Perjalanan Azam: Kisah Nabi dan Jalan Menuju Kebenaran Sejati

Posted on

Ini cerita Azam, anak muda yang nekat banget buat nyampein kebenaran di depan orang-orang. Nggak peduli sama yang berkuasa, dia tetap maju, ngajak semuanya balik ke jalan yang bener. Seru, tegang, tapi juga bikin haru. Yuk, langsung aja baca ceritanya!

 

Perjalanan Azam

Pertanyaan yang Menggugah

Azam duduk di atas batu besar, menatap padang pasir yang membentang tanpa akhir. Angin panas berhembus perlahan, menggelombangkan debu-debu halus yang beterbangan di udara. Tiba-tiba, suara tawa dan perbincangan menggema dari kejauhan. Azam mengenali suara itu—suara orang-orang yang sedang berkumpul di puncak bukit yang tak jauh dari tempatnya.

Penasaran, Azam segera bangkit dan berjalan menuju kerumunan tersebut. Setiap langkahnya terasa berat, seolah ada sesuatu yang menarik dirinya untuk mendekat. Di puncak bukit, dia melihat beberapa pria berdiri mengelilingi seorang lelaki yang tak asing di telinganya. Itu adalah Ibrahim, seorang nabi yang dikenal di seluruh daerah, seorang pria yang hidup penuh dengan kebijaksanaan dan kesabaran.

Azam telah mendengar banyak cerita tentang Ibrahim—tentang bagaimana dia menghancurkan berhala-berhala ayahnya dan bagaimana dia hidup dengan penuh keyakinan terhadap Tuhan yang Maha Esa. Tapi ada satu cerita yang selalu menghantui pikirannya, sesuatu yang membuatnya penasaran.

Dengan perlahan, Azam mendekat, berusaha mendengarkan percakapan yang sedang berlangsung. Salah satu pria dalam kerumunan itu mengajukan sebuah pertanyaan yang membuat Azam berhenti sejenak.

“Wahai Ibrahim,” suara pria itu terdengar penuh keraguan, “Aku dengar kamu bisa menghidupkan yang mati. Apa benar itu? Bagaimana mungkin Tuhan bisa melakukan hal seperti itu?”

Azam merasa udara seolah berhenti sejenak. Semua mata terarah kepada Ibrahim yang berdiri dengan tenang. Ada sesuatu dalam cara Ibrahim menanggapi pertanyaan-pertanyaan semacam ini—sebuah keyakinan yang dalam dan tanpa keraguan.

Ibrahim tersenyum tipis. “Tidakkah kalian percaya kepada Tuhan yang menguasai segalanya?” jawabnya dengan suara lembut, namun penuh kekuatan. “Jika Dia bisa menciptakan kehidupan, apakah mustahil bagi-Nya untuk menghidupkan kembali apa yang telah mati?”

Kerumunan terdiam, seolah mencoba mencerna kata-kata Ibrahim. Azam merasa hatinya sedikit terguncang. Dia ingin sekali memahami lebih dalam tentang apa yang dimaksud Ibrahim. Kepercayaan yang begitu teguh, bahkan terhadap hal-hal yang tampaknya mustahil.

Salah satu pria dalam kerumunan itu, seorang pedagang tua, bertanya lagi, “Tapi bagaimana, Ibrahim? Aku tak bisa begitu saja percaya tanpa melihatnya sendiri.”

Ibrahim menatap pria itu dengan mata yang penuh ketenangan. “Jangan hanya percaya apa yang tampak. Percayalah pada apa yang tidak tampak, pada apa yang tersembunyi di dalam hati kita,” jawab Ibrahim, seraya memandang sekeliling dengan penuh perhatian. “Kadang-kadang, Tuhan ingin kita melihat dengan mata hati, bukan hanya dengan mata fisik.”

Azam tertegun. Kata-kata Ibrahim sangat dalam, dan dia merasa seperti mendapatkan sebuah petunjuk yang lebih besar dari sekadar perkataan biasa. Namun masih ada satu hal yang mengganjal dalam pikirannya. Keajaiban seperti apa yang Ibrahim maksudkan? Bagaimana mungkin sesuatu yang mati bisa hidup kembali?

Saat kerumunan mulai membubarkan diri, Azam mendekati Ibrahim yang masih berdiri di sana, dikelilingi debu yang perlahan turun setelah diterpa angin. Tanpa ragu, Azam menghampiri sang nabi.

“Wahai Ibrahim,” katanya dengan suara yang lebih pelan, “Aku ingin tahu lebih banyak tentang apa yang kamu katakan. Apa yang kamu maksud dengan menghidupkan yang mati? Aku ingin melihat dengan mata kepalaku sendiri.”

Ibrahim menatap Azam dengan tatapan yang penuh perhatian. Dia tersenyum ringan. “Kau adalah pemuda yang penuh rasa ingin tahu,” ujarnya. “Baiklah, jika kau ingin mengetahui, datanglah besok pagi ke bukit ini. Aku akan menunjukkan padamu apa yang aku maksud.”

Azam merasa hatinya berdebar. Dia merasa seperti berada di ujung sebuah perjalanan yang tak bisa dia prediksi. Pagi berikutnya, ia akan berdiri di samping Ibrahim dan menyaksikan sendiri keajaiban yang selama ini hanya ia dengar dalam cerita-cerita.

Dia pulang ke rumahnya dengan langkah cepat. Di sepanjang perjalanan, pikirannya dipenuhi dengan bayangan tentang Ibrahim, tentang apa yang akan terjadi besok, dan tentang kata-kata yang baru saja dia dengar. Apakah itu mungkin? Apakah Tuhan benar-benar dapat menghidupkan yang mati?

Azam tahu, besok adalah hari yang akan mengubah hidupnya.

 

Perintah dari Langit

Azam terjaga lebih pagi dari biasanya. Matahari belum sepenuhnya terbit, namun rasa penasaran yang menggebu membuatnya tak bisa tidur lagi. Ia mengenakan jubah lusuhnya dengan cepat dan berlari ke bukit tempat Ibrahim berjanji akan menunjukkan keajaiban. Setiap langkahnya terasa berat, tetapi semangat yang membara membuat kakinya terus melangkah.

Pagi itu, udara terasa sejuk, berbeda dari biasanya. Angin pagi yang menyegarkan membelai wajahnya, membawa aroma pasir yang bersih dan segar. Ketika Azam sampai di puncak bukit, ia mendapati Ibrahim sudah menunggu di sana. Ibrahim tampak tenang, seolah tidak terburu-buru, meskipun waktu belum menunjukkan pagi sepenuhnya.

“Azam,” kata Ibrahim sambil menatapnya dengan senyum yang penuh arti, “Kau datang tepat waktu.”

Azam hanya mengangguk, tubuhnya gemetar sedikit, bukan karena takut, tetapi karena sesuatu yang lebih mendalam—keinginan untuk mengetahui lebih banyak, untuk menyaksikan dengan mata kepala sendiri apa yang telah diceritakan orang-orang tentang Ibrahim.

Ibrahim mengangkat tangannya, memberi isyarat pada Azam untuk duduk di sebelahnya. “Kau sudah siap untuk menyaksikan sebuah tanda dari Tuhan?” tanyanya, matanya memandang ke horizon yang mulai terang oleh cahaya fajar.

Azam mengangguk, “Aku siap, Ibrahim. Aku ingin tahu, bagaimana mungkin sesuatu yang mati bisa hidup kembali?”

Ibrahim tersenyum lagi, lalu berkata dengan lembut, “Bukan aku yang akan melakukan itu, Azam. Ini adalah kehendak Tuhan, dan apa yang akan kita lihat adalah bukti bahwa Dia menguasai segalanya.”

Ibrahim kemudian berdiri dan mengangkat kedua tangannya ke langit. “Ya Allah,” doanya terdengar tenang dan penuh keyakinan, “Perlihatkanlah tanda-Mu pada Azam, agar dia mengetahui kebesaran-Mu yang tak terhingga.”

Tiba-tiba, Azam merasakan angin yang bertiup lebih kencang. Debu-debu kecil berterbangan di udara, dan suasana seakan berubah. Segala suara alam seakan terhenti, dan hanya ada keheningan yang membungkusnya. Ibrahim memandang Azam dengan tatapan penuh pengertian.

“Ambillah empat burung,” Ibrahim berkata dengan suara yang dalam, “Potonglah mereka, dan campurkan tubuh mereka menjadi satu. Kemudian, sebarkan potongan-potongan itu ke empat bukit di sekitar kita.”

Azam terdiam sesaat, mencoba mencerna apa yang baru saja didengar. Ibrahim tidak hanya mengajarkan sesuatu yang luar biasa, tetapi ia juga memberi tugas yang aneh dan penuh tantangan. Namun, meskipun tugas itu terdengar mustahil, Azam merasa ada sebuah kekuatan yang tak bisa dijelaskan, kekuatan yang membuatnya merasa tenang meskipun keraguan sempat mengisi benaknya.

“Apakah kamu yakin ini akan berhasil?” Azam bertanya, suaranya merendah.

Ibrahim mengangguk, “Percaya pada Tuhan. Percayalah bahwa Dia mampu melakukan segala sesuatu, bahkan hal yang menurutmu tidak mungkin.”

Azam tak dapat menahan rasa kagumnya. Ia melihat Ibrahim dengan mata yang penuh hormat. Tanpa banyak bicara lagi, Azam bergegas mencari burung-burung yang akan dibutuhkan. Ia menunggu sesaat, memeriksa sekitar, dan akhirnya menemukan empat ekor burung yang cocok. Ada merpati putih, gagak hitam, elang, dan ayam jantan. Dengan hati-hati, ia mengambil burung-burung itu satu per satu, memotong tubuh mereka sesuai dengan instruksi Ibrahim.

Setelah selesai, Ibrahim mengambil potongan-potongan tubuh burung tersebut, menatanya di empat titik bukit yang berbeda di sekitarnya. Azam memperhatikan dengan penuh perhatian, setiap langkah yang diambil Ibrahim terasa penuh arti.

“Aku sudah melakukannya, Ibrahim,” kata Azam dengan suara bergetar.

Ibrahim menatapnya dengan mata yang penuh ketenangan. “Sekarang, kau harus memanggil mereka kembali,” ujarnya pelan, sambil mengangkat tangannya. “Dengan izin Allah, mereka akan hidup kembali.”

Azam merasa jantungnya berdegup lebih cepat. Ia mengangkat suaranya, meskipun masih ragu. “Wahai merpati, wahai gagak, wahai elang, dan wahai ayam jantan! Kembalilah kepada kami dengan izin Allah!”

Lalu, dalam keheningan yang mencekam, sesuatu yang tidak bisa dijelaskan mulai terjadi. Potongan tubuh burung yang tersebar mulai bergerak. Bulu-bulu, daging, dan tulang-tulang itu seakan kembali menjadi satu. Setiap bagian tubuh burung terhubung, bergerak ke tempat yang tepat, dan seolah hidup kembali.

Azam tak bisa berkata apa-apa. Matanya membelalak, tak percaya dengan apa yang ia saksikan. Keempat burung itu mulai berkumpul, berdiri di atas tanah, hidup dan bergetar seolah baru saja terlahir kembali. Mereka mengepakkan sayap, terbang tinggi di langit yang semakin cerah.

“Apa yang baru saja aku lihat?” Azam bergumam, suaranya terkejut dan penuh takjub.

Ibrahim menatap Azam dengan senyum bijak. “Itulah kuasa Tuhan, Azam. Segalanya hidup dengan izin-Nya, dan segalanya akan mati dengan kehendak-Nya.”

Azam hanya bisa terdiam, perasaan takjub dan syukur bercampur aduk dalam hatinya. Ia menyadari, saat itu, bahwa dunia yang ia kenal bukanlah segalanya. Ada kekuatan yang lebih besar, yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Ada Tuhan yang mengatur segalanya, dan di situlah letak kekuatan sejati.

Perasaan itu, perasaan yang tak terungkapkan dengan kata-kata, tumbuh semakin dalam dalam dirinya. Ia tahu, perjalanan hidupnya baru saja dimulai.

 

Terbuka di Hadapan Tuhan

Hari-hari berlalu sejak peristiwa yang menakjubkan itu. Azam masih belum bisa menghilangkan bayangan tentang burung-burung yang hidup kembali di hadapannya. Kejadian itu telah mengubah cara pandangnya terhadap dunia. Sebelumnya, dia hanya hidup dengan apa yang tampak di depan matanya, tetapi sekarang, ada keyakinan yang lebih dalam yang membara di hatinya. Semua yang terjadi itu tidak mungkin terjadi tanpa izin Tuhan, dan Azam tahu bahwa jalan hidupnya haruslah berjalan dengan keyakinan ini.

Setiap malam, ia merenung di tempat yang sama, bukit yang ia datangi bersama Ibrahim. Suara angin yang berbisik, langit yang benderang dengan bintang, dan cahaya rembulan yang jatuh di atas pasir, semua itu menjadi teman-temannya yang setia. Namun, meskipun hatinya dipenuhi dengan keyakinan baru, masih ada pertanyaan yang terus menghantuinya—pertanyaan tentang dirinya, tentang tujuan hidupnya, dan tentang bagaimana ia harus melanjutkan perjalanan ini.

Suatu malam, saat Azam tengah duduk di atas batu besar yang sama, Ibrahim muncul dari balik kegelapan. Meskipun Ibrahim selalu tampak tenang dan penuh kedamaian, kali ini ada sesuatu yang berbeda. Ada sesuatu yang lebih dalam dalam tatapan mata Ibrahim, sesuatu yang menunjukkan bahwa ia membawa sebuah pesan yang lebih besar.

“Aku tahu apa yang mengganggumu, Azam,” ujar Ibrahim tanpa basa-basi. “Keajaiban yang kau lihat itu bukan sekadar untuk menunjukkan betapa besar kekuasaan Tuhan. Itu adalah pertanda untuk perjalananmu. Tuhan telah menunjukkan kepadamu jalan yang harus kau ambil.”

Azam menatap Ibrahim dengan penuh perhatian. “Aku merasa seperti aku dilahirkan kembali setelah melihat itu, Ibrahim. Namun, aku tak tahu apa yang harus aku lakukan selanjutnya. Aku bingung, aku merasa tak pantas menerima semua ini. Apa yang Tuhan inginkan dariku?”

Ibrahim tersenyum, dan duduk di samping Azam, menatap langit malam yang penuh bintang. “Kau tidak sendiri, Azam. Setiap nabi, setiap orang yang dipilih oleh Tuhan, pasti merasakan kebingungan itu. Tapi ingat, tidak ada yang sia-sia dalam kehidupan ini. Tuhan telah memilihmu untuk sesuatu yang lebih besar.”

Azam merenung sejenak, mencoba mencerna kata-kata Ibrahim. “Jadi apa yang harus aku lakukan, Ibrahim? Apa tujuan yang harus aku kejar?”

Ibrahim menatapnya dengan tatapan penuh kasih sayang. “Jalani hidupmu dengan penuh keyakinan. Jadilah saksi akan kebesaran Tuhan dan bawa orang-orang di sekitarmu untuk melihatnya. Tugasmu adalah mengingatkan mereka, mengajarkan mereka tentang kebenaran yang tersembunyi di balik dunia ini. Jangan biarkan ketakutan atau keraguan menghalangimu.”

Azam merasa seperti ada beban baru yang muncul di pundaknya, tetapi entah kenapa, ia merasa ringan. Ada kekuatan yang datang dengan kata-kata Ibrahim. Kekuatan yang tak tampak, tetapi ia bisa merasakannya. Seolah Tuhan sedang berbicara melalui Ibrahim, mengarahkan dirinya menuju tujuan yang lebih tinggi.

“Sekarang,” Ibrahim melanjutkan, “aku ingin kau melakukan sesuatu yang lebih besar. Tugasmu belum selesai. Engkau harus pergi ke desa terdekat, tempat di mana banyak orang yang tersesat, yang jauh dari jalan kebenaran. Di sana, engkau akan bertemu dengan seorang pemimpin yang sangat berpengaruh. Dia bisa menjadi teman atau musuhmu, tergantung bagaimana kau menyampaikannya.”

Azam merasa cemas, tetapi ada juga rasa ingin tahu yang besar. “Siapa dia, Ibrahim? Kenapa aku harus bertemu dengan pemimpin itu?”

Ibrahim menghela napas panjang. “Dia adalah seorang pemimpin yang kuat, penuh kekuasaan, tetapi hatinya keras. Dia memiliki banyak pengikut, tetapi dia juga sangat jauh dari kebenaran. Tujuanmu adalah menyampaikan pesan Tuhan padanya, untuk menunjukkan padanya jalan yang benar.”

Azam mengangguk, meskipun hatinya berdebar kencang. “Aku akan pergi, Ibrahim. Aku akan melakukan apa yang harus aku lakukan.”

Ibrahim menepuk bahu Azam dengan penuh keyakinan. “Aku tahu kau bisa melakukannya. Ingat, jangan pernah takut untuk berbicara kebenaran. Tuhan bersamamu.”

Pagi berikutnya, Azam berangkat menuju desa yang dimaksud Ibrahim. Perjalanan itu terasa panjang dan penuh tantangan. Bukit-bukit yang terjal, padang pasir yang tak berujung, dan teriknya matahari membuatnya merasa lelah, tetapi hatinya tidak gentar. Dalam setiap langkahnya, ia merasakan sesuatu yang lebih besar memandu langkahnya. Ia tahu, bahwa apa pun yang akan terjadi, Tuhan telah memilihnya untuk menjalani perjalanan ini.

Setibanya di desa, Azam langsung merasa perbedaan yang begitu mencolok. Orang-orang tampak sibuk dengan urusan mereka, tetapi ada juga ketegangan yang tersembunyi di antara mereka. Semua tampak seperti terperangkap dalam rutinitas hidup yang kosong, terjerat dalam ketakutan dan keputusasaan. Azam tahu bahwa di tengah-tengah semua itu, ada seseorang yang harus ia temui—seseorang yang bisa mengubah segalanya.

Di tengah keramaian, Azam melihat seorang pria yang sedang berdiri di atas panggung, berbicara kepada orang banyak. Dari cara orang-orang memperhatikan, Azam bisa merasakan bahwa pria itu adalah pemimpin mereka. Namun ada sesuatu yang tidak beres dengan cara pria itu berbicara—ada kebanggaan yang berlebihan, dan sebuah aura yang keras kepala, seolah-olah dia adalah satu-satunya yang benar.

Azam mendekati kerumunan, menatap pria itu dengan penuh keyakinan. Ia tahu bahwa inilah saatnya untuk melangkah lebih jauh, untuk mengubah jalan hidupnya, dan mungkin, jalan hidup orang-orang di sekitarnya. Dengan satu langkah mantap, ia maju ke depan, menuju pemimpin yang dimaksud Ibrahim.

 

Hidayah yang Mengubah Takdir

Azam berdiri di tengah kerumunan yang padat, menatap pemimpin yang sedang berbicara dengan lantang. Suara pria itu menggema di udara, penuh dengan kepercayaan diri yang hampir tak tergoyahkan. Orang-orang di sekitarnya terlihat seperti mendengarkan dengan penuh perhatian, seolah setiap kata yang keluar dari mulut pemimpin itu adalah kebenaran yang tak bisa diganggu gugat. Azam tahu, ini adalah momen yang menentukan—momen yang akan menguji seberapa besar ia bisa berpegang pada keyakinannya.

Langkahnya mantap saat ia mendekati panggung tempat pemimpin itu berdiri. Sesampainya di depan, ia merasakan tatapan tajam dari banyak pasang mata yang mengarah kepadanya. Suasana menjadi hening, seolah seluruh dunia menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya. Azam bisa merasakan jantungnya berdetak kencang, namun ia tahu, inilah waktunya untuk berbicara.

Pemimpin itu berhenti sejenak, menatap Azam dengan pandangan yang tajam. “Ada apa denganmu, anak muda?” tanya pria itu dengan nada yang penuh kekuasaan.

Azam berdiri tegak, menatap mata pria itu dengan penuh keteguhan. “Aku datang untuk berbicara tentang kebenaran, tentang jalan yang mungkin sudah lama kamu lupakan.”

Kerumunan terdiam. Azam bisa melihat raut wajah pria itu mulai berubah, namun ia tetap berbicara dengan penuh keyakinan. “Aku tahu, kamu memiliki pengaruh yang besar di sini. Orang-orang mengikuti kata-katamu, tetapi kamu telah membawa mereka jauh dari kebenaran yang sebenarnya. Mereka butuh petunjuk, dan kamu bisa memberi mereka itu—jika kamu mau mendengar.”

Pemimpin itu tertawa sinis. “Petunjuk? Apa yang bisa seorang pemuda sepertimu ajarkan padaku? Aku yang memimpin mereka, bukan sebaliknya.”

Azam tetap tenang, tidak terpengaruh oleh hinaan itu. “Kepemimpinanmu bukanlah tentang kuasa atau ketenaran, tetapi tentang menuntun orang menuju kebaikan yang sejati. Kamu bisa memilih untuk tetap dalam kebanggaan dan kesombongan, atau kamu bisa membuka hatimu untuk menerima kebenaran yang lebih besar dari segala yang kamu pahami.”

Pemimpin itu terdiam, matanya mempersempit. Ada sedikit keraguan yang muncul di wajahnya, meskipun ia berusaha menyembunyikannya. Azam merasakan bahwa ini adalah momen yang sangat penting. Ia tidak bisa mundur, dan ia tidak akan mundur.

“Jalan yang benar tidak selalu mudah, dan kadang-kadang, kita harus melewati kegelapan untuk menemukan cahaya,” lanjut Azam. “Aku tidak di sini untuk menghakimi, aku hanya di sini untuk menunjukkan padamu bahwa ada jalan yang lebih baik. Jalan yang lebih penuh kedamaian, yang membawa kebaikan bukan hanya bagi dirimu, tetapi juga bagi orang-orang yang mengikutimu.”

Kerumunan semakin sunyi. Beberapa dari mereka mulai berbicara pelan, tetapi Azam bisa merasakan bahwa kata-katanya mulai menyentuh hati mereka. Ia melihat beberapa orang mulai mengangguk, seolah mereka memahami apa yang dimaksudnya. Namun, pemimpin itu tetap tampak ragu.

“Dan jika aku menolak?” tanya pemimpin itu dengan suara lebih rendah, namun tetap penuh tantangan.

Azam menarik napas dalam-dalam. “Jika kamu menolak, aku tidak akan pergi. Aku akan tetap di sini, dan aku akan terus mengingatkanmu bahwa ada jalan lain, jalan yang lebih baik, yang penuh kasih sayang dan rahmat. Tuhan tidak akan meninggalkanmu selama kamu tidak meninggalkan-Nya.”

Perlahan, tatapan pemimpin itu berubah. Dari yang semula penuh kebanggaan dan keteguhan, kini muncul sedikit keraguan. Azam tahu bahwa ia telah menanamkan benih dalam hati pemimpin itu, benih yang mungkin tidak akan tumbuh dengan cepat, tetapi pasti akan berakar dalam jangka panjang.

Akhirnya, pemimpin itu menghela napas panjang, menurunkan pandangannya sejenak, dan mengangkat kepala. “Mungkin… mungkin kamu benar, anak muda. Aku akan berpikir tentang kata-katamu.”

Azam merasakan kelegaan yang mendalam. Tidak ada kemenangan yang lebih besar daripada melihat seseorang yang sebelumnya tertutup, mulai membuka hatinya. Mungkin pemimpin itu tidak akan berubah dalam sekejap, tetapi setidaknya, ia telah mulai menempuh jalan yang benar.

“Terima kasih,” Azam berkata, suara penuh hormat namun juga penuh keyakinan. “Aku hanya ingin kebaikan untuk kita semua.”

Azam berbalik dan berjalan menjauh, meninggalkan kerumunan yang kini mulai berbicara di antara mereka sendiri. Saat ia melangkah lebih jauh, ada perasaan damai yang meresap dalam dirinya. Perjalanan ini mungkin belum berakhir, tetapi ia tahu bahwa Tuhan selalu bersamanya, memandunya menuju jalan yang benar.

Di langit yang luas, bintang-bintang masih bersinar, seolah memberikan restu pada langkah-langkah Azam yang penuh harapan. Ia tahu, ini bukan akhir, tetapi awal dari sebuah perjalanan yang lebih besar. Dan apa pun yang terjadi, ia akan terus berjalan dengan keyakinan, berbicara dengan kebenaran, dan mengikuti petunjuk Tuhan yang tidak pernah salah.

 

Dan begitulah perjalanan Azam, anak muda yang berani berdiri buat kebenaran. Di tengah semua tantangan, dia tetap percaya kalau Tuhan selalu ada buat mereka yang nggak menyerah. Ini bukan akhir, tapi awal dari sesuatu yang lebih besar. Terima kasih udah ikut perjalanan ini—semoga ceritanya ngasih inspirasi buat langkah kita ke depan.

Leave a Reply