Daftar Isi
Pernah nggak sih ngerasa kayak ngasih seluruh hati buat seseorang, tapi dia bahkan nggak sadar kalau kamu ada? Udah capek berjuang, tapi cuma dianggap angin lalu? Ini bukan soal cinta bertepuk sebelah tangan, ini lebih parah—cinta yang mati pelan-pelan karena cuma satu orang yang bertahan.
Cerita ini bakal nyentuh banget buat kamu yang pernah ngerasa nggak dianggap, yang udah kasih segalanya tapi tetep aja nggak cukup. Siap-siap, karena ini bukan sekadar cerpen patah hati biasa. Ini luka yang nyata.
Pergi Tanpa Ditahan
Bayangan yang Tak Pernah Dianggap
Hujan turun perlahan, membasahi jalanan yang lengang. Butiran air menghantam kaca jendela, menciptakan suara yang menenangkan bagi sebagian orang—tapi tidak bagi Sania. Baginya, hujan selalu mengingatkan pada sesuatu yang lebih kelam.
Ia berdiri di depan sebuah kafe kecil, tubuhnya sedikit menggigil. Bukan karena dingin, tapi karena perasaan yang berkecamuk di dalam dadanya. Sudah hampir dua jam ia menunggu, tapi orang yang seharusnya ia temui tak kunjung datang.
Ponselnya bergetar.
Reinald
Sania buru-buru menjawab. “Halo?”
“Aku nggak bisa datang,” suara di seberang terdengar datar.
Jeda.
Sania menarik napas, mencoba menekan rasa kecewa yang sudah terlalu sering ia rasakan. “Kenapa?”
“Ada kerjaan.”
Jawaban singkat itu membuat Sania menggigit bibirnya. Ia tahu, itu bohong. Reinald selalu punya alasan. Selalu ada hal lain yang lebih penting. Ia ingin bertanya lebih jauh, ingin tahu apakah dirinya benar-benar berarti bagi lelaki itu, tapi suara di ujung telepon terdengar tak sabar.
“Udah dulu ya,” ucap Reinald.
Klik.
Telepon berakhir tanpa ada kata maaf. Tanpa ada sedikit pun penyesalan.
Sania menunduk, menatap ponselnya kosong. Tangannya mengepal, jemarinya yang dingin berusaha menahan sesuatu yang terasa berat di dadanya.
Berapa kali sudah ia merasakan ini? Berapa kali ia ditinggalkan begitu saja tanpa dipedulikan?
Terlalu banyak untuk dihitung.
Ia merapatkan mantel cokelatnya, kemudian melangkah perlahan menjauh dari kafe. Payung transparan di tangannya tidak benar-benar menghalangi dinginnya hujan yang meresap hingga ke tulangnya.
Langkahnya terhenti di persimpangan jalan. Di seberang sana, di bawah lampu jalanan yang temaram, ia melihatnya.
Reinald.
Bersama seorang perempuan.
Sania tidak tahu siapa perempuan itu, tapi cara mereka tertawa, cara perempuan itu menepuk bahu Reinald dengan akrab, cara lelaki itu menatapnya—semua itu seperti pukulan telak di dada.
Jadi ini alasan sebenarnya.
Kerjaan macam apa yang bisa membuat Reinald tertawa seperti itu?
Sania mematung, menatap tanpa berkedip. Ia ingin berlari ke sana, ingin bertanya langsung, ingin mendengar penjelasan dari mulut Reinald sendiri. Tapi apa gunanya?
Ia tahu jawabannya.
Ia selalu tahu, hanya saja ia pura-pura buta.
Dunianya seakan membisu. Ia hanya bisa berdiri, menyaksikan semua yang selama ini ia takutkan terjadi tepat di depan matanya. Jari-jarinya mencengkeram pegangan payung lebih erat, tapi seluruh tubuhnya terasa kosong.
Ia ingin marah, tapi kepada siapa?
Kepada Reinald, yang sejak awal tak pernah benar-benar memilihnya?
Atau kepada dirinya sendiri, yang dengan bodohnya tetap bertahan?
Perempuan di samping Reinald mengucapkan sesuatu, dan tanpa sadar, lelaki itu mengangkat tangannya untuk mengacak rambut perempuan itu dengan lembut.
Hati Sania seperti dihantam ribuan duri.
Sebab dulu, ia pernah diperlakukan seperti itu. Pernah menjadi seseorang yang cukup berharga untuk disentuh dengan lembut. Tapi sekarang, ia hanya bayangan yang tak dianggap.
Payung di tangannya nyaris terjatuh.
Tanpa sadar, setetes air mata jatuh dan bercampur dengan hujan.
Sania berbalik, melangkah pergi sebelum hatinya hancur lebih dalam lagi.
Luka yang Tak Terlihat
Sania terbangun dengan mata yang terasa berat. Udara di kamar kontrakannya dingin, lebih dingin dari biasanya, tapi mungkin hanya perasaannya saja. Ia menatap langit-langit untuk waktu yang entah berapa lama, membiarkan pikirannya kembali ke kejadian semalam.
Bayangan Reinald dan perempuan itu terus berputar di kepalanya. Suara tawa mereka, cara lelaki itu menatap perempuan itu—semua itu menghantamnya tanpa ampun.
Ia mengerang pelan, menutupi wajah dengan kedua tangannya.
“Kenapa aku bodoh banget…” gumamnya, suara seraknya nyaris tak terdengar.
Ia tahu. Ia sudah tahu dari dulu. Tapi tetap saja, hatinya berharap. Tetap saja, ia memilih untuk bertahan meski semakin hancur.
Ponselnya tergeletak di samping bantal, dan ketika Sania meraihnya, tak ada pesan. Tak ada panggilan tak terjawab. Tak ada permintaan maaf.
Seharusnya ia tidak terkejut. Seharusnya ia sudah terbiasa. Tapi tetap saja, dadanya terasa sesak.
Setelah beberapa lama menatap layar kosong, ia akhirnya bangkit dari tempat tidur. Langkahnya berat saat ia berjalan ke kamar mandi. Air dingin yang mengalir di kulitnya membuatnya sedikit lebih sadar, tapi tidak cukup untuk menghapus rasa sakit di dadanya.
Beberapa menit kemudian, ia sudah duduk di meja kecil dekat jendela, menatap keluar dengan tatapan kosong. Jalanan masih basah sisa hujan semalam. Langit kelabu, seolah memahami suasana hatinya.
Suara getar ponsel membuatnya tersentak.
Cepat-cepat, Sania meraihnya.
Tapi bukan dari Reinald.
Maya: Nia, kamu sibuk? Bisa ketemu bentar?
Sania menghela napas. Maya adalah satu-satunya orang yang tersisa dalam hidupnya, satu-satunya yang masih peduli meski Sania selalu menolak bantuan.
Ia mengetik balasan singkat.
Sania: Oke, di mana?
Sore itu, Sania duduk di salah satu bangku taman, menatap rerumputan yang basah oleh embun. Maya datang tak lama kemudian, membawa dua gelas kopi dalam genggaman.
“Minum ini, biar sadar.” Maya menyodorkan salah satunya.
Sania menerimanya tanpa banyak bicara. Ia tahu Maya pasti akan bertanya sesuatu.
“Kamu kelihatan makin kurus.”
Sania tersenyum miris. “Emang ada yang peduli?”
Maya mendesah pelan. “Aku peduli.”
Keheningan menyelimuti mereka. Sania menyesap kopinya, tapi rasanya hambar. Mungkin karena lidahnya sudah mati rasa, seperti hatinya.
“Dia lagi sama cewek lain semalam.” Suara Sania nyaris berbisik, tapi Maya mendengarnya.
Perempuan itu menatapnya tajam. “Dan kamu masih berharap dia peduli sama kamu?”
Sania tak menjawab.
“Kamu tuh kenapa, Nia? Aku nggak ngerti. Kamu tahu dia nggak pernah nganggep kamu, tapi kamu masih aja di situ, nyiksa diri sendiri.”
Kata-kata Maya menusuk. Sania menggigit bibirnya, menahan sesuatu yang ingin ia keluarkan tapi terlalu sakit untuk diucapkan.
“Aku nggak tahu, May… Aku cuma… Aku udah terlalu lama sama dia. Udah terlalu jauh buat mundur.”
Maya menggeleng. “Nggak ada yang terlalu jauh buat mundur, Nia. Kalau kamu terus bertahan di tempat yang salah, akhirnya kamu yang bakal hancur.”
Sania tertawa kecil, tapi suaranya kosong. “Aku udah hancur.”
Maya menghela napas berat. “Kalau gitu, saatnya kamu ninggalin semua ini. Reinald nggak bakal pernah ngerti apa yang kamu rasain. Kamu sendiri yang harus nyelametin diri kamu.”
Sania menatap gelas kopinya yang tinggal setengah, lalu mendongak ke langit yang mulai gelap. Angin berhembus pelan, membawa hawa dingin yang semakin menusuk.
Meninggalkan?
Pikiran itu terasa asing baginya.
Seumur hidupnya, Sania selalu menjadi orang yang bertahan. Bahkan saat semuanya menyuruhnya pergi, ia tetap tinggal. Karena ia percaya, sesuatu yang diperjuangkan pasti akan bertahan.
Tapi bagaimana kalau yang ia perjuangkan memang tidak pernah ingin bertahan dengannya?
Sania menutup matanya, membiarkan udara dingin menyentuh wajahnya.
Ia lelah.
Sangat lelah.
Antara Waras dan Gila
Malam itu, Sania tidak bisa tidur. Matanya terus terbuka menatap langit-langit kamarnya yang penuh bayangan. Cahaya dari jalanan luar masuk melalui celah gorden, menciptakan siluet di dinding. Tapi tidak ada satu pun yang bisa membantunya lepas dari pikiran yang terus menghantui.
Ia berbalik ke sisi lain tempat tidur, menarik selimut sampai ke leher, tapi tetap saja… suara-suara di kepalanya tidak mau diam.
Kenapa masih bertahan?
Kenapa masih berharap?
Kenapa kamu nggak cukup buat dia?
Sania mengerang pelan, menekan kedua telapak tangannya ke telinga. Tapi suara-suara itu bukan berasal dari luar. Mereka berasal dari dalam dirinya sendiri—dan semakin lama, semakin keras.
Ponselnya tergeletak di meja kecil di samping tempat tidur. Jemarinya bergerak mengambilnya, membuka kontak yang paling sering ia hubungi.
Reinald.
Jantungnya berdegup pelan saat ia menatap nama itu di layar. Berulang kali ia menekan ikon telepon, lalu membatalkannya sebelum sempat tersambung.
Apa yang mau kamu denger?
Bahwa dia masih peduli? Bahwa dia masih butuh kamu?
Tidak. Itu hanya delusi.
Matanya terasa panas. Ia ingin menangis, tapi sudah kehabisan air mata. Ia ingin tidur, tapi pikirannya terus berputar.
Sania bangkit dari tempat tidur, berjalan dengan langkah gontai ke depan cermin. Wajah yang menatap balik padanya hampir tidak ia kenali. Kulit pucat, mata cekung, bibir pecah-pecah.
Ia menatap dirinya lama, lalu tertawa kecil. Tawa yang hampa.
“Gini amat ya, jadi orang yang nggak dianggap?”
Suara sendiri terdengar asing di telinganya. Ia menatap bayangan di cermin, dan untuk pertama kalinya, ia merasa benar-benar sendirian.
Keesokan harinya, Sania duduk di dalam ruangan yang asing baginya. Ruangan itu hangat, tapi tetap terasa dingin di kulitnya. Dindingnya berwarna krem, dipenuhi rak buku dan beberapa lukisan yang terlalu menenangkan untuk hatinya yang kacau.
Di seberangnya, seorang wanita duduk dengan senyum lembut, mencatat sesuatu di buku kecil di pangkuannya.
“Kamu tidur cukup?”
Sania mendesah pelan. “Nggak.”
Psikolog itu mengangguk pelan. “Kamu masih sering kepikiran soal dia?”
Sania tertawa kecil, meski tidak ada humor dalam suaranya. “Setiap detik.”
Keheningan menyelimuti ruangan itu sejenak.
“Kamu tahu kalau ini nggak sehat, kan?” suara psikolog itu lembut, tapi tajam.
Sania mengangguk, tapi tidak mengatakan apa-apa.
“Berapa lama kamu udah ngerasa kayak gini?”
Sania menatap ujung sepatunya. “Aku nggak tahu… mungkin bertahun-tahun.”
Psikolog itu mencatat sesuatu lagi, lalu berkata, “Sania, kamu sadar nggak kalau kamu selama ini kehilangan diri kamu sendiri?”
Kehilangan diri sendiri.
Kata-kata itu menggema di kepala Sania, membuatnya menelan ludah.
Ia sadar. Ia tahu.
Tapi, entah kenapa, tetap saja ada bagian dari dirinya yang masih ingin bertahan.
“Mungkin… aku cuma nggak bisa ngebayangin hidup tanpa dia,” bisiknya.
Psikolog itu menutup bukunya, menatap Sania dengan lembut. “Bukan kamu yang nggak bisa hidup tanpa dia, Sania. Tapi dia yang nggak pernah hidup dengan kamu.”
Sania terdiam.
Untuk pertama kalinya, ia melihat kenyataan yang selama ini ia tolak.
Ia selama ini berjuang sendirian. Ia selama ini bertahan sendirian.
Dan seseorang yang benar-benar mencintai tidak akan pernah membiarkan orang yang ia cintai merasa sendirian.
Air mata yang tadi tidak bisa keluar, kini jatuh perlahan.
Mungkin ini saatnya.
Mungkin ini waktunya untuk berhenti.
Pergi Tanpa Menoleh
Sania berdiri di depan pintu apartemen Reinald. Tangannya menggenggam kunci cadangan yang dulu lelaki itu berikan, sebuah simbol kecil bahwa ia pernah dianggap bagian dari hidupnya.
Dulu, pintu ini terasa seperti rumah. Dulu, ada kehangatan yang selalu menunggunya di balik sana.
Tapi sekarang, ia bahkan tidak yakin apa yang ia cari.
Terdengar suara langkah dari dalam. Pintu terbuka, dan sosok yang paling Sania kenal kini berdiri di hadapannya.
Reinald tampak terkejut melihatnya. “Kamu ngapain di sini?”
Suara itu… nada datarnya… Sania dulu selalu mengabaikan betapa dinginnya lelaki itu padanya. Betapa jaraknya selalu ada, tak peduli seberapa keras ia mencoba mendekat.
Sania menatapnya lama sebelum akhirnya mengulurkan kunci di tangannya.
“Aku balikin ini,” suaranya tenang.
Reinald mengernyit, tapi tetap mengambil kunci itu. “Kenapa tiba-tiba?”
Sania tersenyum kecil, tapi senyum itu lebih terasa seperti perpisahan. “Karena aku udah cukup.”
Reinald menatapnya sejenak, lalu tertawa kecil. “Sania, kamu nggak bakal bisa pergi dari aku. Kamu selalu balik lagi.”
Dulu, mungkin benar.
Dulu, ia selalu menunggu satu kata agar bisa kembali. Tapi kali ini, tidak.
“Aku capek, Reinald,” ucapnya pelan, matanya menatap lurus ke mata lelaki itu. “Aku capek jadi orang yang nggak pernah kamu anggap ada. Aku capek bertahan sendirian.”
Wajah Reinald sedikit berubah, tapi ia tetap bersikap seperti biasanya—seolah kata-kata Sania tidak benar-benar penting.
“Jadi kamu nyerah?” tanyanya santai.
Sania menghela napas panjang. “Aku nggak nyerah. Aku cuma berhenti memperjuangkan sesuatu yang memang bukan untuk aku.”
Reinald terdiam. Mungkin untuk pertama kalinya, ia sadar Sania benar-benar akan pergi.
Tapi anehnya, tidak ada yang ia lakukan untuk menahannya.
Tidak ada “Jangan pergi.” Tidak ada “Aku butuh kamu.”
Tidak ada apa-apa.
Sania tersenyum pahit.
Akhirnya, ia melihat dengan jelas…
Ia memang tidak pernah berarti apa-apa.
Tanpa menunggu jawaban, Sania berbalik, melangkah pergi tanpa menoleh.
Hatinya sakit, tubuhnya terasa kosong, tapi untuk pertama kalinya dalam hidupnya… ia merasa ringan.
Ia mungkin kehilangan Reinald.
Tapi kali ini, ia menemukan dirinya sendiri.
Kadang, yang paling nyakitin bukan perpisahan, tapi nyadar kalau selama ini kita sendirian dalam hubungan yang harusnya ada dua orang di dalamnya. Sania nggak kalah, dia cuma berhenti perang sendirian.
Karena sekeras apa pun kita bertahan, kalau yang kita perjuangkan nggak pernah peduli, hasilnya cuma luka. Jadi, buat yang masih stuck di hubungan kayak gini—coba tanya ke diri sendiri, kamu beneran bahagia, atau cuma takut sendirian?


