Daftar Isi
Temukan kisah emosional yang membawa Anda ke dalam perjalanan hidup Zafriqal, seorang pemuda Jawa yang meninggalkan desa kecilnya untuk mengejar mimpi menjadi desainer grafis di Jakarta melalui cerpen Perjalanan Rantau Anak Jawa: Kisah Haru Menuju Mimpi. Penuh dengan detail hidup, perjuangan, dan rindu keluarga, cerita ini menggambarkan tantangan rantau, keberanian, dan harapan yang tak pernah padam. Siapkah Anda menyelami perjalanan inspiratif ini? Mari kita ikuti setiap bab yang penuh makna!
Perjalanan Rantau Anak Jawa
Kepergian di Bawah Cahaya Fajar
Pagi itu, langit Surabaya masih tertutup kabut tipis, seperti selimut yang menahan dinginnya udara pagi. Zafriqal, seorang pemuda 22 tahun dengan rambut hitam ikal yang sedikit berantakan dan mata cokelat penuh harap, berdiri di depan rumah panggung kayu milik keluarganya di desa kecil di Jawa Timur. Di tangannya, sebuah tas ransel tua berwarna hijau tua penuh jahitan tambal sulam, memuat pakaian lusuh, buku catatan lusuh, dan sebuah foto keluarga yang sudah menguning. Hari ini adalah hari pertamanya meninggalkan kampung halaman, sebuah langkah besar menuju Jakarta, tempat ia akan mengejar mimpinya menjadi desainer grafis.
Zafriqal, atau yang akrab dipanggil Zaf oleh teman-temannya, bukanlah orang yang mudah meninggalkan rumah. Ia lahir dan besar di tengah sawah hijau dan aroma tanah yang selalu basah setelah hujan. Ayahnya, Pak Harjo, seorang petani sederhana dengan tangan kasar penuh callus, selalu bangga dengan putranya yang gemar menggambar sejak kecil. Ibunya, Nyai Lestari, perempuan lembut yang selalu menyanyikan tembang Jawa di dapur, sering kali menatap Zaf dengan campuran kebanggaan dan kekhawatiran. “Zaf, kowe ngerti ora, rantau iku ora gampang. Tapi yen kowe yakin, Mbok lan Bapak ndukung,” kata Nyai Lestari semalam, suaranya bergetar sambil mengelus kepala Zaf.
Pagi ini, suasana rumah terasa berat. Pak Harjo berdiri di beranda, memegang cangkir kopi hitam tanpa gula, matanya memandang ke arah sawah yang mulai dipenuhi kabut. “Zaf, yen kowe susah ing kono, bali. Kene tetep dadi omahmu,” ujarnya dengan nada tegas namun penuh kasih sayang. Zaf mengangguk, mencoba menelan benjolan di tenggorokannya. Ia tahu ayahnya tak ingin menunjukkan kesedihan, tapi getar di suaranya tak bisa disembunyikan. Di sampingnya, adiknya, Rindiqa, seorang gadis 15 tahun dengan rambut panjang yang selalu diikat kuda, memeluk Zaf erat. “Mas Zaf, kowe janji bales saben minggu, ya!” pintanya sambil menahan isak.
Zaf tersenyum kecil, mengusap kepala Rindiqa. “Tenang, Dik. Mas bakal bales. Kowe jaga Mbok lan Bapak, ya.” Ia mengambil langkah pertama meninggalkan beranda, tapi setiap langkah terasa seperti menarik tali yang mengikat hatinya ke keluarga yang ditinggalkan. Di kejauhan, suara ayam berkokok bercampur dengan derit roda gerobak kuda yang membawa barang ke pasar, menciptakan irama pagi yang begitu akrab baginya. Zaf menoleh sekali lagi, melihat siluet keluarganya yang masih berdiri di beranda, tangan Nyai Lestari menggenggam ujung kain jariknya, seolah tak ingin melepaskan anak sulungnya.
Perjalanan menuju terminal bus dimulai dengan berjalan kaki menyusuri jalan tanah yang dipenuhi lumpur bekas hujan semalam. Zaf memakai sandal jepit tua warna cokelat, kakinya terasa dingin menyentuh tanah yang masih basah. Di sepanjang jalan, ia melewati sawah-sawah hijau yang membentang, petani-petani yang mulai bekerja, dan anak-anak yang berlarian menuju sekolah dengan seragam lusuh. Bau rumput segar bercampur dengan asap kayu bakar dari dapur-dapur warga, membawa kenangan masa kecilnya: bermain layang-layang di siang hari, membantu ayah menanam padi, dan mendengarkan cerita ibu tentang leluhur mereka di malam hari.
Di terminal, Zaf membeli tiket bus menuju Jakarta dengan uang hasil menjual beberapa sketsa lukisnya ke kolektor lokal. Tiket itu terasa ringan di tangannya, tapi beban di pundaknya semakin berat. Ia memilih duduk di bangku plastik yang sudah retak, menatap bus tua berwarna biru dengan tulisan “Jakarta Jaya” yang mulai dipenuhi penumpang. Di sampingnya, seorang ibu tua dengan keranjang ayam hidup mengobrol dengan pedagang kue, sementara sekelompok pemuda bermain kartu dengan tawa keras. Zaf mengeluarkan buku catatannya, membuka halaman terakhir yang berisi sketsa rumah panggung keluarganya, lengkap dengan detail atap genteng dan bunga kamboja di halaman. Di sudut halaman, ia menulis: “Hari ini, aku mulai. Jangan lupa siapa dirimu, Zaf.”
Bus akhirnya bergerak, meninggalkan debu dan asap knalpot di udara pagi. Zaf memandang keluar jendela, melihat desanya yang perlahan memudar di kejauhan. Ia teringat malam terakhirnya di rumah, ketika ia duduk bersama keluarga di depan tungku api, mendengarkan Nyai Lestari bercerita tentang paman jauh yang pernah merantau ke Kalimantan dan tak pernah kembali. “Rantau iku kaya segara, Zaf. Elok nanging bisa ngeleneh,” kata ibunya, matanya berkaca-kaca. Zaf saat itu hanya mengangguk, tapi kini ia mulai memahami makna di balik kata-kata itu. Rantau adalah lautan penuh harapan, tapi juga penuh badai yang tak terduga.
Perjalanan berlangsung berjam-jam, melewati jalan tol yang panjang dan kota-kota kecil yang penuh hiruk-pikuk. Zaf mencoba tidur, tapi pikirannya terus melayang ke keluarganya. Ia membayangkan Pak Harjo yang kini mungkin sedang memanen padi sendirian, Nyai Lestari yang sibuk menumbuk beras di lesung, dan Rindiqa yang mungkin duduk di beranda sambil menatap jalan, menunggu surat atau telepon darinya. Ia merasa bersalah meninggalkan mereka, terutama karena ia tahu ekonomi keluarga bergantung pada hasil sawah yang tak selalu stabil. Tapi ia juga tahu, jika ia tak pergi, mimpinya untuk menjadi desainer grafis—sesuatu yang ia pelajari dari buku-buku bekas dan video tutorial di warnet—akan tetap menjadi angan-angan.
Bus berhenti di sebuah rest area di tengah malam. Penumpang berhamburan turun, mencari makanan atau sekadar meregangkan kaki. Zaf turun, membeli sebotol air mineral dan sepotong roti dari warung kecil di pinggir jalan. Bau minyak goreng dan bensin bercampur di udara, menciptakan perasaan asing yang membuatnya rindu aroma tanah kampungnya. Ia duduk di trotoar, menatap bulan purnama yang menggantung di langit. Ia teringat cerita Nyai Lestari tentang bulan sebagai penjaga harapan para perantau. “Yen kowe kangen, omong karo bulan, Zaf. Dheweke bakal ngirim pesenmu menyang omah,” kata ibunya dulu. Zaf tersenyum kecil, lalu berbisik, “Bulan, tulung jaga Mbok, Bapak, lan Rindiqa. Aku bakal balik karo sukses.”
Kembali ke bus, Zaf membuka tasnya dan mengeluarkan foto keluarga yang selalu ia bawa. Foto itu diambil saat ia lulus SMA, dengan Pak Harjo tersenyum bangga, Nyai Lestari memegang tangannya, dan Rindiqa berpose lucu di sampingnya. Ia menatap wajah mereka lama, merasakan campuran haru dan tekad. Ia tahu perjalanan ini bukan hanya tentang mengejar mimpi, tapi juga tentang membuktikan bahwa ia bisa membuat keluarganya bangga. Tapi di balik tekad itu, ada ketakutan yang mengintai—bagaimana jika ia gagal? Bagaimana jika ia tak bisa bertahan di Jakarta, kota yang terkenal dengan kerasnya kehidupan?
Fajar mulai menyingsing saat bus mendekati Jakarta. Langit berubah dari hitam pekat menjadi jingga lembut, menciptakan pemandangan yang indah namun juga menakutkan bagi Zaf. Ia melihat gedung-gedung tinggi yang mulai muncul di kejauhan, kontras dengan hamparan sawah yang ditinggalkannya. Di dalam hatinya, ia merasa seperti sedang berdiri di ambang pintu baru, tempat di mana ia harus membuktikan dirinya. Tapi ia juga tahu, di balik setiap langkah yang ia ambil, ada bayang-bayang keluarganya yang terus mengikutinya, memberikan kekuatan meski jarak memisahkan.
Bus akhirnya berhenti di terminal Lebak Bulus, Jakarta. Zaf turun, membawa tasnya yang terasa semakin berat di pundaknya. Udara kota menyambutnya dengan bau asap kendaraan dan hiruk-pikuk klakson. Ia berdiri di tengah kerumunan, menatap langit yang kini terang sepenuhnya. Di dalam hatinya, ia berjanji pada dirinya sendiri: ia akan bertahan, ia akan berhasil, dan ia akan kembali ke desanya sebagai Zafriqal yang membawa kebanggaan. Tapi untuk saat ini, perjalanan barunya baru saja dimulai, dan ia tahu, tantangan sejati masih menantinya di ujung jalan.
Bayang Rindu di Tengah Beton
Pagi itu, jam menunjukkan 11:16 WIB, Selasa, 24 Juni 2025, ketika Zafriqal, atau Zaf, melangkah keluar dari terminal Lebak Bulus dengan tatapan penuh kebingungan. Udara Jakarta menyambutnya dengan bau asap kendaraan yang menusuk hidung dan suara klakson yang tak pernah berhenti. Di pundaknya, tas ransel tua berwarna hijau terasa semakin berat, seolah membawa beban harapan keluarganya dari desa kecil di Jawa Timur. Zaf berdiri di trotoar yang penuh sesak, menatap gedung-gedung tinggi yang menjulang, kontras dengan hamparan sawah hijau yang ditinggalkannya. Ini adalah hari pertamanya di rantau, dan ia belum tahu ke mana harus melangkah.
Zaf membuka peta sederhana yang ia cetak dari warnet desanya, lengkap dengan garis-garis tangan yang ia buat untuk menandai kos-kosan murah yang direkomendasikan oleh teman kuliahnya di Jakarta, Aditya. Alamatnya ada di daerah Tanah Abang, sebuah kawasan yang dikenal ramai dan penuh kehidupan. Dengan langkah ragu, Zaf naik angkot biru tua yang penuh sesak, berdesakan dengan penumpang lain yang tampak sibuk dengan ponsel mereka. Ia mencoba mencari tempat duduk, tapi hanya berhasil berdiri di dekat pintu, memegang tiang besi yang sudah berkarat. Bau keringat dan parfum murah bercampur di udara, membuatnya rindu aroma tanah basah dan bunga kamboja di halaman rumahnya.
Setelah perjalanan yang melelahkan selama hampir satu jam, Zaf akhirnya tiba di Tanah Abang. Pasar yang ramai dengan pedagang berteriak menawarkan barang dan pembeli yang berdesakan membuatnya pusing. Ia bertanya pada seorang bapak penjaga parkir tentang jalan ke kos-kosan yang dituju, dan dengan arah yang sederhana namun penuh istilah lokal, ia akhirnya menemukan sebuah gang sempit yang dipenuhi kabel-kabel menjuntai dan bau pembuangan. Kos-kosan itu adalah bangunan dua lantai dengan cat dinding yang mengelupas, pintu kayu yang berderit, dan jendela-jendela kecil yang tertutup debu. Zaf mengetuk pintu, dan seorang wanita paruh baya dengan rambut pendek berwarna abu-abu membukanya. “Mau ngontrak?” tanyanya dengan nada datar.
Zaf mengangguk, menjelaskan bahwa ia direkomendasikan oleh Aditya. Wanita itu, yang memperkenalkan diri sebagai Bu Siti, mengangguk pelan dan mengantar Zaf ke kamar kecil di lantai dua. Kamar itu sempit, hanya cukup untuk sebuah kasur tipis, meja kayu tua, dan lemari besi kecil yang sudah berkarat. Jendela menghadap ke gang sempit, membiarkan suara klakson dan teriakan pedagang masuk tanpa filter. Biayanya Rp500.000 per bulan, termasuk listrik dan air, tapi tak ada Wi-Fi. Zaf menelan ludah, merasa kamar ini jauh dari rumah panggungnya yang luas dan penuh udara segar, tapi ia tak punya pilihan lain. Ia menyerahkan uang muka yang ia tabung selama berbulan-bulan, dan Bu Siti memberikan kunci tua yang berderit saat diputar.
Malam pertama di kosan terasa sunyi, meski suara Jakarta tak pernah reda. Zaf duduk di tepi kasur, membuka tasnya dan mengeluarkan foto keluarga yang selalu ia bawa. Ia menatap wajah Pak Harjo, Nyai Lestari, dan Rindiqa, merasakan rindu yang menusuk. Ia mengeluarkan ponsel lamanya, mengetik pesan singkat ke Rindiqa: “Dik, Mas wis teka Jakarta. Kosan wis ditemokke. Kowe piye?” Beberapa menit kemudian, balasan datang: “Alhamdulillah, Mas! Kowe ati-ati ya. Kene Mbok lan Bapak kangen.” Zaf tersenyum, tapi air matanya tak bisa ditahan. Ia membayangkan Rindiqa membaca pesannya di beranda rumah, mungkin sambil membantu Nyai Lestari menanak nasi.
Keesokan harinya, Zaf memulai pencarian kerja. Ia berjalan kaki menyusuri jalanan Tanah Abang, membawa portofolio sederhana yang berisi sketsa dan desain digital yang ia buat di warnet desa. Ia mendatangi beberapa kafe, toko, dan studio desain kecil, menawarkan jasanya dengan gaji yang ia harapkan tak terlalu tinggi. Namun, respon yang ia terima kebanyakan sama: “Kamu belum punya pengalaman, Mas. Coba lagi tahun depan.” Kata-kata itu seperti pukulan berulang, membuat Zaf duduk di trotoar dengan kepala tertunduk. Ia merasa bodoh, meninggalkan keluarganya untuk sesuatu yang tampaknya tak mungkin ia capai.
Sore itu, hujan turun dengan deras, membasahi jaket tipis yang ia kenakan. Zaf berlindung di bawah tenda pedagang bakso, memesan semangkuk bakso kecil dengan harga Rp15.000. Sambil makan, ia mengobrol dengan pedagang tua bernama Pak Slamet, yang ternyata juga perantau dari Jawa Tengah puluhan tahun lalu. “Zaf, rantau iku kaya ngadepi ujian, Nak. Kadang susah, kadang elok. Tapi yen kowe ora nyerah, Gusti bakal nulungi,” kata Pak Slamet sambil mengaduk kuah bakso. Zaf mengangguk, merasa sedikit terhibur, tapi ketakutan tetap menggerogoti hatinya.
Hari-hari berikutnya berlalu dengan rutinitas yang melelahkan. Zaf bangun pagi, mencari pekerjaan, dan kembali ke kosan dengan tangan kosong. Ia mulai menghemat uang, hanya membeli nasi bungkus Rp5.000 dan air minum galon bersama penghuni kos lainnya. Malam-malamnya dihabiskan dengan menggambar di buku catatan, mencoba meningkatkan keterampilannya dengan bantuan video tutorial di ponsel yang koneksinya sering putus. Ia sering teringat kata-kata Nyai Lestari: “Yen kowe susah, doa karo Gusti, Zaf. Dheweke ngerti atimu.” Zaf mulai berdoa setiap malam, meminta kekuatan untuk bertahan.
Suatu hari, setelah dua minggu penuh penolakan, Zaf menerima telepon dari Aditya, teman kuliahnya yang kini bekerja di sebuah agensi desain kecil. “Zaf, ada lowongan di tempatku. Gaji kecil dulu, Rp2 juta per bulan, tapi bisa belajar. Mau coba?” tanya Aditya dengan suara antusias. Zaf tak bisa menolak, meski gajinya tak cukup untuk mengirim uang ke desa. Ia datang ke agensi itu, sebuah ruangan sederhana di lantai tiga gedung tua, dan mulai bekerja sebagai asisten desain dengan tugas awal membuat logo sederhana.
Pada malam pertama kerjanya, Zaf pulang ke kosan dengan langkah lebih ringan. Ia duduk di meja kayu tua, membuka buku catatannya, dan menggambar siluet rumah panggung keluarganya di bawah cahaya lampu redup. Ia menulis di samping sketsa itu: “Hari ini, aku mulai langkah pertama. Mbok, Bapak, Rindiqa, aku ora bakal nyerah.” Tapi di balik harapan itu, ada rasa rindu yang semakin dalam. Ia membayangkan Nyai Lestari menatap jalan setiap sore, menunggu kabar darinya, dan Pak Harjo yang mungkin mulai khawatir karena tak ada kiriman uang. Zaf tahu, perjalanan ini baru dimulai, dan badai yang lebih besar masih menantinya di ujung jalan.
Langit Jakarta mulai gelap, lampu-lampu kota menyala satu per satu, menciptakan pemandangan yang indah namun dingin. Zaf memandang keluar jendela, melihat bayang-bayang gedung dan kendaraan yang tak pernah berhenti. Di dalam hatinya, ia merasa seperti daun yang terlepas dari pohon, diterpa angin ke arah tak terduga. Tapi ia juga tahu, di balik setiap ketakutan, ada kekuatan dari desanya yang terus mengikutinya, memberikan harapan bahwa suatu hari ia akan kembali sebagai Zafriqal yang berhasil—bukan hanya untuk dirinya, tapi juga untuk keluarganya yang ia tinggalkan di bawah cahaya fajar.
Ujian di Tengah Gelap
Pagi itu, jam menunjukkan 07:30 WIB, Selasa, 24 Juni 2025, ketika Zafriqal, atau Zaf, bangun dari kasur tipisnya di kosan Tanah Abang dengan mata sembab. Cahaya matahari pagi menyelinap melalui celah-celah jendela kotor, menerangi dinding yang penuh noda dan meja kayu tua yang penuh sketsa berantakan. Udara Jakarta terasa pengap, bercampur dengan bau asap kendaraan dan sampah yang menumpuk di gang sempit di luar. Zaf menggosok wajahnya, mencoba menghapus rasa lelah yang menumpuk setelah dua minggu bekerja sebagai asisten desain di agensi kecil milik Aditya. Pekerjaan itu membawanya harapan, tapi juga tekanan yang tak ia duga sebelumnya.
Zaf memulai hari dengan mandi menggunakan ember plastik yang sudah retak, air dingin dari keran berkarat menyentuh kulitnya seperti tamparan kecil yang membangunkan semangatnya. Ia mengenakan kemeja sederhana yang sudah lusuh di beberapa bagian, bersama celana panjang hitam yang ia beli dengan harga murah di pasar loak. Di tangannya, ia membawa portofolio yang semakin tebal dengan desain-desain baru yang ia buat, meski banyak di antaranya masih terasa kurang sempurna menurut standar agensi. Hari ini, ia akan menghadapi ujian pertamanya: presentasi logo untuk klien kecil, sebuah warung kopi lokal yang ingin memodernisasi citranya.
Di agensi, ruangan kecil di lantai tiga gedung tua itu sudah ramai dengan aktivitas. Aditya, teman sekaligus atasannya, menyapa Zaf dengan senyum lelet sambil memegang secangkir kopi instan. “Zaf, siap, ya? Klien jam 10. Logo-mu harus bikin mereka takjub,” kata Aditya dengan nada setengah bercanda. Zaf mengangguk, tapi jantungnya berdegup kencang. Ia duduk di sudut ruangan, membuka laptop tua yang ia beli bekas, dan meninjau desainnya: sebuah logo sederhana dengan gambar cangkir kopi yang dikelilingi daun kopi, warna cokelat dan hijau yang ia pilih untuk mencerminkan kesederhanaan Jawa. Tapi di matanya, logo itu terasa biasa saja, tak sebanding dengan desain-desain profesional yang ia lihat di internet.
Klien tiba tepat waktu, seorang pria paruh baya bernama Pak Joko dengan jaket kulit dan ekspresi serius. Zaf mempresentasikan desainnya dengan suara yang sedikit gemetar, menjelaskan setiap elemen dengan hati-hati. Namun, reaksi Pak Joko tak seperti yang diharapkan. “Ini terlalu sederhana. Saya mau sesuatu yang modern, seperti Starbucks. Keren, gitu,” katanya dengan nada kecewa. Aditya mencoba menyelamatkan situasi, menawarkan revisi, tapi Zaf merasa gagal. Ia duduk kembali dengan kepala tertunduk, merasa semua usahanya selama dua minggu terakhir sia-sia. Di dalam hatinya, ia mendengar suara Nyai Lestari, “Zaf, yen susah, sabar. Gusti ngatur kabeh.”
Malam itu, Zaf pulang ke kosan dengan langkah berat. Hujan rintik-rintik turun, membasahi jaketnya yang sudah tipis. Ia duduk di meja kayu, menatap sketsa-sketsa yang ia buat, dan merasa seperti anak kecil yang tersesat. Ia mengeluarkan ponselnya, membaca pesan dari Rindiqa: “Mas Zaf, Mbok sakit pinggang minggu iki. Bapak ngomong kowe piye kabarnya. Kirim salam, ya.” Zaf menutup mata, air matanya jatuh di atas kertas. Ia ingin pulang, memeluk Nyai Lestari, dan membantu Pak Harjo di sawah. Tapi ia tahu, jika ia kembali sekarang, semua pengorbanannya akan sia-sia.
Zaf memutuskan untuk bekerja lebih keras. Ia menghabiskan malam dengan menonton tutorial desain di ponsel, mencoba memahami tren modern seperti tipografi berani dan palet warna yang mencolok. Ia menggambar ulang logo, menambahkan elemen geometris dan gradien warna yang ia pelajari, hingga matahari terbit di ufuk timur. Keesokan harinya, ia membawa desain revisi ke agensi, dan kali ini, Pak Joko tampak lebih puas. “Ini lebih baik. Bisa dipakai. Terima kasih, Mas,” katanya sebelum pergi. Aditya memuji Zaf, tapi di balik pujian itu, Zaf merasa ada tekanan untuk terus membuktikan dirinya.
Hari-hari berikutnya menjadi lebih sibuk. Zaf sering lembur hingga larut, mencoba memenuhi tenggat waktu proyek-proyek kecil yang diberikan Aditya. Ia mulai mengenal rekan-rekan kerjanya, seperti Mira, seorang desainer senior yang keras namun penuh saran, dan Bima, pemrogram yang suka bercanda. Mereka mengajak Zaf makan siang bersama di warung tenda dekat agensi, menyantap nasi uduk dengan ayam goreng dan sambal yang pedas. Di tengah tawa, Zaf merasa sedikit nyaman, tapi rindu keluarganya tetap mengintai. Ia mengirim sebagian kecil gajinya—Rp500.000—ke desa melalui wesel, dengan catatan: “Mbok, Bapak, Rindiqa, iki awal. Mas bakal ngirim liyane.”
Namun, kehidupan di Jakarta tak selalu manis. Bulan kedua, Zaf menghadapi krisis finansial. Gaji Rp2 juta tak cukup untuk menutupi kosan, makan, dan kebutuhan sehari-hari, apalagi mengirim uang ke desa. Ia mulai berhemat ekstrem, membeli nasi bungkus Rp3.000 dan minum air keran yang dimasak sendiri. Listrik kosan sering padam, membuatnya bekerja di bawah cahaya lilin yang redup. Suatu malam, saat hujan deras mengguyur, atap kosan bocor, membanjiri lantai kamarnya. Zaf hanya bisa menatap air yang menggenang, merasa seperti hidupnya juga tenggelam.
Di tengah keputusasaan itu, Zaf menerima telepon dari Nyai Lestari. Suara ibunya terdengar lemah, diselingi batuk kecil. “Zaf, Mbok kangen. Kowe piye kabar? Bapak ngomong awake dewe kurang sehat.” Zaf menutup mulutnya, menahan isak. Ia ingin bilang bahwa ia juga sakit hati, bahwa ia merasa gagal, tapi ia memilih berbohong. “Mbok, aku apik. Aku kerja, mbok tenang. Aku bakal balik neng kene,” katanya, suaranya bergetar. Setelah menutup telepon, Zaf menangis dalam diam, memeluk foto keluarganya yang sudah basah oleh air hujan.
Zaf mencoba mencari solusi. Ia mulai menawarkan jasa desain freelance di media sosial, memposting portofolionya dengan harapan ada klien yang tertarik. Hasilnya kecil—Rp200.000 dari sebuah desain poster—tapi cukup untuk membeli obat batuk yang ia kirim ke desa untuk Nyai Lestari. Ia juga belajar memasak nasi goreng sederhana di kompor kecil yang ia beli bekas, menghemat uang makan. Di malam-malam sepi, ia menggambar siluet desa dan sawah, mencoba mengikat dirinya pada akar yang jauh di Jawa Timur.
Suatu hari, Mira mendekatinya di agensi, membawa secangkir teh hangat. “Zaf, aku liat kamu kerja keras. Tapi jangan lupa istirahat. Kamu masih baru, punya waktu buat belajar,” katanya lembut. Zaf tersenyum, merasa ada sedikit kehangatan di tengah dinginnya Jakarta. Ia mulai membuka diri, bercerita tentang desanya, tentang Nyai Lestari yang sakit, dan tentang mimpinya menjadi desainer terkenal. Mira mendengarkan dengan sabar, lalu menawarkan bantuan untuk mengasah keterampilannya.
Malam itu, Zaf duduk di meja kayu, menatap langit Jakarta yang dipenuhi polusi. Ia tahu, ujian ini baru permulaan. Nyai Lestari yang sakit, Pak Harjo yang menua, dan Rindiqa yang menantikan kabarnya adalah motivasi yang terus mendorongnya. Di dalam hatinya, ia berjanji akan bertahan, meski gelap menyelimuti, karena di balik setiap kesulitan, ada harapan bahwa suatu hari ia akan kembali ke desa dengan tangan penuh keberhasilan—bukan hanya untuk dirinya, tapi untuk keluarga yang ia cintai di ujung perjalanan panjang ini.
Cahaya di Ujung Perjalanan
Pagi itu, pukul 11:18 WIB, Selasa, 24 Juni 2025, Zafriqal, atau Zaf, duduk di meja kayu tua di kosan Tanah Abang dengan napas lega yang pertama kali ia rasakan setelah berbulan-bulan. Cahaya matahari menyelinap melalui jendela yang kini ia bersihkan dari debu, menerangi dinding yang masih penuh noda tapi terasa lebih hidup. Di depannya, sebuah laptop bekas yang sudah diperbaiki menampilkan email dari agensi besar di Jakarta Selatan, menawarkan kontrak sebagai desainer junior dengan gaji Rp7 juta per bulan. Setelah berbulan-bulan berjuang, Zaf akhirnya melihat cahaya di ujung terowongan gelap rantau.
Zaf masih tak percaya. Ia mengingat perjalanan panjang yang membawanya ke titik ini. Setelah bulan-bulan penuh penolakan, lembur, dan keputusasaan, Mira, rekan kerjanya di agensi kecil Aditya, memperkenalkannya pada seorang klien besar yang membutuhkan desain untuk kampanye iklan nasional. Zaf bekerja tanpa henti, menggambar konsep di bawah cahaya lilin saat listrik padam, merevisi desain hingga larut malam, dan meminta saran dari Bima untuk elemen digital. Hasilnya, sebuah poster berwarna cerah dengan tema “Kebersamaan di Tengah Modernitas” yang mendapat pujian dari klien dan dibagikan di media sosial, menarik perhatian agensi besar itu.
Zaf bangkit dari kursi, membuka tas ransel tuanya, dan mengeluarkan foto keluarga yang selalu ia bawa. Ia menatap wajah Pak Harjo, Nyai Lestari, dan Rindiqa, merasa air mata menggenang. Nyai Lestari, yang sempat sakit pinggang, kini mulai pulih berkat obat dan uang yang ia kirim setiap bulan. Pak Harjo menulis surat terakhir, mengatakan sawah mereka mulai subur lagi, dan Rindiqa, yang kini di kelas akhir SMA, bermimpi mengikuti jejak kakaknya ke kota. Zaf tersenyum, merasa semua pengorbanan bernilai. Ia menulis balasan di ponselnya: “Mbok, Bapak, Rindiqa, Mas wis sukses. Aku bakal balik neng kene karo kabar apik!”
Hari itu, Zaf memutuskan untuk merayakan dengan cara sederhana. Ia pergi ke warung makan favoritnya di ujung gang, memesan nasi goreng spesial dengan telur dan ayam goreng, sesuatu yang jarang ia nikmati karena anggaran terbatas. Pak Slamet, pedagang bakso yang menjadi teman curhatnya, ikut bergabung, membawa secangkir teh hangat. “Zaf, aku denger kabar apik saka kowe. Ini buktine, rantau ora ngeleneh yen kowe tabah,” kata Pak Slamet sambil tersenyum lebar. Zaf mengangguk, merasa kehangatan yang selama ini hilang di Jakarta akhirnya kembali.
Keesokan harinya, Zaf pindah ke kosan yang lebih layak di daerah Kebayoran, sebuah kamar dengan ventilasi baik, kasur yang lebih tebal, dan Wi-Fi gratis. Ia menghabiskan sore dengan menggambar sketsa baru: pemandangan desanya di bawah langit senja, lengkap dengan rumah panggung dan bunga kamboja. Di sudut sketsa, ia menulis: “Ini untuk kalian, keluargaku.” Ia juga mulai mengirim paket ke desa—pakaian baru untuk Rindiqa, obat untuk Nyai Lestari, dan alat pertanian sederhana untuk Pak Harjo—sebagai tanda terima kasih atas dukungan mereka.
Namun, kesuksesan itu tak datang tanpa tantangan baru. Di agensi baru, Zaf harus menghadapi tekanan proyek besar dengan tenggat waktu ketat dan klien yang menuntut kesempurnaan. Ia sering lembur hingga tengah malam, bekerja sama dengan tim desainer profesional yang awalnya meragukan kemampuannya. Suatu hari, saat presentasi desain untuk merek pakaian ternama, seorang klien senior mempertanyakan konsepnya. “Ini terlalu tradisional. Kami butuh sesuatu yang global!” ujarnya dengan nada tajam. Zaf terdiam, tapi Mira, yang kini menjadi mentornya, membelanya, “Tunggu, lihat dulu revisinya. Zaf punya cara unik menggabungkan tradisi dan modernitas.”
Zaf revisi desainnya semalaman, mengintegrasikan elemen batik digital dengan gaya minimalis yang tren di pasar internasional. Hasilnya memukau klien, dan proyek itu menjadi salah satu kampanye sukses agensi. Namanya mulai dikenal, tapi Zaf tak pernah melupakan akarnya. Ia menyisihkan sebagian gaji untuk membangun sumur di desa, membantu warga yang sering kesulitan air bersih, dan mengundang Aditya serta Mira untuk merasakan kehangatan Kecang suatu hari nanti.
Suatu malam, setelah proyek besar selesai, Zaf menerima telepon dari Rindiqa. “Mas Zaf, Mbok lan Bapak ngajak kowe balik. Wis setahun kowe ora ketemu. Kowe kapan balik?” tanya Rindiqa dengan suara ceria. Zaf menatap langit Jakarta yang dipenuhi lampu, lalu mengangguk pada dirinya sendiri. Ia memutuskan untuk mengambil cuti dua minggu, memesan tiket bus untuk kembali ke desa. Ia membayangkan wajah keluarganya saat ia turun dari bus, membawa kabar sukses dan hadiah-hadiah kecil.
Hari keberangkatan tiba. Zaf naik bus “Jakarta Jaya” dengan hati berdebar, membawa koper baru yang berisi pakaian, buku desain, dan hadiah untuk keluarga. Perjalanan berlangsung mulus, melewati jalan tol yang penuh kenangan. Saat bus mendekati desa, Zaf melihat sawah hijau yang membentang, pohon beringin di ujung kampung, dan aroma tanah basah yang menyelinap melalui jendela. Ia turun di terminal, dan di kejauhan, ia melihat Pak Harjo, Nyai Lestari, dan Rindiqa berlari menghampirinya.
Zaf memeluk mereka erat, merasakan kehangatan yang selama ini ia rindukan. Nyai Lestari menangis, mengelus wajahnya yang kini lebih penuh garis kelelahan. “Zaf, kowe wis sukses. Mbok bangga,” katanya dengan suara bergetar. Pak Harjo hanya tersenyum, memeluk pundak Zaf, sementara Rindiqa menunjukkan laporan nilai bagusnya, bermimpi kuliah di Jakarta. Malam itu, mereka duduk di beranda rumah panggung, menikmati makan malam bersama—nasi liwet, ayam goreng, dan sambal terasi—ditemani suara jangkrik dan angin malam.
Zaf tahu, perjalanan rantau bukan akhir, tapi bab baru. Ia akan kembali ke Jakarta dengan semangat baru, membawa cinta desanya dalam setiap desainnya. Di bawah langit penuh bintang, ia berjanji pada dirinya sendiri dan keluarganya: ia akan terus bermimpi, terus bertahan, dan terus pulang—karena di balik setiap kesuksesan, ada akar yang tak pernah ia lepaskan. Kecang, dengan segala keindahan dan luka, akan selalu menjadi cahaya yang membimbingnya di ujung perjalanan panjang ini.
Cerpen Perjalanan Rantau Anak Jawa: Kisah Haru Menuju Mimpi adalah bukti bahwa perjalanan rantau, meski penuh pengorbanan, dapat membawa cahaya kesuksesan dan kehangatan keluarga. Kisah Zafriqal mengajarkan kita tentang ketabahan, cinta pada akar, dan kekuatan mimpi untuk mengubah hidup. Jika Anda mencari inspirasi yang menyentuh jiwa, cerpen ini wajib Anda baca—siap untuk memotivasi perjalanan Anda sendiri!
Terima kasih telah menyelami kisah luar biasa dalam Perjalanan Rantau Anak Jawa. Semoga cerita ini menginspirasi Anda untuk mengejar mimpi dengan penuh semangat dan menghargai setiap langkah perjalanan. Sampai jumpa di artikel menarik lainnya—tetap terhubung untuk lebih banyak inspirasi!


