Daftar Isi
Kadang, hidup itu nggak selalu ada jawabannya. Kita cuma jalanin aja, mencoba mengatasi ketakutan, dan kadang harus belajar menerima ketidakpastian yang datang. Penasaran nggak sih, gimana rasanya menghadapinya bareng seseorang yang bisa bikin kita merasa nggak sendiri?
Yuk, ikutin perjalanan Callan dan Maris, yang meskipun belum tahu arah pasti, mereka tetep melangkah, dan siapa tahu mereka malah menemukan sesuatu yang lebih dari yang mereka kira.
Perjalanan Menemukan Diri
The Road Less Taken
Callan berdiri di depan pintu cabin kayu yang sederhana, memandang jalan setapak yang menghilang di antara pepohonan tinggi. Kabut pagi menggantung di udara, membungkus dunia dalam aura dingin dan sunyi. Suara alam seakan menekan semua pikiran, memberikan ruang kosong yang entah kenapa terasa asing, bahkan sedikit menakutkan. Di belakangnya, Maris sudah siap dengan ransel besar di punggungnya, wajahnya penuh antusiasme yang kontras dengan keheningan yang terasa di sekitar mereka.
“Gimana, Callan? Udah siap? Ayo, kita jalan. Kalau nunggu lama-lama di sini, bisa mati bosan,” kata Maris, suaranya ceria meski sedikit mencemooh. Dia sudah berbalik, menunggu dengan sabar, seolah-olah ini adalah rutinitas biasa bagi dirinya.
Callan menarik napas dalam-dalam, menatap jalan setapak yang belum dijelajahi. Biasanya, dia suka merencanakan segalanya dengan rapi. Rencana perjalanan, tujuan, jalur yang harus diambil. Tapi di sini, di tempat ini, semuanya terasa seperti satu keputusan impulsif yang muncul begitu saja. Dia tidak tahu apa yang dia cari di dalam hutan ini, atau mengapa dia merasa perlu datang ke sini, menghindari hiruk pikuk dunia luar. Semua itu hanya terasa seperti pelarian, sebuah tempat untuk mendinginkan kepala.
“Aku cuma… butuh waktu. Untuk mikir,” jawabnya pelan, masih ragu apakah jawabannya bisa menjelaskan perasaan yang menggelayuti hatinya.
Maris mengangkat alis, wajahnya menyiratkan sedikit rasa ingin tahu, tapi dia tidak bertanya lebih lanjut. “Waktu buat mikir? Oh, oke deh. Kalau gitu, kamu pasti bakal suka hutan ini. Di sini, kadang-kadang kamu nggak perlu mikir, cukup jalan aja. Alam yang bakal ngasih jawaban.”
Callan hanya mengangguk pelan, merasa kata-kata itu seperti angin lewat saja. Tidak bisa dipungkiri, dia memang berharap menemukan sesuatu yang lebih dari sekadar kesunyian hutan. Mungkin… ketenangan? Atau mungkin… dirinya sendiri?
Mereka mulai berjalan, kaki mereka menginjak tanah lembab yang dipenuhi akar pohon. Setiap langkah mereka terdengar bergema di hutan yang luas, tetapi di balik suara itu ada ketenangan yang menenangkan. Callan menoleh sekali lagi ke belakang, melihat cabin yang semakin menjauh, dan entah kenapa dia merasa sebuah perasaan yang aneh. Tidak yakin, tetapi juga tidak sepenuhnya takut. Hanya saja, dia tidak tahu apa yang akan dia temui setelah ini.
“Kalau kamu capek, bilang aja ya,” Maris menyela keheningan. “Jalan kaki di hutan itu beda banget sama jalan di kota. Di sini, kamu nggak bisa buru-buru. Harus rileks, kalau enggak nanti malah capek sendiri.”
Callan tersenyum kecut. “Gak bakal capek. Aku cuma nggak terbiasa jalan tanpa tujuan yang jelas.”
“Tujuan? Tujuan itu cuma di kepala kamu, Callan,” jawab Maris dengan tawa ringan. “Di sini, tujuan itu cuma buat mereka yang takut sama ketidakpastian. Di hutan, kita jalan tanpa tujuan, dan kadang itu lebih bebas.”
“Aku nggak yakin kalau ‘bebas’ itu berarti nggak ada tujuan,” balas Callan sambil mengernyitkan dahi, merasa agak bingung dengan cara pandang Maris. Dia merasa cemas karena tidak punya kontrol atas apa yang terjadi. Biasanya, dia tahu kemana arahnya, tahu langkah-langkah yang harus diambil. Di sini, di tempat yang penuh ketidakpastian ini, semuanya terasa lebih kacau.
“Bebas itu bukan soal nggak punya tujuan, Callan. Bebas itu soal nggak takut kalau tujuan itu nggak jelas,” jawab Maris, tetap berjalan tanpa ragu. “Kamu nggak bakal tahu apa yang bisa kamu capai kalau cuma nunggu sampai semuanya terencana dengan rapi. Kadang, hidup itu kayak berjalan di jalan yang nggak ada peta.”
Callan menghela napas dan mempercepat langkahnya, merasa sedikit gelisah. Tidak mudah baginya untuk melepaskan kendali, untuk menerima kenyataan bahwa tidak semua hal bisa diprediksi. Di dunia yang selalu dipenuhi aturan dan struktur, berhadapan dengan ketidakpastian seperti ini terasa sangat asing.
Saat mereka semakin dalam memasuki hutan, suasana semakin sunyi. Hanya terdengar suara angin yang berdesir di antara pepohonan, dan sesekali suara burung yang berkicau dari kejauhan. Callan mulai merasakan ketenangan yang belum pernah dia rasakan sebelumnya. Keheningan yang begitu pekat, namun tidak menakutkan. Itu adalah sesuatu yang belum bisa dia pahami, dan mungkin memang tidak harus dipahami.
“Lihat, itu dia,” kata Maris dengan semangat, menunjuk ke depan di mana jalan setapak terbuka sedikit lebih luas. Mereka mendekati sebuah area lapang, dengan pohon-pohon tinggi yang mengelilinginya seperti penjaga. Dari tempat ini, Callan bisa melihat langit yang biru cerah, matahari pagi yang memancar melalui sela-sela daun. Sesaat, dia merasa ada ketenangan yang datang begitu saja.
“Apa ini tempatnya?” tanya Callan, penasaran.
“Ini tempat favorit aku. Kalau kamu mau lihat dunia dengan cara yang berbeda, kamu harus duduk di sini sebentar, biarkan alam ngomong sama kamu. Terkadang, jawabannya datang tanpa kamu harus mencarinya.”
Callan duduk di batu besar yang ada di tengah lapangan, merasakan setiap hembusan angin yang menyentuh kulitnya. Sesuatu tentang tempat ini membuat hatinya merasa lebih ringan, lebih tenang. Tetapi, entah kenapa, hatinya juga tidak bisa berhenti berpikir tentang segala hal yang dia tinggalkan di luar sana—pekerjaan, kota yang ramai, dan kehidupannya yang sering terasa seperti rutinitas tanpa akhir.
“Kenapa kamu suka banget di sini?” tanya Callan, akhirnya melemparkan pertanyaan yang sudah lama ingin dia tanyakan.
Maris duduk di sebelahnya, menghadap langit yang semakin terang. “Karena di sini, aku nggak perlu jadi siapa-siapa. Aku cuma jadi diri aku sendiri, tanpa ada yang menilai. Di kota, di pekerjaan, semua orang punya ekspektasi. Di sini, aku cuma butuh menjadi bagian dari alam. Itu aja.”
Callan terdiam, mendengarkan kata-kata itu masuk ke dalam pikirannya. Ada sesuatu yang dalam dalam kata-katanya. Sesuatu yang belum pernah dia alami sebelumnya. Sebuah kebebasan yang datang bukan dari penghindaran, tetapi dari penerimaan.
Di saat itulah Callan mulai menyadari, mungkin, dia tidak hanya berjalan di jalan yang tidak tahu arahnya. Mungkin, dia juga sedang mencari dirinya sendiri, berjalan ke tempat yang dia pikir tidak ada jawabannya, padahal jawabannya sudah ada di sana, dalam heningnya alam.
Whispers of the Forest
Hutan di sekitar mereka semakin lebat seiring berjalannya waktu. Callan dan Maris terus berjalan tanpa ada tujuan jelas, hanya mengikuti langkah kaki mereka yang menapaki tanah lembab dan berdebu. Namun, entah mengapa, langkah kaki Callan terasa lebih ringan. Suasana di sekitar hutan, yang semula terasa asing, kini mulai memberikan kenyamanan yang tidak bisa dia jelaskan. Di sini, di tengah pepohonan dan udara segar, rasanya seperti semua tekanan yang menempel di pundaknya perlahan terangkat.
Maris berjalan di depannya, seolah-olah sudah sangat terbiasa dengan jalur yang mereka lewati. Tidak ada rasa cemas, hanya kepercayaan pada langkah yang dia ambil. Sesekali, Maris menoleh ke belakang, memberi senyum kecil pada Callan yang tampak lebih tenang dari sebelumnya.
“Jadi, gimana rasanya?” Maris bertanya, suaranya ringan tapi penuh makna.
“Rasanya aneh,” jawab Callan dengan ragu. “Bukan seperti yang aku bayangkan. Di sini, aku merasa… lebih hidup, tapi juga lebih kosong. Kayak ada ruang yang harus diisi, tapi nggak tahu apa yang harus diisi.”
Maris tertawa pelan, mengangguk. “Itu wajar. Di sini, kamu nggak diharuskan punya jawaban untuk segalanya. Alam nggak pernah nanya kita tentang apa yang kita cari, dia cuma ada dan membiarkan kita jadi bagian dari prosesnya.”
Callan mendengarkan kata-kata itu, mencoba menenangkan pikirannya yang mulai berputar. Ia menatap langit biru di atas mereka, dengan sinar matahari yang menembus celah-celah daun dan menciptakan pola-pola indah di tanah. Sesuatu yang sederhana, tetapi sangat menenangkan.
Mereka berhenti sejenak di sebuah tepian sungai kecil yang jernih, airnya mengalir tenang membawa suara gemericik yang sejuk. Callan duduk di batu besar yang terletak di sisi sungai, mengistirahatkan kaki yang mulai terasa pegal setelah perjalanan panjang.
“Aku nggak ngerti, kenapa tempat kayak gini bisa ngasih ketenangan,” ucap Callan, sambil menggulung celananya dan merendamkan kakinya dalam air yang dingin. “Tapi aneh, rasanya kayak aku bisa berpikir lebih jernih di sini.”
Maris duduk di sebelahnya, melepaskan ransel yang sejak tadi menggantung di punggungnya. Dia meletakkannya di samping batu dan menghadap sungai, menatap aliran air yang terus bergerak.
“Kadang, jawabannya bukan soal berpikir. Kita sering terjebak dalam kebisingan otak kita sendiri, berusaha mencari jalan keluar, padahal jawabannya ada di luar sana, dalam diamnya alam,” ujar Maris dengan pelan, seperti mencoba menjelaskan sesuatu yang sulit dipahami.
“Apa maksud kamu?” Callan bertanya, matanya tertuju pada wajah Maris yang tampak begitu tenang.
“Pernah nggak kamu merasa kalau semakin kamu berpikir keras, semakin kamu nggak nemu jalan? Kadang, kita cuma butuh berhenti, duduk, dan biarkan semua yang ada di sekitar kita berbicara. Alam nggak butuh kata-kata untuk menunjukkan apa yang harus kita lakukan, dia cuma ada, dan kita belajar untuk melihatnya.”
Callan terdiam, mencoba mencerna apa yang baru saja dikatakan Maris. Setiap kata yang keluar dari mulutnya terasa sederhana, namun begitu dalam. Tidak ada tuntutan, tidak ada tekanan, hanya sebuah pengingat bahwa hidup ini tidak selalu tentang memaksakan diri untuk mengerti segalanya.
“Kamu selalu ngomong kayak gitu. Apa kamu nggak pernah merasa bingung atau nggak pasti sama apa yang kamu lakukan?” tanya Callan dengan rasa penasaran yang mulai muncul.
Maris menoleh dan tersenyum. “Tentu saja, aku juga pernah bingung, takut, dan ragu. Tapi aku belajar untuk nggak terlalu keras pada diri sendiri. Semua orang punya ketakutan dan kebingungannya masing-masing, tapi itu nggak berarti kita harus menahannya terus. Kadang, kita cuma perlu memberi ruang untuk diri kita merasa bingung.”
“Menarik…” Callan mengangguk pelan, merasa ada sesuatu yang baru mulai dia pahami. Selama ini, dia selalu berusaha keras mencari jawaban atas setiap pertanyaan hidup, mengorganisir segala sesuatu agar semuanya berjalan sesuai rencana. Tapi di sini, dia mulai merasa bahwa mungkin tidak semua hal harus dipaksakan untuk dipahami.
Mereka melanjutkan perjalanan mereka, mengikuti jalur setapak yang semakin sempit dan berliku. Callan mulai merasakan perbedaan dalam dirinya. Sesuatu yang sebelumnya terasa kaku dan terburu-buru kini mulai terasa lebih mengalir, lebih fleksibel.
“Lihat itu,” Maris berkata sambil menunjuk ke depan, tempat di mana beberapa batu besar terbentang di sungai. “Kalau kamu mau benar-benar merasakan apa yang aku maksud, coba lihat dunia ini dari sudut pandang yang berbeda. Jangan cuma lihat airnya, tapi lihat juga batu-batu yang ada di dalamnya. Tanpa mereka, airnya nggak akan pernah mengalir dengan cara yang sama.”
Callan mengikutinya, melangkah lebih dekat ke tepi sungai, dan duduk di sebuah batu besar di dekat aliran air yang jernih. Dia menatap air yang mengalir cepat, lalu mengalihkan pandangannya pada batu-batu yang tersebar di dasar sungai. Mereka memang tidak terlihat seperti bagian penting, tetapi tanpa mereka, sungai itu tidak akan berjalan seperti yang dia lihat sekarang.
“Apa kamu bilang itu tentang hidup?” tanya Callan, merasa sesuatu yang lebih dalam mulai terungkap. “Bahwa terkadang kita nggak bisa lihat apa yang penting, sampai kita belajar melihat lebih dekat?”
Maris tersenyum. “Iya, kadang kita harus belajar melihat hidup dari sudut yang berbeda. Mungkin kita bukan batu besar yang terlihat jelas, tapi kita juga bagian dari aliran itu. Kadang, yang kita butuhkan cuma sedikit perspektif baru.”
Callan merenung. Beberapa hal yang dulu ia anggap sebagai hambatan atau gangguan sekarang terasa lebih seperti bagian dari perjalanan yang lebih besar. Batu-batu kecil dalam hidup, yang kadang terasa menghalangi, mungkin justru yang membuat perjalanan itu lebih bermakna.
The Echo of Silence
Pagi datang lebih lambat dari biasanya. Callan terbangun dengan cahaya matahari yang menyelinap lewat sela-sela pepohonan, menerangi hutan yang kini terasa seperti rumah kedua. Suasana di sekitar mereka tenang, seolah alam sedang memeluknya dengan lembut, menuntun setiap langkah mereka yang semakin mantap.
Maris sudah terjaga lebih dulu. Dia duduk di sebuah batu besar, menatap langit yang perlahan berubah cerah, dengan secangkir teh hangat yang dipegang erat di tangannya. Callan duduk, menyandarkan tubuhnya pada pohon besar di dekat mereka, merasakan keheningan pagi yang anehnya nyaman.
“Selamat pagi,” Callan menyapa, matanya sedikit terpejam karena masih mengantuk, tapi entah kenapa, pagi ini terasa berbeda. Tidak seperti pagi-pagi lainnya yang penuh dengan kerumitan hidup yang belum terpecahkan.
“Pagi,” Maris menjawab sambil tersenyum. “Coba lihat sekeliling kamu. Kadang, kita perlu bangun lebih awal, biar bisa benar-benar melihat apa yang ada di sekitar kita.”
Callan menoleh, memandang hutan yang tampak sepi dan damai. Tak ada suara selain suara burung yang bernyanyi dan angin yang berbisik di antara dedaunan. Sesuatu tentang keheningan ini menenangkan, seolah-olah dunia sedang berhenti sejenak hanya untuk memberikan ruang bagi mereka untuk merenung.
“Dulu, aku nggak pernah tahu betapa pentingnya keheningan,” ujar Callan, merasa ada sesuatu yang baru muncul di dalam dirinya. “Maksudku, aku selalu hidup dalam kebisingan. Di kota, di kantor, bahkan di dalam kepala aku sendiri. Rasanya semua harus bergegas, tapi sekarang… ini kayak kita punya waktu lebih, ya?”
Maris memandangnya dengan tatapan yang lembut. “Iya, kadang kita terlalu sibuk dengan semuanya, sampai nggak sadar kalau keheningan bisa ngasih kita lebih banyak daripada suara ribut yang nggak ada habisnya. Keheningan itu nggak kosong, Callan. Dia penuh dengan kemungkinan.”
Pernahkah kamu merasa, seperti ada sesuatu yang besar menunggu di luar sana, tapi kita terlalu sibuk mencari jawaban di tempat yang salah?
Callan menatap Maris, perasaannya semakin menguat. Ada sesuatu dalam diri Maris yang membuatnya merasa… terhubung. Seperti ada kesamaan yang sulit dijelaskan. Bukan hanya perjalanan yang mereka jalani bersama, tetapi juga sesuatu yang lebih dalam, yang lebih personal.
“Aku nggak tahu harus ngomong apa,” ucap Callan pelan, matanya masih tertuju pada langit. “Semua ini… terasa seperti mimpi. Aku nggak pernah berpikir bisa menemukan tempat yang bikin aku merasa seutuhnya seperti ini.”
Maris menunduk, seolah mengerti apa yang sedang dirasakannya. “Kadang, kita butuh waktu untuk benar-benar merasa hidup, Callan. Keheningan ini, hutan ini… mereka nggak hanya ngasih kita tempat untuk beristirahat. Mereka ngasih kita ruang untuk merasa kembali, untuk terhubung dengan diri kita yang sebenarnya.”
“Merasakan diri kita yang sebenarnya?” Callan bertanya, mulai merasa bingung, tapi dengan rasa ingin tahu yang semakin besar.
Maris mengangguk, meminum tehnya dengan tenang. “Iya. Kita sering kali terlalu sibuk dengan apa yang orang lain pikirkan, atau apa yang kita harapkan dari diri kita sendiri. Sampai kita lupa apa yang kita butuhkan. Keheningan ini… mengingatkan kita untuk kembali ke asal, ke diri kita yang paling sederhana.”
Callan menelan ludah, mencoba mencerna apa yang baru saja dikatakan Maris. Seolah-olah setiap kata yang keluar dari mulut Maris itu adalah sebuah kunci yang membuka pintu-pintu dalam dirinya yang sudah lama terkunci.
Tapi ada sesuatu dalam dirinya yang masih merasa ragu, seperti ada pertanyaan besar yang belum terjawab. Apakah keheningan ini benar-benar cukup untuk memberinya apa yang dia cari? Apakah dia siap untuk menghadapi ketidakpastian itu?
“Mungkin aku memang butuh keheningan,” Callan akhirnya berkata. “Tapi, aku juga nggak tahu apakah aku siap untuk menghadapi apa yang akan aku temukan dalam keheningan itu.”
Maris menatapnya, kali ini dengan tatapan yang lebih serius, penuh pengertian. “Keheningan bukan untuk ditakuti, Callan. Itu justru tempat kita bisa menemukan siapa diri kita sebenarnya. Kalau kamu berani menghadapi keheningan itu, mungkin kamu akan menemukan jawabannya.”
Callan menghela napas dalam, merasakan berat yang tiba-tiba menyelimuti dadanya. Tapi ada sesuatu dalam kata-kata Maris yang memberi rasa aman. Seperti ada sebuah pilihan yang terbuka di depannya, meskipun itu penuh ketidakpastian.
“Tapi, bagaimana kalau jawabannya nggak seperti yang aku harapkan?” Callan bertanya, suaranya terdengar sedikit gentar.
“Kadang jawabannya memang nggak sesuai harapan,” jawab Maris pelan. “Tapi itu nggak berarti kamu gagal. Itu justru berarti kamu mulai memahami hal-hal yang selama ini kamu hindari.”
Callan merasa dirinya sedang berada di persimpangan jalan, dua pilihan yang tampaknya saling tarik menarik. Di satu sisi, dia ingin melanjutkan perjalanan ini, menemui keheningan dan mungkin menemukan jawaban yang selama ini ia cari. Namun, di sisi lain, dia merasa takut terhadap apa yang mungkin ia temui di dalam diri sendiri.
“Tapi aku nggak tahu apa yang harus aku lakukan setelah itu,” kata Callan, hampir seperti gumaman.
Maris tersenyum, meletakkan cangkir teh di dekatnya dan memandang Callan dengan lembut. “Kadang, kita nggak harus tahu semuanya sekarang. Yang penting, kamu mau melangkah ke depan, bahkan kalau itu artinya kamu nggak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.”
Callan terdiam, perasaannya campur aduk. Namun, ada sesuatu yang berbeda kali ini. Sebuah perasaan bahwa keheningan ini, meskipun menakutkan, juga memberikan harapan yang tak terucapkan.
Dia menoleh ke Maris yang tampak begitu tenang, seolah sudah sangat mengenal dirinya, meskipun mereka baru saja bertemu. Seperti ada semacam ikatan yang tak terlihat di antara mereka, sebuah pemahaman yang tidak perlu diucapkan.
“Aku siap,” akhirnya Callan berkata, dengan suara yang lebih pasti. “Aku siap untuk tahu lebih banyak, meskipun itu berarti aku harus menghadapi semua ketakutanku.”
Maris tersenyum, wajahnya dipenuhi rasa bangga. “Itu langkah pertama yang paling penting, Callan. Ke depan, kita akan menghadapi lebih banyak hal, tapi kamu nggak sendirian. Kamu punya ini, kamu punya perjalanan ini. Dan yang paling penting, kamu punya diri kamu sendiri.”
Callan merasakan sesuatu yang hangat menyelimuti dadanya. Untuk pertama kalinya, dia merasa bahwa meskipun dunia ini penuh dengan ketidakpastian, dia bisa menemukan dirinya di tengah-tengah keheningan yang membawa ketenangan.
Dan perjalanan mereka pun berlanjut.
Finding the Horizon
Hari mulai merangkak lebih cepat, dengan sinar matahari yang semakin terik, namun keheningan yang mereka rasakan sejak pagi masih bertahan. Callan dan Maris berjalan sejajar di sepanjang jalan setapak yang berkelok, dikelilingi oleh pepohonan tinggi yang berdiri kokoh. Setiap langkah mereka terasa lebih ringan, meskipun jalan yang mereka tempuh tampak panjang.
Callan merasakan ada sesuatu yang berubah dalam dirinya. Setiap kata yang Maris ucapkan, setiap kesunyian yang mereka bagi, membawa sebuah pemahaman baru yang semakin menguatkan tekadnya. Keheningan yang dia takuti sebelumnya kini menjadi sahabat yang membuatnya lebih sadar akan dirinya sendiri. Namun, ada satu hal yang masih mengganggunya—rasa takut akan apa yang akan datang, ketidakpastian yang selalu mengintai di balik setiap pilihan.
“Tapi, Maris,” kata Callan perlahan, matanya menatap jalan yang terbentang di depan mereka. “Aku masih merasa… bingung. Apa yang harus aku lakukan setelah ini?”
Maris tersenyum tipis, langkahnya tetap mantap meskipun jalanan semakin menanjak. “Mungkin kamu nggak harus tahu semua jawabannya sekarang. Kadang kita justru terlalu fokus pada hasil akhir, sampai lupa bahwa perjalanan itu sendiri sudah memberi kita pelajaran yang berharga.”
Callan mengangguk pelan. Kata-kata Maris seperti sinar yang menuntunnya ke arah yang lebih terang. Selama ini, dia terlalu sibuk mencari jawaban yang sempurna, merasa terjebak dalam ketidakpastian, padahal yang sebenarnya dia butuhkan adalah keberanian untuk melangkah tanpa harus tahu segala hal.
“Jadi, apa yang harus aku lakukan sekarang?” tanyanya lagi, dengan suara yang lebih lembut.
Maris berhenti sejenak, memandang Callan dengan tatapan yang penuh pengertian. “Coba buka matamu lebih lebar, Callan. Jangan hanya fokus pada ketakutanmu, tapi lihatlah apa yang ada di sekitar kamu. Dunia ini penuh dengan kemungkinan. Dan kita nggak pernah tahu apa yang akan terjadi jika kita tetap takut untuk melangkah.”
“Dan aku harus percaya pada diriku sendiri?” Callan bertanya, agak ragu, tapi kali ini ada sedikit keyakinan di dalam suaranya.
“Betul,” jawab Maris, kemudian melanjutkan langkahnya. “Percaya bahwa meskipun kita nggak tahu jalan yang akan kita tempuh, kita bisa mempercayai diri kita untuk menemukan cara menghadapi apapun yang datang.”
Callan merenung, meresapi setiap kata yang baru saja diucapkan Maris. Ada sesuatu yang dalam tentang keheningan yang mereka alami bersama, tentang bagaimana setiap kata dan langkah mereka terasa begitu berarti. Dia tahu bahwa perjalanan ini bukan hanya tentang menemukan jawaban, tetapi tentang menghadapi diri sendiri—tentang berani mengambil langkah meskipun rasa takut masih ada.
Ketika mereka mencapai puncak bukit yang telah mereka tuju, Callan berhenti sejenak, memandang ke arah horizon yang terbentang luas di depan mata. Langit biru dan lautan yang berkilauan memantulkan cahaya matahari, memberikan pemandangan yang menakjubkan.
“Lihat itu,” kata Maris sambil tersenyum. “Itulah salah satu alasan kenapa kita harus berani melangkah. Terkadang, kita nggak tahu ke mana kita akan pergi, tapi begitu kita sampai di tempat yang benar, semuanya menjadi jelas.”
Callan mengangkat alis, menatap ke arah horizon yang begitu jauh. Ada sebuah keheningan yang luar biasa di sana, seperti dunia sedang menunggu sesuatu, menunggu mereka untuk membuat pilihan berikutnya.
“Ini… lebih dari apa yang aku bayangkan,” ucap Callan, merasa begitu kecil dan begitu besar pada saat yang sama. “Mungkin selama ini aku terlalu sibuk mencari jawaban, sampai aku nggak pernah benar-benar menikmati perjalanan.”
Maris berdiri di sampingnya, tangan mereka terulur sedikit, seolah berbagi sebuah pemahaman yang hanya bisa dirasakan, bukan diucapkan. “Itu bagian dari hidup, Callan. Kita nggak selalu tahu apa yang akan datang, tapi kita bisa belajar dari perjalanan itu. Dan mungkin, itulah yang kita butuhkan—bukan jawaban, tapi kesediaan untuk terus melangkah.”
Callan tersenyum, sebuah senyuman yang berbeda dari sebelumnya, lebih ringan, lebih tulus. “Terima kasih, Maris. Untuk semuanya. Aku rasa… aku mulai mengerti.”
“Jangan berterima kasih terlalu cepat,” Maris tertawa ringan, “Masih banyak perjalanan yang harus kita tempuh.”
Mereka berdiri di sana, berdampingan, menghadap dunia yang begitu luas, tanpa rasa takut. Ketidakpastian bukan lagi musuh, tetapi sahabat yang mereka kenal dan hadapi bersama. Callan merasa lebih siap daripada sebelumnya. Dia tahu bahwa perjalanan ini belum selesai, dan tidak akan pernah selesai, tetapi yang paling penting adalah dia tidak sendirian.
Dengan satu langkah lagi, mereka melanjutkan perjalanan, meninggalkan jejak di tanah yang kini terasa lebih akrab.
Dan saat itu, di bawah langit yang begitu luas, Callan akhirnya memahami—keheningan, meskipun menakutkan, adalah tempat di mana dia bisa menemukan kebebasan.
Jadi, mungkin jawabannya nggak selalu kita temuin langsung, tapi yang penting adalah kita berani melangkah dan terus maju. Karena kadang, yang kita butuhin bukan sekadar tujuan, tapi perjalanan itu sendiri.
Callan dan Maris sudah membuktikan, ketidakpastian bukanlah sesuatu yang harus ditakuti, tapi justru sesuatu yang bisa kita peluk. Kalau mereka bisa, kamu juga pasti bisa.