenapa nggak ambil kerja yang lebih santai?” tanya Adrian lagi.

Sagara tertawa kecil. “Kalau ada yang lebih santai tapi tetap bisa bayar ongkosku ke sini, kasih tahu aku.”

Adrian terdiam. Sejak saat itu, meski tak banyak bertanya lagi, ia selalu berusaha berbagi catatan kuliah dengan Sagara, bahkan beberapa kali membelikan kopi tanpa banyak bicara.

Namun, tidak semua orang sebaik Adrian. Ada kelompok mahasiswa lain yang mulai memperhatikan Sagara, tapi bukan karena kagum—melainkan karena mereka merasa ada seseorang yang tidak seharusnya berada di lingkungan mereka.

Suatu hari, ketika Sagara masuk kelas, ia menemukan secarik kertas di mejanya.

“Tempatmu bukan di sini.”

Ia meremas kertas itu dan membuangnya tanpa ekspresi.

Sagara sudah tahu, dunia baru ini memang tidak selalu ramah. Tapi ia tidak akan mundur. Ia sudah melangkah terlalu jauh untuk kembali.

 

Harga Sebuah Perubahan

Waktu berjalan cepat. Semester demi semester berlalu, dan Sagara mulai terbiasa dengan ritme kehidupan barunya. Ia tetap menjadi mahasiswa pendiam yang jarang ikut nongkrong, tapi namanya mulai dikenal di kelas—bukan karena latar belakangnya, melainkan karena prestasinya.

Ia selalu mendapat nilai tertinggi dalam ujian, aktif dalam proyek penelitian, dan bahkan dipercaya menjadi asisten dosen. Beberapa dosen mulai memerhatikannya, sementara mahasiswa lain, yang dulu menganggapnya tidak ada, kini mulai melirik dengan berbagai ekspresi—ada yang kagum, ada yang iri.

Adrian masih menjadi satu-satunya teman yang benar-benar dekat dengannya. Namun, belakangan, Sagara mulai jarang menghabiskan waktu dengannya.

“Kamu berubah, Ga,” kata Adrian suatu sore ketika mereka duduk di taman kampus.

Sagara mengangkat alis. “Maksudmu?”

“Dulu, kamu nggak peduli sama omongan orang. Sekarang, rasanya kamu makin jauh.”

Sagara tertawa kecil. “Aku cuma sibuk.”

Adrian menghela napas. “Atau mungkin kamu mulai sadar kalau dunia ini nggak bisa nerima orang kayak kita?”

Sagara tidak langsung menjawab. Ia paham maksud Adrian. Selama ini, ia berusaha menyesuaikan diri—bukan hanya dengan dunia akademik, tapi juga dengan lingkungan sosialnya.

Sekarang, ia mulai memakai pakaian yang lebih rapi. Ia tidak lagi membawa bekal dari rumah, memilih makan di kantin dengan porsi paling murah. Ia juga tidak lagi naik bus pagi yang penuh sesak, melainkan memilih kereta agar tiba di kampus dengan tampilan lebih bersih dan segar.

Ia berusaha menghilangkan jejak lamanya.

Namun, meskipun ia telah berusaha menyesuaikan diri, dunia ini masih menyimpan batas yang tak terlihat.

Suatu hari, seorang mahasiswi bernama Karina tiba-tiba menghampirinya di perpustakaan. Ia berasal dari keluarga kaya, terkenal di kampus karena pesonanya.

“Kamu sibuk, Ga?” tanyanya sambil tersenyum.

Sagara menutup bukunya. “Nggak terlalu. Kenapa?”

“Aku dengar kamu jago Matematika,” katanya. “Aku butuh tutor buat ujian besok.”

Sagara mengangguk. Ia tidak pernah menolak membantu orang, apalagi jika itu bisa menambah relasinya.

Mereka belajar bersama di kafe kampus. Karina mendengarkan dengan serius, dan beberapa kali tersenyum setiap kali Sagara berhasil menjelaskan sesuatu yang rumit dengan sederhana.

Di sudut lain kafe, beberapa mahasiswa memperhatikan mereka.

“Si Sagara itu siapa, sih?” bisik seseorang.

“Anak beasiswa. Kayaknya dari keluarga biasa aja.”

“Hah? Kok bisa Karina deket sama dia?”

Bisikan itu terdengar sampai ke telinga Sagara. Ia pura-pura tidak mendengar, tapi Karina mendengus pelan.

“Mereka nggak ngerti,” gumamnya.

Sagara tersenyum tipis. Ia tahu, sekeras apa pun ia mencoba menyesuaikan diri, tetap ada tembok yang membatasi dirinya dengan mereka.

Semakin tinggi Sagara melangkah, semakin banyak orang yang mulai menganggapnya sebagai ancaman.

Suatu malam, ketika ia pulang dari kampus, ia menemukan sesuatu di ponselnya.

Pesan anonim.

“Jangan sok besar kepala. Kamu tetap anak gang sempit. Jangan lupa diri.”

Sagara terdiam. Ia pikir, ketika ia berusaha keras, ketika ia membuktikan diri, dunia ini akan menerimanya. Tapi ternyata, tidak semua orang siap melihat seseorang seperti dirinya naik ke atas.

Dulu, mereka menganggapnya tidak penting. Sekarang, mereka merasa ia mengganggu keseimbangan.

Ia meremas ponselnya, menatap lampu-lampu kota yang berpendar di kejauhan.

Harga dari perubahan bukan hanya perjuangan, tapi juga kesepian.

 

Langit yang Sama

Sagara berdiri di balkon apartemennya yang sempit, memandang ke luar. Langit malam itu tidak terlalu cerah, hanya sedikit bintang yang tersembunyi di balik awan tipis. Suara kendaraan di bawahnya terdengar samar-samar, seperti melodi kota yang terus berjalan tanpa henti.

Sagara sudah melewati banyak hal. Pujian, ejekan, kebanggaan, dan rasa cemas. Ia sudah berada di titik yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Ia mendapat pekerjaan di perusahaan besar, penghasilan yang cukup untuk hidup nyaman, dan bahkan sebuah apartemen kecil yang ia sewa dengan harga cukup tinggi. Semua ini adalah hasil dari kerja kerasnya, dari semua pengorbanan yang pernah ia buat.

Tapi terkadang, Sagara merasa hampa. Ia merasa seperti berjalan di atas jembatan rapuh, seolah ada sesuatu yang hilang meski dunia di sekitarnya semakin terang dan berkilau.

Ia menatap foto tua di meja samping tempat tidur. Foto itu menunjukkan dirinya yang masih muda, berdiri di depan rumah kecilnya dengan ibunya di sampingnya. Sagara tersenyum dalam foto itu, meskipun ia tahu betapa berat hidup mereka saat itu.

Tiba-tiba, suara pintu apartemen yang diketuk terdengar. Sagara membuka pintu dan menemukan Adrian berdiri di sana, wajahnya sedikit tegang.

“Sagara, kamu nggak berubah,” kata Adrian dengan suara rendah. “Tapi aku lihat kamu sekarang… kamu udah terlalu jauh dari kita.”

Sagara mengangkat alis. “Apa maksudmu?”

Adrian menatapnya, lalu menggeleng pelan. “Kamu jadi orang yang orang-orang di kampus puji sekarang. Kamu punya segala yang orang biasa nggak punya. Tapi aku merasa… kamu kehilangan sesuatu.”

Sagara menunduk. “Aku nggak kehilangan apa-apa.”

Adrian tersenyum tipis. “Tapi kamu lupa. Bahwa dulu kita cuma punya satu sama lain. Kita cuma punya gang sempit itu. Kamu sekarang bisa ke mana-mana, bisa makan enak, beli apa aja. Tapi di sini, di hati kamu, ada ruang kosong yang nggak bisa diisi semua itu.”

Sagara tidak menjawab. Ia tidak tahu bagaimana cara menjelaskan apa yang ia rasakan. Perubahan itu, kesuksesan itu, memberikan kebahagiaan, tapi juga membawa ketidaknyamanan yang tidak bisa dihindari.

“Kadang, aku mikir, apakah semua perjuangan ini worth it,” lanjut Sagara pelan. “Aku harus menjadi orang yang berbeda agar diterima, tapi semakin lama, aku merasa semakin jauh dari diriku sendiri.”

Adrian duduk di kursi dekat jendela. “Tapi kamu tetap orang yang sama, Ga. Yang beda cuma cara kamu melihat dunia.”

Sagara terdiam. Ia tahu apa yang Adrian katakan benar. Dunia telah berubah, dan ia pun telah berubah. Tapi di dalam hatinya, ada rasa yang tetap sama—rindu akan rumah, akan ibu, akan gang sempit yang dulu menjadi tempat ia tumbuh.

“Mungkin aku terlalu fokus mengejar sesuatu yang tak pernah benar-benar aku butuhkan,” kata Sagara perlahan.

Adrian mengangguk. “Tapi itu nggak berarti kamu harus berhenti berjuang, Ga. Kamu bisa tetap jadi dirimu, dan tetap maju. Kamu nggak harus memilih antara dua dunia. Kamu bisa menggabungkannya.”

Sagara tersenyum tipis. Ia merasa beban di pundaknya sedikit berkurang. Mungkin selama ini ia terlalu keras pada dirinya sendiri, terlalu menginginkan kesempurnaan dunia yang baru ini tanpa menyadari bahwa ia bisa membawa sebagian dari dirinya yang lama—dan itu cukup.

Ketika Adrian berdiri dan hendak pergi, Sagara memanggilnya. “Terima kasih.”

Adrian menoleh dan tersenyum. “Aku nggak pernah pergi, Ga. Kita masih bisa berteman, meski dunia kita berbeda.”

Sagara mengangguk. Dunia ini memang penuh dengan perubahan. Tapi langit yang sama, dan kenangan yang tidak pernah hilang, akan selalu ada di sana.

Dan dalam hatinya, ia tahu—apapun yang terjadi, ia tak akan pernah benar-benar kehilangan dirinya.

 

Nah, gimana menurut kalian? Perjalanan Sagara nggak cuma soal sukses atau kegagalan, tapi juga tentang perjalanan menemukan jati diri. Walaupun dunia berubah, tetep ada hal-hal yang nggak pernah berubah—yaitu siapa kita sebenarnya.

So, kalau kalian pernah merasa terjebak di dua dunia yang berbeda, inget aja, kita masih bisa jalanin semuanya tanpa harus kehilangan siapa diri kita. Mobilitas sosial itu mungkin butuh usaha keras, tapi yang paling penting, jangan sampai kita kehilangan ‘rumah’ kita sendiri.

Leave a Reply