Daftar Isi
Jadi gini, pernah nggak sih kamu ngerasa kayak mimpi itu jauh banget, kayak sesuatu yang cuma ada di angan-angan doang? Tapi siapa sangka, dengan usaha keras dan nggak gampang nyerah, mimpi itu bisa jadi kenyataan.
Cerita ini tentang perjuangan seorang perempuan yang nggak pernah berhenti mengejar mimpi, meski jalan yang dia lewatin penuh rintangan. Yuk, baca dan lihat gimana dia akhirnya bisa sampai di titik yang selama ini dia impikan!
Perjalanan Mimpi
Mimpi di Langit Malam
Senja mulai merangkak perlahan, menyelimuti langit desa dengan nuansa oranye yang hangat. Aku duduk di teras rumah, merasakan angin yang berhembus sepoi-sepoi di wajahku. Sambil menatap langit yang mulai gelap, aku merasa seperti ada sesuatu yang menggugah di dalam diriku. Sesuatu yang sudah lama ada, tapi aku baru bisa menyadarinya sekarang. Sebuah mimpi.
Di desa yang jauh dari keramaian kota besar ini, impian rasanya tak lebih dari angan-angan kosong. Orang-orang di sini hidup dengan kesederhanaan, bekerja di ladang, berdagang, dan menjalani rutinitas yang sama setiap hari. Kadang, aku merasa seperti asing di sini. Aku ingin lebih dari sekadar rutinitas. Aku ingin meraih sesuatu yang lebih tinggi, lebih besar, yang bisa memberikan arti bagi hidupku.
“Mimpi itu, Khayra… kamu yakin bisa mewujudkannya?” suara ibu dari dapur menyadarkan lamunanku.
Aku menoleh, ibu sedang menata makanan di meja makan. Seperti biasa, matanya yang lembut menatapku dengan penuh perhatian. Aku bisa merasakan keprihatinan dalam tatapannya, seolah dia tahu bahwa aku tengah bergumul dengan sesuatu yang besar.
“Maksud ibu?” tanyaku, meskipun aku tahu dia sedang berbicara tentang mimpi yang tiba-tiba muncul dalam pikiranku.
Ibu menghela napas, meletakkan piring yang baru saja dia ambil di meja. “Maksud ibu, kamu tahu kan kalau hidup di sini tak semudah itu. Mimpi besar seperti itu… bukan hal yang bisa diraih dengan mudah, Khayra.”
Aku tersenyum kecil. “Ibu, aku tahu. Tapi, aku merasa kalau aku hanya tinggal di sini, hidup seperti orang-orang pada umumnya, aku nggak akan pernah tahu batas kemampuan aku. Aku ingin mencoba.”
Ibu mendengus pelan, matanya menatapku dengan kekhawatiran yang semakin jelas. “Khayra, kamu masih muda. Dunia itu keras, dan tak selalu menerima impian kita dengan tangan terbuka. Kamu pikir mudah? Kalau memang itu benar-benar yang kamu inginkan, kamu harus berjuang, harus punya kemampuan lebih dari yang lain. Tapi kamu harus sadar, tak semua mimpi akan terwujud.”
Aku menunduk sejenak, menyadari betul apa yang ibu katakan. Mimpi besar memang tak pernah mudah. Aku tahu itu. Tapi justru karena itu, aku ingin mencapainya. Aku ingin membuktikan pada diri sendiri dan orang-orang di sekitarku bahwa ada lebih banyak hal yang bisa diraih di luar sana.
“Iya, Bu. Aku tahu itu. Tapi aku nggak mau hanya sekadar menunggu. Aku ingin mencoba,” jawabku, lebih yakin dari sebelumnya.
Ibu tak berkata apa-apa lagi, hanya menatapku sejenak dengan tatapan yang sulit kuterjemahkan. Aku tahu dia khawatir, tapi aku tak bisa berhenti sekarang. Mimpiku sudah terlalu dalam tertanam di dalam hati.
Hari berikutnya, aku mulai merancang langkah pertamaku. Aku tahu mimpi itu tak akan datang dengan mudah, jadi aku mulai dengan hal-hal kecil. Setiap pagi, setelah membantu ibu di rumah, aku menyisihkan waktu untuk menulis. Buku-buku yang kubaca memberikan banyak inspirasi, dan aku mulai menulis cerita-cerita kecil. Awalnya aku menulis hanya untuk diri sendiri, tapi seiring berjalannya waktu, aku merasa perlu untuk berbagi. Aku memutuskan untuk membuat blog pribadi, meski aku tak tahu apa yang akan terjadi.
Namun, ada satu hal yang terus menghantuiku: rasa takut gagal. Meskipun aku tahu bahwa menulis adalah hal yang aku cintai, rasa takut itu seperti bayangan gelap yang terus mengikuti setiap langkahku. Aku ingat dengan jelas bagaimana aku pertama kali mempublikasikan cerita pertamaku di blog. Jantungku berdebar kencang, tangan yang gemetar, bahkan aku sempat ingin menghapusnya.
“Gimana, Khayra? Cerita yang kamu post di blog itu… siapa yang baca?” suara Yudha, teman dekatku, memecah kekosongan malam itu.
Aku menoleh ke arah Yudha yang duduk di sebelahku, memandangi layar ponselnya. Yudha adalah satu-satunya orang yang tahu tentang mimpi ini, dan satu-satunya yang tidak meragukannya. Walau begitu, aku tetap merasa malu dan ragu saat berbicara tentang blog itu.
“Ah, nggak tahu. Beberapa orang sih, cuma aku nggak yakin mereka benar-benar suka. Itu… ceritaku pertama, ya. Aku nggak tahu harus gimana, kadang mikir kenapa aku bisa seberani itu,” jawabku jujur.
Yudha tersenyum lebar, meletakkan ponselnya di meja dan menatapku. “Khayra, kamu punya sesuatu yang beda dari yang lain. Jangan takut untuk berbagi. Setiap penulis hebat pasti mulai dari tempat yang sama. Mereka punya kegagalan, keraguan, dan ketakutan. Tapi yang bikin mereka hebat adalah karena mereka nggak menyerah. Kamu nggak boleh takut, ingat itu.”
Aku menatap Yudha, merasa sedikit lebih tenang. Kadang, aku butuh orang seperti dia untuk mengingatkanku pada keberanian yang aku punya. Tapi seiring berjalannya waktu, semakin banyak cerita yang kutulis, semakin besar rasa frustasi yang muncul. Setiap kali aku membaca kembali tulisan-tulisanku, rasanya seperti ada yang kurang, ada yang tak sesuai dengan harapanku.
Apakah aku benar-benar bisa melakukan ini?
Aku mulai merasa kecewa pada diriku sendiri. Aku merasa seperti tidak ada kemajuan. Setiap hari aku mencoba untuk menulis, tapi hasilnya selalu jauh dari harapan. Rasanya mimpi itu semakin menjauh. Semua orang sepertinya bisa melihat ketidaksempurnaanku, bahkan aku sendiri merasa begitu.
Pada malam yang penuh keheningan, aku duduk sendirian di ruang tamu, menatap layar laptop dengan mataku yang berat. Aku hampir menangis, hampir menyerah. “Kenapa aku selalu merasa ini nggak cukup?” bisikku pada diri sendiri.
Di luar, malam semakin larut. Suara angin berdesir pelan di luar jendela. Aku menutup mata, mencoba menarik napas panjang. Aku tahu aku harus bangkit. Mimpiku masih ada di sana, menungguku untuk mengejarnya.
Aku tidak bisa menyerah sekarang. Tidak setelah semua yang telah aku mulai.
Dengan rasa lelah yang semakin mendalam, aku menulis kembali.
Langkah Kecil, Rasa Ragu
Matahari pagi kembali menyapa, namun aku masih terbaring di tempat tidur, enggan meninggalkan selimut yang menghangatkan tubuhku. Rasanya hari-hari seperti ini sering datang, ketika aku merasa berat untuk melangkah. Mimpi yang dulu terasa begitu terang kini mulai kelam, tertutup oleh keraguan yang menggerogoti.
Aku menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri sebelum akhirnya bangkit dan memulai rutinitas yang mulai terasa seperti rutinitas tanpa arti. Aku membuka laptop, menatap layar kosong yang menunggu untuk diisi dengan kata-kata. Namun, kata-kata itu tak kunjung datang.
“Kenapa susah banget, ya?” gumamku pelan, hampir seperti bisikan pada diriku sendiri.
Buku-buku yang kutumpuk di meja seolah mengamatiku dengan tatapan tajam, seakan menuntutku untuk menyelesaikan sesuatu. Tapi aku… aku masih terjebak dalam ketidakpastian. Mungkin aku memang bukan penulis. Mungkin ini semua cuma mimpi kosong yang harus kubuang jauh-jauh.
Khayra, kamu bisa, bisikku dalam hati. Tapi suara itu mulai terasa lemah, kalah oleh kebisuan yang terus menguasai pikiranku.
Hari demi hari, aku hanya bisa menulis sedikit demi sedikit, merasa seakan tak ada kemajuan yang nyata. Setiap cerita yang kutulis tak pernah cukup untukku. Aku selalu merasa ada yang kurang. Rasa frustasi ini semakin mengganggu, seakan menghantuiku tanpa henti.
Suatu sore, setelah beberapa minggu berlalu dengan hasil yang terasa begitu stagnan, Yudha datang menjemputku untuk pergi ke sebuah kafe. Aku tahu dia sudah lama ingin mengajak ngobrol, mungkin sekadar untuk mengalihkan pikiranku yang terlalu berat.
“Pasti kamu butuh sesuatu yang bisa bikin kamu lupa sama laptop itu,” katanya sambil tersenyum ketika aku membuka pintu. “Kamu sudah terlalu lama terkurung di dunia tulisanmu, Khayra. Ayo, sekali-sekali cobalah nikmati hidup.”
Aku tertawa kecil mendengar kata-katanya, meskipun sebenarnya aku merasa cemas. “Aku cuma nggak ingin gagal, Yudha. Aku nggak tahu kenapa, tapi rasanya tiap kali aku mencoba, semuanya nggak pernah cukup.”
Yudha mengangguk dengan tatapan serius. “Khayra, kalau kamu terus terjebak dalam rasa takut gagal, kamu nggak akan pernah tahu seberapa jauh kamu bisa melangkah. Kamu pikir semua orang sukses nggak pernah gagal? Mereka juga pernah ngerasain hal yang sama. Tapi mereka nggak berhenti.”
Aku menatapnya, mencoba mencerna kata-katanya. “Tapi aku… merasa aku nggak punya bakat yang cukup. Ada banyak orang yang lebih berbakat, lebih hebat dari aku. Dan aku? Aku cuma perempuan biasa yang mencoba membuat sesuatu yang nggak akan pernah terwujud.”
Yudha tersenyum bijak. “Semua orang mulai dari hal yang sama, Khayra. Bahkan penulis terkenal pun dulu pernah merasakan hal yang sama. Yang membedakan mereka adalah mereka nggak menyerah. Kalau kamu terus-terusan merasa kecil, kamu nggak akan pernah tahu seberapa besar potensimu.”
Kami duduk di sudut kafe, ditemani secangkir kopi hangat dan percakapan yang mulai membangkitkan semangatku. Yudha benar. Semua yang aku rasakan, semua keraguan itu, bukanlah hal yang hanya kualami seorang diri. Aku bukan orang pertama yang merasa takut gagal. Aku bukan orang pertama yang merasa tak cukup baik. Tapi hanya satu yang membedakan orang-orang yang berhasil dari yang tidak—usaha.
Aku kembali ke rumah dengan perasaan yang sedikit lebih ringan. Meski keraguan itu masih ada, aku tahu aku harus mulai menata kembali langkahku. Tak bisa lagi terus-terusan merasa ragu. Jika aku ingin mimpi itu menjadi kenyataan, aku harus melangkah, sekalipun kecil.
Beberapa minggu berlalu setelah percakapan itu. Aku mulai menulis lebih banyak, walau dengan perasaan campur aduk. Setiap kata yang kutulis kadang terasa hambar, kadang terasa tak sempurna. Namun, ada satu hal yang mulai berubah dalam diriku—aku mulai belajar menerima ketidaksempurnaan. Menyadari bahwa setiap tulisan bukanlah hasil akhir, tapi sebuah proses.
Suatu malam, aku menulis tentang seorang wanita yang berjuang untuk menemukan jati dirinya. Wanita itu, sepertiku. Tulisanku itu tak sempurna, jauh dari kata hebat, tapi ada sesuatu yang membuatku merasa lega. Aku mulai percaya bahwa meski cerita itu tak akan mengubah dunia, setidaknya cerita itu adalah bagian dari perjalananku.
Keesokan harinya, aku memutuskan untuk mengirimkan tulisan itu ke sebuah majalah online yang aku temui secara tak sengaja. Aku tidak tahu apakah mereka akan menerimanya, tapi aku tahu bahwa jika aku tidak mencobanya, aku tak akan pernah tahu.
Hari-hari berikutnya berjalan biasa. Aku kembali ke rutinitas harian, menghabiskan waktu untuk menulis dan berusaha terus maju meskipun keraguan itu masih ada. Hingga suatu pagi, saat aku membuka email, aku melihat sebuah pesan yang membuat jantungku berhenti sejenak.
“Selamat, tulisan Anda terpilih untuk diterbitkan di edisi bulan depan.”
Aku tak bisa mempercayainya. Matahari pagi yang cerah itu rasanya begitu berbeda, penuh dengan harapan yang baru. Aku tahu ini baru permulaan, baru langkah kecil, tapi sesuatu dalam hatiku berkata, aku sudah lebih dekat dengan mimpi itu.
Namun, keraguan masih belum sepenuhnya hilang. Mimpi itu, meski semakin nyata, tetap terasa rapuh. Aku masih harus berjuang lebih keras. Aku masih harus menaklukkan rasa takut, menepis setiap suara kecil yang bilang aku tak bisa. Karena, pada akhirnya, aku tahu bahwa setiap langkah kecil menuju mimpi adalah sebuah kemenangan.
“Ini baru permulaan,” bisikku pada diri sendiri, sambil menatap layar laptop yang kini penuh dengan kata-kata.
Melangkah Lebih Jauh, Menyentuh Mimpi
Minggu-minggu berlalu dengan kecepatan yang sulit dipercaya. Setiap kali aku membuka email, hatiku berdebar-debar. Rasanya seperti menunggu kabar dari seseorang yang penting, seseorang yang memberi petunjuk apakah semua usaha itu akhirnya berbuah manis atau hanya akan menjadi sebuah kenangan yang terlupakan. Namun, meski begitu, ada secercah rasa percaya diri yang tumbuh. Aku mulai merasa lebih siap menghadapi apa pun yang datang.
Pagi itu, aku duduk di depan komputer di ruang kerjaku, dengan secangkir teh hijau yang setengah habis. Tulisan itu sudah selesai, dan kini aku hanya menunggu untuk mendapat kabar dari editor majalah. Ada kegembiraan yang mengalir di dalam diriku, tapi di sisi lain, ada kekhawatiran yang menggelisahkan. Akankah tulisan ini diterima? Ataukah aku akan kembali merasakan pahitnya penolakan?
Tiba-tiba, suara ponselku berdering, membuat aku melompat dari kursi. Aku mengambilnya dengan tangan gemetar.
“Ini dari editor,” pikirku dalam hati, hampir tak bisa bernapas.
Aku membuka pesan itu, dan di sana tertulis, “Terima kasih atas kiriman Anda. Kami senang bisa mengonfirmasi bahwa tulisan Anda diterima dan akan diterbitkan di edisi mendatang.”
Waktu terasa berhenti sejenak. Aku membaca pesan itu berkali-kali, mencoba meyakinkan diri bahwa ini bukan mimpi.
“Aku berhasil,” bisikku pelan, mengulang kata-kata itu seolah mengukirnya dalam ingatanku.
Aku tak tahu apa yang harus kurasakan. Gembira? Terkejut? Bingung? Semua bercampur aduk. Yang jelas, aku tahu bahwa ini bukan akhir. Ini adalah langkah pertama dari perjalanan panjang yang lebih menantang. Penerimaan ini memberi aku lebih banyak semangat, tapi juga membuka banyak pintu yang harus kutempuh. Jalan menuju mimpi itu lebih panjang dari yang kubayangkan.
Hari-hari setelahnya dipenuhi dengan kegembiraan yang berlebihan. Teman-temanku yang tahu berita itu ikut bahagia, bahkan Yudha, yang sejak awal selalu mendukung, mengucapkan selamat dengan penuh semangat.
“Aku tahu kamu bisa, Khayra!” katanya dengan senyum lebar. “Sekarang tinggal terus menulis dan menunjukkan siapa dirimu!”
Tapi, di balik senyuman itu, aku mulai merasakan beban yang lebih berat. Penerimaan itu, meski menyenangkan, juga berarti aku harus lebih keras lagi. Aku harus lebih banyak belajar, lebih banyak berlatih, dan mungkin lebih banyak gagal. Karena sekarang, aku tahu banyak orang yang menunggu, banyak mata yang mengamati.
Kehidupan sehari-hariku berubah. Aku tidak bisa lagi menulis dengan santai, tanpa beban. Aku harus menulis dengan penuh tanggung jawab. Setiap kata yang kutulis seolah membawa harapan, bukan hanya milikku, tetapi juga harapan orang-orang yang sudah memberi dukungan padaku. Aku merasa lebih terikat pada mimpi ini.
Namun, justru di tengah-tengah perjalanan ini, aku mulai merasakan kembali rasa ragu yang dulu sempat menguasai. Meskipun tulisan-tulisanku mulai berkembang, aku merasa ada ketakutan yang terus menghantuiku: apakah aku akan bisa mempertahankan ini? Apakah tulisan-tulisanku bisa terus diterima?
Satu malam, setelah menyelesaikan artikel lain yang kutulis dengan perasaan campur aduk, aku duduk di meja, menatap layar komputer dengan hampa. Tiba-tiba, air mataku jatuh tanpa bisa kubendung. Aku merasa lelah—lelah dengan perjuangan yang tak kunjung berakhir, lelah dengan keraguan yang datang bergantian. Rasanya semua usaha ini seperti sia-sia. Aku bahkan sempat berpikir, apakah aku sudah cukup berusaha?
“Kenapa semuanya terasa begitu sulit?” aku bergumam, meremas wajah dengan kedua tangan.
Aku merasa seperti tersesat. Setiap langkah terasa lebih berat daripada yang kubayangkan. Mimpi itu masih ada di depan, tapi semakin jauh sepertinya. Aku merasa kesepian dalam perjalanan ini. Semua orang mungkin melihat keberhasilanku, tapi tak ada yang tahu bagaimana rasanya berjuang sendirian di tengah keraguan.
Tiba-tiba, ponselku berdering. Itu Yudha.
“Aku tahu kamu pasti sedang terpuruk, kan?” kata Yudha saat aku mengangkat telepon. “Tapi jangan berhenti. Jangan biarkan air matamu itu mengalahkan semangatmu.”
Aku diam, mencoba menenangkan diri. Suara Yudha yang selalu penuh semangat dan kepercayaan diri itu sedikit banyak memberi ketenangan.
“Khayra, apa yang kamu lakukan hari ini bukan hanya untuk dirimu. Itu untuk semua orang yang percaya padamu. Aku tahu kamu bisa lebih dari ini.”
Aku menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. “Tapi aku merasa seperti gak cukup. Setiap kali aku berusaha, rasanya masih ada yang kurang.”
“Setiap orang yang sukses merasa seperti itu, Khayra. Mereka merasa nggak cukup, merasa nggak pantas. Tapi mereka nggak berhenti. Kamu juga harus terus melangkah. Mimpi itu bukan tentang menjadi sempurna, tapi tentang terus berusaha meski tak ada jaminan.”
Aku memejamkan mata, meresapi kata-kata Yudha. Semua yang dia katakan benar. Mimpi bukan tentang mencapai tujuan dengan sempurna, tetapi tentang berjuang meskipun ada banyak halangan.
Keesokan harinya, aku kembali duduk di depan laptop, mencoba menulis lagi. Ini bukan tentang menghasilkan karya yang sempurna. Ini tentang proses, tentang berani mencoba lagi dan lagi. Setiap tulisan yang kutulis sekarang terasa lebih ringan. Aku mulai menemukan kembali semangat itu, walaupun rasa ragu masih datang silih berganti.
“Jangan berhenti,” bisikku, menatap layar dengan tekad yang lebih kuat. “Aku pasti bisa.”
Mimpi itu masih jauh, tetapi aku tahu, langkah demi langkah, aku akan semakin dekat.
Mimpi yang Menyatu dengan Kenyataan
Waktu berlalu begitu cepat, dan aku tak pernah menyangka, di titik ini, aku sudah berada jauh lebih dekat dengan mimpi yang dulu terasa seperti bintang di langit. Semuanya terasa seperti perjalanan yang penuh kejutan, yang kadang tak bisa kubayangkan sebelumnya. Ada banyak hal yang berubah, tetapi ada satu hal yang tak pernah berubah—keinginan untuk terus maju.
Setelah berbulan-bulan menulis, belajar, dan berjuang, aku akhirnya merasakan pencapaian yang lebih dari sekadar tulisan yang diterima. Aku merasa aku telah menemukan diriku sendiri di dalam setiap kalimat yang kutulis, dan mungkin, ini adalah hasil dari semua upaya dan pengorbanan itu.
Pagi itu, aku duduk di meja makan, dengan secangkir kopi di tangan, membaca pesan dari editor yang mengatakan bahwa artikel terakhir yang kutulis akan diterbitkan di edisi utama majalah nasional. Aku hanya bisa menatap layar itu, merasa hampir tak percaya.
“Aku melakukannya,” kataku pelan pada diriku sendiri. “Aku benar-benar melakukannya.”
Rasanya seperti seluruh perjalanan ini, dengan segala pasang surutnya, baru saja berbuah. Mimpi yang kupegang erat selama ini mulai menyatu dengan kenyataan yang lebih besar. Semua rasa frustasi, air mata, dan malam tanpa tidur akhirnya membuahkan hasil yang tak bisa kubayangkan. Itu bukan hanya tentang pencapaian, tetapi tentang perjalanan yang penuh pelajaran dan perubahan.
Namun, di balik kebahagiaan itu, ada sebuah pemikiran yang datang dengan sendirinya. Aku sadar, ini bukanlah titik akhir. Ini adalah titik baru yang membuka lebih banyak pintu untuk dijelajahi. Ada banyak hal yang harus dilakukan, banyak tulisan yang harus dihasilkan, dan banyak mimpi yang masih harus dikejar. Aku tahu, jalan ini belum selesai. Bahkan, bisa dibilang, aku baru saja memulai perjalanan yang lebih besar.
“Jadi, apa yang akan kamu lakukan selanjutnya?” tanya Yudha suatu sore, saat kami berbincang lewat telepon.
Aku tersenyum, melihat ke luar jendela, menyaksikan matahari yang mulai tenggelam di balik horizon.
“Aku akan terus menulis, terus belajar, dan terus memperbaiki diri. Mimpi ini belum selesai. Mungkin itu akan menjadi bagian dari diriku seumur hidup, tetapi aku tahu ada lebih banyak yang bisa aku capai.”
Yudha tertawa ringan, seakan tahu apa yang ada dalam pikiranku. “Betul. Dunia menunggu tulisanmu, Khayra. Kamu sudah melangkah sejauh ini, kenapa harus berhenti?”
“Karena aku tahu, kalau aku berhenti, aku tidak akan pernah tahu sampai di mana aku bisa melangkah,” jawabku dengan penuh keyakinan. “Jadi, aku akan terus melangkah. Mimpi itu tetap ada di depan, dan aku akan mengejarnya dengan segenap kekuatan.”
Keesokan harinya, aku kembali membuka laptop, menulis dengan semangat yang lebih besar dari sebelumnya. Setiap ketikan di keyboard terasa seperti langkah menuju tujuan yang lebih jauh. Mimpi itu bukan lagi sekadar angan-angan yang mengapung di langit, tapi sudah menjadi bagian dari hidupku yang nyata.
Aku tahu, perjalanan ini tak akan selalu mulus. Akan ada kegagalan, ada rintangan, dan mungkin ada saat-saat aku merasa terpuruk lagi. Tapi, seperti yang sudah kulalui selama ini, aku tahu satu hal: mimpi itu hanya bisa tercapai jika aku terus melangkah, terus berusaha, dan terus percaya bahwa apapun yang terjadi, aku bisa melewatinya.
Seiring berjalannya waktu, aku merasakan perubahan yang nyata dalam diriku. Aku bukan lagi orang yang dulu, yang hanya bermimpi tanpa arah. Sekarang, aku tahu arah yang harus kutuju. Mimpi itu tidak lagi sekadar bayangan, tetapi sebuah kenyataan yang akan terus kuperjuangkan.
Mimpi yang dulu tampak jauh, kini terasa dekat. Dan aku, Khayra, tahu bahwa inilah awal dari segalanya. Segalanya yang akan datang.
Jadi, kalau kamu lagi ngerasa mimpi itu terlalu jauh, ingat aja, nggak ada yang nggak mungkin selama kamu terus berusaha dan nggak gampang nyerah. Kadang, perjalanan panjang itu yang bikin kita makin kuat dan tahu apa yang sebenarnya kita cari.
Semoga cerita ini bisa jadi reminder buat kamu, kalau mimpi itu nggak cuma buat dilihat, tapi buat dikejar, dan akhirnya diwujudkan. Jangan takut jatuh, karena setiap langkahmu itu berarti. Terus semangat, ya!