Daftar Isi
ernah nggak sih ngerasa dunia ini nggak adil? Ada orang yang udah capek-capek berubah, tapi tetep dikatain masa lalunya. Ada juga yang nyimpen rahasia kelam, tapi pengin mulai dari nol.
Nah, cerpen ini bakal ngajak kamu masuk ke kisah Arga—seorang cowok yang lari dari sesuatu yang nggak bisa ditinggalin: dirinya sendiri. Ini bukan sekadar cerita biasa, tapi kisah tentang kemanusiaan, moral, dan kesempatan kedua yang nggak semua orang berani ambil. Penasaran? Yuk, baca sampe habis!
Perjalanan Arga Dari Dosa ke Cahaya
Langkah yang Gentar di Tanah Asing
Malam mulai merayap di Desa Taman Sari. Cahaya lampu minyak berpendar dari rumah-rumah kayu sederhana, memberikan kehangatan di tengah udara yang mulai dingin. Aroma tanah basah masih terasa setelah hujan sore tadi. Beberapa anak berlarian di jalanan tanah, sementara orang-orang dewasa duduk di teras rumah mereka, bercakap-cakap setelah seharian bekerja di ladang.
Di ujung desa, seorang pria melangkah perlahan. Bajunya lusuh, celananya penuh debu, dan wajahnya terlihat letih. Pria itu—Arga—menyusuri jalanan desa dengan pandangan waspada. Bukan hanya karena tempat ini asing baginya, tapi juga karena tatapan orang-orang yang mengarah padanya penuh kecurigaan.
“Kamu lihat orang itu?” bisik seorang ibu kepada suaminya.
“Kayaknya bukan orang sini,” jawab suaminya, matanya tak lepas dari sosok Arga yang berjalan seperti bayangan di antara cahaya lampu-lampu rumah.
Arga tak peduli. Kakinya terus melangkah, meski terasa semakin berat. Perutnya kosong sejak pagi, tubuhnya terasa lemah, dan kepalanya berputar karena kelelahan. Ia hanya butuh tempat untuk duduk sebentar. Namun, di mana? Setiap rumah di desa ini tampak tertutup bagi orang asing sepertinya.
Langkahnya akhirnya membawanya ke sebuah bengkel kayu yang tak begitu besar. Di sana, seorang lelaki tua duduk di bangku panjang, sibuk menghaluskan sepotong kayu dengan telaten. Cahaya lampu minyak di sampingnya menerangi wajahnya yang penuh keriput tapi terlihat damai.
Pak Ramelan mengangkat kepalanya begitu menyadari ada seseorang berdiri di depan bengkelnya. Ia memandang Arga dengan sorot mata yang berbeda dari orang-orang desa tadi. Bukan curiga, bukan takut, tapi seolah ia melihat sesuatu yang orang lain tak lihat.
“Kamu capek, ya?” tanyanya pelan.
Arga mengangkat wajahnya, sedikit terkejut. Ia tak langsung menjawab, hanya menatap lelaki tua itu yang kini menghentikan pekerjaannya.
“Kursinya kosong. Kalau kaki kamu pegal, duduk aja,” lanjut Pak Ramelan.
Arga akhirnya menurut. Ia duduk di bangku panjang itu, merasa tubuhnya sedikit lebih ringan.
Pak Ramelan kembali menghaluskan kayunya. Tak ada suara selama beberapa saat selain gesekan kayu yang terdengar ritmis. Lalu, tanpa mengalihkan pandangannya dari pekerjaannya, Pak Ramelan bertanya lagi, “Sudah makan?”
Arga menggeleng. “Belum.”
Pak Ramelan menghela napas, lalu meletakkan kayunya. Ia berdiri, berjalan ke dalam rumahnya yang berdinding kayu, lalu kembali dengan sepiring nasi dan lauk sederhana. Ia menyerahkannya pada Arga.
“Makan aja dulu. Kamu kelihatan lelah.”
Arga menatap piring itu dengan ragu. Orang-orang desa tadi bahkan enggan mendekatinya, tapi lelaki tua ini… begitu saja memberikan makanan padanya?
“Kamu takut aku bakal minta imbalan?” tanya Pak Ramelan sambil tertawa kecil. “Makan aja. Perut kosong nggak baik buat pikiran.”
Akhirnya, Arga menerima piring itu dan mulai makan. Setiap suapan terasa begitu nikmat, seolah ia baru pertama kali merasakan nasi setelah sekian lama.
Pak Ramelan kembali duduk dan melanjutkan pekerjaannya. Ia tidak bertanya dari mana Arga berasal, tidak meminta penjelasan kenapa ia ada di desa ini. Ia hanya membiarkan Arga makan dengan tenang.
Setelah beberapa saat, Arga akhirnya bersuara. “Kenapa kamu nolong aku?”
Pak Ramelan tersenyum, tanpa mengalihkan pandangannya dari kayunya. “Kenapa enggak?”
Arga terdiam. Ia sudah terbiasa dengan tatapan penuh curiga, dengan orang-orang yang menghindarinya. Tapi kali ini, ada sesuatu yang berbeda.
“Kamu punya tempat tinggal?” tanya Pak Ramelan.
Arga menggeleng lagi.
Pak Ramelan menghela napas. “Kalau kamu nggak keberatan tidur di lantai kayu, kamu bisa tinggal di sini untuk sementara.”
Mata Arga melebar. “Serius?”
Pak Ramelan terkekeh. “Ya. Tapi ada syaratnya.”
Arga langsung waspada. Tentu saja. Tidak mungkin ada orang yang benar-benar menolong tanpa menginginkan sesuatu.
“Apa?” tanyanya hati-hati.
“Kamu harus bantu aku kerja di bengkel.”
Arga terdiam. Itu syarat yang… sangat sederhana. Ia mengangguk pelan. “Aku bisa.”
Pak Ramelan tersenyum puas. “Bagus. Besok pagi kita mulai.”
Arga menatap lelaki tua itu sekali lagi. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa sedikit lebih ringan. Tidak sepenuhnya aman, tidak sepenuhnya percaya diri, tapi… setidaknya untuk malam ini, ia tahu bahwa ia tidak harus sendirian.
Namun, di balik kehangatan ini, ada sesuatu yang menanti di balik gelapnya malam. Arga belum tahu, tapi orang-orang desa takkan tinggal diam. Dan kebaikan Pak Ramelan bukanlah sesuatu yang bisa diterima semua orang dengan mudah.
Malam itu, dari sudut-sudut desa, beberapa pasang mata masih memandang ke arah bengkel kayu itu dengan tatapan penuh tanya.
Tangan Tua yang Menyambut
Pagi di Desa Taman Sari selalu dimulai dengan suara ayam berkokok dan langkah-langkah orang menuju ladang. Kabut tipis masih menggantung di antara pepohonan, sementara embun berkilauan di atas daun-daun pisang. Di bengkel kayu kecil di ujung desa, Arga terbangun dengan punggung kaku dan kepala berat.
Ia bangkit perlahan dari lantai kayu tempatnya tidur semalam. Tidak nyaman, tapi jauh lebih baik daripada malam-malam sebelumnya. Bau kopi dan suara kayu dipotong menyelinap ke dalam penciumannya. Dari balik pintu yang sedikit terbuka, ia melihat Pak Ramelan sudah duduk di bangku panjang, sibuk dengan kayu-kayu yang akan diolahnya.
“Kamu tidur nyenyak?” suara berat lelaki tua itu terdengar sebelum Arga sempat melangkah keluar.
Arga mengucek matanya. “Lumayan.”
Pak Ramelan tersenyum kecil tanpa mengalihkan perhatiannya dari pekerjaannya. “Kalau udah siap, cuci muka dulu. Air ada di belakang rumah.”
Arga menurut. Ia berjalan ke belakang rumah kecil itu, menemukan sebuah kendi besar berisi air. Begitu air dingin menyentuh wajahnya, kesadarannya perlahan pulih.
Saat kembali, Pak Ramelan sudah menyiapkan segelas kopi dan sepotong ubi rebus di meja kayu. “Makan dulu sebelum mulai kerja,” katanya santai.
Arga tidak membantah. Perutnya memang kosong. Ia duduk, mengambil ubi dan menggigitnya perlahan.
“Mulai hari ini, kamu bantu aku di bengkel,” Pak Ramelan berbicara sambil tetap sibuk dengan kayunya. “Nggak susah. Kamu tinggal bantu amplas, potong kalau aku suruh, dan sesekali anterin pesanan.”
Arga mengangguk. “Oke.”
Pak Ramelan meliriknya. “Kamu ini nggak banyak nanya, ya?”
Arga mengangkat bahu. “Kalau aku kebanyakan nanya, aku nggak bakal dikasih makan.”
Pak Ramelan terkekeh pelan. “Mungkin itu yang bikin kamu bertahan hidup sampai sekarang.”
Arga diam. Ia tidak tahu harus merespons apa. Ia memang sudah terbiasa hidup dengan kewaspadaan, berpindah dari satu tempat ke tempat lain, selalu dihantui ketakutan akan diusir atau diperlakukan seperti sampah. Tapi di sini… ada sesuatu yang berbeda.
Tapi apakah ini benar-benar bisa bertahan?
Siang menjelang ketika seorang pria bertubuh kekar dengan wajah garang datang ke bengkel. Bajunya basah oleh keringat, matanya menyorot tajam ke arah Arga yang sedang menghaluskan kayu.
“Pak Ramelan,” pria itu bersuara keras.
Pak Ramelan menoleh sambil tersenyum ramah. “Wah, Darma. Ada apa?”
Pria bernama Darma itu menatap Arga dengan pandangan tajam sebelum beralih ke Pak Ramelan. “Orang ini siapa?”
Pak Ramelan tetap tenang. “Namanya Arga. Dia bantu-bantu di sini.”
Darma mendengus, melipat tangannya di depan dada. “Dari mana dia?”
Arga yang sejak tadi diam mulai merasa tak nyaman. Ia sudah terbiasa dengan pertanyaan semacam ini, tapi tetap saja, setiap kali ditanya, rasanya seperti pisau yang menusuk perlahan.
“Arga, jawab,” kata Darma lebih keras.
Pak Ramelan berdiri, menepuk bahu Arga dengan ringan sebelum menatap Darma. “Aku yang bawa dia ke sini, Darma. Kalau kamu ada masalah, tanyakan ke aku, bukan ke dia.”
Darma menyipitkan mata, jelas tak puas. “Kita nggak tahu dia siapa, Pak. Bisa aja dia bawa masalah ke desa.”
Pak Ramelan menghela napas. “Aku udah tua, Darma. Kalau aku salah menilai orang, aku yang tanggung jawab.”
Darma masih menatap tajam, tapi tak berkata apa-apa lagi. Akhirnya, ia mendengus dan melangkah pergi. Tapi sebelum benar-benar keluar, ia berbisik ke Arga dengan suara rendah, cukup untuk hanya didengar oleh mereka berdua.
“Aku bakal awasi kamu.”
Arga tidak menjawab. Ia hanya diam, menunggu hingga Darma benar-benar pergi sebelum melirik Pak Ramelan.
“Dia ketua pemuda di sini,” Pak Ramelan menjelaskan sambil kembali ke pekerjaannya. “Keras kepala, tapi hatinya nggak sekeras kelihatannya.”
Arga tidak yakin. Ia tahu tatapan orang yang menyimpan curiga.
Dan Darma? Tatapannya bukan hanya curiga. Itu tatapan seseorang yang siap menyingkirkannya jika perlu.
Mungkin Pak Ramelan sudah memberikan tempat untuknya. Tapi desa ini belum tentu siap menerimanya.
Luka Lama yang Terbuka
Sejak pertemuannya dengan Darma, Arga mulai merasakan tatapan-tatapan lain yang lebih tajam dari sebelumnya. Warga desa yang sebelumnya hanya sekadar menoleh kini memperhatikannya lebih lama. Beberapa orang berbisik saat ia lewat, sementara yang lain hanya memandang dengan penuh waspada.
Di bengkel kayu, Arga tetap melakukan pekerjaannya seperti biasa. Ia belajar menghaluskan kayu, memotong sesuai pola, dan sesekali mengantar pesanan. Pak Ramelan tidak pernah membahas kejadian kemarin, seolah-olah tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Tapi Arga tahu, di luar sana, orang-orang masih menimbang-nimbang keberadaannya.
Dan Darma?
Pria itu memang belum muncul lagi, tapi Arga tahu dia masih mengawasinya dari jauh.
Suatu sore, Arga mendapat tugas untuk mengantar pesanan kursi ke rumah Bu Sari, seorang janda tua yang tinggal di ujung desa. Dengan gerobak kayu kecil, ia berjalan menyusuri jalan tanah yang mulai mengering setelah hujan semalam.
Setibanya di rumah Bu Sari, ia mengetuk pintu dan menunggu. Tak lama, seorang wanita tua dengan tubuh kecil dan rambut perak muncul dari balik pintu.
“Kursinya udah selesai, Bu,” kata Arga, meletakkan kursi kayu itu di teras.
Bu Sari tersenyum tipis, tapi matanya memandang Arga dengan sedikit keraguan. Ia tidak langsung berbicara, hanya mengangguk dan merogoh sakunya untuk mengambil beberapa lembar uang.
“Kamu dari mana, Nak?” tanyanya tiba-tiba saat menyerahkan uang itu.
Arga menerima uang itu dengan tenang. Pertanyaan itu bukan yang pertama kali ia dengar.
“Dari tempat yang jauh, Bu,” jawabnya singkat.
Bu Sari menatapnya dalam-dalam. “Kamu lari dari sesuatu?”
Arga diam. Entah kenapa, pertanyaan itu terasa lebih tajam daripada yang sebelumnya.
“Masa lalu itu seperti bayangan, Nak,” lanjut Bu Sari dengan suara lembut. “Semakin kamu lari, semakin dia mengejar.”
Arga menunduk. Ia tidak tahu harus berkata apa.
Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar dari arah jalan. Arga menoleh dan mendapati Darma berdiri di dekat pagar, menatapnya dengan ekspresi yang sulit ditebak.
“Pak Ramelan nyariin kamu,” kata Darma akhirnya.
Arga mengangguk, memberi salam pada Bu Sari, lalu pergi tanpa berkata apa-apa lagi. Tapi ia bisa merasakan tatapan Darma di punggungnya.
Tatapan yang seolah berkata, Aku tahu kau menyembunyikan sesuatu.
Di bengkel, Arga menemukan Pak Ramelan sedang duduk di bangku panjang dengan secangkir teh di tangannya.
“Darma ketemu kamu?” tanyanya begitu Arga masuk.
Arga mengangguk. “Katanya Bapak nyariin aku.”
Pak Ramelan tersenyum kecil. “Nggak juga. Aku cuma bilang ke dia kalau kamu lagi antar pesanan.”
Arga menghela napas pelan. Ia tahu Darma hanya mencari alasan untuk mengawasinya.
Pak Ramelan meletakkan cangkirnya dan menatap Arga dengan penuh arti. “Aku tahu Darma keras. Tapi kalau dia nggak peduli, dia nggak bakal repot-repot mengawasimu.”
Arga mendengus pelan. “Kalau itu bentuk kepedulian, aku lebih milih dia nggak peduli.”
Pak Ramelan tertawa kecil. “Manusia nggak sehitam dan seputih itu, Nak. Kadang, orang yang paling keras pada kita, justru yang paling peduli.”
Arga tidak menjawab. Ia tidak tahu apakah kata-kata itu benar atau hanya cara Pak Ramelan untuk membuatnya merasa lebih baik.
Tapi satu hal yang pasti—di desa ini, masa lalunya bukan sesuatu yang bisa ia sembunyikan selamanya.
Cahaya di Ujung Jalan
Malam itu, Arga tidak bisa tidur. Ia berbaring di ranjang kayu di sudut bengkel, menatap langit-langit yang remang-remang diterangi cahaya lampu minyak. Kata-kata Bu Sari dan Pak Ramelan terus bergema di kepalanya.
Masa lalu itu seperti bayangan… Semakin kamu lari, semakin dia mengejar.
Kelelahan yang selama ini ia rasakan bukan hanya karena kerja keras, tapi karena ia terus-menerus berlari dari sesuatu yang ia sendiri takut untuk hadapi.
Lalu, terdengar suara langkah kaki di luar. Arga segera bangun dan mengintip lewat celah dinding.
Darma berdiri di sana, bersandar di pagar dengan tatapan menerawang.
Arga menarik napas dalam, lalu keluar menemui pria itu.
“Belum tidur?” tanya Arga, berusaha terdengar biasa saja.
Darma melirik sekilas. “Harusnya aku yang nanya begitu ke kamu.”
Mereka terdiam sejenak. Angin malam bertiup lembut, membawa aroma tanah basah.
“Kamu mau tanya sesuatu, kan?” kata Arga akhirnya.
Darma menatapnya lekat-lekat. “Kenapa kamu ke desa ini?”
Arga menggigit bibir. Ia tahu cepat atau lambat pertanyaan itu akan muncul.
“Aku cuma mau hidup tenang,” jawabnya singkat.
“Tenang?” Darma terkekeh sinis. “Orang yang benar-benar tenang nggak bakal selalu lihat ke belakang seperti kamu.”
Arga terdiam.
“Kamu lari dari apa, Arga?” lanjut Darma.
Arga mengepalkan tangannya. “Aku lari dari diri sendiri.”
Darma tidak menyela, memberi Arga waktu untuk bicara.
“Aku… dulu pernah melakukan kesalahan besar,” suara Arga hampir berbisik. “Dan aku pikir, kalau aku pergi sejauh mungkin, semua itu akan hilang.”
Darma masih diam, menunggu.
“Tapi ternyata nggak. Rasa bersalah itu terus ngikutin aku.” Arga menatap Darma dengan mata lelah. “Aku capek.”
Darma menghela napas panjang. “Arga… semua orang punya masa lalu. Ada yang buruk, ada yang lebih buruk. Tapi lari nggak akan pernah jadi solusi.”
Arga menunduk. Ia tahu Darma benar.
“Dulu aku juga pernah lari,” lanjut Darma. “Tapi akhirnya aku sadar, satu-satunya cara untuk benar-benar bebas adalah menghadapi apa yang kita takuti.”
Arga mengangkat wajah, menatap Darma dengan bingung.
Darma tersenyum tipis. “Besok, kita ke balai desa. Kamu ceritakan semuanya ke Pak Kepala Desa.”
Arga terkejut. “Tapi—”
“Nggak ada tapi.” Darma menepuk pundaknya. “Nggak semua orang akan menerima kamu dengan mudah. Tapi mereka pantas tahu kebenarannya. Dan kamu pantas dapat kesempatan baru.”
Arga terdiam lama.
Lalu, untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia mengangguk.
Esok harinya, Arga berdiri di balai desa bersama Pak Ramelan dan Darma. Beberapa warga berkumpul, termasuk Bu Sari.
Dengan suara bergetar, Arga mulai bercerita. Tentang kesalahan yang ia lakukan, tentang penyesalan yang menghantuinya, dan tentang keinginannya untuk memperbaiki segalanya.
Saat ia selesai, tak ada yang langsung berbicara.
Pak Kepala Desa menatapnya lama sebelum akhirnya berkata, “Kita nggak bisa menghapus masa lalu, Nak. Tapi kita selalu bisa memilih jalan di masa depan.”
Beberapa warga masih tampak ragu, tapi Pak Ramelan, Darma, dan Bu Sari berdiri di sisinya. Dan itu sudah cukup bagi Arga.
Hari itu, untuk pertama kalinya, ia merasa benar-benar berhenti berlari.
Dan untuk pertama kalinya, ia melihat cahaya di ujung jalan yang selama ini terasa gelap.
Hidup tuh emang nggak segampang muter lagu favorit di playlist. Kadang, kita harus berhenti, mundur sebentar, dan berani hadapi apa yang selama ini kita takutin.
Arga udah buktiin kalau masa lalu nggak bisa dihapus, tapi bisa jadi batu loncatan buat sesuatu yang lebih baik. Dan siapa tahu, mungkin kita juga perlu berhenti lari dan mulai berdamai sama diri sendiri?


