Perjalanan Menuju Cahaya Kampus: Kisah Perjuangan Mahasiswa Menuju Sukses

Posted on

“Perjalanan Menuju Cahaya Kampus” adalah cerpen yang memikat hati, mengisahkan perjuangan Jelantik Suryawijaya, seorang pemuda desa dari Gunung Sari, yang mengejar impian masuk Universitas Teknologi Nusantara di tengah keterbatasan ekonomi dan rintangan hidup. Dengan alur penuh emosi, detail yang mendalam, dan semangat pantang menyerah, cerpen ini menginspirasi pembaca untuk percaya pada kekuatan kerja keras dan harapan. Temukan kisah mengharukan ini dan motivasi untuk meraih mimpi Anda sendiri!

Perjalanan Menuju Cahaya Kampus

Langkah Pertama di Tengah Badai

Di sebuah desa kecil bernama Gunung Sari, yang tersembunyi di balik pegunungan hijau dan dikelilingi sawah yang luas, hiduplah seorang pemuda bernama Jelantik Suryawijaya. Nama itu diberikan oleh ibunya, seorang wanita sederhana yang percaya bahwa Jelantik berarti “keberanian dari matahari,” sebuah harapan bahwa anaknya akan bersinar terang suatu hari nanti. Dengan rambut hitam yang sedikit berantakan dan mata cokelat tua yang penuh tekad, Jelantik bukan tipe yang menonjol di antara teman-temannya. Ia lebih sering ditemukan di sudut perpustakaan desa, membaca buku-buku tua tentang sains dan teknologi, atau membantu ayahnya, Pak Jati, mengolah tanah di ladang.

Gunung Sari adalah desa yang damai namun terisolasi, dengan akses terbatas ke dunia luar. Rumah-rumah bambu berdiri di sisi jalan tanah, dikelilingi aroma tanah basah dan suara angin yang bertiup di antara pohon-pohon jati. Di ujung desa, ada sebuah sekolah tua yang hanya memiliki dua ruang kelas, tempat Jelantik menyelesaikan pendidikannya hingga SMA. Ia adalah anak paling cerdas di kelasnya, tetapi kesempatan untuk melanjutkan studi terasa seperti mimpi yang jauh, terutama karena keterbatasan ekonomi keluarganya.

Hari itu, langit di Gunung Sari berwarna kelabu, menandakan hujan akan segera turun. Jelantik duduk di meja kayu kecil di rumahnya, menatap formulir pendaftaran Universitas Teknologi Nusantara (UTN), kampus impiannya di kota besar yang terkenal dengan program tekniknya. Ia mendengar tentang UTN dari seorang guru yang pernah berkunjung, dan sejak itu, ia bercita-cita menjadi insinyur yang bisa membawa perubahan pada desanya. Namun, biaya kuliah, transportasi, dan kebutuhan hidup di kota adalah rintangan besar yang tampak tak terlewati.

“Ayah, aku mau coba daftar UTN,” kata Jelantik suatu sore, menunjukkan formulir itu pada Pak Jati yang sedang merokok di beranda. “Aku tahu kita nggak punya banyak uang, tapi aku janji bakal kerja keras buat bayar kuliahku.”

Pak Jati memandang anaknya dengan mata sayu, asap rokoknya mengepul di udara. “Jelantik, aku senang kamu punya mimpi,” katanya, suaranya serak. “Tapi kita cuma petani. Di mana kita cari uang buat itu? Lagipula, kamu lebih berguna di ladang daripada di kota.”

Jelantik menunduk, hatinya terasa berat. Ia tahu ayahnya tak bermaksud jahat, tetapi kata-kata itu seperti pukulan kecil pada mimpinya. Ibunya, Bu Lestari, mendekat dengan wajah penuh simpati. “Biarin dia coba, Mas,” katanya pada suaminya. “Kalau dia nggak berhasil, dia bisa balik ke ladang. Tapi kalau berhasil, ini bisa jadi harapan buat keluarga kita.”

Dengan dukungan ibunya, Jelantik mulai merancang rencana. Ia menghitung setiap rupiah yang bisa ia tabung dari membantu tetangga memanen padi atau mengajar anak-anak desa membaca. Ia juga mempelajari beasiswa yang ditawarkan UTN, sebuah program khusus untuk mahasiswa berprestasi dari daerah terpencil. Namun, syaratnya ketat: nilai akademik sempurna, esai motivasi, dan rekomendasi dari kepala desa. Jelantik tahu ia harus bekerja dua kali lebih keras dari teman-temannya di kota.

Hari-hari berikutnya, Jelantik bangun lebih awal, belajar di bawah lampu minyak hingga tengah malam. Buku-buku sains yang ia pinjam dari perpustakaan desa menjadi teman setianya, meski halamannya sudah kuning dan sobek di beberapa bagian. Ia juga membantu ayahnya di ladang, mengangkat karung berat dan menanam benih, meski tubuhnya lelah dan tangannya penuh lecet. Setiap tetes keringat terasa seperti langkah menuju kampus impiannya.

Suatu hari, hujan turun deras, membanjiri jalan tanah menuju desa. Jelantik terpaksa berhenti belajar karena listrik padam, tetapi ia tak menyerah. Ia membaca dengan bantuan lilin, cahayanya redup namun cukup untuk menerangi halaman buku. Di tengah suara hujan yang menggelegar, ia menulis esai motivasi, menuangkan mimpinya untuk membawa teknologi ke Gunung Sari—irigasi otomatis, listrik tenaga surya, dan jembatan yang kuat. Kata-kata itu mengalir dari hati, penuh harap dan ketakutan.

Namun, tantangan tak berhenti di situ. Kepala desa, Pak Suryo, seorang pria tua yang konservatif, ragu memberikan rekomendasi. “Kamu anak baik, Jelantik,” katanya saat bertemu di balai desa. “Tapi pergi ke kota itu berisiko. Kalau kamu gagal, siapa yang bakal bantu keluargamu di ladang?”

Jelantik menatapnya, matanya penuh tekad. “Pak, aku janji bakal berhasil,” katanya. “Kalau aku gagal, aku balik dan kerja dua kali lipat di desa. Tapi kalau berhasil, aku bisa bawa perubahan buat kita semua.”

Pak Suryo terdiam, lalu mengangguk pelan. “Baiklah, aku kasih rekomendasi. Tapi jangan kecewakan desa ini.”

Hari pengumpulan formulir semakin dekat, dan Jelantik menghadapi rintangan terbesar: biaya transportasi ke kota untuk mengirim dokumen secara langsung, karena layanan pos di desa sering terlambat. Ia menabung setiap sen, bahkan menjual jam tangan tua milik ayahnya yang sudah tak berfungsi. Ibunya menangis saat melihatnya, tetapi ia mendukung dengan memberikan kalung sederhana miliknya untuk ditambahkan ke tabungan.

Malam sebelum hari terakhir pengumpulan, hujan kembali turun, lebih deras dari sebelumnya. Jalan menuju kota terputus oleh banjir, dan Jelantik panik. Ia tak bisa menyerah—mimpinya terlalu dekat. Dengan bantuan teman masa kecilnya, Kadek, ia memutuskan berjalan kaki melewati hutan, membawa formulir dalam plastik kedap air. Perjalanan itu berbahaya, dengan lumpur yang licin dan suara hewan malam yang menakutkan, tetapi Jelantik terus melangkah, didorong oleh impiannya.

Setelah berjam-jam, mereka tiba di kota saat fajar, tubuh mereka basah dan kedinginan. Kantor UTN baru saja dibuka, dan Jelantik berlari masuk, menyerahkan formulir dengan tangan gemetar. Petugas menerimanya dengan senyum, dan untuk pertama kalinya dalam berhari-hari, Jelantik merasa lega. Kadek memeluknya, mengucapkan selamat, tetapi di dalam hati Jelantik, ia tahu perjuangan belum selesai.

Malam itu, di rumah sederhana mereka, Jelantik duduk di meja kayu, menatap langit yang mulai cerah. Ia mengeluarkan buku catatan kecilnya, menulis puisi tentang perjalanannya.

Di tengah badai dan lumpur, aku melangkah,
Cahaya kampus impianku di ufuk jauh.
Tiap tetes keringat adalah harapan,
Menuntunku ke masa depan yang cerah.

Hujan di Gunung Sari akhirnya reda, dan di bawah langit yang mulai menampakkan sinar matahari, Jelantik merasa langkah pertamanya telah ditempuh. Namun, ia tahu ujian sejati masih menantinya—tes masuk, persiapan ke kota, dan kehidupan baru yang penuh ketidakpastian. Di tengah desa yang masih tertidur, ia mempersiapkan hatinya untuk perjalanan panjang menuju cahaya kampus impiannya.

Ujian di Tengah Ketidakpastian

Pagi di Gunung Sari terasa segar, jam menunjukkan 11:34 AM WIB, 26 Juni 2025, dan sinar matahari mulai menembus kabut tipis yang tersisa setelah hujan deras semalam. Jelantik Suryawijaya duduk di beranda rumahnya, menatap ladang sawah yang masih basah, pikirannya penuh akan hari pengumpulan formulir kemarin. Tubuhnya masih terasa lelah setelah perjalanan kaki bersama Kadek melalui hutan, tetapi hatinya dipenuhi harapan baru. Formulirnya telah diterima di Universitas Teknologi Nusantara (UTN), dan kini ia menanti pengumuman tes masuk yang dijadwalkan dua minggu lagi.

Rumah bambu kecilnya terasa lebih hidup pagi itu, dengan aroma nasi hangat yang dimasak Bu Lestari dan suara ayam yang berkotek di halaman. Namun, suasana itu tak sepenuhnya menyenangkan. Pak Jati masih belum sepenuhnya menerima mimpi anaknya, meski ia tak lagi melarang keras. “Jelantik, jangan kecewa kalau nggak lolos,” katanya sambil mengaduk kopi hitam di cangkir tua. “Hidup di ladang ini udah cukup buat kita.”

Jelantik mengangguk, tetapi di dalam hatinya, ia tak mau menyerah. Ia tahu tes masuk UTN adalah langkah krusial, dan ia harus mempersiapkan diri dengan maksimal. Buku-buku sains yang ia pinjam dari perpustakaan desa menjadi teman setianya lagi, bersama catatan-catatan yang ia tulis dengan pena tua milik ibunya. Ia belajar dari pagi hingga malam, bahkan saat listrik padam, menggunakan lilin yang sudah hampir habis. Kadek sering datang, membawakan teh jahe dan membantu menjelaskan rumus-rumus fisika yang sulit, meski ia sendiri tak pernah melanjutkan sekolah.

Tantangan pertama muncul ketika buku-buku di perpustakaan desa tak lagi cukup. Jelantik membutuhkan materi terbaru untuk tes, terutama soal teknologi dan rekayasa yang lebih kompleks. Ia mendengar dari Kadek bahwa ada seorang pensiunan guru bernama Pak Wirya yang tinggal di bukit sebelah, memiliki koleksi buku dari kota. Dengan tekad membara, Jelantik berjalan kaki ke sana, membawa sebotol madu sebagai hadiah kecil.

Rumah Pak Wirya sederhana, terbuat dari kayu dengan atap jerami, dikelilingi tanaman herbal. Pria tua itu menyambutnya dengan senyum hangat, matanya penuh kebijaksanaan. “Kamu anak Jelantik, ya?” tanyanya, mengenali nama keluarga. “Dengar-dengar kamu mau ke UTN. Itu mimpi besar buat anak desa.”

Jelantik mengangguk, menjelaskan kebutuhannya. Pak Wirya tersenyum, mengizinkan Jelantik meminjam beberapa buku—fisika terapan, kalkulus, dan desain teknik—dengan syarat ia mengunjungi seminggu sekali untuk berdiskusi. “Belajar itu nggak cuma dari buku,” kata Pak Wirya. “Kamu harus ngerti maknanya buat hidupmu.”

Hari-hari berikutnya, Jelantik terbagi antara ladang, belajar, dan kunjungan ke Pak Wirya. Tubuhnya lelah, tetapi pikirannya tajam. Ia menghabiskan malam-malam dengan menghitung rumus di atas kertas bekas, kadang sampai tangannya gemetar karena kelelahan. Ibunya sering membawakannya makanan, menatapnya dengan mata penuh harap. “Kamu kuat, Nak,” katanya pelan. “Ibu percaya kamu bisa.”

Namun, ketidakpastian mulai merayap. Dua hari sebelum tes, Pak Jati jatuh sakit karena terlalu lama bekerja di ladang yang masih becek. Demam tinggi dan batuk yang tak kunjung reda membuatnya terbaring lemah di ranjang bambu. Jelantik terpaksa membagi waktunya antara merawat ayahnya dan belajar, sering tertidur di samping ranjang dengan buku terbuka di tangan. Biaya obat-obatan menipis, dan Jelantik menjual beberapa ekor ayam milik keluarga untuk membeli obat dari apotek desa.

Suatu malam, saat hujan kembali turun, Pak Jati membuka mata, menatap Jelantik dengan wajah pucat. “Jelantik, kalau aku nggak sembuh… jangan tinggalin ibumu,” katanya lemah. “Tapi kalau kamu bisa ke UTN, lakukan. Aku bangga sama kamu.”

Kata-kata itu seperti pisau di hati Jelantik. Ia menangis pelan, memegang tangan ayahnya yang dingin. “Ayah harus sembuh,” bisiknya. “Aku janji bakal bawa perubahan buat kita semua.”

Hari tes akhirnya tiba. Pak Jati mulai membaik berkat perawatan Bu Lestari, meski masih lemah. Jelantik berpamitan dengan hati bergetar, membawa tas sederhana berisi buku catatan, pena, dan sebotol air. Kadek mengantarnya ke kota dengan sepeda tua miliknya, perjalanan tiga jam yang melelahkan melalui jalan berbatu dan hutan. Hujan gerimis menyertai mereka, membuat pakaian Jelantik basah, tetapi ia tak peduli. Pikirannya fokus pada tes yang menentukan nasibnya.

Tiba di kota, Jelantik terpesona oleh gedung-gedung tinggi dan keramaian yang asing baginya. Kampus UTN berdiri megah, dengan papan pengumuman yang penuh nama calon peserta. Ia mendaftar, menerima kartu tes, dan duduk di aula besar bersama ratusan orang lain. Soal-soal yang diberikan sulit—fisika kuantum, desain struktur, dan logika matematika—membuatnya berkeringat dingin. Ia ingat nasihat Pak Wirya, menarik napas dalam-dalam, dan mulai menjawab satu per satu dengan hati-hati.

Setelah empat jam, tes selesai. Jelantik keluar aula dengan kepala pusing, merasa campuran antara lega dan takut. Kadek menunggunya di luar, membawakannya roti sederhana sebagai makan siang. “Kamu pasti bisa, bro,” kata Kadek, tersenyum. “Aku percaya sama kamu.”

Perjalanan pulang terasa lebih berat, dengan hujan yang semakin deras dan sepeda yang mulai bermasalah. Jelantik tiba di rumah saat malam tiba, tubuhnya kedinginan dan pikirannya penuh kekhawatiran. Ia duduk di meja kayu, menatap langit yang gelap, dan menulis di buku catatannya.

Di tengah ketidakpastian dan hujan, aku bertahan,
Cahaya kampus impianku masih jauh.
Tiap langkah adalah doa,
Menuntunku ke harapan yang rapuh.

Malam itu, di tengah suara jangkrik dan hujan yang mereda, Jelantik memeluk ibunya yang menangis haru. Ayahnya, meski lemah, mengangguk kecil, menunjukkan dukungan diam-diam. Ujian telah dilewati, tetapi pengumuman masih menanti, dan Jelantik tahu perjuangannya baru saja memasuki babak baru. Di bawah langit Gunung Sari yang gelap, ia mempersiapkan hatinya untuk menunggu, dengan harapan yang masih berkobar di dadanya.

Menanti di Tengah Harapan dan Rintangan

Pagi di Gunung Sari terasa hening, jam menunjukkan 01:30 PM WIB, 26 Juni 2025, dan matahari bersinar terik di atas ladang sawah yang mulai mengering setelah hujan semalam. Jelantik Suryawijaya duduk di beranda rumahnya, menatap horizon pegunungan yang hijau, pikirannya dipenuhi kecemasan menantikan pengumuman hasil tes masuk Universitas Teknologi Nusantara (UTN). Dua minggu telah berlalu sejak ia mengikuti tes di kota, dan setiap hari terasa seperti tahun baginya. Tubuhnya masih lelah dari persiapan intensif dan perjalanan panjang, tetapi harapannya tetap membara.

Rumah bambu kecilnya terasa lebih ramai pagi itu, dengan Bu Lestari sibuk memasak sayur bayam di dapur dan Pak Jati yang mulai pulih dari sakitnya duduk di samping, mengasah pisau pertanian. Kondisi ayahnya membaik berkat obat-obatan sederhana dan istirahat, meski ia masih lemah dan sering batuk. “Jelantik, jangan terlalu harap,” kata Pak Jati pelan, matanya sayu. “Kalau nggak lolos, kita butuh kamu di ladang lagi.”

Jelantik mengangguk, tetapi di dalam hatinya, ia tak mau menyerah. Ia tahu hasil tes akan menentukan nasibnya, dan ia telah berjuang terlalu keras untuk mundur. Setiap hari, ia memeriksa radio tua milik keluarga, berharap ada kabar dari desa tetangga tentang pengumuman UTN yang kadang disiarkan. Ia juga menulis surat kepada Pak Wirya, meminta saran tentang langkah berikutnya, meski jawaban belum tiba.

Tantangan baru muncul ketika berita menyebar bahwa pengumuman akan dipasang di papan resmi UTN di kota, bukan disebarkan melalui radio seperti yang diharapkan. Ini berarti Jelantik harus kembali ke kota, sebuah perjalanan yang memakan waktu dan biaya. Tabungannya sudah menipis setelah digunakan untuk obat ayahnya dan biaya tes sebelumnya. Ia mencoba mencari solusi, menawarkan jasa mengajar anak-anak desa dengan bayaran kecil, tetapi hasilnya tak cukup untuk perjalanan pulang-pergi.

Suatu sore, Kadek datang dengan wajah cerah, membawa sepeda tuanya yang sudah diperbaiki. “Bro, aku punya ide,” katanya, tersenyum lebar. “Aku ajak kamu ke kota bareng. Aku punya sedikit tabungan dari jualan ikan, dan kita bisa bagi biaya bensin. Lagipula, aku penasaran sama kampus impianmu!”

Jelantik memandang temannya dengan rasa syukur. “Terima kasih, Kadek,” katanya. “Tapi aku nggak mau repotin kamu. Aku cari cara lain dulu.”

Kadek menggeleng. “Ini bukan repot, bro. Kita temen. Lagipula, aku juga pengen liat kamu sukses.”

Dengan dukungan Kadek, Jelantik mulai merencanakan perjalanan. Mereka memutuskan berangkat empat hari lagi, saat Pak Jati sudah cukup kuat untuk membantu Bu Lestari di rumah. Jelantik menghabiskan hari-hari itu dengan belajar ulang catatan tesnya, berharap ia tak lupa materi penting, dan membantu ayahnya di ladang untuk meringankan beban keluarga. Setiap malam, ia menulis di buku catatannya, puisi-puisi tentang harapan dan ketakutan.

Di tengah harapan dan rintangan, aku berdiri,
Cahaya kampus impianku masih samar.
Tiap detik adalah doa,
Menuntunku ke pintu yang tertutup.

Hari keberangkatan tiba dengan langit yang cerah, sebuah pertanda baik menurut Bu Lestari. Jelantik berpamitan pada orang tuanya, membawa tas sederhana berisi pakaian ganti, buku catatan, dan sebotol air. Pak Jati memeluknya untuk pertama kalinya dalam waktu lama, matanya berkaca-kaca. “Semoga kamu berhasil, Nak,” bisiknya. Bu Lestari memberikan kalung kayu sederhana sebagai jimat, menitipkan doa dalam setiap butir air matanya.

Perjalanan ke kota dengan sepeda motor Kadek terasa lebih mudah dibandingkan perjalanan sebelumnya, meski jalan berbatu dan panas matahari membuat mereka berkeringat. Mereka tiba di kampus UTN saat sore menjelang, gedung megah itu berdiri gagah di depan mereka. Papan pengumuman dipenuhi nama-nama calon mahasiswa, dan Jelantik merasa jantungnya berdegup kencang saat mendekat. Kadek berdiri di sampingnya, memberikan semangat dengan tepukan di bahu.

Namun, saat Jelantik mencari namanya, ia tak menemukannya di daftar awal. Panik mulai merayap, dan ia bertanya pada petugas di meja informasi. “Coba cek lagi,” kata petugas dengan nada datar. “Kadang ada daftar cadangan.”

Dengan tangan gemetar, Jelantik memeriksa daftar cadangan, dan di sana, di urutan terakhir, ia melihat namanya: Jelantik Suryawijaya. Ia lolos sebagai calon mahasiswa dengan beasiswa parsial, yang berarti ia harus membayar sisa biaya kuliah. Kadek meneriakkannya kegirangan, memeluk Jelantik erat, tetapi di dalam hati Jelantik, ada campuran kebahagiaan dan kekhawatiran. Beasiswa parsial tak cukup menutup semua kebutuhan, dan ia harus mencari cara tambahan.

Perjalanan pulang terasa lebih ringan, dengan angin sepoi-sepoi membawa harum tanah desa. Jelantik tiba di rumah saat malam tiba, membawa kabar baik yang membuat Bu Lestari menangis haru dan Pak Jati mengangguk pelan, menunjukkan dukungan yang akhirnya terucap. “Kamu hebat, Nak,” kata Pak Jati. “Tapi jangan lupa, hidup di kota nggak gampang.”

Jelantik tahu ayahnya benar. Ia harus mempersiapkan pindah ke kota, mencari pekerjaan sampingan, dan menyesuaikan diri dengan lingkungan baru. Malam itu, ia duduk di beranda, menatap langit berbintang, dan menulis puisi baru.

Di tengah harapan dan rintangan, aku menang,
Cahaya kampus impianku kini terlihat.
Tapi jalan masih panjang,
Menuntunku ke masa depan yang penuh tantangan.

Di bawah langit Gunung Sari yang cerah, Jelantik merasa langkah berikutnya telah terbuka. Ia lolos tes, tetapi perjuangan sejati—hidup di kota, membiayai kuliah, dan membuktikan dirinya—baru akan dimulai. Dengan harapan di dada, ia mempersiapkan hatinya untuk babak baru dalam perjalanan menuju cahaya kampus impiannya.

Cahaya di Ujung Jalan

Pagi di Gunung Sari terasa hangat, jam menunjukkan 01:20 PM WIB, 26 Juni 2025, dan matahari bersinar terang di atas pegunungan hijau yang mengelilingi desa. Jelantik Suryawijaya berdiri di beranda rumahnya, menatap ladang sawah yang mulai dipenuhi padi muda, pikirannya penuh akan kabar lolos tes masuk Universitas Teknologi Nusantara (UTN) dua hari lalu. Tubuhnya masih terasa lelah dari perjalanan ke kota bersama Kadek, tetapi hatinya dipenuhi campuran kebahagiaan dan ketegangan. Beasiswa parsial yang ia dapatkan adalah kemenangan besar, namun sisa biaya kuliah dan kehidupan di kota menjadi tantangan baru yang harus ia hadapi.

Rumah bambu kecilnya terasa lebih hidup pagi itu, dengan Bu Lestari menyanyi pelan di dapur sambil memasak nasi uduk dan Pak Jati yang kini bisa berjalan perlahan mengasah cangkul di halaman. Kondisi ayahnya membaik secara bertahap, meski masih membutuhkan istirahat ekstra. “Jelantik, kamu harus siap buat kota,” kata Pak Jati, matanya penuh harap. “Hidup di sana nggak gampang, tapi aku percaya kamu bisa.”

Jelantik mengangguk, merasakan beban di pundaknya bertambah. Ia tahu pindah ke kota berarti meninggalkan keluarga, mencari tempat tinggal, dan membiayai kebutuhan sehari-hari di luar beasiswa. Dengan tabungan kecil yang tersisa dan dukungan dari Kadek, ia mulai merencanakan langkah berikutnya. Ia menghubungi Pak Wirya melalui surat, meminta saran tentang kehidupan mahasiswa, dan menerima balasan yang penuh semangat: “Cobalah kerja paruh waktu, dan jangan lupa mimpimu.”

Hari-hari berikutnya dipenuhi persiapan. Jelantik menjual beberapa barang rumah tangga lama—lampu minyak, tikar usang, dan sepeda tua miliknya—untuk menambah dana. Bu Lestari menjahitkan pakaian sederhana dari kain bekas, sementara Pak Jati memberikan sebilah pisau lipat sebagai kenang-kenangan. “Ini buat lindungin diri di kota,” kata ayahnya, tersenyum tipis. Jelantik juga meminta rekomendasi dari Pak Suryo, kepala desa, untuk mencari kos murah di dekat kampus melalui kenalannya.

Pada hari keberangkatan, 1 Juli 2025, langit Gunung Sari cerah, sebuah pertanda baik menurut ibunya. Jelantik berpamitan dengan hati bergetar, memeluk Bu Lestari yang menangis haru dan Pak Jati yang memberikan nasihat terakhir. “Jangan lupa doa, Nak,” kata ibunya, menyelipkan kalung kayu ke lehernya. Kadek mengantarnya dengan sepeda motor, membawa tas sederhana berisi pakaian, buku catatan, dan surat penerimaan UTN.

Perjalanan ke kota memakan enam jam, dengan jalan berbatu yang membuat tulang terasa sakit dan panas matahari yang membakar kulit. Tiba di kota, Jelantik terpesona oleh gedung-gedung tinggi, lalu lintas yang ramai, dan keramaian yang asing baginya. Kadek membantu mencari kosan murah yang direkomendasikan Pak Suryo, sebuah rumah tua dengan kamar kecil yang dibagi dengan tiga mahasiswa lain. Biayanya terjangkau, tetapi kondisinya sederhana—kasur tipis, lampu redup, dan dinding yang retak.

Hari pertama di kampus, Jelantik merasa seperti ikan di darat. Aula besar dipenuhi mahasiswa dari berbagai daerah, mengenakan pakaian modis dan membawa laptop canggih, sementara ia hanya mengandalkan buku catatan dan pena. Ia merasa kecil, tetapi motivasi untuk membuktikan dirinya membuatnya bertahan. Ia mendaftar kuliah, menerima jadwal, dan mulai mencari pekerjaan paruh waktu. Setelah beberapa hari mencoba, ia diterima sebagai asisten perpustakaan kampus, bekerja empat jam sehari dengan bayaran yang cukup untuk kebutuhan dasar.

Namun, kehidupan di kota tak semudah yang dibayangkan. Biaya kuliah sisa yang tak tertutup beasiswa menjadi beban berat. Jelantik sering melewatkan makan siang untuk menghemat uang, dan malamnya ia belajar hingga larut dengan lampu meja yang redup. Teman sekosnya, seorang mahasiswa bernama Rian, memperhatikan perjuangannya dan menawarkan bantuan. “Kamu bisa ikut les gratis bareng aku,” kata Rian. “Aku ngajar anak-anak tetangga, dan kamu bisa dapat tambahan uang.”

Jelantik menerima tawaran itu, mengajar matematika dan sains untuk anak-anak di lingkungan kumuh dekat kosan. Gaji kecil itu membantu, tetapi tekanan kuliah dan kerja membuatnya sering jatuh sakit. Suatu malam, saat hujan deras mengguyur kota, ia pingsan di perpustakaan karena kelelahan. Rian membawanya ke klinik kampus, dan dokter menyarankan istirahat penuh. “Kamu terlalu memaksakan diri,” kata dokter. “Kalau begini terus, mimpimu bisa gagal.”

Jelantik tersadar akan kesehatannya, tetapi ia tak mau menyerah. Ia mengatur ulang jadwal, mengurangi jam kerja, dan meminta bantuan teman-teman kampus untuk belajar kelompok. Dukungan dari Rian, Kadek yang sering berkunjung, dan surat-surat dari Bu Lestari memberinya kekuatan. Setelah enam bulan, ia berhasil menyelesaikan semester pertama dengan nilai memuaskan, bahkan mendapatkan penghargaan akademik kecil.

Puncak perjuangannya datang saat ia menemukan program beasiswa tambahan untuk mahasiswa berprestasi. Dengan esai yang ia tulis tentang impiannya untuk Gunung Sari, ia diterima, menutup sisa biaya kuliahnya. Kerenyahan itu membuatnya menangis haru di kamar kosannya, mengingat perjalanan panjang dari desa hingga ke sana.

Pada hari wisuda dua tahun kemudian, 26 Juni 2027, Jelantik berdiri di panggung kampus, mengenakan toga hitam, menerima gelar sarjana teknik. Bu Lestari dan Pak Jati, yang datang dengan bantuan Kadek, menangis bangga di kursi penonton. Setelah upacara, Jelantik kembali ke Gunung Sari, membawa teknologi sederhana—panel surya kecil dan desain irigasi—untuk desanya.

Malam itu, di beranda rumahnya, ia menulis puisi terakhir di buku catatannya.

Di ujung jalan panjang, aku tiba,
Cahaya kampus impianku kini milikku.
Tiap luka adalah kemenangan,
Menuntunku ke harapan yang abadi.

Di bawah langit Gunung Sari yang cerah, Jelantik memeluk keluarganya, tahu perjuangannya telah membuahkan cahaya—bukan hanya untuk dirinya, tetapi juga untuk desa yang memberinya akar. Perjalanan itu selesai, meninggalkan warisan harapan yang akan terus bersinar.

“Perjalanan Menuju Cahaya Kampus” adalah bukti nyata bahwa perjuangan dan ketekunan dapat mengantarkan seseorang pada kesuksesan, bahkan dari titik terendah sekalipun. Kisah Jelantik Suryawijaya mengajarkan nilai pendidikan, keluarga, dan mimpi, menjadikan cerpen ini wajib dibaca bagi siapa saja yang mencari inspirasi untuk menggapai tujuan hidup. Jangan lewatkan kesempatan untuk terinspirasi oleh perjalanan luar biasa ini!

Terima kasih telah menjelajahi “Perjalanan Menuju Cahaya Kampus”. Semoga cerita ini membakar semangat Anda untuk mengejar mimpi, seperti Jelantik yang tak pernah menyerah. Sampai jumpa di artikel inspiratif lainnya, dan jangan lupa bagikan kisah ini kepada teman yang membutuhkan motivasi!

Leave a Reply