Daftar Isi
Gimana rasanya coba jalan kaki sambil mikir, Ini sih udah kayak hidup di dalam game, tapi levelnya susah banget? Nah, itu yang terjadi sama Arvin.
Dari e-money yang susah di-top-up, WiFi gratis yang ternyata cuma ilusi, sampai teh manis yang jadi pahlawan terakhir. Semuanya kejadian karena duit elektronik yang nggak pernah sesimpel yang dibayangin. Yuk, simak ceritanya, dijamin bikin kamu ngakak!
WiFi, E-Money, dan Teh Manis
Dompet Ketinggalan, Harapan Menghilang
Pagi itu, langit cerah, burung berkicau, dan angin berembus lembut seakan dunia sedang dalam kondisi sempurna. Semuanya terasa baik-baik saja… sampai kenyataan menampar keras seorang pria bernama Arvin.
Arvin keluar dari kosannya dengan langkah percaya diri. Kemejanya rapi, celananya disetrika licin, dan rambutnya tertata seperti model iklan sampo. Hari ini ia yakin akan menjadi hari yang mulus. Namun, keyakinannya mulai goyah ketika ia merogoh saku celana belakangnya dan menemukan… tidak ada apa-apa.
“Dompetku mana?” gumamnya sambil memeriksa saku lain. Nihil. Tas? Kosong.
Panik mulai merayapi pikirannya. Dengan kecepatan kilat, ia membuka tasnya, membongkar isinya seolah sedang mencari harta karun. Laptop ada, charger ada, Tupperware berisi sisa nasi goreng semalam juga ada. Tapi dompetnya? Tidak ada!
“Ah, sial…” Arvin mengusap wajah. “Pasti ketinggalan di kamar.”
Masalahnya, kosannya ada di lantai empat, dan ia sudah turun sampai gerbang. Kalau naik lagi, itu artinya harus melewati Pak Maman, pemilik kos yang sejak kemarin nagih uang listrik. Arvin mendecak kesal. Tidak ada waktu untuk debat soal tagihan.
Tapi tenang, pikirnya. Ini zaman modern. Siapa yang masih butuh uang tunai kalau ada uang elektronik?
Dengan optimisme baru, ia melangkah ke halte bus, menunggu kedatangan transportasi umum dengan santai. Di sebelahnya, seorang ibu-ibu berdiri sambil membawa kantong belanja, seorang anak sekolah sibuk dengan ponselnya, dan seorang bapak paruh baya tengah membaca koran dengan kening berkerut.
Bus datang. Pintu terbuka. Arvin maju ke depan, mengambil kartu e-money dari saku kemejanya, dan menempelkannya ke mesin.
BEEP!
Tulisan di layar kecil mesin itu muncul: SALDO TIDAK MENCUKUPI.
Arvin menelan ludah. Ini… ini pasti salah. Ia mencoba lagi.
BEEP! SALDO TIDAK MENCUKUPI.
Keningnya berkerut. “Pak, ini kayaknya ada yang salah deh, biasanya bisa.”
Sopir bus, pria berkumis lebat dengan wajah sudah bosan menghadapi kelakuan penumpang, menatapnya datar. “Ya saldonya kosong, Mas. Mau naik ya isi dulu.”
“Eh, tapi kan…” Arvin melirik ke belakang, antrean penumpang sudah mulai panjang. Seorang bocah kecil menatapnya penuh rasa ingin tahu, seakan ia sedang menonton reality show kegagalan seorang pria dewasa.
Sadar ia jadi tontonan, Arvin mundur perlahan, keluar dari bus dengan kepala menunduk. Bus pergi meninggalkannya di halte, bersama kekecewaan dan kebingungannya.
Ia buru-buru mengeluarkan ponselnya, membuka aplikasi e-wallet, dan bersiap mengisi saldo. Tapi layar ponselnya hanya menampilkan satu kalimat pendek yang menghancurkan harapannya: Tidak ada koneksi internet.
Arvin membeku. “Sumpah…”
Ini gawat. Kuotanya habis. Ia tidak bisa isi saldo e-money. Dan sekarang, ia juga tidak punya cara buat pergi ke kantor.
Di sebelahnya, seorang ibu-ibu menatapnya simpati. “Dik, nggak bisa naik bus ya?”
Arvin hanya bisa mengangguk lemah.
Si ibu tersenyum lembut. “Pakai uang tunai aja.”
Ucapannya bagaikan belati yang menusuk tanpa ampun.
Lingkaran Setan Teknologi
Arvin berdiri di halte, menatap kosong ke jalanan. Bus yang harusnya membawanya ke kantor sudah melaju entah ke mana, dan ia masih terjebak di sini dengan saldo e-money nol dan kuota internet kosong.
“Jadi sekarang gimana?” gumamnya sendiri.
Jawabannya jelas: isi ulang saldo. Tapi bagaimana caranya kalau internet mati?
Matanya berbinar saat melihat minimarket di seberang jalan. Tempat penyelamat segala umat! Ia bisa beli pulsa dulu, lalu isi kuota, terus top-up saldo e-money. Sederhana.
Tanpa berpikir panjang, Arvin menyeberang jalan dan masuk ke minimarket dengan langkah mantap. Pendingin udara menyambutnya dengan angin segar, membuatnya merasa sejenak hidupnya masih ada harapan.
Ia langsung menuju rak pulsa dan mengambil kartu voucher dengan nominal Rp50.000. Dengan penuh percaya diri, ia melangkah ke kasir dan meletakkan voucher di meja.
“Ini aja, Kak,” kata kasir, seorang gadis muda dengan seragam minimarket dan senyum profesional.
Arvin mengangguk. “Bisa bayar pakai e-wallet, kan?”
Kasir mengecek layar kasir sebentar sebelum tersenyum ramah. “Bisa, Kak. Tapi minimal belanja Rp50.000 kalau pakai e-wallet.”
Arvin menatap voucher pulsanya. “Ini kan lima puluh ribu?”
Kasir tersenyum lebih lebar. “Iya, Kak. Tapi pajaknya bikin totalnya Rp50.500.”
Arvin membeku. “Jadi, aku harus beli sesuatu lagi?”
Kasir mengangguk.
Arvin menghela napas dan dengan berat hati meraih sebatang permen karet dari rak kecil di sebelah kasir. “Ini aja deh.”
Kasir dengan cekatan memindai barang-barangnya. “Totalnya jadi Rp52.000, Kak.”
Arvin mengeluarkan ponselnya dan membuka aplikasi e-wallet. Saat ia hendak membayar…
“Maaf, Kak. Sistem kami sedang offline. Hanya bisa terima tunai.”
Hening.
Arvin memejamkan mata, menarik napas panjang, lalu mengembuskannya perlahan. “Jadi, aku nggak bisa beli pulsa?”
Kasir tetap tersenyum. “Kecuali Kakak punya uang tunai, bisa.”
Arvin merogoh kantong celananya, berharap ada uang receh tersisa. Nihil. Dia bahkan sudah meninggalkan dompet di rumah!
Dengan putus asa, ia mengembalikan voucher dan permen karet ke tempatnya. “Ya udah, nggak jadi.”
Ia keluar dari minimarket dengan tatapan kosong. Matahari terasa lebih panas dari sebelumnya. Langkahnya gontai, seperti pejuang yang baru kalah perang.
Oke, pikirnya. Plan A gagal. Sekarang Plan B.
Plan B adalah mencari WiFi gratis.
Di dekat halte, ada warung kopi kecil dengan tulisan mencolok: “WiFi GRATIS!!”. Tanpa pikir panjang, Arvin masuk dan langsung ke kasir.
“Mas, bisa pakai WiFi-nya?” tanyanya tanpa basa-basi.
Kasir, pria berkemeja kotak-kotak yang sedang sibuk mengatur gelas plastik, menatapnya. “Beli dulu, baru bisa akses WiFi.”
Arvin menelan ludah. “Beli pakai e-wallet bisa?”
“Minimal belanja lima puluh ribu,” jawab kasir santai.
Arvin ingin menangis. Kenapa semua hal di dunia ini butuh uang tunai atau minimal belanja lima puluh ribu?
Ia keluar dari warung dengan langkah lemas. Lingkaran setan ini semakin parah. Ia butuh saldo e-money buat naik bus. Ia butuh kuota buat isi saldo. Ia butuh uang buat beli kuota. Dan ia nggak punya semuanya.
Keringat mulai mengalir di pelipisnya. Ia menatap jalanan yang panas dan penuh debu. Satu-satunya pilihan yang tersisa…
Adalah jalan kaki ke kantor.
Perjuangan Seorang Pejalan Kaki
Matahari semakin tinggi, panasnya menampar wajah Arvin tanpa ampun. Udara terasa seperti neraka level pemula, cukup untuk membuat keringat mengucur deras di punggungnya. Tapi ia tidak punya pilihan lain. Kalau tidak bisa naik bus, beli pulsa, atau dapat WiFi gratis, maka satu-satunya cara menuju kantor adalah… jalan kaki.
“Ini nggak mungkin sejauh itu, kan?” gumamnya sambil membuka peta di ponselnya.
Ternyata… kantornya berjarak 5,7 km.
Arvin menutup peta dan menatap jalanan. “Ya ampun…”
Tapi tak ada waktu untuk meratap. Ia sudah cukup membuang waktu dengan skenario absurd tadi. Dengan langkah gontai, ia mulai berjalan.
Lima menit pertama masih aman. Ia berjalan dengan ritme stabil, berusaha terlihat seperti orang yang sengaja jalan kaki untuk olahraga, bukan pria yang sedang dihukum oleh sistem keuangan modern.
Lima belas menit berlalu, dan ia mulai menyesal tidak membawa air minum.
Dua puluh menit, rasa lapar mulai menyerang. Sarapan nasi goreng semalam yang ia bawa di tas mendadak terasa menggoda.
Tiga puluh menit, kakinya mulai protes.
Arvin melirik warung makan di pinggir jalan, melihat ayam goreng yang terlihat renyah dan nasi putih hangat yang mengepul. Ia bisa bersumpah makanan itu seakan memanggilnya.
“Arvin… masuklah… kami enak dan gurih…”
Ia menggeleng cepat. “Sial, aku mulai berhalusinasi.”
Sambil menahan godaan, ia terus berjalan. Sampai akhirnya, di tengah perjalanan, ia melihat sesuatu yang menyelamatkan harapannya: Alfamart.
Bukan sembarang Alfamart. Tapi Alfamart dengan tulisan: “Top Up E-Money Bisa Pakai E-Wallet!”
Arvin hampir menangis bahagia. Ini adalah kesempatan terakhirnya untuk membebaskan diri dari penderitaan ini.
Dengan semangat baru, ia masuk ke dalam, langsung menuju kasir, dan bertanya, “Mbak, bisa top-up e-money pakai e-wallet, kan?”
Mbak kasir, seorang gadis berkacamata dengan ekspresi lelah akibat gaji UMR, mengangguk. “Bisa, Kak.”
Arvin buru-buru membuka aplikasi e-wallet-nya. Ia menekan tombol “Top Up” dan siap membayar. Tapi…
“Transaksi gagal. Periksa koneksi internet Anda.”
Seketika, ia merasa kepalanya mau meledak.
Ia menatap layar ponselnya, lalu menatap kasir, lalu kembali menatap layar. “Mbak, di sini ada WiFi nggak?”
“WiFi hanya buat karyawan, Kak,” jawab mbak kasir santai.
Arvin ingin berteriak. Tapi ia masih punya satu cara terakhir. Ia bisa menggunakan QRIS!
“Kalau aku bayar pakai QRIS dari e-wallet ini buat belanja terus kembalian masuk ke e-money, bisa?” tanyanya penuh harap.
Mbak kasir berpikir sejenak, lalu mengangguk. “Bisa, Kak.”
Arvin hampir loncat kegirangan. Akhirnya, ia bisa mengisi saldo!
Ia buru-buru mengambil air mineral dan cemilan, memastikan belanjanya cukup untuk minimal transaksi. Ia menyerahkan ponselnya ke kasir untuk scan QRIS dan—
“Transaksi gagal. Periksa koneksi internet Anda.”
Hening.
Mbak kasir menatapnya simpati. “Mungkin Kakak butuh internet.”
Arvin memejamkan mata. Menghitung dalam hati. Satu. Dua. Tiga.
Lalu dengan langkah lemas, ia meletakkan air mineral dan cemilan kembali ke rak.
Dan keluar dari minimarket dengan hati hancur berkeping-keping.
Perjalanan ke kantor terasa semakin berat. Langkahnya makin lambat. Semangatnya makin pudar. Dunia seakan berkata, “Arvin, ini bukan harimu.”
Hingga akhirnya, ia melihatnya. Cahaya di ujung terowongan. Sebuah papan besar bertuliskan:
“WiFi Gratis – Nongkrong Suka-suka, Minum Bayar Seikhlasnya!”
Arvin menatap papan itu dengan penuh harapan. Ini kesempatan terakhirnya. Jika di sini ia gagal juga, maka ia akan menerima takdirnya untuk berjalan hingga kantor seperti seorang petualang di zaman prasejarah.
Dengan langkah terakhir yang tersisa, ia masuk ke dalam kafe sederhana itu, bersiap untuk satu pertaruhan terakhir.
WiFi Terakhir dan Rencana Putus Asa
Arvin masuk ke kafe dengan langkah lemas, seperti tentara yang baru pulang dari medan perang tanpa kemenangan.
Kafe itu sederhana, dengan beberapa meja kayu dan sofa empuk. Aroma kopi menyeruak, menggoda perutnya yang kosong. Tapi bukan kopi yang ia cari. Bukan kenyamanan. Yang ia butuhkan cuma satu: WiFi.
Tanpa buang waktu, ia duduk di pojokan, mengeluarkan ponselnya, dan mencari jaringan WiFi. Matanya berbinar saat menemukan nama: “WiFi Gratis – Nongkrong Suka-Suka”
Ini dia!
Ia menekan tombol “Sambungkan”.
Loading…
Tersambung!
Hatinya hampir melonjak kegirangan. Ia langsung membuka aplikasi e-wallet-nya dan mencoba top-up e-money.
Transaksi berhasil.
Arvin hampir menangis bahagia. Akhirnya!
Namun, sebelum ia sempat berdiri, seorang pria berambut gondrong dengan apron barista menghampirinya.
“Mas, kalau udah pakai WiFi, jangan lupa beli minum, ya.”
Arvin tersenyum kaku. “Ehh, iya… Tapi saya cuma mau numpang WiFi sebentar.”
Si barista menatapnya tajam. “Aturan di sini: WiFi gratis, tapi minum bayar seikhlasnya.”
Arvin melirik dompetnya. Isinya? Kosong.
Ia melirik aplikasi e-wallet. Saldo? Ludes ke e-money.
Keringat dingin mulai muncul di dahinya. “Ehm… kalau bayar pakai e-money bisa?” tanyanya dengan harapan tipis.
Si barista tertawa kecil. “Mas, ini kafe. Kami nggak pakai e-money. Cuma tunai atau QRIS.”
Dunia runtuh.
Arvin memejamkan mata. Ini lelucon Tuhan, kan? Saat akhirnya ia bisa mengisi saldo e-money, ia malah terjebak dalam skema “bayar seikhlasnya” tanpa sepeser pun di tangannya.
Ia menghela napas panjang, lalu tersenyum pasrah. “Oke, Mas. Saya pesan teh manis.”
Si barista mengangguk, lalu berjalan ke kasir. Sementara itu, Arvin menatap keluar jendela. Matahari masih bersinar terik, tapi entah kenapa dunia terasa lebih damai.
Satu masalah terselesaikan, satu lagi muncul. Tapi begitulah hidup. Setidaknya sekarang ia bisa naik bus.
Tak lama kemudian, segelas teh manis dingin diletakkan di hadapannya.
Arvin mengambilnya, menyesap perlahan.
Dingin. Manis. Dan rasanya… seperti kemenangan.
Jadi, kadang hidup tuh emang nggak selalu mulus kayak transaksi e-money yang kita harapin. Penuh dengan jebakan WiFi dan pengeluaran yang nggak terduga.
Tapi ya gitu deh, selagi ada teh manis dan sedikit WiFi, kita bisa bertahan. Mungkin masalahnya belum selesai, tapi yang penting kita udah bisa ketawa, kan? Sampai ketemu lagi di petualangan Arvin yang nggak kalah absurd!


