Perjalanan Hati: Ketika Aku Harus Melepaskanmu

Posted on

Pernah nggak sih, kamu merasa harus melepaskan seseorang yang udah jadi bagian penting dalam hidupmu? Cerpen ini bakal ngajak kamu ngerasain gimana rasanya ada di posisi itu, di mana cinta dan perpisahan jadi satu cerita yang nggak mudah dilupakan.

 

Perjalanan Hati

Tempat Singgah Sementara

Hujan turun deras malam itu, membasahi jalanan kota yang lengang. Lampu-lampu neon dari toko-toko kecil memantulkan cahaya di aspal basah, menciptakan bayangan yang bergetar di tiap genangan air. Di sebuah kafe kecil di sudut kota, Alvaro duduk sendirian, menatap kosong ke luar jendela.

Hingga suara bel pintu berbunyi, disusul langkah tergesa-gesa seseorang yang masuk dengan napas tersengal.

“Basah kuyup,” gumamnya pelan, lebih kepada dirinya sendiri daripada orang lain.

Alvaro mengangkat kepala, mendapati sosok Valene berdiri di ambang pintu. Rambutnya yang biasanya rapi kini berantakan, menempel di pelipisnya karena basah. Jaket denim yang ia kenakan sudah hampir tidak berguna lagi—air hujan telah menembus serat kainnya. Ia tampak seperti seseorang yang baru saja kehilangan arah.

Tanpa sepatah kata, Alvaro bangkit, melepaskan hoodie yang ia kenakan, lalu menyerahkannya begitu saja pada Valene.

“Pakailah.”

Valene menatapnya beberapa detik sebelum akhirnya menerimanya tanpa protes.

Mereka duduk berhadapan di meja pojok kafe itu. Valene masih diam, menatap kosong ke cangkir cokelat panas yang baru saja dipesankan Alvaro untuknya. Entah berapa kali mereka mengalami momen seperti ini. Ia datang dalam keadaan berantakan, dan Alvaro ada di sana, tanpa banyak bicara, tanpa bertanya.

“Aku benci dia,” suara Valene akhirnya terdengar, kecil tapi penuh emosi. “Aku benci betapa gampangnya dia pergi, seolah aku nggak pernah berarti.”

Alvaro diam, hanya menatapnya dalam hening. Ia tahu siapa yang Valene bicarakan. Orang yang selama ini hanya bisa ia dengar namanya, tapi tak pernah ia lihat. Orang yang mengajarkan Valene apa itu luka, tapi juga orang yang hingga saat ini masih Valene sebut-sebut.

“Kamu nggak perlu benci dia,” jawab Alvaro akhirnya, suaranya datar. “Benci cuma bikin kamu semakin terikat sama dia.”

Valene menoleh, menatapnya dengan mata lelah. “Aku nggak ngerti gimana caranya berhenti.”

Alvaro menyesap kopinya. Ia ingin mengatakan sesuatu, mungkin sesuatu yang bisa membuat Valene merasa lebih baik. Tapi ia tahu, tidak ada kata-kata yang bisa menyembuhkan luka yang belum siap untuk sembuh.

“Aku capek, Al,” gumam Valene, meletakkan kepalanya di meja, tepat di samping cangkirnya yang masih penuh. “Capek pura-pura nggak apa-apa. Capek pura-pura kuat.”

Alvaro menarik napas panjang.

“Kalau capek, istirahatlah,” katanya, pelan tapi tegas. “Tapi jangan mengeluh kalau kamu nggak pernah bener-bener mau pergi dari rasa sakit itu.”

Valene terdiam, seolah sedang menimbang-nimbang kata-kata itu.

Hujan di luar mulai reda. Tetesan air dari atap terdengar jatuh ke tanah, membentuk irama yang anehnya menenangkan.

“Aku boleh di sini, kan?” tanya Valene tiba-tiba.

Alvaro menatapnya lama. Ia tahu betul arti dari pertanyaan itu. Bukan hanya malam ini, bukan hanya sekadar berteduh dari hujan. Valene sedang meminta tempat, meminta ruang dalam hidupnya, meskipun ia tidak pernah menjanjikan apa-apa.

Pada akhirnya, Alvaro mengangguk.

Dan seperti itulah semuanya dimulai.

Valene tinggal, tidak secara harfiah, tapi cukup sering untuk membuatnya menjadi bagian dari hari-hari Alvaro. Mereka bukan sepasang kekasih, bahkan tidak pernah membahas kemungkinan itu. Tapi mereka menghabiskan waktu bersama—menonton film di kafe yang sama, berjalan di bawah langit sore tanpa banyak bicara, dan Valene, entah bagaimana, selalu tahu di mana menemukan Alvaro saat ia membutuhkannya.

Tapi, jauh di dalam hati, Alvaro tahu bahwa ia bukanlah tujuan akhir.

Ia hanya tempat singgah sementara.

Dan cepat atau lambat, saat Valene sudah benar-benar pulih, ia akan pergi.

 

Tempat Singgah Sementara

Hujan turun deras malam itu, membasahi jalanan kota yang lengang. Lampu-lampu neon dari toko-toko kecil memantulkan cahaya di aspal basah, menciptakan bayangan yang bergetar di tiap genangan air. Di sebuah kafe kecil di sudut kota, Alvaro duduk sendirian, menatap kosong ke luar jendela.

Hingga suara bel pintu berbunyi, disusul langkah tergesa-gesa seseorang yang masuk dengan napas tersengal.

“Basah kuyup,” gumamnya pelan, lebih kepada dirinya sendiri daripada orang lain.

Alvaro mengangkat kepala, mendapati sosok Valene berdiri di ambang pintu. Rambutnya yang biasanya rapi kini berantakan, menempel di pelipisnya karena basah. Jaket denim yang ia kenakan sudah hampir tidak berguna lagi—air hujan telah menembus serat kainnya. Ia tampak seperti seseorang yang baru saja kehilangan arah.

Tanpa sepatah kata, Alvaro bangkit, melepaskan hoodie yang ia kenakan, lalu menyerahkannya begitu saja pada Valene.

“Pakailah.”

Valene menatapnya beberapa detik sebelum akhirnya menerimanya tanpa protes.

Mereka duduk berhadapan di meja pojok kafe itu. Valene masih diam, menatap kosong ke cangkir cokelat panas yang baru saja dipesankan Alvaro untuknya. Entah berapa kali mereka mengalami momen seperti ini. Ia datang dalam keadaan berantakan, dan Alvaro ada di sana, tanpa banyak bicara, tanpa bertanya.

“Aku benci dia,” suara Valene akhirnya terdengar, kecil tapi penuh emosi. “Aku benci betapa gampangnya dia pergi, seolah aku nggak pernah berarti.”

Alvaro diam, hanya menatapnya dalam hening. Ia tahu siapa yang Valene bicarakan. Orang yang selama ini hanya bisa ia dengar namanya, tapi tak pernah ia lihat. Orang yang mengajarkan Valene apa itu luka, tapi juga orang yang hingga saat ini masih Valene sebut-sebut.

“Kamu nggak perlu benci dia,” jawab Alvaro akhirnya, suaranya datar. “Benci cuma bikin kamu semakin terikat sama dia.”

Valene menoleh, menatapnya dengan mata lelah. “Aku nggak ngerti gimana caranya berhenti.”

Alvaro menyesap kopinya. Ia ingin mengatakan sesuatu, mungkin sesuatu yang bisa membuat Valene merasa lebih baik. Tapi ia tahu, tidak ada kata-kata yang bisa menyembuhkan luka yang belum siap untuk sembuh.

“Aku capek, Al,” gumam Valene, meletakkan kepalanya di meja, tepat di samping cangkirnya yang masih penuh. “Capek pura-pura nggak apa-apa. Capek pura-pura kuat.”

Alvaro menarik napas panjang.

“Kalau capek, istirahatlah,” katanya, pelan tapi tegas. “Tapi jangan mengeluh kalau kamu nggak pernah bener-bener mau pergi dari rasa sakit itu.”

Valene terdiam, seolah sedang menimbang-nimbang kata-kata itu.

Hujan di luar mulai reda. Tetesan air dari atap terdengar jatuh ke tanah, membentuk irama yang anehnya menenangkan.

“Aku boleh di sini, kan?” tanya Valene tiba-tiba.

Alvaro menatapnya lama. Ia tahu betul arti dari pertanyaan itu. Bukan hanya malam ini, bukan hanya sekadar berteduh dari hujan. Valene sedang meminta tempat, meminta ruang dalam hidupnya, meskipun ia tidak pernah menjanjikan apa-apa.

Pada akhirnya, Alvaro mengangguk.

Dan seperti itulah semuanya dimulai.

Valene tinggal, tidak secara harfiah, tapi cukup sering untuk membuatnya menjadi bagian dari hari-hari Alvaro. Mereka bukan sepasang kekasih, bahkan tidak pernah membahas kemungkinan itu. Tapi mereka menghabiskan waktu bersama—menonton film di kafe yang sama, berjalan di bawah langit sore tanpa banyak bicara, dan Valene, entah bagaimana, selalu tahu di mana menemukan Alvaro saat ia membutuhkannya.

Tapi, jauh di dalam hati, Alvaro tahu bahwa ia bukanlah tujuan akhir.

Ia hanya tempat singgah sementara.

Dan cepat atau lambat, saat Valene sudah benar-benar pulih, ia akan pergi.

 

Saatnya Aku Pergi

Musim semakin dingin, tapi Valene sudah tidak pernah lagi datang dengan mata sembab atau suara bergetar. Luka-luka yang dulu mengikatnya perlahan memudar, dan Alvaro melihat perubahan itu dengan mata kepalanya sendiri.

Ia tidak bodoh. Ia tahu apa yang sedang terjadi.

Suatu sore, di kafe yang biasa mereka datangi, Valene duduk di hadapannya dengan senyum yang terasa berbeda. Bukan senyum kosong seperti saat pertama kali ia datang, bukan juga senyum pura-pura yang digunakan untuk menutupi kepedihan. Kali ini, Valene tersenyum dengan tulus—senyum seseorang yang sudah terbebas dari masa lalunya.

Dan itu berarti satu hal.

“Aku ketemu seseorang,” ucapnya ringan, seperti itu bukan sesuatu yang akan menghancurkan seseorang di hadapannya.

Alvaro diam.

“Kami belum lama kenal, tapi… aku rasa aku suka dia,” lanjut Valene, nadanya penuh dengan harapan yang dulu tidak pernah ia miliki. “Dia baik, Al. Rasanya… semuanya jadi lebih mudah.”

Alvaro masih diam. Ia hanya menatapnya, mempelajari setiap ekspresi di wajahnya.

Sakit?

Tentu saja. Tapi, apa gunanya merasakannya? Apa gunanya mengakuinya?

Jadi, seperti biasa, ia memilih untuk bersikap biasa saja.

“Bagus, kalau gitu,” jawabnya akhirnya, menyeruput kopinya dengan tenang, seolah kabar itu tidak berarti apa-apa.

Valene menatapnya dengan sorot yang sulit dijelaskan, seolah menunggu sesuatu.

Tapi apa yang bisa ia tunggu?

Alvaro tidak akan menghentikannya. Tidak akan mengatakan apa pun yang bisa membuat Valene ragu.

Karena sejak awal, ia tahu ini akan terjadi.

“Kamu nggak kaget?” tanya Valene akhirnya.

Alvaro mengangkat bahu. “Kenapa harus?”

“Kupikir kamu bakal… aku nggak tahu. Bilang sesuatu?”

“Aku cuma bakal bilang selamat,” jawabnya datar.

Valene mengernyit, seolah tidak percaya bahwa Alvaro bisa menerimanya semudah itu.

Tapi ini bukan tentang mudah atau sulit. Ini tentang menerima sesuatu yang sejak awal sudah ia ketahui.

“Kamu nggak marah?” tanya Valene lagi, kali ini suaranya lebih pelan.

“Aku kenapa harus marah?” Alvaro balik bertanya.

Valene terdiam.

“Kamu tahu sendiri jawabannya,” lanjut Alvaro, meletakkan cangkirnya ke meja.

Dan mereka kembali diam.

Di luar, langit mulai berubah warna, menciptakan pendar oranye keemasan yang memantul di kaca jendela kafe. Waktu terus berjalan, tapi Alvaro merasa seolah ia masih terjebak di satu tempat.

Sementara Valene?

Valene sudah mulai melangkah.

Dan kali ini, ia tidak akan berbalik.

 

Melepas Tanpa Diminta

Pagi itu, udara terasa lebih dingin dari biasanya, seolah mencerminkan apa yang Alvaro rasakan di dalam hatinya.

Sejak pertemuan mereka kemarin, Valene tidak datang lagi. Tidak ada pesan, tidak ada kabar. Hanya kesunyian yang menggantung di antara mereka, seperti bayangan yang tidak pernah benar-benar bisa dihilangkan.

Dan meskipun ia tidak ingin mengakuinya, Alvaro tahu bahwa perasaan ini bukanlah sekadar kehilangan. Itu adalah kenyataan yang sudah ia duga sejak lama—Valene tidak akan tinggal.

Ia tidak akan menjadi pilihan terakhirnya.

Saat malam tiba, Alvaro duduk di tempat yang sama, di kafe yang sama. Cangkir kopi di tangannya sudah hampir kosong, tapi ia tidak meminumnya. Ia hanya menatap ke luar jendela, menyaksikan kerlip lampu kota yang berkilauan.

Hingga suara bel pintu kembali terdengar.

Valene muncul di ambang pintu, kali ini dengan senyum yang jauh lebih terang dari sebelumnya. Ia mengenakan gaun sederhana yang tampak sangat berbeda dari penampilannya yang biasanya—lebih ringan, lebih bebas.

Alvaro tidak langsung berdiri, tidak langsung menyambutnya. Ia hanya duduk di sana, menatap Valene dengan mata yang penuh pemahaman.

“Aku baru saja pulang,” kata Valene, melangkah mendekat dengan langkah mantap. “Dia… dia baik banget, Al. Aku merasa… aku merasa seperti di tempat yang benar.”

Alvaro mengangguk pelan. “Aku tahu.”

Ada keheningan sejenak, dan Valene akhirnya duduk di sebelahnya, menatap meja.

“Kenapa nggak kamu bilang sesuatu kemarin?” Valene bertanya, suaranya lembut, seperti seseorang yang ingin memastikan bahwa semuanya baik-baik saja meskipun ia tahu jawabannya.

Alvaro hanya tersenyum kecil. “Karena aku tahu, Valene. Aku tahu ini saatnya.”

Valene terdiam, lalu menunduk. “Aku nggak tahu kalau harus bilang apa. Aku rasa aku nggak bisa tinggal di sini selamanya, Al.”

Itu bukan pernyataan yang mengejutkan, bukan?

Tapi mendengarnya langsung dari Valene membuat hati Alvaro terasa sedikit lebih kosong.

“Kalau kamu sudah siap untuk pergi,” ucapnya dengan pelan, “jangan ragu untuk melangkah. Karena aku nggak akan mencegahmu.”

Valene menatapnya lama, seperti sedang mencari sesuatu di wajah Alvaro. Mungkin penyesalan, mungkin pertanyaan.

“Tapi aku ingin kamu tahu,” lanjut Alvaro, suara kali ini lebih dalam, “bahwa aku tidak akan menahanmu. Tidak pernah.”

Valene menggenggam tangannya, dan untuk sesaat, dunia terasa lebih hening.

“Aku akan pergi sekarang, Al.”

Alvaro tersenyum tipis, meskipun ada rasa sakit yang tak tertahankan di dadanya. “Pergilah. Aku akan baik-baik saja.”

Dan saat Valene berdiri untuk pergi, langkahnya terasa lebih pasti, lebih ringan. Ia tidak menoleh lagi, karena ia tahu, semuanya sudah selesai.

Alvaro menatapnya pergi, tanpa ada kata-kata lebih lanjut. Mungkin karena mereka sudah terlalu lama berbicara tanpa benar-benar mengatakannya.

Saat Valene menghilang di balik pintu, Alvaro tetap duduk di tempatnya. Kali ini, cangkir kopinya benar-benar kosong.

Ia menarik napas panjang, mengingatkan dirinya sendiri bahwa ada hal-hal yang memang harus dilepaskan, tidak peduli seberapa besar keinginan untuk menahannya.

Cinta bukan tentang memiliki, tetapi tentang memberi ruang untuk seseorang tumbuh, bahkan jika itu berarti mereka harus pergi.

Dan mungkin, akhirnya, Alvaro mengerti.

Melepas bukanlah sebuah akhir. Itu hanyalah bagian dari perjalanan yang tak terhindarkan.

 

Jadi, gimana menurut kamu? Kadang, melepaskan itu bukan berarti kita berhenti peduli, tapi lebih ke ngasih ruang buat diri sendiri dan orang yang kita sayang buat tumbuh. Semoga cerita ini bisa ngingetin kita semua, bahwa cinta itu nggak selalu tentang memiliki, tapi juga tentang memahami kapan waktunya untuk melepaskan.

Leave a Reply