Daftar Isi
Hei, pernah nggak sih kamu ngalamin bingung banget soal cita-cita waktu kecil? Kayak, dulu pengen jadi ini-itu, tapi makin gede makin nggak tahu mau kemana? Nah, cerpen ini bercerita tentang Alaric, bocah yang dulu clueless soal masa depannya.
Dari mimpi jadi pilot sampai detektif, dia ngalamin kebimbangan yang seru dan kocak. Tapi, seiring waktu, dia mulai nemuin sesuatu yang nggak pernah disangka-sangka bakal jadi jalannya. Penasaran gimana Alaric akhirnya nemu arti cita-cita? Yuk, ikutin kisahnya di sini!
Perjalanan Menemukan Cita-Cita
Cita-Cita Aneh Seorang Alaric Kecil
Langit pagi itu cerah, seperti biasa di hari Senin. Di halaman sekolah, anak-anak kelas 3 SD berlarian dengan energi yang entah dari mana datangnya. Salah satu di antaranya, seorang anak laki-laki dengan rambut agak berantakan, tampak berjalan santai sambil memperhatikan sekeliling. Itulah Alaric.
Di ruang kelas 3B, Bu Ratna, guru yang terkenal baik hati tapi tegas, sudah berdiri di depan kelas. Hari ini beliau punya tugas spesial untuk anak-anak, tugas yang sering diberikan guru-guru SD kepada murid-murid mereka: menulis tentang cita-cita.
“Anak-anak, hari ini kita akan menulis tentang cita-cita kalian di masa depan,” ujar Bu Ratna sambil menatap setiap muridnya. “Tapi bukan cuma sekadar menulis, ya. Ibu ingin kalian benar-benar pikirkan baik-baik, apa yang kalian inginkan saat besar nanti. Siapa tahu, suatu hari cita-cita itu benar-benar terwujud.”
Alaric menatap papan tulis dengan ekspresi bingung. Di sebelahnya, teman sebangkunya, Lino, tampak bersemangat.
“Aku mau jadi dokter, Ric! Nanti kalau kamu sakit, aku obati gratis,” ujar Lino dengan penuh keyakinan.
Alaric tertawa kecil. “Hah, kalau aku sih, nggak tahu, Lin. Kayaknya cita-cita itu terlalu susah dipikirin. Yang penting kan, sehat terus aja!”
Bu Ratna berjalan mendekat ke bangku mereka. “Alaric, sudah kepikiran mau jadi apa nanti?”
Alaric mengangkat bahu. “Aku nggak tahu, Bu. Aku cuma mau senang-senang aja. Kalau bisa sih, jadi pahlawan yang bisa bantu semua orang, tapi… itu kan cuma di cerita film.”
Bu Ratna tersenyum. “Cita-cita jadi pahlawan juga bagus, kok, Alaric. Pahlawan kan nggak harus punya kekuatan super, yang penting niatnya. Nah, gimana kalau kamu tulis aja itu?”
Alaric mengangguk perlahan, meski sebenarnya masih bingung. Dia memandang sekeliling, melihat teman-temannya yang sudah sibuk mencatat ide-ide mereka.
Di belakang kelas, Rani sedang menulis dengan raut serius. Dari kecil, Rani memang selalu bercita-cita jadi guru, katanya ingin membantu anak-anak belajar. Di pojok lain, ada Dika yang bercita-cita jadi pilot. Setiap anak punya impian yang terlihat begitu nyata. Mereka seolah tahu apa yang mereka inginkan.
“Ric, kamu serius nggak punya cita-cita?” Lino bertanya lagi, suaranya penuh rasa penasaran.
Alaric menghela napas. “Ya, nggak tahu. Aku mau jadi kaya aja, Lin. Biar bisa beli mainan banyak.”
Lino tertawa terbahak-bahak. “Itu cita-cita yang nggak jelas! Tapi lumayan keren juga, sih.”
Dalam waktu singkat, anak-anak sudah mulai sibuk dengan tugas masing-masing, tapi Alaric tetap termenung. Ia memandang pensil di tangannya sambil berpikir keras. Di dalam kepalanya, bayangan berbagai cita-cita melintas: astronot, penyanyi, bahkan sempat terpikir jadi petani jagung karena sering menonton acara tentang ladang di televisi.
Tak lama kemudian, Alaric menuliskan kalimat pertamanya dengan ragu-ragu. Ia tahu mungkin ide ini terdengar aneh, tapi ia merasa ini satu-satunya hal yang ia ingin coba.
“Aku mau jadi penyihir.”
Ia menulisnya pelan-pelan, takut Bu Ratna melihat dan berpikir ia hanya bercanda. Tapi Alaric memang serius. Baginya, jadi penyihir bisa berarti banyak hal. Bisa menyulap apa saja, bahkan mungkin menciptakan makanan sendiri tanpa harus repot-repot ke dapur. Tugas-tugas sekolah? Tinggal ‘abrakadabra’ saja. Dalam pikirannya, hidup sebagai penyihir akan sangat seru.
Lino, yang penasaran dengan apa yang ditulis Alaric, mengintip dari samping. “Kamu serius, Ric? Penyihir?”
Alaric mengangguk, sedikit tersipu. “Iya, Lin. Seru kan? Nggak perlu belajar ngitung atau ngafalin sejarah. Tinggal ‘sim salabim’, semua beres.”
Lino tertawa pelan. “Tapi penyihir kan cuma ada di cerita dongeng.”
“Nggak apa-apa, namanya juga cita-cita,” jawab Alaric, yakin.
Setelah beberapa menit menulis, Bu Ratna meminta semua anak mengumpulkan kertas tugas mereka ke depan. Satu per satu anak maju, menyerahkan tulisan mereka dengan penuh percaya diri. Alaric maju dengan hati-hati, sedikit khawatir. Dia tahu apa yang dia tulis bisa saja jadi bahan tertawaan. Tapi dia menahan senyumnya. Di benaknya, menjadi penyihir adalah impian yang paling menarik.
Saat jam pulang sekolah, Alaric dan Lino berjalan pulang bersama. Lino masih penasaran tentang cita-cita temannya itu.
“Tapi, Ric, kalau penyihir nggak bisa, kamu beneran nggak ada cadangan?”
Alaric mengangkat bahu lagi. “Nggak tahu, Lin. Yang penting, nanti aku nggak pengen kerja yang bikin bosen. Aku pengen yang bisa bebas ngelakuin apa aja, asal aku suka.”
Percakapan mereka terus berlanjut di sepanjang jalan. Alaric mulai merasa lega, seakan tugas soal cita-cita tadi membantunya mengungkapkan impian-impian kecilnya yang unik, meskipun belum jelas bentuknya.
Di dalam hatinya, Alaric tahu dia mungkin bukan penyihir sungguhan, tapi ada semacam api kecil yang mulai menyala, seolah-olah suatu saat nanti dia bisa melakukan sesuatu yang istimewa. Entah kapan atau bagaimana caranya, ia hanya berharap perjalanan hidupnya akan seseru dan seajaib yang ada di dongeng.
Dan, meskipun cita-citanya terdengar tak masuk akal bagi orang lain, Alaric tetap melangkah pulang dengan perasaan bahagia, sambil berbisik dalam hati, “Suatu hari, aku akan jadi apa yang aku inginkan.”
Masa-Masa Kebingungan yang Tak Berujung
Waktu terus berjalan, meninggalkan Alaric dan khayalan masa kecilnya tentang dunia sihir dan kehidupan tanpa tugas sekolah. Memasuki masa SMP, hari-hari Alaric terasa semakin sibuk. Tumpukan buku pelajaran, PR yang menumpuk, dan ujian-ujian yang seakan tak ada habisnya membuat ia kadang tak bisa bernapas lega. Di tengah semua itu, pertanyaan yang sama terus mengganggunya: *“Aku nanti mau jadi apa, ya?”*
Seperti hari ini, di salah satu kelas favoritnya, seni rupa, Pak Doni, guru seni yang terkenal santai tapi selalu menuntut kreatifitas, memberi tugas menggambar. Kali ini, semua anak diminta menggambar tentang masa depan.
“Ayo, anak-anak, sekarang kita bakal coba tuangin semua impian kita ke dalam gambar. Kira-kira, kalian mau jadi apa? Pikirkan yang seru, yang bikin kalian bahagia,” kata Pak Doni dengan suara penuh semangat.
Di sekelilingnya, Alaric melihat teman-temannya mulai menggambar hal-hal keren. Ada yang menggambar ruang operasi, gedung pencakar langit, bahkan satu temannya menggambar dirinya sendiri sedang memegang piala besar di podium. Semua anak sepertinya punya impian yang jelas dan percaya diri dengan masa depan mereka.
Alaric, di sisi lain, memegang pensil dan menatap kertas kosong di depannya. Teringat impian penyihirnya, ia tersenyum sendiri, merasa itu mungkin memang terlalu konyol untuk digambar di usia segini. Tapi ia tetap tak punya ide lain. Lalu, tiba-tiba, satu inspirasi muncul di benaknya—dia mulai menggambar pemandangan langit malam, penuh bintang, dengan sebuah roket kecil yang meluncur ke antariksa. Sebuah cita-cita lama yang pernah ia pikirkan saat kecil: menjadi astronot.
Setelah menggambar beberapa lama, Pak Doni berjalan berkeliling untuk melihat karya setiap murid, berhenti sesaat di meja Alaric.
“Roket yang bagus, Alaric. Jadi kamu mau jadi astronot?” tanya Pak Doni, menatap hasil karya Alaric dengan kagum.
Alaric menggaruk kepala, tersenyum malu-malu. “Mungkin, Pak. Tapi… saya nggak yakin. Kayaknya jadi astronot terlalu susah buat saya.”
Pak Doni tertawa kecil. “Hei, nggak ada yang salah dengan mimpi besar, Ric. Astronot, penyanyi, bahkan penyihir sekali pun, semuanya bisa saja tercapai kalau kamu benar-benar mau dan berusaha.”
Alaric tersenyum, merasa sedikit lebih percaya diri. Tapi di dalam hatinya, ia tahu bahwa masih banyak keraguan. Setelah kelas selesai, ia mengobrol dengan teman-teman sekelasnya tentang cita-cita. Percakapan mereka terdengar serius, seolah masa depan sudah menunggu di depan mata.
Saat pulang sekolah, Lino, sahabatnya yang kini sekelas lagi dengannya, menepuk bahunya sambil tertawa kecil. “Masih bingung, ya, Ric? Sejak kelas 3 SD, kamu kayaknya nggak pernah yakin sama cita-citamu sendiri.”
Alaric tertawa sambil mengangkat bahu. “Iya, Lin. Aku nggak ngerti. Kenapa sih, kalian bisa yakin sama impian kalian? Kok aku nggak?”
Lino berpikir sejenak, lalu menjawab dengan santai. “Mungkin, kamu terlalu fokus sama apa yang ‘seharusnya’. Kamu coba lihat aja apa yang bikin kamu seneng, siapa tahu itu justru jadi arah yang kamu cari.”
Saran Lino terdengar sederhana, tapi menusuk di hati Alaric. Ternyata, selama ini ia memang terlalu sibuk mencari jawaban yang sempurna, sampai-sampai ia lupa menikmati hal-hal yang ia sukai. Dia mulai teringat bagaimana perasaan senangnya saat menggambar tadi, meskipun itu hanya khayalan soal roket dan bintang.
Hari-hari SMP berlalu dengan cepat. Alaric mulai mencoba berbagai hal, dari ikut ekskul teater hingga mencoba membuat sketsa-sketsa sederhana di buku tulisnya. Namun, lagi-lagi, setiap kali orang dewasa bertanya soal cita-cita, Alaric selalu kebingungan.
Suatu sore, sepulang sekolah, ia duduk di ruang tamu bersama Ayahnya yang sedang sibuk membaca koran. Alaric memberanikan diri bertanya.
“Ayah, dulu… Ayah waktu kecil tahu mau jadi apa?”
Ayah menurunkan koran dan tertawa pelan. “Tentu saja nggak tahu, Ric. Kalau tahu, Ayah pasti nggak pernah bingung dalam hidup ini.”
Alaric terdiam, mendengar jawaban Ayahnya. “Jadi, Ayah juga bingung?”
“Tentu. Banyak dari kita bingung soal masa depan, Ric. Kadang, kita baru tahu apa yang kita inginkan setelah mencoba banyak hal. Apa yang kita pikir sebagai tujuan hidup seringkali berubah seiring waktu.” Ayah tersenyum, menepuk bahu Alaric. “Nggak apa-apa kok bingung, yang penting kamu coba nikmatin prosesnya.”
Percakapan itu melekat dalam benak Alaric. Ia mulai berpikir bahwa mungkin semua kebingungannya bukan hal yang buruk. Ada waktu untuk menemukan apa yang benar-benar diinginkan, tanpa harus memaksakan diri terlalu cepat.
Di masa SMA, Alaric semakin sibuk dengan berbagai kegiatan, dari ikut klub seni hingga terlibat dalam acara-acara sekolah. Ia senang mencoba berbagai hal, walau setiap kali ditanya soal cita-cita, jawabannya tetap berubah-ubah.
Suatu malam, saat sedang menggambar di kamar, Alaric berhenti sejenak, memandang sketsa yang baru saja ia buat. Gambar itu adalah potret pemandangan kota di waktu senja, penuh warna oranye dan ungu yang memancar dari matahari terbenam. Alaric tersenyum, merasa puas dengan hasilnya. Ada perasaan tenang yang tidak bisa ia jelaskan setiap kali melihat hasil karyanya sendiri.
Ternyata, di dalam hatinya yang penuh keraguan, ada sisi dirinya yang menyukai hal-hal sederhana ini. Mungkin, kalau ia tak pernah menemukan tujuan yang pasti, setidaknya ia tahu satu hal: ia senang membuat sesuatu dengan tangannya, entah itu menggambar, mendesain, atau menciptakan sesuatu yang indah.
Dan meski ia belum tahu pasti ke mana semua itu akan membawanya, Alaric mulai menerima bahwa kebingungan yang ia rasakan bukanlah kelemahan. Melainkan, sebuah proses yang harus dijalani.
Melangkah ke Jalan yang Tidak Terduga
Saat tahun-tahun SMA semakin dekat dengan masa ujian akhir, Alaric mulai merasakan tekanan untuk menentukan masa depan. Teman-temannya mulai sibuk mendaftar ke universitas favorit, memilih jurusan-jurusan yang terdengar serius—kedokteran, hukum, teknik. Alaric, yang duduk di antara mereka, merasa seperti dikejar-kejar sesuatu yang tak bisa ia lihat. Setiap kali membayangkan masa depannya, ia merasa seperti berada di ruangan besar yang penuh pintu, tapi tidak tahu mana yang harus ia buka.
Orangtuanya tidak pernah memaksakan Alaric untuk mengikuti jejak tertentu, tetapi Alaric tetap merasa bertanggung jawab untuk memilih sesuatu yang bisa ia banggakan. Saran demi saran datang dari semua arah: ada yang menyarankannya untuk menjadi desainer, yang lain menyebutkan arsitek, bahkan ada yang mengusulkan menjadi guru seni. Alaric hanya bisa tersenyum sambil menyimpan semua ide itu di dalam pikirannya, berharap ada satu yang nantinya terasa tepat.
Suatu sore, menjelang ujian akhir, ia duduk di ruang seni sekolah, mengerjakan sketsa yang akan ia masukkan untuk tugas akhir. Ruangan itu sepi, hanya ada satu-dua teman yang sibuk berkutat dengan proyek masing-masing. Alaric menatap kertas di depannya, mencoba mencari inspirasi. Tapi seperti biasanya, pikirannya melayang-layang ke hal-hal lain—impian-impian masa kecilnya, semua ketidakpastian yang ia rasakan.
Di sela kebingungan itu, datanglah Pak Doni, guru seni yang sudah lama mengamati Alaric dengan penuh perhatian.
“Ric, saya boleh lihat gambarmu?”
Alaric menyerahkan sketsanya tanpa berpikir panjang. Pak Doni mengamati dengan serius, mengangguk pelan seolah sedang memahami sesuatu yang tak terlihat.
“Kamu sadar nggak kalau gambarmu punya karakter yang unik? Setiap garis yang kamu buat itu seperti punya nyawa, seperti kamu tahu betul apa yang kamu mau dari setiap tarikan pensil itu.”
Alaric tersenyum samar, merasa tersanjung tapi juga ragu. “Saya nggak tahu, Pak… Saya masih bingung sebenarnya saya mau apa setelah ini. Semua orang sudah punya rencana, sementara saya masih belum bisa menentukan apa yang benar-benar saya inginkan.”
Pak Doni duduk di sampingnya, menatap sketsa Alaric yang penuh dengan detail. “Kadang, kita nggak perlu tahu segalanya dari awal. Lihat saja apa yang ada di depan mata kamu. Kalau kamu merasa nyaman dan bahagia dengan hal ini, mungkin ini bisa jadi langkah awal yang kamu cari.”
Kata-kata Pak Doni membuat Alaric merenung. Menggambar memang selalu memberikan rasa nyaman baginya, sebuah pelarian dari hiruk-pikuk kehidupan. Tapi apakah itu cukup? Bisakah menggambar menjadi sesuatu yang serius, yang bisa ia tekuni?
Satu minggu kemudian, ia menghadiri pameran seni kecil di kota bersama teman-temannya. Di sana, ia melihat berbagai karya seniman lokal yang unik dan penuh warna. Alaric terpukau melihat begitu banyak cara berbeda orang mengekspresikan diri. Salah satu seniman yang menarik perhatiannya adalah seorang ilustrator yang membuat sketsa-sketsa kehidupan sehari-hari dengan sentuhan humor dan kehangatan.
Di tengah keramaian pameran, Alaric mengamati karya-karya itu dengan penuh rasa ingin tahu. Ada sesuatu di sana—kesederhanaan, kejujuran—yang mengingatkannya pada hal-hal yang ia sukai saat menggambar. Tidak lama kemudian, ia mendapati dirinya berbicara dengan sang ilustrator. Pria itu menjelaskan betapa ia mencintai pekerjaannya dan bagaimana ia menemukan kepuasan dalam menggambarkan hal-hal kecil yang sering terlewatkan.
Setelah kembali dari pameran, Alaric merasa lebih yakin bahwa menggambar mungkin memang bisa menjadi jalan hidupnya. Ia mulai berpikir untuk serius mengembangkan kemampuan seninya. Di sela-sela belajar untuk ujian, Alaric meluangkan waktu lebih banyak untuk menggambar, mencoba gaya-gaya baru, bereksperimen dengan berbagai medium.
Pada suatu malam, Alaric mendapati dirinya menggambar tanpa sadar hingga tengah malam. Ia merasa tenggelam dalam karya-karyanya, dan tiba-tiba, ia menyadari sesuatu—perasaan yang ia cari selama ini, mungkin ada di sini. Di setiap goresan pensil, di setiap garis yang ia buat, ada rasa puas yang belum pernah ia temukan sebelumnya.
“Sepertinya aku sudah tahu jalanku,” gumamnya kepada dirinya sendiri di tengah kesunyian malam.
Namun, jalan yang ia pilih tidaklah mudah. Ketika ia menyampaikan niatnya kepada keluarganya, ada sedikit keraguan. Kedua orangtuanya menginginkan yang terbaik untuk Alaric, dan mereka tahu betul bahwa dunia seni bukanlah jalan yang stabil dan terjamin. Meski begitu, setelah melihat tekad dan antusiasme yang terpancar dari mata anaknya, mereka pun merestui keputusan Alaric.
Di tengah berbagai kekhawatiran dan ketidakpastian, Alaric mulai melangkah ke dunia yang baru. Ia mendaftar ke sekolah seni, dan perjalanan yang menanti di depannya terasa menantang, penuh tantangan, namun juga menjanjikan hal-hal baru yang mungkin tak pernah ia bayangkan.
Meski kadang masih merasa ragu dan bingung, kini Alaric tahu bahwa kebingungan itu bukanlah akhir dari segalanya—melainkan sebuah langkah menuju awal yang baru.
Mengukir Jejak di Kanvas Dunia
Perjalanan Alaric sebagai mahasiswa seni dimulai dengan antusiasme besar, tetapi juga penuh tantangan. Mata kuliah demi mata kuliah membuka wawasan baru tentang seni, dari sejarahnya hingga teknik yang tak pernah ia bayangkan. Hari-harinya diisi dengan kesibukan yang melelahkan namun memuaskan—membuat sketsa, menggambar ulang, dan kadang harus begadang untuk menyelesaikan tugas. Tetapi, di tengah segala kelelahan, ada rasa bahagia yang tumbuh, rasa bahwa akhirnya ia berada di tempat yang benar.
Di tengah tahun kedua, sebuah kesempatan yang tak terduga datang. Kampusnya mengadakan kompetisi ilustrasi dengan tema “Warna Kehidupan.” Para pemenangnya akan mendapatkan kesempatan untuk menampilkan karya mereka dalam pameran seni besar di kota. Alaric langsung tertarik, meskipun ia tahu kompetisi ini bukanlah sesuatu yang mudah. Puluhan mahasiswa berbakat dari seluruh kampus akan turut berkompetisi. Namun, Alaric merasa bahwa ini adalah kesempatan yang harus ia ambil.
Dengan penuh semangat, Alaric mulai merancang karya untuk kompetisi. Ia menghabiskan waktu berhari-hari mencari inspirasi, menggali kembali kenangan masa kecilnya, mengenang semua cita-cita yang pernah ia miliki. Pada akhirnya, ia memutuskan untuk menggambar sesuatu yang sederhana namun penuh makna: seorang anak kecil yang duduk di bangku taman sambil menatap langit, seolah bertanya pada dunia tentang masa depannya. Di sekitar anak itu, Alaric menambahkan unsur-unsur kecil yang menjadi simbol berbagai impian—pesawat kertas, pensil warna, bola sepak, dan buku-buku yang melayang di udara.
Ketika hari pameran tiba, Alaric gugup namun penuh harapan. Ia berdiri di samping karyanya, melihat para pengunjung yang datang dan memberikan komentar. Beberapa anak muda memandangi karyanya dengan penuh perhatian, sementara beberapa orang tua tampak tersenyum samar, mungkin karena teringat masa kecil mereka sendiri. Di antara mereka, seorang juri mendekati Alaric, mengamati karyanya dengan serius, lalu tersenyum.
“Ini karya yang sederhana tapi penuh emosi,” kata juri tersebut. “Sepertinya kamu tahu betul bagaimana rasanya mencari arah di tengah kebingungan, ya?”
Alaric tersenyum, mengangguk pelan. “Saya rasa… semua orang pernah merasakan hal itu, Pak.”
Beberapa hari kemudian, pengumuman pemenang disampaikan. Nama Alaric muncul di peringkat ketiga. Meski bukan juara pertama, penghargaan itu memberinya semangat baru. Karyanya dipamerkan selama seminggu penuh di galeri seni kota, dan bahkan menarik perhatian beberapa media lokal. Dalam wawancara singkatnya dengan salah satu majalah seni, Alaric ditanya mengenai inspirasinya.
“Sebenarnya, karya ini terinspirasi dari saya sendiri saat kecil,” ungkapnya. “Saya ingat betapa bingungnya saya tentang cita-cita waktu kecil. Dulu, saya ingin jadi macam-macam—pilot, dokter, guru. Tapi seiring waktu, saya menyadari bahwa cita-cita bukanlah sesuatu yang harus langsung kita temukan, melainkan sesuatu yang perlahan kita bangun melalui pengalaman dan pencarian diri.”
Pengalaman ini tidak hanya memperkuat keyakinannya untuk melanjutkan karier di bidang seni, tetapi juga membuatnya lebih percaya diri pada kemampuannya. Sejak saat itu, Alaric mendapat banyak kesempatan, termasuk proyek ilustrasi untuk buku anak-anak dan pameran-pameran kecil lainnya. Setiap kali ia membuat karya baru, ia teringat pada masa-masa kecilnya yang penuh tanya, dan ia merasa bersyukur telah melewati setiap kebingungan itu dengan hati yang terbuka.
Bertahun-tahun kemudian, Alaric duduk di studio kecilnya, ditemani kertas-kertas sketsa dan tumpukan pensil warna yang kini menjadi teman setianya. Ia sedang mengerjakan proyek besar pertamanya—sebuah buku ilustrasi tentang impian anak-anak. Ia ingin menyampaikan pesan kepada mereka, pesan yang dulu ia harap bisa ia pahami lebih awal.
Pada halaman pertama, ia menulis kata-kata sederhana, pesan untuk anak-anak yang mungkin pernah merasa sepertinya dulu:
“Tidak apa-apa jika kamu belum tahu apa cita-citamu sekarang. Karena terkadang, cita-cita itu akan menemukanmu ketika kamu terus bergerak dan tak berhenti mencoba.”
Alaric tersenyum puas saat menatap karya yang hampir selesai. Di dalam hati, ia berterima kasih pada anak kecil yang dulu ia kenal—anak kecil yang bingung di kelas 3 SD, yang sering bertanya pada langit tentang masa depannya. Dan kini, di ruangan kecil yang penuh kenangan ini, Alaric menyadari satu hal: impian tidak selalu harus jelas dari awal. Kadang, kita hanya perlu keberanian untuk terus mencari, dan pada akhirnya, impian akan menemukan jalan pulangnya.
Jadi, begitulah perjalanan Alaric—dari bocah kecil yang bingung soal cita-cita sampai akhirnya nemu passion yang benar-benar buat dia bahagia. Kadang, cita-cita itu nggak selalu jelas dari awal, ya.
Yang penting, terus maju, terus coba, karena bisa aja di tengah jalan kamu justru nemuin yang lebih pas buat kamu. Nah, gimana? Udah siap buat ngerjain mimpimu sendiri?