Perjalanan Hati di Tengah Pencarian Rezeki: Kisah Penjual Tanah Jujur

Posted on

Di tengah kerasnya kehidupan di Desa Sumber Jaya, Tarsan Gading, seorang penjual tanah sederhana, memilih jalan kejujuran meski harus menghadapi hinaan dan kesulitan ekonomi. Cerpen Perjalanan Hati di Tengah Pencarian Rezeki: Kisah Penjual Tanah Jujur membawa Anda ke dalam perjalanan emosional seorang pria yang bertahan dengan prinsip warisan ayahnya, dari bayang-bayang keputusasaan hingga kebangkitan yang menginspirasi. Artikel ini akan mengupas kisah penuh makna ini, menawarkan pelajaran berharga tentang keteguhan hati dan kekuatan kejujuran di era modern yang sering kali dipenuhi tipu daya.

Perjalanan Hati di Tengah Pencarian Rezeki

Bayang di Bawah Pohon Beringin

Pagi di Desa Sumber Jaya diselimuti udara sejuk yang bercampur aroma tanah basah setelah hujan semalaman. Di tepi jalan desa, di bawah pohon beringin tua yang akarnya menjalar seperti jaring raksasa, berdiri seorang pria paruh baya bernama Tarsan Gading. Pria kurus dengan rambut yang mulai memutih di pelipis ini adalah penjual tanah lokal yang terkenal karena kejujurannya, meski hidupnya tak pernah lepas dari cobaan. Gerobak kayu tuanya, yang hanya berisi peta sederhana, dokumen lusuh, dan sebuah buku catatan warisan ayahnya, adalah alat kerjanya sehari-hari. Tarsan tak punya kantor megah atau pakaian rapi seperti calo tanah lain di kota, tapi matanya yang dalam selalu memancarkan keteguhan, seolah ia membawa beban dunia di pundaknya.

Tarsan bangun setiap hari sebelum matahari terbit, pukul empat pagi, di gubuk kecilnya yang berdinding bambu dan beratap daun kelapa. Ia memulai hari dengan menyapa ibunya, Nyai Lestari, seorang wanita renta yang duduk di kursi rotan sambil menatap foto suaminya yang telah pergi sepuluh tahun lalu. “Tarsan, hati-hati di luar. Orang sekarang suka licik,” kata Nyai Lestari dengan suara parau, tangannya gemetar saat mengaduk secangkir teh pahit yang selalu ia minum setiap pagi. Tarsan mengangguk, mencium tangan ibunya, dan berjanji akan pulang dengan hati ringan, meski ia tahu janji itu sering kali sulit ditepati.

Hari ini, Tarsan membawa peta tanah di wilayah hutan kecil di ujung desa, sebuah lahan yang ia warisi dari ayahnya, Togar Gading, seorang petani yang dikenal adil. Lahan itu luas, subur, dan dikelilingi sungai kecil, tapi Tarsan tak pernah berniat menjualnya dengan harga tinggi atau menyembunyikan kekurangannya. Ia selalu jujur kepada calon pembeli, bahkan ketika itu berarti ia kehilangan keuntungan. “Tanah ini bagus, tapi di musim hujan banjirnya cukup tinggi. Kalau mau, saya bisa tunjukkan langsung,” katanya kepada siapa saja yang bertanya, meski ia tahu banyak calo lain akan merahasiakan fakta itu untuk mematok harga lebih mahal.

Pagi ini, seorang pria muda bernama Darto Wira mendekatinya. Darto, dengan jaket kulit dan sepeda motor tua yang parkir di samping, adalah pendatang baru di desa yang dikabarkan ingin membeli tanah untuk membangun warung makan. Matanya tajam, dan caranya berbicara penuh percaya diri. “Pak Tarsan, saya dengar Anda jual tanah di dekat sungai. Berapa harganya?” tanya Darto sambil menatap peta yang Tarsan tunjukkan.

Tarsan membuka peta dengan hati-hati, jarinya menunjuk area hijau di sisi kanan. “Ini tanah saya, Mas Darto. Luasnya sekitar dua hektar, tanahnya subur, tapi seperti saya bilang ke semua orang, di musim hujan banjirnya bisa sampai pinggang. Harganya sepuluh juta, tapi kalau Anda mau lihat dulu, saya antar,” jawabnya dengan nada tenang, matanya tak menyimpan tipu daya.

Darto mengerutkan kening, tampak tak puas. “Sepuluh juta? Terlalu murah untuk dua hektar. Pasti ada yang disembunyiin, ya? Calo lain bilang tanah di sini bisa sampai dua puluh juta!” katanya, nadanya setengah menuduh. Tarsan hanya tersenyum kecil, sebuah senyum yang penuh sabar tapi juga sedikit getir. “Saya tak bohong, Mas. Kalau mau dua puluh juta, cari calo lain. Saya jual apa adanya,” balasnya, suaranya tetap lembut meski dadanya terasa sesak.

Darto mendengus, melemparkan peta itu ke meja kayu kecil di samping gerobak Tarsan. “Kamu kuno, Pak! Siapa yang mau beli tanah banjir dengan harga segitu? Mending saya cari yang lain!” Ia berbalik dan melajukan sepedanya, meninggalkan Tarsan yang hanya menatap punggungnya dengan mata kosong. Ini bukan pertama kalinya Tarsan kehilangan calon pembeli karena kejujurannya. Banyak orang datang dengan harapan harga tinggi atau janji manis, tapi pergi dengan kekecewaan ketika Tarsan membuka fakta yang tak menguntungkan mereka.

Di bawah pohon beringin, Tarsan duduk di bangku tua yang sudah retak, membuka buku catatan ayahnya. Halaman-halaman kuning itu penuh dengan tulisan tangan Togar Gading, lengkap dengan sketsa tanah dan catatan kecil seperti, “Jujur adalah harta, Tarsan. Jangan jual jiwa untuk uang.” Tarsan mengusap halaman itu dengan jari kasarnya, air matanya hampir jatuh tapi ia tahan. Ia ingat betul bagaimana ayahnya dulu menolak tawaran calo kota yang ingin membeli tanah desa dengan harga murah untuk diubah jadi perkebunan kelapa sawit. “Kita hidup dari tanah ini, bukan dari tipu daya,” kata Togar saat itu, dan Tarsan mengangguk meski ia masih kecil.

Hari berlalu dengan pelan. Matahari mulai naik, menyelinap di antara dahan beringin, dan Tarsan melanjutkan hari dengan mengunjungi lahan-lahan lain yang ia tawarkan. Ada seorang ibu tua, Nyai Sariroh, yang datang dengan cucunya, meminta tanah kecil untuk kebun sayur. Tarsan menunjukkan sebuah lahan di sisi bukit, menjelaskan bahwa tanah itu kering tapi aman dari banjir. “Harganya tiga juta, tapi kalau Bu Sariroh mau, saya turunin jadi dua juta. Saya tahu Bu susah,” katanya dengan tulus. Nyai Sariroh menangis, memegang tangan Tarsan dengan penuh rasa terima kasih. “Kamu baik, Tarsan. Tak banyak orang seperti kamu sekarang,” katanya, suaranya bergetar.

Tapi kebaikan Tarsan tak selalu diterima dengan baik. Sore itu, seorang pria bernama Karto Wibowo, calo tanah dari kota, mendekatinya dengan senyum licik. Karto mengenakan kemeja kotak-kotak dan sepatu kulit yang mengkilap, berbeda jauh dari penampilan sederhana Tarsan. “Tarsan, saya dengar kamu jual tanah di hutan. Saya bisa bantu jual dengan harga dua puluh lima juta per hektar. Kita bagi dua, bagaimana?” tawaran itu datang dengan bisik rendah, seolah tak ingin didengar orang lain.

Tarsan menggelengkan kepala, matanya teguh. “Terima kasih, Mas Karto, tapi saya tak mau bohong ke pembeli. Tanah itu banjir, saya tak bisa bilang sebaliknya,” jawabnya. Karto tertawa kecil, suaranya penuh ejekan. “Kamu naif, Tarsan! Di dunia ini, uang yang bicara, bukan kejujuran. Kalau begini, kamu bakal miskin selamanya!” Ia berbalik dan pergi, meninggalkan Tarsan yang berdiri diam, tangannya mencengkeram buku catatan ayahnya.

Malam tiba, dan Tarsan mendorong gerobaknya pulang melalui jalan setapak yang dipenuhi lumpur. Di gubuknya, Nyai Lestari menyambutnya dengan wajah pucat. “Tarsan, aku dengar orang bicara di warung. Katanya kamu tolol karena jujur. Jangan dengerin mereka, Nak,” katanya, tangannya mencoba menepuk pundak anaknya. Tarsan tersenyum tipis, tapi di dalam hatinya, badai mulai berkecamuk. Ia merasa seperti pohon beringin yang terus diterpa angin—kokoh di luar, tapi akarnya mulai goyah.

Tarsan duduk di beranda gubuk, menatap langit yang penuh bintang. Ia membuka buku catatan lagi, membaca kalimat yang ditulis ayahnya: “Jujur itu berat, tapi itu yang membuatmu manusia.” Ia menutup mata, air matanya akhirnya jatuh tanpa suara. Ia tahu hidupnya sulit—penghasilannya tak cukup untuk memperbaiki gubuk yang bocor, apalagi membeli obat untuk ibunya yang semakin lemah. Tapi ia juga tahu bahwa ia tak bisa mengkhianati warisan ayahnya. Di kejauhan, suara jangkrik mengisi malam, dan untuk sesaat, Tarsan merasa ada kekuatan kecil yang menyelinap ke dalam jiwanya—sebuah harapan bahwa kejujurannya suatu hari akan membuahkan hasil, meski ia tak tahu kapan.

Di sudut pikirannya, ia teringat Nyai Sariroh yang tersenyum tadi sore, dan anak kecil yang memberinya sebatang pisang sebagai tanda terima kasih karena membantu ayahnya menemukan tanah kecil untuk kebun. Mungkin, pikir Tarsan, kejujuran itu tak selalu tentang uang, tapi tentang hati yang tetap utuh di tengah dunia yang penuh tipu daya. Malam itu, di bawah pohon beringin di pikirannya, Tarsan berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia akan terus melangkah, meski jalan itu penuh duri.

Ujian di Tengah Hutan

Pagi di Desa Sumber Jaya menyapa dengan sinar matahari yang perlahan menembus kabut tipis, menciptakan bayangan panjang di jalan setapak yang dipenuhi rerumputan liar. Tarsan Gading kembali berdiri di bawah pohon beringin tua, gerobak kayunya sudah tersusun rapi dengan peta, dokumen, dan buku catatan ayahnya yang selalu menjadi penutup hatinya. Hari ini, udara terasa lebih berat bagi Tarsan. Kata-kata Karto Wibowo kemarin—“Kamu bakal miskin selamanya!”—masih bergema di telinganya, bercampur dengan tatapan sinis Darto Wira yang pergi dengan kekecewaan. Tapi di balik beban itu, ada tekad yang mulai membara, sebuah keinginan untuk membuktikan bahwa kejujuran bukan kelemahan, melainkan kekuatan.

Tarsan memulai hari dengan ritual yang sama: bangun pukul empat pagi, menyapa Nyai Lestari dengan secangkir teh pahit, dan memeriksa kondisi gubuknya yang bocor di sudut kiri akibat hujan semalam. Ia mengganti ember yang penuh air dengan yang kosong, lalu berjalan tiga kilometer ke tepi hutan kecil tempat lahan warisannya berada. Sepanjang perjalanan, ia membawa tas kain tua yang berisi peta dan sebuah cangkul kecil, alat yang selalu ia bawa untuk menunjukkan kondisi tanah secara langsung kepada calon pembeli.

Hari ini, Tarsan berencana menemui seorang keluarga petani, Keluarga Rukmi, yang dikabarkan ingin membeli tanah untuk ditanami padi. Ia tiba di lahan hutan sekitar pukul tujuh pagi, saat embun masih menempel di dedaunan. Lahan itu luas, dengan rerumputan hijau yang subur dan sungai kecil yang mengalir di sisi timur, tapi Tarsan tahu bahwa di musim hujan, air sungai itu bisa meluap hingga merendam setengah lahan. Ia berdiri di tengah lahan, menatap pepohonan yang berdiri tegak, dan mengingat bagaimana ayahnya dulu mengajarinya mengenali tanda-tanda tanah yang baik—warna tanah, aliran air, dan aroma yang keluar dari dalamnya.

Tak lama kemudian, sebuah keluarga tiba: Rukmi, seorang pria paruh baya dengan tubuh kekar dan tangan kasar khas petani, bersama istrinya, Sariroh, dan anak mereka, Bayu, seorang remaja kurus dengan mata penuh harap. Rukmi menatap lahan itu dengan penuh perhitungan, sementara Sariroh memegang tangan Bayu yang tampak gugup. “Pak Tarsan, tanah ini bagus ya? Kami mau tanam padi, katanya subur,” kata Rukmi, suaranya penuh harap.

Tarsan mengangguk, tapi ia tak langsung setuju. Ia mengajak keluarga itu berjalan ke sisi sungai, menunjukkan jejak banjir yang masih terlihat di batang pohon. “Tanah ini memang subur, Mas Rukmi. Tapi di musim hujan, air sungai bisa naik sampai sini,” jelasnya, jarinya menunjuk garis lumpur setinggi lutut di pohon. “Kalau mau, saya jual dua hektar seharga delapan juta. Tapi saya saranin pikir matang-matang, soalnya banjirnya nggak main-main.”

Rukmi mengerutkan kening, matanya menilai lahan itu dengan hati-hati. Sariroh tampak khawatir, sementara Bayu bertanya dengan suara kecil, “Pak, kalau banjir, padi kami bisa hancur, ya?” Tarsan menunduk, merasa bersalah karena harus jujur, tapi ia tak bisa berbohong. “Bisa iya, bisa tidak. Tergantung cara kalian atur drainasenya. Saya bisa bantu desain saluran air kalau mau,” jawabnya, suaranya lembut tapi penuh keyakinan.

Keluarga itu berbisik sesama sendiri, dan akhirnya Rukmi menggelengkan kepala. “Terima kasih, Pak Tarsan. Kami pikir-pikir dulu. Banjirnya bikin kami takut,” katanya dengan nada menyesal. Tarsan mengangguk, memahami keputusan mereka. Ia mengantar keluarga itu kembali ke jalan utama, hatinya terasa seperti ditusuk jarum. Kehilangan calon pembeli lagi membuatnya mempertanyakan pilihan hidupnya, tapi ia tahu ia tak bisa mengkhianati prinsip ayahnya.

Sore itu, di bawah pohon beringin, Tarsan duduk dengan gerobaknya yang mulai rapuh. Ia membuka buku catatan, membaca kalimat ayahnya: “Jujur itu seperti menanam pohon. Butuh waktu, tapi hasilnya akan manis.” Tapi waktu itu terasa sangat lambat baginya. Penghasilannya dari penjualan tanah selama sebulan terakhir hanya cukup untuk membeli obat Nyai Lestari dan sedikit beras, belum lagi untuk memperbaiki gubuk yang semakin rusak. Ia menatap langit yang mulai kelabu, merasa seperti pohon yang terus diterpa angin tanpa pernah berbuah.

Tiba-tiba, sebuah suara kecil menyapa. “Pak Tarsan!” Itu Bayu, remaja yang tadi datang dengan keluarganya. Anak itu membawa seikat ubi rebus yang dibungkus daun pisang, wajahnya penuh senyum. “Ibu suruh kasih ini, soalnya Pak Tarsan baik banget kasih tahu soal banjir. Kami tak jadi beli, tapi kami tak marah,” katanya dengan tulus.

Tarsan tersenyum, menerima ubi itu dengan tangan yang sedikit gemetar. “Makasih, Bayu. Ini cukup buat makan malam saya sama Ibu,” jawabnya, suaranya hangat. Bayu berlari kembali ke arah rumahnya, dan untuk sesaat, Tarsan merasa ada cahaya kecil di tengah kegelapan hatinya. Tapi cahaya itu segera redup ketika Karto Wibowo kembali muncul, kali ini dengan dua orang lain yang tampak seperti pembeli potensial.

“Tarsan, saya kasih kesempatan terakhir. Tanah hutan itu, saya jual buat kamu dua puluh lima juta per hektar. Kita bagi dua, dan kamu bisa hidup layak. Lupain kejujuranmu yang kuno itu!” kata Karto dengan senyum licik, sementara dua orang di belakangnya mengangguk setuju.

Tarsan menatap Karto dengan mata teguh, meski jantungnya berdegup kencang. “Maaf, Mas Karto. Saya tak bisa bohong bilang tanah itu aman dari banjir. Kalau mereka mau, saya jual apa adanya, delapan juta per hektar. Terserah mereka pilih,” jawabnya, suaranya mantap meski tangannya mencengkeram buku catatan dengan erat.

Karto tertawa keras, diikuti oleh dua orang di belakangnya. “Kamu gila, Tarsan! Siapa yang mau beli dengan harga segitu kalau tahu banjir? Selesaikan urusanmu sendiri!” Ia berbalik dan pergi, meninggalkan Tarsan yang berdiri diam, rasa malu dan kekhawatiran bercampur di dadanya.

Malam tiba, dan Tarsan mendorong gerobaknya pulang melalui jalan setapak yang gelap. Di gubuk, Nyai Lestari menyambutnya dengan wajah pucat. “Tarsan, aku dengar orang bilang kamu tolol. Tapi aku tahu kamu baik. Jangan menyerah, Nak,” katanya, tangannya menepuk pundak anaknya dengan lembut. Tarsan mengangguk, tapi di dalam hatinya, ia merasa seperti sedang berjalan di tepi jurang. Ia menyiapkan ubi rebus dari Bayu untuk makan malam, duduk di samping ibunya, dan menatap foto ayahnya di dinding.

Di beranda gubuk, Tarsan membuka buku catatan lagi, membaca kalimat baru: “Tarsan, kalau dunia menertawakanmu, angkat kepalamu. Kejujuranmu akan jadi cahaya.” Ia menutup mata, air matanya jatuh tanpa suara. Ia tak tahu berapa lama ia bisa bertahan, tapi kejujuran ayahnya menjadi pelita kecil di tengah malam yang kelam. Di kejauhan, suara angin berbisik di antara pepohonan, dan Tarsan merasa ada kekuatan yang perlahan mengalir ke dalam jiwanya—sebuah harapan bahwa perjuangannya tak akan sia-sia.

Cahaya di Ujung Kesulitan

Pagi di Desa Sumber Jaya terasa lebih dingin dari biasanya, dengan embun yang menempel tebal di rerumputan dan kabut yang masih menyelimuti pepohonan di kejauhan. Tarsan Gading berdiri di bawah pohon beringin tua, gerobak kayunya sudah tersedia dengan peta dan dokumen lusuh yang menjadi saksi bisu perjuangannya. Jam menunjukkan pukul 6:30 pagi, dan matahari baru saja mulai menampakkan semburat oranye di ufuk timur. Di dalam dadanya, Tarsan membawa beban yang lebih berat setelah malam kemarin—tawa ejekan Karto Wibowo dan tatapan sinis dua orang di belakangnya masih terngiang, bercampur dengan kata-kata Nyai Lestari yang penuh dukungan. Tapi ada sesuatu yang berbeda hari ini: sebuah tekad yang mulai menguat, seolah-olah kata-kata ayahnya di buku catatan menjadi bisikan yang membawanya maju.

Tarsan memulai hari dengan rutinitas yang sama, bangun pukul empat pagi di gubuknya yang sederhana. Ia membantu Nyai Lestari duduk di kursi rotan, menyajikan secangkir teh pahit yang sudah menjadi tradisi, dan memeriksa kebocoran atap yang semakin parah setelah hujan semalam. Ia mengganti ember penuh air dengan yang kosong, lalu berjalan ke tepi hutan kecil untuk memeriksa lahan warisannya. Di tangannya, ia membawa tas kain tua berisi peta, sebuah cangkul, dan buku catatan ayahnya yang selalu menjadi sumber kekuatannya. Sepanjang jalan, ia bertemu dengan beberapa warga yang menyapa dengan ramah, tapi ada juga yang memandangnya dengan rasa iba, seolah tahu bahwa kejujurannya membuatnya sulit bertahan.

Hari ini, Tarsan memutuskan untuk membuka lahan baru yang ia temukan beberapa minggu lalu, sebuah tanah kecil di sisi bukit yang kering tapi aman dari banjir. Ia berharap tanah itu bisa menjadi peluang bagi keluarga petani yang membutuhkan lahan murah. Ketika ia tiba di lokasi, ia mulai membersihkan semak-semak dengan cangkulnya, keringat bercucuran di dahinya meski udara masih dingin. Tanah itu tandus di permukaan, tapi Tarsan tahu bahwa dengan perawatan yang baik, ia bisa menjadi ladang yang produktif. Ia mencatat detailnya di buku catatan—warna tanah kecokelatan, teksturnya yang gembur, dan aroma khas yang menandakan tanah belum tercemar—semuanya dengan hati-hati, seperti yang diajarkan ayahnya.

Sore itu, di bawah pohon beringin, Tarsan menanti calon pembeli. Tak lama kemudian, sebuah keluarga tiba: seorang pria tua bernama Jatirogo, istrinya, Minah, dan anak perempuannya, Dewi, yang tampak lelet setelah membawa keranjang bambu. Jatirogo, dengan wajah penuh kerut dan tangan gemetar, mendekati Tarsan dengan penuh harap. “Pak Tarsan, kami dengar Anda punya tanah murah. Kami mau buat kebun ubi, tapi duit kami cuma sedikit,” katanya, suaranya lemah tapi penuh keikhlasan.

Tarsan mengangguk, membuka peta dan menunjukkan tanah di bukit yang ia bersihkan tadi. “Ini tanah saya, Mas Jati. Luasnya setengah hektar, tanahnya kering tapi aman dari banjir. Harganya dua juta, tapi kalau susah, saya turunin jadi satu juta. Saya tunjukkan langsung kalau mau,” jelasnya, suaranya hangat meski matanya menunjukkan kekhawatiran. Jatirogo menatap peta itu, sementara Minah berbisik pada Dewi tentang bagaimana mereka bisa mengumpulkan uang.

Setelah berunding sebentar, Jatirogo mengangguk. “Kami ambil, Pak. Tapi kami bayar bertahap, boleh nggak? Uang kami cuma cukup buat setengah dulu,” katanya dengan nada memohon. Tarsan tersenyum, merasa lega bahwa ada yang akhirnya menerima tawaran jujurnya. “Boleh, Mas Jati. Bayar kapan saja kalau sudah ada. Saya percaya sama Anda,” jawabnya, menandatangani perjanjian sederhana di atas kertas lusuh yang ia bawa.

Namun, kebahagiaan itu tak bertahan lama. Ketika Jatirogo dan keluarganya pergi, Karto Wibowo kembali muncul, kali ini dengan sekelompok orang yang tampak seperti investor dari kota. Mereka mengenakan pakaian rapi dan membawa tas jinjing, berbeda jauh dari penampilan sederhana warga desa. Karto mendekati Tarsan dengan senyum licik yang sudah akrab. “Tarsan, ini investor dari Jakarta. Mereka mau beli tanah hutanmu, dua puluh juta per hektar. Kita bagi dua, dan kamu bisa hidup enak. Lupain kejujuranmu yang bikin kamu miskin!” katanya, suaranya penuh keyakinan.

Tarsan menatap Karto dan kelompok itu dengan mata teguh. “Maaf, Mas Karto. Saya tak bisa bohong bilang tanah itu aman dari banjir. Harganya delapan juta per hektar, apa adanya. Kalau mereka mau, saya tunjukkan langsung,” jawabnya, suaranya mantap meski tangannya mencengkeram buku catatan dengan erat. Salah satu investor, seorang pria berjas hitam, tertawa kecil. “Delapan juta? Dengan banjir? Kau pikir kami bodoh, tua? Mari kita cari calo lain, Karto,” katanya, lalu kelompok itu pergi, meninggalkan Tarsan dengan rasa malu yang membakar.

Tarsan duduk di bangku tuanya, menatap peta yang bergetar di tangannya. Ia merasa seperti pohon yang terus ditebang, tapi akarnya masih bertahan. Di dalam hatinya, ia teringat Jatirogo yang menerima tawaran jujurnya, dan Bayu yang memberinya ubi rebus sebagai tanda terima kasih. Mungkin, pikirnya, kejujuran itu tak selalu tentang keuntungan besar, tapi tentang hubungan yang tulus dengan orang lain.

Malam itu, saat Tarsan mendorong gerobaknya pulang, ia berhenti di tepi sungai untuk mencuci wajahnya yang penuh keringat dan debu. Di gubuk, Nyai Lestari menyambutnya dengan wajah pucat. “Tarsan, aku dengar orang bilang kamu ditawarin duit banyak tapi nolak. Kenapa, Nak?” tanyanya, suaranya penuh kekhawatiran. Tarsan duduk di samping ibunya, memegang tangannya yang dingin. “Bu, saya tak mau bohong. Ayah ngajarin saya jujur, dan itu yang bikin saya tetap manusia,” jawabnya, suaranya bergetar.

Nyai Lestari mengangguk, matanya berkaca-kaca. “Ayahmu bangga sama kamu, Tarsan. Tapi jaga diri, ya. Aku tak mau kamu sakit,” katanya, menepuk tangan anaknya dengan lembut. Tarsan mengangguk, tapi di dalam hatinya, ia merasa tekanan yang semakin berat. Ia menyiapkan makan malam sederhana—ubi rebus dari Bayu dan sedikit garam—dan duduk bersama ibunya di bawah cahaya lampu minyak.

Sebelum tidur, Tarsan membuka buku catatan ayahnya, membaca kalimat baru: “Tarsan, ujian datang untuk menguatkanmu. Sabar, cahaya akan muncul.” Ia menutup mata, air matanya jatuh tanpa suara. Di kejauhan, suara air sungai mengalir perlahan, dan Tarsan merasa ada harapan kecil yang mulai bersinar. Besok, ia akan terus mencoba, meski dunia seolah menolaknya. Untuk ibunya, untuk ayahnya, dan untuk dirinya sendiri, ia akan tetap jujur, menunggu saat ketika kejujurannya akhirnya dihargai.

Hari Kebangkitan di Bawah Matahari

Pagi di Desa Sumber Jaya menyambut Tarsan Gading dengan langit yang cerah, berbeda dari kabut tebal yang biasa menyelimuti desa pada hari-hari sebelumnya. Jam menunjukkan pukul 06:00 WIB, Senin, 16 Juni 2025, dan sinar matahari pagi menyelinap melalui dahan pohon beringin tua, menciptakan pola-pola cahaya di tanah yang masih basah oleh embun. Tarsan berdiri di posisi biasanya, di samping gerobak kayunya yang sudah mulai rapuh, dengan peta dan buku catatan ayahnya terbuka di meja kecil. Di dalam dadanya, ada campuran antara keteguhan dan harap—kata-kata ayahnya, “cahaya akan muncul,” masih bergema, memberinya kekuatan untuk menghadapi hari ini, yang ia harap akan menjadi titik balik.

Tarsan memulai hari lebih awal dari biasanya, pukul 03:30 WIB, dengan membangunkan diri di gubuknya yang sederhana. Ia membantu Nyai Lestari duduk di kursi rotan, menyajikan secangkir teh pahit yang sudah menjadi ritual, dan memeriksa atap yang bocor dengan hati-hati. Kali ini, ia membawa ember ekstra untuk menampung air hujan yang masih menetes, lalu berjalan ke tepi hutan untuk memeriksa lahan bukit yang ia tawarkan kepada Jatirogo kemarin. Di tangannya, ia membawa cangkul dan tas kain tua berisi dokumen, serta sebuah resolusi baru: ia akan memperbaiki gerobaknya hari ini jika ada rezeki, meski hanya dengan cat sisa dari tetangga.

Saat tiba di lahan bukit, Tarsan terkejut melihat Jatirogo, Minah, dan Dewi sudah menunggu dengan sekop dan keranjang bambu. Jatirogo mendekatinya dengan senyum lebar, wajahnya penuh semangat. “Pak Tarsan, kami putuskan ambil tanah itu! Malam tadi kami bicara, dan kami mau coba tanam ubi. Uang satu juta sudah kami siapin, sisanya kami bayar bulan depan,” katanya, menyerahkan seikat uang lusuh yang digenggam erat. Tarsan menerima uang itu dengan tangan gemetar, matanya berkaca-kaca. “Terima kasih, Mas Jati. Saya bantu bersihin tanahnya hari ini,” jawabnya, suaranya penuh kelegaan.

Mereka bekerja bersama sepanjang pagi, membersihkan semak-semak dan menggali saluran kecil untuk drainase, sesuai saran Tarsan. Dewi, dengan tangannya yang kecil, membantu membawa rumput liar ke tumpukan samping, sementara Minah menyanyikan lagu daerah pelan untuk mengisi suasana. Tarsan merasa seperti keluarga, sebuah kehangatan yang jarang ia rasakan sejak ayahnya meninggal. Setelah selesai, Jatirogo menepuk pundak Tarsan. “Kamu jujur, Pak. Itu yang bikin kami percaya. Besok kami bawa bibit ubi,” katanya, suaranya penuh penghargaan.

Namun, kebahagiaan itu segera diuji. Ketika Tarsan kembali ke pohon beringin dengan gerobaknya, Karto Wibowo muncul lagi, kali ini dengan seorang pria berjas tebal yang tampak seperti pejabat. Karto tersenyum licik, menunjukkan dokumen di tangannya. “Tarsan, ini Bapak Darmawan dari dinas pertanahan. Dia mau beli tanah hutammu buat proyek pembangunan. Tiga puluh juta per hektar, kita bagi dua. Terakhir kali aku beri kesempatan!” katanya, suaranya penuh keyakinan.

Tarsan menatap Karto dan Darmawan dengan mata teguh. “Maaf, Mas Karto, Pak Darmawan. Tanah itu banjir di musim hujan. Saya jual delapan juta per hektar, apa adanya. Kalau mau, saya tunjukkan langsung,” jawabnya, suaranya mantap meski jantungnya berdegup kencang. Darmawan mengerutkan kening, memandang Karto dengan tatapan tidak puas. “Delapan juta? Dengan banjir? Kita cari tanah lain, Karto. Ini pemborosan waktu,” katanya, lalu berbalik pergi. Karto menatap Tarsan dengan marah sebelum mengikuti Darmawan, meninggalkan Tarsan yang berdiri tegak meski hatinya bergetar.

Sore itu, Tarsan menggunakan uang dari Jatirogo untuk membeli cat hijau dan kuas dari warung tetangga. Ia mulai melukis gerobaknya dengan hati-hati, setiap goresan cat menjadi simbol harap baru. Saat ia bekerja, sebuah kerumunan kecil terbentuk—warga desa, termasuk Bayu dan Nyai Sariroh, mendekat dengan senyum. “Pak Tarsan, gerobaknya jadi cantik! Besok saya bawa temen buat beli tanah,” kata Bayu, sementara Nyai Sariroh menyerahkan seikat kolplay sebagai hadiah. Tarsan tersenyum lebar, merasa untuk pertama kalinya diterima sebagai bagian dari komunitas.

Malam tiba, dan Tarsan pulang ke gubuk dengan gerobak yang kini tampak segar. Nyai Lestari menyambutnya dengan wajah cerah. “Tarsan, aku dengar warga bilang kamu baik. Aku bangga, Nak,” katanya, matanya berkaca-kaca. Tarsan duduk di samping ibunya, memegang tangannya yang dingin. “Bu, ini baru awal. Saya mau bikin gerobak ini jadi tanda kejujuran,” jawabnya, suaranya penuh tekad. Mereka makan kolplay rebus bersama, sebuah makan malam sederhana yang terasa seperti pesta.

Sebelum tidur, Tarsan membuka buku catatan ayahnya untuk terakhir kalinya. Ia menemukan catatan terakhir yang belum pernah ia baca: “Tarsan, kejujuranmu akan jadi warisan. Saat dunia menolak, Tuhan akan membukakan pintu.” Ia menutup mata, air matanya jatuh, tapi kali ini penuh kelegaan. Di beranda gubuk, ia menatap langit yang penuh bintang, mendengar suara jangkrik yang damai. Besok, ia akan melanjutkan perjuangannya, tapi kini dengan keyakinan bahwa kejujurannya telah mulai berbuah.

Pagi berikutnya, saat Tarsan berdiri di bawah pohon beringin dengan gerobak barunya, sebuah rombongan warga datang—petani, pedagang, dan bahkan anak-anak seperti Bayu. Mereka membawa uang dan permintaan tanah, tak hanya untuk Jatirogo, tapi juga untuk yang lain. “Pak Tarsan, kami mau beli tanahmu. Kami percaya sama kamu,” kata seorang ibu tua, mewakili yang lain. Tarsan tersenyum, hatinya penuh syukur. Di tengah kerumunan itu, ia tahu bahwa kejujurannya akhirnya dihargai, bukan dengan uang semata, tapi dengan kepercayaan yang tak ternilai. Di bawah matahari pagi yang hangat, Tarsan Gading berdiri tegak, sebuah pohon beringin yang akhirnya berbunga setelah bertahan dari badai.

Kisah Tarsan Gading dalam Perjalanan Hati di Tengah Pencarian Rezeki: Kisah Penjual Tanah Jujur membuktikan bahwa kejujuran, meski sering dianggap kuno, dapat menjadi cahaya yang membimbing seseorang menuju kebangkitan. Dengan keteguhan dan kepercayaan dari komunitasnya, Tarsan mengubah gerobak tuanya menjadi simbol harapan, mengajarkan kita bahwa integritas adalah kekayaan sejati yang tak ternilai. Jangan lewatkan cerpen menyentuh hati ini untuk merasakan inspirasi yang akan memotivasi Anda menghadapi tantangan hidup.

Terima kasih telah menyelami kisah inspiratif Tarsan Gading yang penuh makna ini. Semoga cerita ini membakar semangat Anda untuk tetap jujur dan teguh, apa pun rintangannya. Sampai jumpa di artikel menarik berikutnya, dan jangan lupa bagikan kisah ini untuk menginspirasi lebih banyak orang!

Leave a Reply