Peristiwa Alam Banjir di Sekolah: Bagaimana Sampah Bisa Menjadi Bencana dan Mengubah Kesadaran Kita

Posted on

Pernahkah kamu berpikir, selembar plastik yang kamu buang sembarangan bisa jadi pemicu bencana besar? Cerita tentang banjir di sekolah ini bukan hanya sekadar kisah bencana alam, tapi juga teguran keras dari alam yang menunjukkan betapa pentingnya menjaga lingkungan.

Dalam artikel ini, kita akan bahas bagaimana banjir besar di sekitar sekolah terjadi karena sampah yang terabaikan, dan bagaimana kejadian ini akhirnya membuka mata banyak orang untuk mulai peduli terhadap kebersihan. Penasaran? Yuk, simak ceritanya yang penuh makna dan pelajaran penting!

 

Peristiwa Alam Banjir di Sekolah

Langit yang Memendam Amarah

Pagi itu datang dengan cara yang ganjil. Bukannya hangat sinar matahari seperti biasanya, langit justru menggantung gelap, penuh awan kelabu yang menutupi birunya langit seperti tirai murung. Angin bertiup pelan namun dingin, membawa aroma tanah basah padahal hujan belum juga turun. Di balik pagar sekolah Menengah Cipta Karya, suasana terasa berat, semacam ketegangan yang tidak bisa dijelaskan hanya dengan cuaca.

Di lapangan sekolah, beberapa siswa berkumpul menunggu bel masuk. Di antara mereka, ada dua orang yang terlihat asyik berbicara.
“Langitnya aneh ya, Ren. Kayak marah gitu,” ucap Gatra, seorang siswa kelas sembilan dengan rambut sedikit acak dan tas selempang lusuh.
“Emang kamu pikir langit bisa marah?” balas Renata sambil mengikat rambutnya, nada suaranya terdengar setengah menggoda.
“Bisa aja sih. Alam kan punya caranya sendiri buat ngasih kode ke manusia,” sahut Gatra, menatap langit seperti sedang mencari jawaban.

Mereka tidak sadar, di dekat taman kecil sekolah, selokan yang biasanya mengalir lancar justru terlihat penuh dengan sampah. Plastik pembungkus makanan, botol minuman, bahkan potongan kardus tersangkut di sana. Pemandangan seperti itu sudah biasa bagi warga sekolah, tapi tidak pernah benar-benar diperhatikan. Mereka sudah terlalu terbiasa melihatnya.

Pak Dwi, guru IPA yang sudah mengajar di sekolah itu hampir dua puluh tahun, berdiri di depan ruang guru sambil mengamati selokan tersebut. Wajahnya menyiratkan kegelisahan.
“Ini bukan cuma soal sampah numpuk,” gumamnya pelan. “Udara, langit, semuanya terasa nggak beres hari ini.”

Jam pelajaran pun dimulai. Suasana kelas berjalan seperti biasa, meski beberapa siswa tampak gelisah. Di ruang kelas 9C, angin dari jendela terbuka meniupkan hawa lembab yang membuat kertas-kertas di meja berkibar pelan. Dari dalam ruangan, suara denting logam dari tukang bangunan yang sedang memperbaiki atap aula masih terdengar samar.

Waktu istirahat tiba, dan siswa kembali berhamburan ke luar kelas. Namun kali ini, langit semakin pekat. Daun-daun dari pohon mahoni di halaman mulai berjatuhan, tertiup angin yang kini bertiup lebih kencang.

“Kayaknya bentar lagi bakal hujan gede,” kata Fahri sambil menatap ke atas, wajahnya tampak cemas.
“Yakin cuma hujan?” Risa, teman sekelasnya, ikut melihat ke arah yang sama.
“Kamu denger nggak suara petirnya tadi? Tapi nggak ada kilat sama sekali,” tambah Gatra yang tiba-tiba muncul dari belakang mereka.
“Kayak… suara dari perut bumi,” timpal Risa dengan nada bercanda tapi matanya serius.

Di kantin sekolah, para penjual mulai bersiap-siap menutup jualannya lebih cepat. Langit kini bukan hanya gelap, tapi menghitam. Seorang penjaga sekolah, Pak Darmo, berlari kecil menuju ruang guru sambil membawa kabar dari luar pagar.
“Pak Dwi! Saluran air di depan sekolah mulai meluap. Airnya keruh, sama kayak waktu banjir dua tahun lalu!” katanya dengan napas tersengal.

Pak Dwi langsung bangkit dari kursinya. Dia tahu, kejadian dua tahun lalu adalah salah satu bencana lokal yang cukup parah. Tapi waktu itu masih ada waktu untuk bersiap. Sekarang, tanda-tandanya datang lebih cepat.

“Tolong suruh siswa jangan keluar gedung dulu. Suruh tetap di kelas!” ucapnya cepat.

Sementara itu, suara guruh menggema, kali ini lebih dekat. Dahan pohon mahoni yang sudah rapuh patah dan jatuh tepat di belakang bangunan perpustakaan. Suara jatuhnya mengagetkan semua orang.

Di kelas 9C, suasana mulai berubah jadi cemas.
“Eh… ini serius nggak sih? Kenapa tiba-tiba kayak mau kiamat gini?” ucap salah satu siswa dengan nada panik.
“Tenang. Kita di lantai dua. Aman lah,” jawab Fahri, meskipun nada suaranya terdengar seperti menenangkan diri sendiri.

Tak lama, hujan mulai turun. Tapi bukan hujan biasa. Butiran airnya besar dan deras, seperti dipompa dari langit. Dalam lima menit saja, halaman sekolah sudah tergenang. Selokan yang penuh sampah tak bisa menampung air, dan genangan itu mulai meluas, masuk ke area parkir sepeda, lalu perlahan menyentuh lantai ruang OSIS.

Di balik jendela, siswa-siswa menatap dengan mata membelalak. Air datang bukan pelan-pelan, tapi menyerbu. Bersama alirannya, sampah-sampah yang terbawa seperti parade kesalahan yang selama ini diabaikan.

“Aku nggak ngerti, ini kenapa bisa secepat ini,” kata Renata pelan sambil menatap air yang kini menggenang hingga setinggi lutut di luar gedung.
“Karena kita yang bikin. Kita yang nyampah sembarangan, terus cuek aja,” jawab Gatra sambil menggigit bibirnya, kesal sendiri.
“Kamu pikir ini teguran?”
“Bukan cuma teguran. Ini peringatan keras.”

Dan di tengah derasnya hujan, alam yang selama ini diam akhirnya berbicara dengan suara paling keras yang bisa ia berikan.

Air yang Datang Membawa Teguran

Derasnya hujan masih belum berhenti. Air yang mengalir dari selokan dan jalanan luar kini telah menerobos masuk ke dalam gedung sekolah. Bagian teras kelas dan koridor mulai digenangi hingga mata kaki. Para guru yang semula tampak tenang, mulai sibuk memberi instruksi. Suara Pak Dwi terdengar nyaring memecah kepanikan, membimbing siswa-siswa menuju lantai dua gedung utama.

“Semua naik! Cepat ke atas, jangan berisik! Jangan berlarian juga!” serunya dengan suara berat yang tak terbantahkan.

Langkah kaki tergesa memenuhi tangga, anak-anak menggandeng satu sama lain, beberapa terlihat menangis, sebagian lagi mencoba menyembunyikan ketakutannya di balik gurauan palsu. Di antara keramaian itu, Gatra menggenggam tangan Renata, menariknya ke atas sebelum air bisa menyentuh bagian bawah roknya.

“Untung kamu narik aku,” gumam Renata dengan napas berat.

“Kamu juga jangan diem aja. Kita harus bantu yang lain juga kalau bisa.”

Sesampainya di lantai dua, mereka semua berkumpul di aula kecil di ujung koridor. Dari jendela besar di dinding selatan, pemandangan halaman sekolah kini berubah total. Air sudah mencapai setengah tinggi tiang bendera. Meja-meja kantin yang tak sempat diselamatkan kini mengambang tak tentu arah, bersama plastik, bungkus makanan, botol air mineral, bahkan sendal-sendal murid yang mungkin terlepas saat mereka panik tadi.

Salah satu guru muda, Bu Indri, menatap pemandangan itu sambil menutup mulutnya. “Ini… ini nggak masuk akal. Baru sejam lebih dikit…”

Pak Dwi berdiri tak jauh dari jendela, tangan kirinya bersedekap, sementara tangan kanan memegang telepon genggam yang tak juga mendapat sinyal. Raut wajahnya penuh beban. Tatapannya menembus hujan, seolah mencari jawaban dari kekacauan yang tak terduga ini.

“Ini bukan banjir biasa,” katanya pelan, lebih seperti gumaman kepada dirinya sendiri.

“Hah? Maksudnya Pak?” tanya Bu Indri yang mendengarnya.

“Sistem drainase sekolah ini memang sudah tua. Tapi bukan itu masalah utamanya. Sampah yang nyumbat saluran air… lihat tuh,” ia menunjuk ke arah selokan di pinggir pagar. Terlihat tumpukan besar plastik dan kotoran lain menumpuk di sana, membentuk bendungan buatan yang menyumbat seluruh aliran keluar. “Air yang seharusnya masuk ke sungai jadi nyari jalur lain. Dan sekolah ini jalur tercepatnya.”

Di ujung aula, beberapa murid berkumpul, ada yang berdoa dalam hati, ada pula yang mulai bertanya-tanya soal rumah mereka. Apakah banjir ini hanya terjadi di sekolah, atau sudah menyebar ke luar?

Rina, seorang siswi yang terkenal vokal di kelas, menoleh ke Gatra yang duduk bersandar pada dinding. “Gat… kamu yakin ini semua karena sampah?” tanyanya pelan.

Gatra mengangguk pelan. “Kamu pikir kenapa air segini banyak nggak ngalir ke sungai kayak biasa? Liat aja tuh… semua sampah kayak numpuk jadi bendungan. Kayak… karma instan.”

Renata ikut menimpali, “Kita semua selama ini terlalu cuek. Ngeliat orang buang sampah sembarangan, tapi kita diem. Kadang kita sendiri juga ngelakuin hal yang sama.”

Mereka semua terdiam. Hanya suara rintik hujan dan gelegar petir dari kejauhan yang mengisi keheningan. Di sela keheningan itu, terdengar suara tangisan dari sudut aula. Seorang anak kelas tujuh menangis, ketakutan, memeluk lututnya. Teman-temannya mencoba menenangkan, tapi wajah mereka sendiri penuh kecemasan.

“Semua ini… kayak alam lagi marah sama kita ya,” bisik Rina.

Pak Dwi yang masih berdiri di dekat jendela berbalik menghadap ke seluruh siswa. Wajahnya kini terlihat lebih tenang, tapi suara yang keluar dari mulutnya terdengar tegas dan berat.

“Kalian tahu kenapa ini bisa terjadi? Karena kita semua lupa. Lupa bahwa bumi ini bukan tempat buangan. Lupa kalau yang kecil-kecil, seperti selembar plastik, bisa jadi bencana besar kalau kita biarkan.”

Semua mata menatap Pak Dwi. Tidak ada yang menyela. Tidak ada suara bercanda. Bahkan Renata yang biasanya cerewet pun kini hanya menunduk.

“Kalian lihat air itu?” lanjutnya sambil menunjuk genangan di halaman. “Itu bukan cuma air. Itu cermin. Cermin dari kebiasaan buruk kita. Dari kurangnya tanggung jawab kita. Dari diamnya kita waktu ada yang buang sampah sembarangan. Alam tidak pernah lupa, dan hari ini dia bicara dengan cara yang paling lantang.”

Petir kembali menggelegar. Getarannya sampai ke lantai. Sebagian siswa spontan menutup telinga. Tapi bukan hanya petir yang membuat mereka menggigil—kata-kata Pak Dwi jauh lebih dalam daripada bunyi guntur di langit.

Beberapa jam berlalu. Hujan perlahan mereda, tapi air masih bertahan. Suasana aula mulai hening. Para guru mulai mengatur kelompok untuk membantu mengecek kondisi sekolah sambil menunggu bantuan dari BPBD yang belum juga datang. Makanan mulai dibagikan dari kantin yang untungnya masih menyisakan stok kering. Siswa diminta untuk tetap tenang dan tidak pulang sebelum keadaan benar-benar aman.

Di sudut aula, Gatra menatap plastik yang menempel di dinding luar jendela, tertiup angin.
“Kamu lihat itu?” bisiknya ke Renata.
Renata mengangguk.
“Sekecil itu, tapi sekarang kita semua harus tidur di sini karena ulahnya,” lanjutnya.

Renata menatap plastik itu lama-lama, lalu berkata lirih, “Mungkin ini cara alam buat ngajarin kita… dengan cara yang paling nyakitin.”

Dan malam itu pun turun, membawa keheningan yang tak biasa. Di tengah bangunan sekolah yang setengah terendam, para siswa, guru, dan pegawai sekolah terpaksa tinggal sementara, ditemani gemericik air dan bau lumpur yang mulai menyengat. Di balik segala ketakutan, ada satu perasaan yang mulai tumbuh—kesadaran.

Suara dari Air yang Mengamuk

Malam di sekolah itu terasa lebih panjang dari biasanya. Hujan yang sempat reda kini kembali mengguyur deras, tak ada tanda-tanda berhenti. Air yang menggenang di halaman sekolah terus mengalir, menabrak dinding dan menimbulkan suara gemuruh yang seolah-olah tak pernah ingin berhenti. Di dalam aula lantai dua, para siswa berkumpul, sebagian tidur dengan gelisah, sebagian lagi duduk terjaga, memandangi jendela besar yang menampilkan dunia luar yang tampak seperti lautan hitam, dipenuhi riak-riak air yang bergerak tak menentu.

Gatra duduk bersandar di pojok aula, tangan yang diselipkan di belakang kepala, menatap kosong ke langit-langit. Matanya tampak lelah, namun pikirannya terus berputar, mencari makna dari semua yang terjadi. Renata duduk di sampingnya, tubuhnya terbungkus selimut tipis yang disediakan oleh guru, tapi ekspresinya jauh dari tenang.

“Kamu masih mikirin itu ya?” tanya Renata, suaranya pelan, hampir tertutup oleh suara hujan yang tak kunjung reda.

“Maksudnya?” jawab Gatra tanpa menoleh.

“Alam marah, kan? Sampah yang bikin banjir ini,” Renata melanjutkan, mencoba menebak apa yang ada dalam benak Gatra.

Gatra mengangguk perlahan. “Iya. Tapi ada satu hal yang nggak bisa aku ilangin. Semua ini—semua yang terjadi—kenapa kita baru sadar sekarang? Kenapa kita nggak pernah mikir kalau setiap sampah yang kita buang sembarangan itu bisa jadi bencana besar?”

Renata menarik napas panjang. “Mungkin karena kita selalu merasa itu masalah orang lain, bukan masalah kita.”

Itu benar. Semua orang tahu bahwa membuang sampah sembarangan itu salah, tapi kebanyakan dari mereka memilih untuk tidak peduli. Mereka merasa kalau itu hanya selembar plastik, hanya sebatang rokok yang dibuang sembarangan, hanya satu botol air yang terbuang ke selokan. Semua itu terasa terlalu kecil untuk memengaruhi dunia. Tapi yang tidak mereka tahu adalah, ketika ribuan orang berpikir sama, hasilnya menjadi bencana besar yang sulit dibendung.

Pak Dwi yang sejak tadi duduk di meja guru, menatap keluar jendela dengan tatapan kosong, akhirnya berdiri. Matanya terlihat penuh kelelahan, namun ada ketegasan di dalamnya. “Kalian tahu, ini bukan cuma masalah sekolah atau kota ini saja. Ini adalah masalah kita semua. Ini bukan hanya tentang banjir yang merendam halaman sekolah, tapi juga tentang kebiasaan buruk yang mengalir dalam kehidupan kita sehari-hari.”

Pak Dwi berjalan ke tengah aula, menarik perhatian semua yang hadir. “Lihat, kita semua sering merasa aman dengan rutinitas kita. Kita buang sampah sembarangan, kita rusak alam, kita buang sumber daya tanpa pikir panjang. Semua itu terkumpul, dan hari ini, kita melihat hasilnya. Kita mendengar suara alam yang mengamuk. Tapi suara itu juga berbisik pada kita, memberitahukan bahwa ini waktunya berubah.”

Suasana di aula semakin hening, seiring kata-kata Pak Dwi yang meresap ke dalam hati semua orang. Tidak ada lagi tawa canda seperti sebelumnya, tak ada lagi ketidakpedulian. Ada perasaan berat, perasaan yang membuat setiap orang berpikir panjang tentang apa yang sudah mereka lakukan terhadap lingkungan mereka.

“Tapi, Pak, bagaimana kita bisa memperbaiki semuanya?” tanya Rina, yang duduk di barisan depan. Wajahnya serius, matanya menatap Pak Dwi dengan penuh harap.

Pak Dwi tersenyum, walaupun senyumnya sedikit pahit. “Mulailah dengan diri kalian sendiri. Jangan lagi buang sampah sembarangan, jangan biarkan kebiasaan buruk terus berlanjut. Kalian adalah generasi yang bisa mengubah ini. Jangan tunggu alam terus berteriak seperti ini.”

Renata yang mendengar itu, merasa ada sesuatu yang bergetar di dalam dirinya. Dia menyadari bahwa meskipun dunia terasa besar dan penuh dengan masalah yang tampak tak terpecahkan, semua perubahan besar dimulai dari langkah kecil. Langkah yang bisa dimulai oleh setiap individu, bahkan oleh dirinya sendiri.

Dengan perlahan, dia bangkit dari tempat duduknya dan berjalan mendekati jendela besar. Pandangannya tertuju pada halaman yang masih digenangi air. Di sana, sampah-sampah plastik dan barang-barang bekas terapung di permukaan air, bergerak mengikuti aliran yang terus mengalir. Hatinya terasa sesak melihatnya. Ternyata, air yang menggenang ini bukan hanya tentang banjir fisik, tetapi juga banjir moral yang selama ini dia abaikan.

“Semua ini…” Renata berbicara pelan, seolah kepada dirinya sendiri, “bisa kita hentikan dari sekarang. Kalau kita mau.”

Gatra yang mendengar itu hanya tersenyum tipis. “Kita akan mulai dari diri kita, Ren.”

Setelah malam yang panjang, pagi akhirnya datang dengan sinar matahari yang tembus di balik awan gelap. Meski hujan tak sepenuhnya berhenti, namun keheningan pagi itu membawa sedikit harapan. Di luar, air mulai surut, meninggalkan genangan-genangan kecil di mana-mana. Di halaman sekolah, sampah-sampah yang sebelumnya hanyut terbawa arus kini hanya tersisa di sudut-sudut yang sulit dijangkau.

Pak Dwi dan beberapa guru mulai mengevakuasi barang-barang yang terendam, sementara siswa-siswa diminta untuk membantu membersihkan sisa-sisa yang tertinggal. Sebagian besar siswa merasa canggung, tidak tahu harus mulai dari mana, tapi ada semangat yang tak terbendung untuk segera melakukan sesuatu. Gatra dan Renata, bersama beberapa teman sekelasnya, mulai mengumpulkan sampah yang tersebar di halaman.

“Ternyata, mengumpulkan sampah itu nggak segampang ngomong,” kata Renata sambil memungut botol plastik yang terdampar di sudut halaman.

“Tapi, kalau nggak kita yang mulai, siapa lagi?” jawab Gatra, seraya melanjutkan membersihkan sekitar.

Mereka tahu bahwa perjalanan ini baru dimulai. Mungkin hari ini mereka bisa membersihkan halaman sekolah, tapi tugas mereka jauh lebih besar daripada itu. Tugas mereka adalah mengubah kebiasaan buruk yang sudah mendarah daging, mulai dari diri mereka sendiri.

Dan dengan itu, sebuah perubahan kecil pun mulai terjadi—di dalam sekolah, di dalam hati setiap siswa yang kini menyadari bahwa alam tidak pernah berhenti memberi peringatan. Alam hanya menunggu waktu untuk berbicara, dan hari ini, suara itu begitu jelas.

Setelah Banjir, Sebuah Kesadaran Baru

Pagi itu, matahari yang tadinya malu-malu muncul di balik awan, kini sepenuhnya menerangi halaman sekolah yang masih tergenang. Air yang semalam begitu menakutkan kini tampak lebih tenang, meskipun genangannya masih ada, meninggalkan jejak-jejak kotoran dan sampah yang terhempas oleh arus deras. Sekolah Menengah Cipta Karya seperti terbangun dari mimpi buruk, namun ada sesuatu yang berbeda dari hari-hari sebelumnya.

Di tengah halaman, para siswa mulai bekerja bersama-sama, memungut sampah yang terjebak di sekitar bangunan. Mereka tidak lagi terburu-buru atau merasa jijik. Ada rasa tanggung jawab yang lebih besar di dalam diri mereka. Setiap sampah yang dipungut terasa seperti beban yang dilepaskan, bukan hanya untuk lingkungan, tetapi juga untuk diri mereka sendiri.

Renata dan Gatra berdiri di dekat selokan besar yang meluap semalam. Selokan itu kini tampak lebih bersih, meski masih ada beberapa sampah yang terjebak di dalamnya. Mereka berdua menatapnya dengan serius. Tidak ada lagi obrolan kosong seperti sebelum kejadian. Hanya ada pekerjaan dan pemikiran yang lebih dalam.

“Kalau kita nggak mulai dari diri kita sendiri, siapa lagi?” Gatra bertanya sambil memungut sebuah botol plastik yang terdampar di pinggir selokan.

Renata mengangguk. “Iya, kita udah ngelakuin hal yang salah terlalu lama. Mungkin itu sebabnya banjir datang lebih cepat dari yang kita kira.”

Mereka kembali bekerja, mengangkat sampah yang terjebak di pinggiran sekolah dan mengumpulkannya dalam kantong besar. Beberapa siswa lain mulai ikut bergabung, dan suasana di sekolah yang tadinya cemas kini berubah menjadi penuh semangat. Setiap orang tampak sadar akan tanggung jawab mereka terhadap lingkungan yang sudah lama terabaikan.

Pak Dwi dan beberapa guru memantau dari kejauhan, tetapi mereka tak lagi memberikan instruksi yang keras. Mereka tahu, bahwa kali ini, para siswa sudah cukup dewasa untuk memahami apa yang harus mereka lakukan.

Di tengah kesibukan itu, Rina mendekati Gatra dan Renata. “Aku merasa… beda setelah kemarin malam,” ucapnya dengan suara pelan.

“Beda gimana?” tanya Gatra, berhenti sejenak untuk mendengarkan.

“Aku nggak cuma mikir tentang sekolah ini, tapi juga tentang rumahku. Kayaknya selama ini aku terlalu cuek sama sampah di sekitar rumah. Kemarin malam, waktu banjir itu, aku mulai mikir, apa yang aku lakukan selama ini? Itu bukan cuma soal sekolah. Itu soal dunia. Semua orang punya bagian dalam kerusakan ini.”

Renata tersenyum. “Itu dia, Rina. Kita semua punya bagian dalam menjaga atau merusak. Dan kayaknya sekarang kita udah sadar kalau apa yang kita lakuin itu nggak bisa dibiarkan lagi.”

Pak Dwi berjalan mendekat, melihat sekeliling dengan tatapan puas. “Kalian semua sudah melakukan langkah pertama yang sangat penting,” katanya, suara berat namun penuh kebanggaan. “Tapi ingat, ini baru permulaan. Mengubah kebiasaan itu bukan hal yang mudah. Sampah yang kalian kumpulkan hari ini hanya sedikit dari apa yang seharusnya kalian lakukan. Kalian harus terus menjaga kebersihan ini, bukan hanya di sini, tetapi juga di rumah, di lingkungan kalian, dan di seluruh kota.”

Para siswa saling bertukar pandang. Ada tekad yang tumbuh di antara mereka. Mereka tidak hanya ingin membersihkan sekolah, tetapi mereka ingin menjadi agen perubahan yang lebih besar—untuk lingkungan, untuk masyarakat, dan untuk dunia yang lebih baik.

“Sekarang kita harus mulai dengan cara yang lebih besar,” kata Gatra. “Bukan cuma bersihin sekolah, tapi ngajak orang di luar sana buat ikut. Kalau kita mulai, mungkin bisa nyebar ke banyak orang.”

Renata mengangguk. “Ayo, kita buat kampanye. Biar orang-orang tahu, kalau sampah itu bukan cuma masalah di sekitar kita, tapi masalah kita semua.”

Hari itu, selepas hujan yang mengguyur malam, suasana di sekolah benar-benar berubah. Setiap sudut halaman yang semula dipenuhi sampah kini mulai bersih. Walaupun masih ada genangan air, namun semangat para siswa untuk berubah telah mengalir lebih deras daripada air yang menenggelamkan halaman sekolah.

Di tengah kegiatan bersih-bersih itu, seorang petugas kebersihan dari luar sekolah datang membawa beberapa kantong sampah besar. Dia tersenyum melihat antusiasme para siswa yang bekerja keras. “Ini baru yang namanya semangat. Semoga yang lainnya bisa ikut juga.”

Tak lama setelah itu, BPBD datang untuk mengecek situasi dan mulai membersihkan area-area yang lebih luas di sekitar sekolah. Meskipun banjir yang melanda belum sepenuhnya surut, mereka bisa merasakan bahwa ada sesuatu yang berbeda dalam udara pagi itu—sesuatu yang lebih segar, lebih penuh harapan.

Siswa-siswa sekolah Menengah Cipta Karya tidak hanya mengubah sekolah mereka, tetapi juga dirinya sendiri. Mereka tahu bahwa kebiasaan buruk tidak bisa diubah dalam semalam, namun mereka sudah melangkah menuju perubahan. Setiap langkah yang mereka ambil, setiap sampah yang mereka buang pada tempatnya, adalah bukti nyata bahwa mereka tidak lagi menunggu alam untuk berbicara. Mereka telah mendengarkan pesannya.

Dan alam, yang sebelumnya marah, kini seolah tersenyum. Begitu juga dengan langit yang cerah, yang akhirnya kembali memancarkan sinarnya.

Tugas mereka belum selesai, tetapi langkah pertama yang mereka ambil adalah awal dari sebuah perjalanan panjang menuju masa depan yang lebih bersih, lebih hijau, dan lebih peduli.

Tamat

Peristiwa alam banjir yang terjadi di sekitar sekolah ini mengingatkan kita akan pentingnya kesadaran terhadap lingkungan. Setiap sampah yang kita buang sembarangan bukan hanya merusak alam, tetapi juga bisa berujung pada bencana besar.

Namun, dari kesalahan dan bencana itu, ada pelajaran berharga yang bisa kita ambil—bahwa perubahan dimulai dari diri kita sendiri. Mari jaga lingkungan kita, buang sampah pada tempatnya, dan mulai langkah kecil untuk masa depan yang lebih hijau. Jangan tunggu bencana datang untuk sadar, ayo bergerak sekarang juga!

Leave a Reply